Diskusi 2.1
Kasus RPP KT di Propinsi DIY menunjukkan arti kekuasaan dalam sebuah sektor. Bagaimana teori 3 dimensi kekuasaan dapat menerangkan hal ini? Siapa sebenarnya pemegang kekuasaan di kasus ini?
Catatan:
DI halaman 28 Buse ada kesalahan penterjemahan.... Kekuasaan sebagai bahan pengambil keputusan.... seharusnya Kekuasaan bukan pengambil keputusan
Diskusi 2.1 | Diskusi 2.2 | Diskusi 2.3 |
Comments
kekuasaan merupakan suatu konsep khusus untuk melaksanakan sesuatu melalui orang lain. berdasarkan teori 3 dimensi yang pertama kekuasaan sebagai pengambil keputusan, dalam kasus RPP KTR DIY penyusunan kebijakan tidak dapat berjalan dengan baik karena adanya kelompok yang berkepentingan sehingga mempengaruhi kebijakan tersebut. kemudian dalam proses penyusunan kebijakan seharusnya melibatkan masyarakat kretek( petani tembakau) dan pabrik rokok, sehingga mereka bisa mengetahui isi kebijakan karena berdasarkan dimensi kekuasaan yang kedua kekuasaan bukanlah pengambil keputusan, jadi bukan hanya para pembuat saja yang memutuskan kebijakan bisa dilaksanakan atau tidak. tapi dalam hal lain dengan adanya kelompok berkepentingan mereka mampu untuk mempengaruhi orang lain untuk bisa melakukan keinginan mereka dengan menggunakan cara yang tersembunyi, dalam kasus RPP KTR DIY kelompok berkepentingan adalah yang paling berkuasa.
kelompok dan individu yang ada (yang diuntungkan dalam hal ini). Perbedaannya pada interpretasi makna, ditekankan pada sebuah proses pembuatan dan implementasi dari kebijakan.
Dari ketiga dimensi tersebut saya rasa untuk Kasus RPP KT di Propinsi DIY ini lebih kepada dimensi kedua, karena yang diuntungkan adalah kepentingan subjektif semata, dalam hal ini para pemegang pabrik dibanding para petani tembakau, walaupun sebenarnya mereka mengatas namakan petani. Bukan di dimensi satu, bahwa kekuasaan digunakan untuk memperluas
yang telah dimilikinya
Apa mungkin saya yang merasa sangat janggal dengan peran pemerintah daerah yang seolah-olah tidak memiliki political will yang kuat terhadap kesehatan penduduknya???
Idealnya memang yang memiliki kekuasaan adalah pemerintah, namun pada kenyataannya pemerintah disini tidak memiliki kekuasaan ketika mendapat advokasi dan lobby yang kuat dari pihak yang berkepentingan (perusahaan rokok). Teori Dimensi Kekuasaan menyatakan bahwa kekuasaan sebagai pengendali pikiran atau dgn kata lain kekuasaan mampu mempengaruhi orang lain demi kepentingan tertentu. Jika memang pemerintah sebagai penguasa, sudah seharusnya Perda KTR yang hanya tinggal ditandatangani tsb tidak akan macet seperti skrg. Kenyataannya bahwa pemerintah sendiri masih dikendalikan oleh pihak lain yang berkepentingan tidak dapat menerangkan bahwa pemerintah memiliki kekuasaan, justru ada pihak lain yang lebih berkuasa dan dapat mengendalikan pemerintah, yaitu perusahaan rokok.
Dalam kasus RPP KT, pemerintah merupakan legal intitusi yang bertugas untuk mengesahkan peraturan, hal tersebut sama dengan pemerintah memiliki kekuasaan bukan untuk mengambil keputusan, tetapi pemerintah berfungsi sebagai media untuk pengambilan keputusan, pada kasus ini pemerintah seakan menghentikan adanya pembuatan perda secara sepihak, dengan alasan melihat adanya perseteruan antara pihak yang pro rokok, dengan kelompok yang anti rokok, padahal dalam perseteruan ini pemerintah harusnya menjadi penengah antara kedua belah pihak tersebut, sehingga mencapai sebuah tujuan baru yang mewakili stakeholder yang memiliki kepentingan mengenai kebijakan tersebut.
Terimakasih..
