Diskusi 2.1

Kasus RPP KT di Propinsi DIY menunjukkan arti kekuasaan dalam sebuah sektor. Bagaimana teori 3 dimensi kekuasaan dapat menerangkan hal ini? Siapa sebenarnya pemegang kekuasaan di kasus ini?

Catatan:
DI halaman 28 Buse ada kesalahan penterjemahan.... Kekuasaan sebagai bahan pengambil keputusan.... seharusnya Kekuasaan bukan pengambil keputusan

 Diskusi 2.1   |   Diskusi 2.2   |   Diskusi 2.3

 

Comments  

# Elvaria Mantao 2016-10-20 05:16
selamat siang..
kekuasaan merupakan suatu konsep khusus untuk melaksanakan sesuatu melalui orang lain. berdasarkan teori 3 dimensi yang pertama kekuasaan sebagai pengambil keputusan, dalam kasus RPP KTR DIY penyusunan kebijakan tidak dapat berjalan dengan baik karena adanya kelompok yang berkepentingan sehingga mempengaruhi kebijakan tersebut. kemudian dalam proses penyusunan kebijakan seharusnya melibatkan masyarakat kretek( petani tembakau) dan pabrik rokok, sehingga mereka bisa mengetahui isi kebijakan karena berdasarkan dimensi kekuasaan yang kedua kekuasaan bukanlah pengambil keputusan, jadi bukan hanya para pembuat saja yang memutuskan kebijakan bisa dilaksanakan atau tidak. tapi dalam hal lain dengan adanya kelompok berkepentingan mereka mampu untuk mempengaruhi orang lain untuk bisa melakukan keinginan mereka dengan menggunakan cara yang tersembunyi, dalam kasus RPP KTR DIY kelompok berkepentingan adalah yang paling berkuasa.
Reply
# Almas Awanis 2016-10-20 05:49
Ketiga dimensi ini sebenarnya sama-sama bertujuan untuk memenuhi kepentingan
kelompok dan individu yang ada (yang diuntungkan dalam hal ini). Perbedaannya pada interpretasi makna, ditekankan pada sebuah proses pembuatan dan implementasi dari kebijakan.
Dari ketiga dimensi tersebut saya rasa untuk Kasus RPP KT di Propinsi DIY ini lebih kepada dimensi kedua, karena yang diuntungkan adalah kepentingan subjektif semata, dalam hal ini para pemegang pabrik dibanding para petani tembakau, walaupun sebenarnya mereka mengatas namakan petani. Bukan di dimensi satu, bahwa kekuasaan digunakan untuk memperluas
yang telah dimilikinya
Reply
# Eldo KP-MAK 2016-10-20 06:28
Kalau saya menambahkan bahwa di sini Pemerintah memang hanya sepihak saja dalam menentukan kebijakan, tidak mengedepankan Jaringan-jaringan yang ada. dalam dunia perpolitikan ada yang namanya Manajemen Jaringan dimana tidak ada keuntungan pada satu pihak aktor, namun seluruh aktor dalam jaringan.
Reply
# Felix F. Mailoa 2016-10-20 14:21
Pernah berpikir tidak kalau "oknum" pemerintah selaku pengambil keputusan juga merupakan orang yang pertama kali di lobby oleh perusahaan rokok???? dan proses demonstrasi adalah bagian dari sandiwara politik untuk menunjukan seolah-olah ada penolakan dengan tujuan agar tidak terlihat bersalah dihadapan masyarakat???

