Mengapa riset kesehatan jarang mempengaruhi kebijakan di Indonesia

Ada keterputusan antara penelitian-penelitian yang dilakukan para peneliti kesehatan di Indonesia dan asupan hasil penelitian bagi perbaikan kebijakan kesehatan yang diinginkan pemerintah (perencana dan manajemen program) di negeri ini.

Dengan populasi lebih dari seperempat miliar jiwa, Indonesia menghadapi berbagai masalah kesehatan yang begitu banyak.

Di Papua, provinsi paling timur di Indonesia, beberapa laporan terbaru menyebutkan setidaknya 61 anak mati karena malnutrisi dan penyakit campak. Pemerintah sampai harus mengirim tenaga medis dan militer untuk menangani krisis kesehatan di area terpencil tersebut.

Di saat yang sama, Indonesia juga masih berjuang menghadapi tingginya tingkat kematian ibu dan bayi seputar masa kehamilan dan kelahiran. Indonesia gagal memenuhi sasaran Millennium Development Goal (MDG) mengurangi tiga per empat rasio kematian ibu, karena sampai 2015 masih ada 305 kematian dari 100.000 kelahiran hidup. Sementara itu, tingkat kematian bayi baru lahir adalah 14 per 1000 kelahiran hidup.

Dalam Rencana Strategis lima tahun untuk kesehatan, pemerintah berencana mempercepat tanggapan sistem kesehatan di negara ini dan upaya penurunan kematian ibu dan bayi baru lahir.

Untuk memenuhi sasaran-sasaran ini, pemerintah seharusnya merumuskan kebijakan berdasarkan bukti yang dikumpulkan dari berbagai hasil penelitian. Kementerian Kesehatan memberikan tugas khusus peningkatan penggunaan hasil penelitian sebagai bukti ini kepada unit Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan.

Tapi riset saya menunjukkan bahwa para peneliti Badan Penelitian Kesehatan tetap melakukan penelitian dengan topik di luar permasalahan utama pemegang program di Kementerian Kesehatan untuk periode yang sama.

Kurangnya keterlibatan
Saat ini, manajer program dan pembuat kebijakan di Kementerian Kesehatan tidak bergantung kepada peneliti. Mereka juga tidak bersandar pada temuan penelitian untuk dapat mendukung keputusan atau kebijakan yang dibuat.

Para peneliti Balitbangkes dihimbau agar menyiapkan lebih banyak penelitian kesehatan berbasis bukti agar bisa digunakan oleh pengambil keputusan dalam proses pembuatan kebijakan. Tapi sebuah telaah oleh konsultan eksternal pada 2017 menemukan hampir semua dari 30 proposal penelitian yang diajukan para peneliti Balitbangkes untuk pendanaan tahun 2018 dan 2019 ternyata tidak terkait program-program yang ada di Kementerian Kesehatan.

Kementerian Kesehatan sangat jarang menggunakan hasil temuan dari sekitar 1.300 penelitian yang dilaporkan Balitbangkes dalam periode 2011-2015. Kebanyakan hasil penelitian tersebut hanya disimpan di rak-rak perpustakaan.

Tinjauan cepat dari makalah-makalah yang dipublikasi jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional (2013-2017) menunjukkan bahwa topik-topik penelitian memang dipilih tanpa upaya untuk mengaitkan dengan program-program utama Kementerian Kesehatan.

Demikian pula dengan peneliti kesehatan di luar Balitbangkes. Jumlah peneliti di komunitas akademik yang terlibat diskusi perumusan kebijakan kesehatan sangat terbatas. Para peneliti akademik tidak merasa perlu melakukan penelitian yang hasil temuannya dapat menjadi bukti perlunya perubahan kebijakan atau kebijakan baru.

Kondisi ini juga disebabkan oleh aturan akademik penelitian di universitas yang membatasi ruang lingkup penelitian sebatas menemukan kerangka konsep baru berdasarkan kerangka-kerangka teori yang sudah ada, memetakan beberapa cara pengambilan keputusan pada tingkat daerah atau pusat, atau menguji asumsi-asumsi konvensional yang sudah dikenal di ilmu kesehatan masyarakat.

Apa yang perlu diubah
Jelas pada saat ini bahwa kedua pihak yakni para peneliti dan pembuat kebijakan atau manajer program tidak merasa nyaman untuk bekerja sama, karena memang belum memahami cara menerapkan konsep penelitian ‘evidence-based’.

Sangat disarankan untuk mencoba Penelitian Operasional (Operations Research, OR), suatu metode penelitian analitis yang mensyaratkan kedua pihak harus bekerja sama, para peneliti dan pembuat kebijakan atau manajer program dalam pelaksanaannya. Penelitian Operasional sangat praktis. Kuncinya adalah menggunakan ukuran sukses program yang ditentukan manajer program atau perencana kesehatan sebagai hasil yang diharapkan (variabel tergantung) dan faktor-faktor sosio-demografi, pelatihan, dan lainnya sebagai faktor yang memengaruhi hasil yang diharapkan tersebut.

Contoh, Kementerian Kesehatan memiliki program Nusantara Sehat, yang mendistribusikan sekitar 6.300 praktisi kesehatan ke daerah-daerah terpencil dan perbatasan atau pulau-pulau di luar Jawa Bali. Termasuk untuk meningkatkan layanan kesehatan di daerah jauh seperti Papua.

Program ini belum memiliki sistem monitoring yang memadai. Karena itu, Kementerian Kesehatan dapat meminta para peneliti dari Balitbangkes untuk memantau seberapa baik program ini berjalan dan faktor-faktor apa saja yang terkait dengan pencapaian target Nusantara Sehat dengan menggunakan metode OR.

Pembuat kebijakan seharusnya bisa berkomunikasi lebih baik tentang informasi (asupan) yang dibutuhkan untuk menyusun rencana atau kebijakan kepada para peneliti. Dan para peneliti seharusnya memiliki kesadaran yang lebih tinggi akan jenis program dan ukuran program yang menjadi prioritas utama pemerintah.

Pembuat kebijakan dan manajer program perlu lebih banyak terlibat dalam perumusan kerangka konsep dan pelaksanaan penelitian. Mereka seharusnya membagi informasi ke para peneliti mengenai tujuan program, prioritas dan ukuran sukses atau sasaran tahunan program. Jika mereka ingin para peneliti melakukan penelitian dengan topik dan bukti hasil yang diinginkan program.

http://theconversation.com/