Terimakasih
Di Indonesia kekuasaan seharusnya dimiliki oleh Pemerintah. Pemerintah mempunyai kewenangan dalam hal memutuskan suatu kebijakan dan segala hal yang menyangkut kesejahteraan masyarakat secara luas, keamanan dan pertahanan menjadi tanggung jawab dari Pemerintah. Akan tetapi jika dikaitkan dengan kasus Raperda KTR di Provinsi DIY, Pemerintah seolah-olah tak berdaya. Intervensi yang kuat dari salah satu aktor yang terlibat membuat Pemerintah seperti “macan ompong”. Ditinjau dari teori 3 dimensi kekuasaan, yang terjadi di DIY adalah “kekuasaan sebagai pengendali pikiran”. Dalam teorinya diampaikan bahwa kepatuhan yang dibuat oleh Pemerintah didapatkan dengan cara yang terselubung. Maksud dari terselubung disini adalah adanya cara-cara yang dilakukan dibawah tangan, tanpa diketahui oleh publik secara luas. Hanya dengan mengatasnamakan Masyarakat Kretek dan Petani Tembakau Raperda yang sudah berproses di DPRD cukup lama, akhirnya gagal untuk disahkan.
Terimakasih
Jadi simpulannya, suatu kebijakan jika dilihat dari dimensi kekuasaan bisa dijelaskan dengan lebih dari 1 dimensi ya...setujukah ? atau ada pendapat yang lain?
1. Kekuasaan dalam mengambil keputusan
Kekuasaan dalam mengambil keputusan menekankan pd tindakan individu/kelompok yang mempengaruhi pemutusan kebijakan (Buse,hal 27). Dalam kasus Raperda KTR di DIY,kekuasaan ini dipegang oleh anggota DPRD yang memilih untuk tidak menandatangani Raperda tersebut.
2. Kekuasaan bukan pengambil keputusan
Dalam teori ini kelompok-kelompok dominan mengeluarkan pengaruh mereka dengan membatasi agenda kebijakan kepada pemikiran-pemikiran yang dapat diterima (Buse,hal 28). Dalam kasus Raperda KTR di DIY,kelompok "Masyarakat Kretek dan Petani Tembakau" menjadi kelompok yang dominan memberikan pengaruh mereka kepada anggota DPRD utk tidak menyetujui raperda tersebut.
3. Kekuasaan sebagai pengendali pikiran
Dalam teori ini kekuasaan berfungsi sebagai kemampuan untuk mempengaruhi orang lain dengan membentuk keinginan mereka (Buse,hal 31). Dalam kasus ini sangat jelas dominan kelompok "Masyarakat kretek dan petani tembakau" sangat bisa mempengaruhi anggota DPRD sehingga memandang Raperda tersebut sebagai Raperda yang cacat hukum karena tidak melibatkan petani tembakau.
Pada kasus ini,pemegang kekuasaan yang dominan adalah para elitisme. Kelompok litisme dalam kasus ini adalah "Masyarakat kretek dan Petani Tembakau). Ahli teori elitisme menyatakan bahwa kebijakan di dominasi oleh kelompok minoritas istimewa (Buse,hal 38).
Menurut saya, pemegang kekuasaan yang sebenarnya dari kasus ini adalah pada dimensi "kekuasaan sebagai pengendali pikiran" dimana pada dimensi ini pihak swasta/masyarakat tembakau menggunakan kekuasaan mereka untuk mempengaruhi orang lain (legislatif) sesuai dengan keinginan mereka.
melalui berbagai cara misalnya dengan membentuk cara pandang dan cara pikir sehingga keinginan mereka dapat terpenuhi.
terimakasih
Jika menganalisis RPP KT dari sudut pandang 3 dimensi kekuasaan, dijelaskan dalam buku Making Health Policy oleh Kent Buse, menjelaskan bahwa 3 dimensi kekuasaan tersebut yaitu kekuasaan sebagai pengambil keputusan, kekuasaan sebagai bukan pengambil keputusan dan kekuasaan sebagai pengendali pikiran. Pada kasus Raperda KTR DIY menurut saya termasuk dalam kekuasaan sebagai bukan pengambilan keputusan, pada dimensi ini menekankan pada adanya kelompok-kelompok kepentingan yang menggunakan powernya untuk membatasi agenda kebijakan atau dengan kata lain membatasi lingkup pembuatan keputusan untuk menyelamatkan isu dengan mengubah nilai-nilai masyarakat yang dominan. Pada dimensi ini beberapa isu tetap tersebunyi bahkan gagal di arena politik, Hal ini juga terjadi pada kasus Raperda Kawasan Tanpa Rokok yang diinisiasi oleh DPRD DIY namun sampai saat ini belum ditandatangani karena adanya tarik ulur di kalangan DPRD dipicu dari protes sekelompok masyarakat yang mengatasnamakan “Masyarakat Kretek dan Petani Tembakau”, mereka kemukakan bahwa tidak dilibatkannya petani tembakau dan pabrik rokok dalam perumusan Raperda. Sehingga salah satu fraksi DPRD mengundurkan diri, dan aturan tersebut belum disahkan hingga sekarang. Kasus ini salah satu contoh bahwa kekuasaan sebagai bukan pengambilan keputusan.