Apa mungkin saya yang merasa sangat janggal dengan peran pemerintah daerah yang seolah-olah tidak memiliki political will yang kuat terhadap kesehatan penduduknya???
Reply
# emi badaryati 2016-10-20 15:28
Sangat mungkin demikian mengingat sangat kompleksnya permasalahan rokok sampai ke tatanan politik dan ekonomi...masing masing pihak mempunyai kepentingan. Dan semua pihak berusaha mempunyai strategi bagaimana keinginannya dapat goal dengan mempengaruhi pihak lain, walaupun posisi yang dipengaruhi itu lemah tapi punya kekuatan untuk menekan suatu kebijakan dalam kasus ini bisa jadi perusahaan pabrik rokok memakai para petani kretek untuk menggolkan keinginannya. Selain itu juga pada kekuatan lobi dengan para elit politik sangat mungkin terjadi, jadi yang berkuasa disini adalah pabrik rokok dengan melibatkan para petani kretek sebagai alasan yang bisa menyurutkan gencarnya proses kebijakan RPP KTR DIY.
Reply
# yuli luthfiana 2016-10-20 16:27
sip pak edo saya menambahkan sedikit dalam kasus ini peran aktor menjadi tidak kuat, keputusan yang sudah ada tidak memberikan keuntungan untuk semua, dimana "kekuasaan sebagai bahan pengambilan keputusan" seperti pendapatnya Bachrach dan Barats (1962) bahwa kekuasaan itu dilakukan oleh aktor ketika memberlakukan nilai sosial dan politik hanya pada pemikiran umum dari isu-isu yang tidak membahayan sang aktor, bahkan terkadang isu itu pun tetap tersembunyi, atau dengan istilah kalau membahayakan dirinya maka kebijakan itu tidak akan dipertegas sehingga banyak hasil kebijakan tidak dijalankan dengan semestinya.
Reply
# Dwi Mayasari Riwu 2016-10-20 07:42
Kekuasaan dalam buku Buse dijelaskan sebagai Pemerintah. Pada proses pembuatan kebijakan, keputusan akan legitimasi suatu kebijakan bukan saja pemerintah yang berperan, namun juga perlu kesepakatan dari banyak aktor lainnya seperti praktisi, DPR sebagai wakil rakyat, akademisi dan kelompok-kelompok yang berkaitan dengan kebijakan tersebut. Apabila pemerintah memutuskan kebijakan tanpa melibatkan aktor-aktor terkait lainnya, maka implementasi dari kebijakan akan mengalami banyak tantangan dan hambatan.
Reply
# Monica Dara Delia S 2016-10-20 15:35
Selamat malam,
Idealnya memang yang memiliki kekuasaan adalah pemerintah, namun pada kenyataannya pemerintah disini tidak memiliki kekuasaan ketika mendapat advokasi dan lobby yang kuat dari pihak yang berkepentingan (perusahaan rokok). Teori Dimensi Kekuasaan menyatakan bahwa kekuasaan sebagai pengendali pikiran atau dgn kata lain kekuasaan mampu mempengaruhi orang lain demi kepentingan tertentu. Jika memang pemerintah sebagai penguasa, sudah seharusnya Perda KTR yang hanya tinggal ditandatangani tsb tidak akan macet seperti skrg. Kenyataannya bahwa pemerintah sendiri masih dikendalikan oleh pihak lain yang berkepentingan tidak dapat menerangkan bahwa pemerintah memiliki kekuasaan, justru ada pihak lain yang lebih berkuasa dan dapat mengendalikan pemerintah, yaitu perusahaan rokok.
Reply
# Herlinda Dwi Ningrum 2016-10-20 13:48
Selamat malam,
Dalam kasus RPP KT, pemerintah merupakan legal intitusi yang bertugas untuk mengesahkan peraturan, hal tersebut sama dengan pemerintah memiliki kekuasaan bukan untuk mengambil keputusan, tetapi pemerintah berfungsi sebagai media untuk pengambilan keputusan, pada kasus ini pemerintah seakan menghentikan adanya pembuatan perda secara sepihak, dengan alasan melihat adanya perseteruan antara pihak yang pro rokok, dengan kelompok yang anti rokok, padahal dalam perseteruan ini pemerintah harusnya menjadi penengah antara kedua belah pihak tersebut, sehingga mencapai sebuah tujuan baru yang mewakili stakeholder yang memiliki kepentingan mengenai kebijakan tersebut.
Terimakasih..
Reply
# Sri Guntari KP-MAK 2016-10-20 14:27
Menurut saya, hal yang dijelaskan pada kasus terkait RPP KTR di Provinsi DIY telah memperjelas pemahaman kita mengenai kuatnya sebuah pengaruh dari beberapa aktor. Aktor yang berperan kuat pada kasus tersebut adalah perusahaan rokok, yang memiliki kemampuan yang hebat dalam melobby sebuah kebijakan. Apabila dikaitkan dengan teori dimensi kekuasaan, kasus tersebut berkaitan dengan dimensi kedua yaitu “kekuasaan untuk tidak membuat keputusan”. Dalam dimensi kekuasaan tersebut, menerangkan bahwa beberapa isu tetap tersembunyi dan gagal memasuki arena politik. Dimensi tersebut jelas tercermin dari kasus batalnya pengesahan Perda KTR di DIY. Aksi penolakan terhadap kebijakan tersebut memiliki power yang lebih kuat, yang dimoderatori oleh produsen rokok dan petani tembakau yang merasa terancam apabila perda KTR diselenggarakan.

