Diskusi tentang masalah kebijakan - Minat KIA

Di akhir pembahasan ada pernyataan mengenai masalah kebijakan. Masalah-masalah yang ada dapat dikelompokkan menjadi 2 hal besar yaitu:

  1. Proses penyusunan kebijakan JKN sebagai kebijakan public yang besar terlihat didominasi oleh kekuatan politik, dan tidak banyak melibatkan stakeholder teknis seperti IDI, PERSI, dan pihak akademisi. Aspek teknisnya terlihat kurang dipersiapkan dengan evidence yang tidak jelas.
  2. Proses penyusunan 2 UU (JKN dan BPJS), dipandang dari waktunya relative memakan waktu sangat lama dan ada kesan dipaksakan. Terlibat bahwa prosesnya tidak ideal.

Silahkan anda memberi komentar dibawah atau tambahan untuk masalah kebijakan yang ada di balik Kasus tersebut.

Comments  

# adelia ismarizha 2016-10-10 07:43
selamat siang,
menurut saya dalam penyusunan 2 UU ada ketimpangan, dalam UU SJSN dikatakan BPJS merupakan badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial. sedangkan dalam UU BPJS, BPJS merupakan program jaminan sosial.
Reply
# Nuraliah 2016-10-10 13:18
selamat malam.
Mohon ijin memberikan tanggapan. Menurut saya, masalah besar yang muncul dikarenakan :
1.UU BPJS dan SJSN tujuanya lebih diutamakan untuk masyarakat miskin, namun kenyataannya yang lebih banyak memanfaatkan adalah non PBI yang relatif tidak miskin.
2.dalam kebijakan tersebut terlalu banyak aktor yang berperan dan memiliki kepentingan tertentu sehingga menjadi rumit, karena tarik menarik antar kepentingan dari berbagai aktor
3.kesenjangan masih terdapat di beberapa daerah dan belum memiliki kesiapan untuk menerapkan kebijakan tersebut. Misalnya di wilayah terpencil di tingkat puskesmas, alat kesehatan belum lengkap sehingga harus di rujuk ke rumah sakit.
4.karena ketidaksiapan pelayanan kesehatan dan atau alat kesehatan yang masih kurang di beberapa wilayah sedangkan jumlah peserta yang semakin meningkat akhirnya terjadi penumpukan pasien, pelayanan tidak maksimal, terjadi keterlambatan pelayanan dan akhirnya menimbulkan defisit.
Reply
# Kurniaty KIAKR2016 2016-10-10 15:08
Selamat malam

Dalam pelaksanaan SJSN saat ini saya rasa belum bisa mengemban amanat dari UUD 1945 yang dimana menjelaskan bahwa Negara bertanggung jawab atas kesejahteraan sosial dan pelayanan kesehatan bagi seluruh warga Indonesia, tapi pada kenyataannya semua golongan masyarakat terutama yang kalangan masyarakat miskin masih susah untuk mengakses pelayanan kesehatan tersebut, dikarenakan oleh sistem dan aturan-aturan yang ada masih susah dan merepotkan serta harus melalui berbagai tingkat faskes untuk mendapatkan pelayanan di tingkat lanjut seperti RS rujukan.