Terima kasih
a. Kewenangan tradisional ; bahwa merokok sudah menjadi kebiasaan sehari –hari agensi pergaulan interaksi masyarakat budaya turun menurun dilakukan masyrakat Indonesia sejak jaman sebelum merdeka .
b. Kewenagan karismatik ; berpusaat pada prilaku pimpinaan sehingga kebijakan akan efektif manakala disamping tertulis sangat ditunjang prilaku pimpinan merokok atau tidak sangat berpengaruh terhadap warganya maupun bawahanya.
c. Kewenagan legal rasional ; bagaimana aspek regulasi prosedur yang mengatur tatakelola prilaku merokok Pada kasus ini yang dominan adalah keweangan tradisional dimana merokok sudah menjadi budaya yang tak dapat dipisahkan sejak dahulu kala.
Dimensi kedua yaitu kepentingan menjelaskan bagamana proses pembuatan keputusan sedapat mungkin berangkat dari isu potensial yang didasarkan pada sebuah konflik terbuka dari sebuah kepentingan subjektif semata. Tindakan-tindakan yang dilakukan dimaksudkan untuk memperbesar kekuasaan yang dimiliki oleh suatu kelompok, kepentingan-kepentingan yang tidak sejalan dengan perluasan kekuasaan dan kepentingan objektif mulai disingkirkan. Disini kelompok-kelompok kepentingan (kelompok pro rokok) berhasil melobi DPR (legislative) sebagai pembuat kebijakan untuk menggagalkan pembuatan Raperda KTR tersebut, demi kepentingan mereka.
Dimensi ketiga adalah hegemoni, yang merupakan sebuah proses bagaimana sebuah kelompok atau individu bukan hanya memperluas kekuasaan dan berusaha meloloskan kepentingan mereka, tetapi juga berusaha mempertahankan hegemoni yang telah dimiliki oleh kelompok atau individu. Saat ini masalah rokok di DIY sebenarnya dikuasai oleh kelompok-kelompok pro rokok (terutama pengusaha-pengusaha rokok) yang masih dapat menguasai legislative sebagai pengambil kebijakan. Sekelompok kepentingan tersebut berusaha mengendalikan pikiran masyarakat dengan mempertahankan asumsi bahwa dengan adanya perda KTR maka rakyat kecil akan dirugikan.
Dalam kasus macetnya penyusunan perda KTR ini apabila ditinjau dari teori 3 dimensi kekuatan.
"kekuasaan sebagai pengambilan keputusan" dalam kasus ini jelas terlihat bagaimana adanya individu atau kelompok penting yang telah berhasil mempengaruhi suatu kebijakan yaitu dengan mengatasnamakan masyarakat petani tembakau. Hal ini sesuai dari teori Dahl yang menyimpulkan bahwa kelompok-kelompk masyarakat masyarakat yang berbeda, termasuk kelompok yang lemah dapat "menekan" ke dalam sistem politik dan menguasai para pembuat keputusan sesuai dengan keinginan mereka.
"kekuasaan bukan sebagai pengambilan keputusan" dalam kasus ini peran pemerintah yang mencoba untuk merubah nilai, mitos dalam hal merokok di masyarakat telah gagal. Begitu pula dengan fakta bahwa suatu rancangan Perda yang telah masuk dalam Prolegda bisa gagal. Buse mengatakan bahwa dalam dimensi kekuasaan ini beberapa isu tetap tersembunyi dan gagal, seperti pada kasus Perda rokok di DIY ini.
"Kekuasaan sebagai pengendali pikiran" dalam kasus perda rokok ini, teori ini terlihat dari upaya dari masyarakat kretek dan petani tembakau yang berunjuk rasa menolak raperda ini karena mereka juga bagian dari masyarakat umum yang mungkin juga ikut memilih pemimpin saat ini, sehingga suara mereka harus di dengar terutama oleh wakil rakyat (DPRD)
Terima Kasih
Konteks pertama kekuasaan sebagai pengambil keputusan, jadi saya berasumsi bahwa dalam mengambil sebuah keputusan untuk kebijakan : bisa saja kebijakan itu terealisasi dan tidak teralisasi. Dalam pandangan sektor kesehatan tentunya kita berharap kebiakan diatas dapat teralisasi, tapi mungkin dalam pandangan sektor lain, ketika kebijakan ini terealisasi akan berdampak negatif. Muncullah pertimbangan-pertimbangan dari pemegang kekuasaan sehingga kebijkana ini belum terealisasi.