Terimakasih
Reply
# Wulandari I H KP-MAK 2016-10-20 17:13
Selamat malam..saya setuju dengan Mbak Sri Guntari..dilihat dari 3 dimensi kekuasaan, untuk kasus ini cenderung ke Dimensi kekuasaan dimana kekuasaan sebagai bukan pengambilan keputusan. Ada kekuasaan di luar penguasa yang jauh lebih besar (masyarakat kretek dan petani tembakau entah disokong atau digerakkan juga oleh perusahaan rokok atau tidak) yang mampu mempengaruhi para penguasa agar tidak mengambil keputusan untuk mensyahkan RPP KT. Jadi yang sebenarnya berkuasa adalah Masyarakat Kretek dan Petani Tembakau. terimakasih..
Reply
# Artha Kusuma KP-MAK 2016-10-20 14:31
Selamat malam teman-teman. Mohon ijin untuk berpendapat, dan terbuka untuk didiskusikan bersama-sama

Di Indonesia kekuasaan seharusnya dimiliki oleh Pemerintah. Pemerintah mempunyai kewenangan dalam hal memutuskan suatu kebijakan dan segala hal yang menyangkut kesejahteraan masyarakat secara luas, keamanan dan pertahanan menjadi tanggung jawab dari Pemerintah. Akan tetapi jika dikaitkan dengan kasus Raperda KTR di Provinsi DIY, Pemerintah seolah-olah tak berdaya. Intervensi yang kuat dari salah satu aktor yang terlibat membuat Pemerintah seperti “macan ompong”. Ditinjau dari teori 3 dimensi kekuasaan, yang terjadi di DIY adalah “kekuasaan sebagai pengendali pikiran”. Dalam teorinya diampaikan bahwa kepatuhan yang dibuat oleh Pemerintah didapatkan dengan cara yang terselubung. Maksud dari terselubung disini adalah adanya cara-cara yang dilakukan dibawah tangan, tanpa diketahui oleh publik secara luas. Hanya dengan mengatasnamakan Masyarakat Kretek dan Petani Tembakau Raperda yang sudah berproses di DPRD cukup lama, akhirnya gagal untuk disahkan.

