Angka stunting turun, tapi belum standar WHO

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menempatkan Indonesia sebagai negara ketiga dengan angka prevalensi stunting tertinggi di Asia pada 2017. Angkanya mencapai 36,4 persen. Namun, pada 2018, menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), angkanya terus menurun hingga 23,6 persen.

Dari data yang sama, diketahui pula stunting pada balita di Indonesia pun turun menjadi 30,8 persen. Adapun pada Riskesdas 2013, stunting balita mencapai 37,2 persen.

Perlu diketahui bahwa riskesdas memang dirilis setiap lima tahun sekali. Sedangkan stunting adalah kondisi gagal tumbuh yang antara lain disebabkan gizi buruk.

Anak dikatakan stunting ketika pertumbuhan tinggi badannya tak sesuai grafik pertumbuhan standar dunia. Atau dalam bahasa yang lebih umum adalah kuntet. Dari Riskesdas 2018 itu, sangat pendek mencapai 6,7 persen dan pendek 16,9 persen.

Penurunan angka stunting di Indonesia adalah kabar baik, tapi belum berarti sudah bisa membuat tenang. Maklum, bila merujuk pada standar WHO, batas maksimalnya adalah 20 persen atau seperlima dari jumlah total anak balita.

"Stunting diyakini akan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan, dan memperlebar ketimpangan. Situasi ini jika tidak diatasi segera maka dapat dipastikan Indonesia tidak mampu bersaing menghadapi tantangan global pada masa depan," kata seorang juru bicara Konsepsi-NTB, Dr Muh Taqiuddin, dilaporkan Antaranews dari Bandarlampung, Jumat (29/3/2019).

Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Alam dan Jasa Kemenkomaritim, Agung Kuswandono, pun menegaskan bahwa stunting harus dijadikan isu nasional. Masyarakat harus diiingatkan secara berkala tentang bahaya stunting.

Menurut Agung, satu hal yang bisa dilakukan untuk mengantisipasi stunting adalah pengayaan (fortifikasi) garam pada makanan masyarakat Indonesia. Keberadaan yodium pada mineral garam bisa berperan pada nutrisi tubuh.

"Yodium menjaga fungsi tiroid tetap stabil. Hormon tiroid yang baik berperan dalam mengoptimalkan fungsi otak dan sistem saraf. Hormon tiroid membantu perkembangan janin agar fungsi otak dan sistem saraf berkembang normal," katanya di Surabaya.

Fokus pencegahan stunting di Indonesia kini diarahkan ke para perempuan remaja karena penyebab anak tumbuh pendek adalah kekurangan gizi kronis sejak dari dalam kandungan. Ketika anak lahir, tanda-tanda kekurangan gizi tak terlihat dan baru ketahuan stunting setelah berusia dua tahun.

"Ke depan remaja juga harus dilibatkan dan dimaksimalkan, agar ada pengetahuan remaja seputar kesehatan," ujar Lurah Damai Baru, Balikpapan, Andi Arief Hidayatullah, ketika berbicara soal Posyandu, Sabtu (30/3).

Di sisi lain, seratusan anak di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau, terindikasi stunting. Dua penyebabnya adalah asupan gizi yang rendah dan tempat tinggal yang tidak layak.

Menurut Azirman; Kepala Desa Danau Lancang, Kecamatan Tapung Hulu, Kabupaten Kampar; orang tua anak-anak stunting itu bekerja sebagai buruh perkebunan sawit sehingga tidak terpapar informasi dan pelayanan kesehatan yang baik.

Ironisnya, aparat desa pun kesulitan untuk mengintervensi mereka lantaran ketiadaan kartu identitas. Itu sebabnya Azirman akan berbicara dengan perusahaan kelapa sawit untuk mengatasi hal ini.

Sementara di Jawa Timur, stunting masih terjadi di 12 kabupaten dan kota. Mereka adalah Sampang, Pamekasan, Bangkalan, Sumenep, Jember, Bonndowoso, Probolinggo, Nganjuk, Lamongan, Kabupaten Malang, Trenggalek, dan Kabupaten Kediri.

Dinas Kesehatan Jawa Timur (Dinkes Jatim) pun memfokuskan penanganannya di 12 wilayah tersebut. Dijelaskan oleh Kepala Dinkes Jatim Kohar Heri Santoso, mereka pun menyasar remaja putri dan mendampingi para ibu hamil.

"Mulai dari remaja putri dibagikan tablet besi, diberikan pemahaman terkait kesehatan reproduksi. Ibu-ibu hamil dilakukan pendampingan gizi, kemudian penanganan persalinan..," tutur Kohar dalam detikcom, Jumat (5/4).

sumber: https://beritagar.id/artikel/berita/angka-stunting-turun-tapi-belum-standar-who