Konteks kedua kekuasaan bukan pengambil keputusan. Inilah yang menjadi persoalan sekarang ketika awal pembuatan kebijakan, pemegang kekuasaan melupakan adanya kelompok-kelompok yang bertolak belakang dengan kebijakan tersebut dan dapat membatasi agenda kebijakan. Sedangkan pada dasarnya pemegang kekuasaan terpilih secara demokrasi, maksudnya bahwa pemegang kekuasaan dapat meraih tujuan akhir atas dukungan kelompok-kelompok tersebut, sehingga pada akhir penetapan kebijakan, kelompok-kelompok tersebut memberikan protes dan mampu membuat kebijakan ini belum terealisasi.
Konteks ketiga kekuasaan sebagai pengendali pikiran. Inilah yang harus dimiliki oleh seorang pemegang kekuasaan dalam menetapkan suatu kebijakan. Maksudnya bahwa pemegang kekuasaan mampu mempengaruhi anggotanya, meskipun kebijakan tersebut tidak sesuai dengan pandangan anggotanya. Namun ini akan sulit untuk pemegang kekuasan, seperti penjelasan pada konteks kedua.
Saran saya untuk kasus ini bahwa perlunya penyampaian yang baik dari isi kebijakan tersebut sehingga pihak luar dapat menerima dengan jelas maksud dan tujuan kebijakan tersebut. Artinya bahwa ketika kebijakan ini terealisasi tidak ada sektor yang dirugikan. Karena untuk apa membuat suatu kebijakan yang pada akhirnya tidak terealisasi, ini hanya akan menghabiskan banyak waktu dan anggaran. Meskipun dalam penetapan sebuah keputusan, bisa saja tercapai dan tidak tercapai.
Konsep Aktor
Secara konsep aktor kebijakan pada proses pembuatan kebijakan Perda KTR di Yogyakarta, ada beberapa fraksi di DPR mengundurkan diri tidak menandatangani pengesahan kebijakan KTR dan ada elemen "Masyarakat Kretek dan Petani Tembakau" yang merasa tidak diajak dalam proses pembuatan kebijakan.
Bila kita analisis secara stakeholders dan kemampuan advokasi-lobby, maka terlihat jelas masih lemahnya aspek ini yang dilakukan oleh para aktor kebijakan tersebut. Kita tahu bahwa pemilik pabrik rokok nasional dan dunia memiliki uang banyak. Mereka selalu berkolaborasi dengan politisi di pemerintah. Politisi kebetulan memang sedang memerlukan dana untuk pilkada. Mereka sedang mendapat dana dari pabrik rokok dengan mengubah sikap mereka yang lebih lunak terhadap larangan merokok.
Dalam hal ini, kekuasaan itu adalah kewenangan yang didapatkan oleh seseorang atau kelompok guna menjalankan kewenangan itu sesuai dengan kewenangan yang diberikan. Menurut Andrain, distribusi kekuasaan digambarkan dalam bentuk tiga model, antara lain model elite sebagai yang memerintah, model pluralis, dan model populis.
1. Model Elite yang Memerintah. Yang memerintah teridiri dari sedikit orang, melaksanakan fungsi politik, memonopoli kekuasaan, dan mendapat keutungan akibat dari berkuasa. Sedangkan yang diperintah terdiri dari lebih banyak orang, diarahkan dan dikendalikan oleh penguasa dengan cara berdasar hukum, semaunya dan paksaan.
2. Model Pluralis. Setiap individu menjadi anggota satu atau lebih kelompok sosial tertentu. Kelompok sosial ini berfungsi sebagai wadah memperjuangkan kepentingan para anggota, menjadi perantara para anggotanya, dan pemerintah sebagai pembuat dan pelaksana keputusan politik.
3. Model Populis atau Kerakyatan. Maksudnya, partisispasi seorang warga negara dalam proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik akan mempengaruhi sendi-sendi kehidupan individual dan sosial masyarakat.
Jadi, salah satu kekuatan yang penting yang bisa mengatasi kekuasaan (power) dari pemilik pabrik rokok adalah anggota parlemen. Jika anggota parlemen mewakili kepentingan kelompok anti rokok, mereka akan memenangkan kebijakan penghilangan pabrik rokok.
Artinya, meski pun secara kesehatan, rokok itu berbahaya dan karena itu pabrik rokok seharusnya dilarang. Namun, secara ilmu sosial, di balik kebijakan pelarangan itu, terdapat kepentingan pemilik pabrik rokok, dan juga petani, pedagang, dan kegiatan berkaitan dengan tembakau. Kekuasaan adalah bidang kajian ilmu sosial. Oleh karena itu, kita harus bisa membaca kekuasaan dari penduduk, pengambil kebijakan, dan stakeholder lain. (www.ArdaDinata.Com).