Terimakasih
Reply
# Wulandari I H KP-MAK 2016-10-20 17:19
Semalamat malam Mas Artha..untuk dimensi kekuasaan yang ke 3 yaitu pengendali pikiran, justru inilah awal dari Penguasa akhirnya tidak bisa menjadi penagmbil keputusan. Kekuasaan yang lebih besar di luar ( masyarakat kretek dan petani tembakau entah disokong atau digerakkan juga oleh perusahaan rokok atau tidak) berusaha melakukan lobi, negosiasi, dan akhirnya somasi kepada para Penguasa sehubungan dengan RPP dan KTR, sehingga para penguasa menjadi terpengaruh, dan mengambil langkah untuk tidak menjadi pengambil keputusan.
Jadi simpulannya, suatu kebijakan jika dilihat dari dimensi kekuasaan bisa dijelaskan dengan lebih dari 1 dimensi ya...setujukah ? atau ada pendapat yang lain?
Reply
# Anggi Ardhiasti-MAK 2016-10-20 14:55
Pemegang kekuasaan di kasus ini apabila dilihat dari teori 3 Dimensi Kekuasaan, dimana kekuasaan mengacu pada kemampuan untuk mempengaruhi orang lain maka kelompok yang menyebut diri sebagai “petani tembakau” ini merupakan pemegang kekuasaan karena kelompok ini dapat menekan ke dalam sistem politik dan membuat para pembuat keputusan untuk memutuskan sesuai keinginan mereka (kekuasaan dalam pengambilan keputusan), kelompok “petani tembakau” menyoroti cara para pembuat keputusan dengan menyatakan protes karena tidak dilibatkan dalam pengembangan Raperda, ini termasuk dalam dimensi kekuasaan untuk tidak membuat keputusan karena kelompok yang berkuasa mengendalikan agenda yang menjadi isu yang mengancam di bawah layar radar kebijakan (dalam hal ini cacat hukum dan merugikan petani tembakau adalah isu yang dikembangkan). Kemudian dimensi selanjutnya mengenai kekuasaan sebagai pengendali pikiran atau pengendalian gagasan, bahwa kelompok “petani tembakau” ini memiliki kemampuan untuk mempengaruhi pihak2 pembuat keputusan untuk membuat kebijakan sesuai keinginan mereka, dan hal ini terbukti berhasil, RPP KTR tidak pernah ditandatangani sampai sekarang
Reply
# Ranik Diastuti 2016-10-20 17:43
Saya setuju dengan pernyataan mbak Anggi, bahwa pemegang kekuasaan dalam pengambilan keputusan pada kasus ini adalah petani tembakau atau masyarakat kretek, namun saya juga menduga adanya backingan dari pihak pengusaha rokok pada kelompok petani tembakau tersebut untuk menekan ke dalam sistem politik dan membuat para pembuat keputusan untuk memutuskan sesuai keinginan mereka.
Reply
# Verayanti A.Bata 2016-10-20 15:22
Pemegamg kekuasaan dalam kasus ini adalah pemerintah, pemerintah memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan sutu kebijakan dalan hal KRT dan tetap memeperhatikan keterbukaan sistem dalam artian melibatkan atau memberi kesempatan bagi warga masyarakat ( petani tembakau ) untuk berpatisipasi dalam pembahasan dan keputusan kebijakan. Dikaitkan dengan dimensi kebijakan saya melihat bahwa pemerintah sebagai "pengendali gagasan" saya melihatnya bahwa pemerintah menggunakan dimensi kekuasaan ini untuk mempengaruhi orang lain dengan membentuk keinginan mereka bukan untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat umum,oleh sebab penetapan kebijakan ini menjadi lama dan gagal di sahkan.
Reply
# RANNI MURTININGRUM 2016-10-20 15:40
Teori 3 Dimensi Kekuasaan :
1. Kekuasaan dalam mengambil keputusan
Kekuasaan dalam mengambil keputusan menekankan pd tindakan individu/kelompok yang mempengaruhi pemutusan kebijakan (Buse,hal 27). Dalam kasus Raperda KTR di DIY,kekuasaan ini dipegang oleh anggota DPRD yang memilih untuk tidak menandatangani Raperda tersebut.
2. Kekuasaan bukan pengambil keputusan
Dalam teori ini kelompok-kelompok dominan mengeluarkan pengaruh mereka dengan membatasi agenda kebijakan kepada pemikiran-pemikiran yang dapat diterima (Buse,hal 28). Dalam kasus Raperda KTR di DIY,kelompok "Masyarakat Kretek dan Petani Tembakau" menjadi kelompok yang dominan memberikan pengaruh mereka kepada anggota DPRD utk tidak menyetujui raperda tersebut.
3. Kekuasaan sebagai pengendali pikiran
Dalam teori ini kekuasaan berfungsi sebagai kemampuan untuk mempengaruhi orang lain dengan membentuk keinginan mereka (Buse,hal 31). Dalam kasus ini sangat jelas dominan kelompok "Masyarakat kretek dan petani tembakau" sangat bisa mempengaruhi anggota DPRD sehingga memandang Raperda tersebut sebagai Raperda yang cacat hukum karena tidak melibatkan petani tembakau.
Pada kasus ini,pemegang kekuasaan yang dominan adalah para elitisme. Kelompok litisme dalam kasus ini adalah "Masyarakat kretek dan Petani Tembakau). Ahli teori elitisme menyatakan bahwa kebijakan di dominasi oleh kelompok minoritas istimewa (Buse,hal 38).
Reply
# La Ode Nur R Sy.MAK 2016-10-20 15:44
Selamat Malam
Menurut saya, pemegang kekuasaan yang sebenarnya dari kasus ini adalah pada dimensi "kekuasaan sebagai pengendali pikiran" dimana pada dimensi ini pihak swasta/masyarakat tembakau menggunakan kekuasaan mereka untuk mempengaruhi orang lain (legislatif) sesuai dengan keinginan mereka.
melalui berbagai cara misalnya dengan membentuk cara pandang dan cara pikir sehingga keinginan mereka dapat terpenuhi.
terimakasih
Reply
# Ratna Simbolon KMPK 2016-10-22 03:37
Saya setuju dengan pendapat Mb Nur bahwa sebenarnya yang mempunyai kekuasaan dalam ksus ini adalah "masyarakat kretek dan petani tembakau"" dimana mereka tidak sebagai pengambil keputusan tetapi mereka mengendalikan agenda dengan cara merubah nilai-nilai masyarakat yang dominan, mitos dan lembaga serta prosedur politik (seperti pendapat Bachrach dan Barats 1963 yang dikutip oleh Buse)
Reply
# Sri Fadhillah KPMAK 2016-10-20 15:50
Selamat malam,,, kasus ini sangat menarik untuk didiskusikan, jadi pendapat saya terkait kasus ini:

Jika menganalisis RPP KT dari sudut pandang 3 dimensi kekuasaan, dijelaskan dalam buku Making Health Policy oleh Kent Buse, menjelaskan bahwa 3 dimensi kekuasaan tersebut yaitu kekuasaan sebagai pengambil keputusan, kekuasaan sebagai bukan pengambil keputusan dan kekuasaan sebagai pengendali pikiran. Pada kasus Raperda KTR DIY menurut saya termasuk dalam kekuasaan sebagai bukan pengambilan keputusan, pada dimensi ini menekankan pada adanya kelompok-kelompok kepentingan yang menggunakan powernya untuk membatasi agenda kebijakan atau dengan kata lain membatasi lingkup pembuatan keputusan untuk menyelamatkan isu dengan mengubah nilai-nilai masyarakat yang dominan. Pada dimensi ini beberapa isu tetap tersebunyi bahkan gagal di arena politik, Hal ini juga terjadi pada kasus Raperda Kawasan Tanpa Rokok yang diinisiasi oleh DPRD DIY namun sampai saat ini belum ditandatangani karena adanya tarik ulur di kalangan DPRD dipicu dari protes sekelompok masyarakat yang mengatasnamakan “Masyarakat Kretek dan Petani Tembakau”, mereka kemukakan bahwa tidak dilibatkannya petani tembakau dan pabrik rokok dalam perumusan Raperda. Sehingga salah satu fraksi DPRD mengundurkan diri, dan aturan tersebut belum disahkan hingga sekarang. Kasus ini salah satu contoh bahwa kekuasaan sebagai bukan pengambilan keputusan.

Terima kasih
Reply
# Prayudha Benni Setia 2016-10-20 16:22
Dalam teori yang sudah dikemukakan Buses DKK menyebutkan bahwa kelompok masyarakat dapat menekan ke dalam sistem politik Dan menguasai para pembuat keputusan sesuai dgn preferensi mereka. Status sosial, akses uang Dan kekayaan sangat penting dalam pengendalian kebijakan penting ini. Dalam kasus Raperda yogya tentang kawasan bebas rokok, kemungkinan ada aktor (pemilik modal) penting yang dominan mengeluarkan pengaruh danmempengaruhi agenda kebijakan tersebut.
Reply
# sri wusono,KPMAK 2016-10-20 16:40
Secara teori kekuasaan adalah apa yang membedakan kewenangan hubunganya menyuruh orang lain dalam mendukung kebijakan dalam hal ini wewenag tersebut adalah menurtut max weber (1948 ) ;
a. Kewenangan tradisional ; bahwa merokok sudah menjadi kebiasaan sehari –hari agensi pergaulan interaksi masyarakat budaya turun menurun dilakukan masyrakat Indonesia sejak jaman sebelum merdeka .
b. Kewenagan karismatik ; berpusaat pada prilaku pimpinaan sehingga kebijakan akan efektif manakala disamping tertulis sangat ditunjang prilaku pimpinan merokok atau tidak sangat berpengaruh terhadap warganya maupun bawahanya.
c. Kewenagan legal rasional ; bagaimana aspek regulasi prosedur yang mengatur tatakelola prilaku merokok Pada kasus ini yang dominan adalah keweangan tradisional dimana merokok sudah menjadi budaya yang tak dapat dipisahkan sejak dahulu kala.
Reply
# Adhinda -KPMAK 2016-10-20 17:36
Inti perspektif teori 3 dimensi kekuasaan adalah sebuah kelompok yang terdominasi akan bergerak dari sebuah ketidakberdayaan menjadi sebuah kondisi melawan kelompok dominan. Dimensi kekuasaan menjelaskan bagaimana sebuah kelompok berusaha untuk memperbesar dan memperluas kekuasaan yang dimilikinya. Dalam kasus ini, terlihat jelas bahwa kelompok pro rokok yang menamakan diri aliansi petani tembakau yang kemungkinan besar dibacking oleh pengusaha-pengusaha rokok berusaha mempengaruhi para pengambil kebijakan (legislative) dengan argumentasi yang seolah-olah berpihak pada rakyat kecil.
Dimensi kedua yaitu kepentingan menjelaskan bagamana proses pembuatan keputusan sedapat mungkin berangkat dari isu potensial yang didasarkan pada sebuah konflik terbuka dari sebuah kepentingan subjektif semata. Tindakan-tindakan yang dilakukan dimaksudkan untuk memperbesar kekuasaan yang dimiliki oleh suatu kelompok, kepentingan-kepentingan yang tidak sejalan dengan perluasan kekuasaan dan kepentingan objektif mulai disingkirkan. Disini kelompok-kelompok kepentingan (kelompok pro rokok) berhasil melobi DPR (legislative) sebagai pembuat kebijakan untuk menggagalkan pembuatan Raperda KTR tersebut, demi kepentingan mereka.
Dimensi ketiga adalah hegemoni, yang merupakan sebuah proses bagaimana sebuah kelompok atau individu bukan hanya memperluas kekuasaan dan berusaha meloloskan kepentingan mereka, tetapi juga berusaha mempertahankan hegemoni yang telah dimiliki oleh kelompok atau individu. Saat ini masalah rokok di DIY sebenarnya dikuasai oleh kelompok-kelompok pro rokok (terutama pengusaha-pengusaha rokok) yang masih dapat menguasai legislative sebagai pengambil kebijakan. Sekelompok kepentingan tersebut berusaha mengendalikan pikiran masyarakat dengan mempertahankan asumsi bahwa dengan adanya perda KTR maka rakyat kecil akan dirugikan.
Reply
# Meiyana Dianning R 2016-10-21 00:39
Dalam proses penyusunan Raperda KTR ini mengemukakan dalam pengambilan keputusan yang menekankan pada tindakan kelompok yang mempengaruhi pemutusan kebijakan. Dalam hal ini Masyarakat Kretek dan Petani Tembakau adalah kelompok yang menuntut agar Raperda KTR tersebut tidak ditandatangani dengan alasan tidak dilibatkannya petani tembakau dan pabrik rokok dalam pengembangan Raperda. Dalam buku Buse, dikemukakan bahwa kelompok masyarakat yang lemah, dapat "menekan" kedalam sistem politik dan menguasai para pembuat keputusan sesuai dengan preferensi/keinginan mereka, dalam hal ini keinginan mereka yaitu Perda KTR agar tidak ditandatangani. Dan kelompok inipun berhasil.
Reply
# Budi Prihantoro 2016-10-21 00:44
Mohon ijin menyampaikan pendapat
Dalam kasus macetnya penyusunan perda KTR ini apabila ditinjau dari teori 3 dimensi kekuatan.
"kekuasaan sebagai pengambilan keputusan" dalam kasus ini jelas terlihat bagaimana adanya individu atau kelompok penting yang telah berhasil mempengaruhi suatu kebijakan yaitu dengan mengatasnamakan masyarakat petani tembakau. Hal ini sesuai dari teori Dahl yang menyimpulkan bahwa kelompok-kelompk masyarakat masyarakat yang berbeda, termasuk kelompok yang lemah dapat "menekan" ke dalam sistem politik dan menguasai para pembuat keputusan sesuai dengan keinginan mereka.
"kekuasaan bukan sebagai pengambilan keputusan" dalam kasus ini peran pemerintah yang mencoba untuk merubah nilai, mitos dalam hal merokok di masyarakat telah gagal. Begitu pula dengan fakta bahwa suatu rancangan Perda yang telah masuk dalam Prolegda bisa gagal. Buse mengatakan bahwa dalam dimensi kekuasaan ini beberapa isu tetap tersembunyi dan gagal, seperti pada kasus Perda rokok di DIY ini.
"Kekuasaan sebagai pengendali pikiran" dalam kasus perda rokok ini, teori ini terlihat dari upaya dari masyarakat kretek dan petani tembakau yang berunjuk rasa menolak raperda ini karena mereka juga bagian dari masyarakat umum yang mungkin juga ikut memilih pemimpin saat ini, sehingga suara mereka harus di dengar terutama oleh wakil rakyat (DPRD)
Terima Kasih
Reply
# Katrina Feby Lestari 2016-10-21 03:05
Berdasarkan teori yang ada, ada beberapa cara yang dikategorikan menjadi 3 dimensi kekuasaan antara lain kekuasaan sebagai pengambil keputusan, kekuasaan sebagai bukan pengambilan keputusan, dan kekuasaan sebagai pengendali pikiran. Berdasarkan kasus di atas terlihat bahwa dalam hal ini dimensi kekuasaan sebagai pengendali pikiran yang paling kuat di mana dalam kasus ini akibat masyarakat kretek dan petani tembakau yang menyatakan protes terhadap Raperda sehingga dapat membuat satu per satu fraksi di DPRD mengundurkan diri dan akhirnya sampai sekarang Raperda KTR di Provinsi DIY tidak ditandatangani. Menurut saya, yang menjadi pemegang kekuasaan adalah dari pihak elitisme karena jika dipikir dengan logika mana mungkin DPRD dapat dengan mudahnya mengundurkan diri hanya karena masyarakat kretek dan petani tembakau. Bisa saja di balik nama masyarakat kretek dan petani tembakau tersebut ada perusahaan besar rokok yang melobby anggota DPRD bisa saja dengan jumlah pendanaan yang besar dari perusahaan karena dari perusahaan besar rokok tersebut tidak ingin usahanya menjadi bangkrut.
Reply
# Atina Husnayain 2016-10-21 03:42
menurut saya, dimensi kekuasaan yang paling dominan dalam kasus ini adalah dimensi kekuasaan sebagai pengendali pikiran. masyarakat kretek dan petani tembakau yang juga merupakan aktor dalam kasus ini akhirnya mampu menekan elite politik untuk tidak menandatangi raperda. tentunya masyarakat kretek dan petani tembakau ini tidak berdiri sendiri. sangat dimungkinkan terdapat dukungan pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan diberlakukannya perda KTR. dengan demikian pemegang kekuasaan sesungguhnya dari kasus ini adalah pihak-pihak tersebut (pabrik rokok)
Reply
# Astria Lolo 2016-10-21 03:45
Berdasarkan dimensi kekuasaan yang ada pada buku Buse, dimana salah satu teori tersebut membahas tentang "Kekuasaan dalam pengambilan keputusan". dalam teori ini jika dihubungkan dengan kasus penyusunan Perda KTR maka jelas terlihat bahwa para elit kebijakan (anggota DPRD) memiliki status yang yang bisa mempengaruhi dalam mensahkan atau tidaknya Perda KTR tersebut. oleh karena besarnya peran mereka dalam pengambilan suatu keputusan untuk menyusun kebijakan, maka seharusnya mereka menggunakan kewajiban dan hak mereka dengan sebaik mungkin, namun pada kenyataannya mereka justru mengambil keputusan tidak berdasarkan pada kepentingan seluruh masyrakat melainkan lebih tertarik dengan pendapat masyarakat pada petani tembakau dan kretek serta perusahaan swasta yang juga ikut dalam mempengaruhi para elit kebijakan sehingga mereka tidak menandatangani Perda tersebut
Reply
# Darsal Zulfakar Dafi 2016-10-21 12:09
Peraturan gubernur daerah istimewa yogyakarta nomor 42 tahun 2009 tentang kawasan dilarang merokok, jelas tertera bahwa ditepakan oleh gubernur prov DIY dan yang diundang adalah sekretaris daerah prov DIY. Jadi pada konteksnya bahwa pemegang kekuasaan tertinggi adalah gubernur yogyakarta. Dalam buku buse untuk kebijakan terdapat teori 3 dimensi kekuasaan yakni kekuasaan sebagai pengambil keputusan, kekuasaan bukan pengambil keputusan dan kekuasaan sebagai pengendali pikiran.

Konteks pertama kekuasaan sebagai pengambil keputusan, jadi saya berasumsi bahwa dalam mengambil sebuah keputusan untuk kebijakan : bisa saja kebijakan itu terealisasi dan tidak teralisasi. Dalam pandangan sektor kesehatan tentunya kita berharap kebiakan diatas dapat teralisasi, tapi mungkin dalam pandangan sektor lain, ketika kebijakan ini terealisasi akan berdampak negatif. Muncullah pertimbangan-pertimbangan dari pemegang kekuasaan sehingga kebijkana ini belum terealisasi.

Konteks kedua kekuasaan bukan pengambil keputusan. Inilah yang menjadi persoalan sekarang ketika awal pembuatan kebijakan, pemegang kekuasaan melupakan adanya kelompok-kelompok yang bertolak belakang dengan kebijakan tersebut dan dapat membatasi agenda kebijakan. Sedangkan pada dasarnya pemegang kekuasaan terpilih secara demokrasi, maksudnya bahwa pemegang kekuasaan dapat meraih tujuan akhir atas dukungan kelompok-kelompok tersebut, sehingga pada akhir penetapan kebijakan, kelompok-kelompok tersebut memberikan protes dan mampu membuat kebijakan ini belum terealisasi.

Konteks ketiga kekuasaan sebagai pengendali pikiran. Inilah yang harus dimiliki oleh seorang pemegang kekuasaan dalam menetapkan suatu kebijakan. Maksudnya bahwa pemegang kekuasaan mampu mempengaruhi anggotanya, meskipun kebijakan tersebut tidak sesuai dengan pandangan anggotanya. Namun ini akan sulit untuk pemegang kekuasan, seperti penjelasan pada konteks kedua.

Saran saya untuk kasus ini bahwa perlunya penyampaian yang baik dari isi kebijakan tersebut sehingga pihak luar dapat menerima dengan jelas maksud dan tujuan kebijakan tersebut. Artinya bahwa ketika kebijakan ini terealisasi tidak ada sektor yang dirugikan. Karena untuk apa membuat suatu kebijakan yang pada akhirnya tidak terealisasi, ini hanya akan menghabiskan banyak waktu dan anggaran. Meskipun dalam penetapan sebuah keputusan, bisa saja tercapai dan tidak tercapai.
Reply
# EKA PUSPASARI KP-MAK 2016-10-21 21:52
Saya akan mencoba menjawab, sepemahaman saya seperti yang sudah dijelaskan diatas, jadi disini kekuasaan bukan sebagai pengambil keputusan yang sebenarnya. Dimana dapat kita lihat dalam Kasus RPP KT di Propinsi DIY, pihak pemerintah yang tadinya tinggal ketok palu dalam hal ini, akhirnya bisa gagal dalam pengambilan keputusan. Dan bahkan sampai saat inipun kelanjutan dari kebijakan ini belum terselesaikan. individu dan kelompok yang berbeda mampu memberikan pengaruh pada isu kebijakan. mereka mampu menekan kedalam sistem politik dan menguasai para pembuat keputusan sesuai dengan keinginan mereka. hal ini sungguh sangat disayangkan, jika kita lihat dari kacamata kasus RPP KT di Propinsi DIY
Reply
# Felix Mailoa-Simkes 2016-10-22 04:35
Seorang pemimpin belum tentu memiliki kekuasaan dan seseorang yang mempunyai kekuasaan tidak perlu menjadi pemimpin. Mungkin ini cocok diterapkan dalam kasus diatas melihat besarnya kelompok kekuasaan dalam memberikan pengaruh bagi proses legitimasi oleh pemimpin di daerah. Banyak pemimpin yang tidak memiliki kekuasaan karena dikendalikan oleh kelompok kepentingan dengan berbagai hal yang dimilikinya. Sehingga kebijakan akan berbanding lurus dengan arah kepentingan kelompok kekuasaan. Raperda ini bisa dikatakan gagal karena kelompok kekuasaan mampu mengatur kepentingan mereka dalam kelompok pengambil kebijakan melalui kekuatan yang mereka miliki tadi.
Reply
# Arda Dinata 2016-10-25 14:11
Berdasarkan narasi kasus di atas, menurut saya ada beberapa hal yang dapat diambil pelajaran dan bisa didiskusikan lebih lanjut, diantaranya:

Konsep Aktor

Secara konsep aktor kebijakan pada proses pembuatan kebijakan Perda KTR di Yogyakarta, ada beberapa fraksi di DPR mengundurkan diri tidak menandatangani pengesahan kebijakan KTR dan ada elemen "Masyarakat Kretek dan Petani Tembakau" yang merasa tidak diajak dalam proses pembuatan kebijakan.

Bila kita analisis secara stakeholders dan kemampuan advokasi-lobby, maka terlihat jelas masih lemahnya aspek ini yang dilakukan oleh para aktor kebijakan tersebut. Kita tahu bahwa pemilik pabrik rokok nasional dan dunia memiliki uang banyak. Mereka selalu berkolaborasi dengan politisi di pemerintah. Politisi kebetulan memang sedang memerlukan dana untuk pilkada. Mereka sedang mendapat dana dari pabrik rokok dengan mengubah sikap mereka yang lebih lunak terhadap larangan merokok.

Dalam hal ini, kekuasaan itu adalah kewenangan yang didapatkan oleh seseorang atau kelompok guna menjalankan kewenangan itu sesuai dengan kewenangan yang diberikan. Menurut Andrain, distribusi kekuasaan digambarkan dalam bentuk tiga model, antara lain model elite sebagai yang memerintah, model pluralis, dan model populis.

1. Model Elite yang Memerintah. Yang memerintah teridiri dari sedikit orang, melaksanakan fungsi politik, memonopoli kekuasaan, dan mendapat keutungan akibat dari berkuasa. Sedangkan yang diperintah terdiri dari lebih banyak orang, diarahkan dan dikendalikan oleh penguasa dengan cara berdasar hukum, semaunya dan paksaan.

2. Model Pluralis. Setiap individu menjadi anggota satu atau lebih kelompok sosial tertentu. Kelompok sosial ini berfungsi sebagai wadah memperjuangkan kepentingan para anggota, menjadi perantara para anggotanya, dan pemerintah sebagai pembuat dan pelaksana keputusan politik.

3. Model Populis atau Kerakyatan. Maksudnya, partisispasi seorang warga negara dalam proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik akan mempengaruhi sendi-sendi kehidupan individual dan sosial masyarakat.

Jadi, salah satu kekuatan yang penting yang bisa mengatasi kekuasaan (power) dari pemilik pabrik rokok adalah anggota parlemen. Jika anggota parlemen mewakili kepentingan kelompok anti rokok, mereka akan memenangkan kebijakan penghilangan pabrik rokok.

Artinya, meski pun secara kesehatan, rokok itu berbahaya dan karena itu pabrik rokok seharusnya dilarang. Namun, secara ilmu sosial, di balik kebijakan pelarangan itu, terdapat kepentingan pemilik pabrik rokok, dan juga petani, pedagang, dan kegiatan berkaitan dengan tembakau. Kekuasaan adalah bidang kajian ilmu sosial. Oleh karena itu, kita harus bisa membaca kekuasaan dari penduduk, pengambil kebijakan, dan stakeholder lain. (www.ArdaDinata.Com).
Reply

Add comment

Security code
Refresh