Oleh karena itu kebijakan dari SJSN perlu dikaji ulang dan serta harus mementingkan aktor-aktor dalam implementasi suatu kebijakan serta suatu kebijakan sebaiknya melibatkan pemerintah daerah agar kebijakan lebih tepat sasaran sesui dengan kondisi daerah masing-masing.
Reply
# Nanik Sri Wahyuni 2016-10-10 23:49
Selamat Pagi Prof,
Mohon ijin untuk memberi tanggapan,
1. Menurut saya dalam proses penyusunan kebijakan ada agenda setting yang harus disiapkan sebelumnya, salah satunya adalah pembuatan naskah akademik. Dalam pembuatan naskah akademik perlu aktor dari teknis dan akademisi karena perlu adanya penelitian-penilitian untuk menguatkan evidence based nya, di dalam proses penyusunan kebijakan ini tampaknya akademisi dan tim teknis kurang berperan (lebih banyak didominasi elit politik) sehingga output kebijakannya kurang tepat ketika diaplikasikan di masyarakat.
2. Mestinya pemerintah lebih obyektif melihat sumber daya, sarana dan prasarana di setiap daerah, karena pembangunan di setiap daerah tidak sama, mungkin yang di wilayah jawa dan Bali sarana dan prasarana lebih memadai tapi kami yang diluar jawa dan Bali kurang bisa menikmati fasilitasnya.
mungkin pemerintah dapat memberikan kebijakan yang berbeda kepada masing-masing region sesuai dengan tingkat kesulitan di lapangan maupun faslitas pelayanan yang dapat diberikan kepada masyarakat.
Terima kasih
Reply
# Dwi Mayasari Riwu 2016-10-11 07:17
Lamanya proses pembuatan kedua UU ini menurut saya:
Dalam tahap agenda setting belum semua stakeholder dilibatkan dalam pembuatan kebijakan ini. Karena apabila semua stakeholder seperti akademisi, petugas kesehatan/pihak yang mempunyai pengalaman di lapangan,pihak-pihak yang akan menjadi pelaksana kebijakan ini dan pejabat, maka proses analisis situasi dan kebutuhan masyarakat akan dengan cepat ditemukan dan dapat segera dibicarakan tingkat urgensi dan esesial dari pengambilan keputusan untuk membuat kebijakan ini. Namun karena hanya elite politik dan beberapa pihak yang dilibatkan dalam tahap ini, maka kemungkinan terjadi pro dan kontra yang terus menjadi pembahasan dan memakan waktu cukup lama, sehingga akhirnya pun kebijakan ini dibuat dengan kesan dipaksakan dan hanya atas kepentingan beberapa pihak.
Reply
# Emi Badaryati 2016-10-11 08:39
Selamat siang Prof, dan teman teman ...
Tanggapan saya terhadap kasus adanya Kebijakan SJSN dan BPJS ;Ada beberapa poin terkait dengan kasus bila di kaji dengan segitiga anaisis kebijakan :
1. Para pelaku/actor
Dalam perumusan kebijakan diperlukan actor yang secara idealnya harus memahami isi/konteks suatu permasalahan. Terkait dengan kasus ini berarti yang seharusnya terlibat adalah pemerintah (mentri Kesehatan, Mentri Keuangan, organisasi organisasi praktisi terkait, partai poitik). Seberapa besar pemahaman dan kompetensi para aktor akan sangat berpengaruh terhadap produk kebijakan tersebut, namun kadang pada kenyataannya para pengambil kebijakan bisa saja terjadi keluar dari kontent permasalahan karena adanya berbagai kepentingan pada masing masing pihak. Jelas kondisi ini akan berdampak pada hasil kebijakan yang tidak fokus dan tidak matang. Dalam kasus ini beberapa aktor sudah terlibat seperti pemerintah, partai politik, akademisi, satuan organisasi profesi terkait, tapi seberapa besar peranan mereka perlu direview lagi karena melihat pada kenyataan setelah diaplikasikan 2 tahun masih banyak berbagai kekurangan baik dalam operasional kebijakan maupun dari kesiapan semua pihak terkait dengan kebijakan tersebut seperti Dinas Kesehatan, IDI dan lain lain yang masih belum memahami. Juga adanya berbagai kepentingan dari berbagai pihak sangat jelas terlihat ini ditunujukkan adanya pro kontra dari berbagai pihak dalam pengesahan kebijakan SJSN dan BPJS ini, hal ini juga yang menyebabkan proses menjadi vakum dan butuh waktu lama dalam pengesahannya.
2. Isi / Konteks
Ada beberapa factor yang akan mempengaruhi keluarnya suatu kebijakan. Beberapa diantaranya adalah faktor situasional, struktural, budaya dan faktor internasional (Leichter 1979).Berdasarkan kasus ini Kebijakan SJSN dan BPJS menjadi prioritas dikarenakan masyarakat Indonesia khususnya masyarakat miskin masih banyak yang belum bisa mengakses pelayanan kesehatan yang berkualitas ini diperkuat dari para akademisi UGM yang mengajukan proposal untuk pendanaan kesehatan bagi masyarakat miskin pada PT Askes, walaupun pada akhirnya bukan hanya masyarakat miskin saja tetapi juga masyarakat ekonomi menengah ke atas; ini yang disebut factor situasional. Adapun Faktor structural; seperti sistem politik, ekonomi, kondisi demografis, atau kemajuan teknologi, terkait kasus ini factor ekonomi yang juga mendominasi kebijakan ini , angka kemiskinan yang meningkat memperkuat adanya kebijakan ini. Faktor Budaya juga mempengaruhi isi/konten dari kebijakan SJSN dan BPJS ini dimana unsur gotong royong merupakan prinsip yang ada di pelaksanaan SJSN ini.
3. Proses
Proses mengacu kepada cara bagaimana kebijakan dimulai, dikembangkan atau disusun, dinegosiasi, dikomunikasikan, dilaksanakan dan dievaluasi.Dan Dalam Proses pengambilan kebijakan juga ada yang namanya tahapan heuristic (Sabatier dan Jenkins-Smith 1993); ada identifikasi masalah, perumusan kebijakan, Pelaksanaan kebijakan dan evaluasi kebijakan. Ini adalah sebagai alat teoritis atau suatu model dalam penyusunan kebijakan. Dalam kasus penetapan kebijakan SJSN dan BPJS ini identifikasi permasalahan berawal pada tahun 1997 dimana para akademisi UGM mengajukan proposal ke PT Askes untuk pendanaan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin, kemudian permasalahan tersebut masuk kedalam agenda pemerintahan untuk dibuat suatu rumusan kebijakan oleh aktor aktor terkait dengan kebijakan SJSN dan BPJS ini. Ada beberapa kemungkinan mengapa kebijakan SJSN perlu waktu lama untuk mengesahkannya; kemungkinan pertama ada pada factor konten permasalahan yang sangat urgen berkaitan dengan dana dan kepentingan semua lapisan masyarakat (miskin dan menengah ke atas) jadi diperlukan kehati-hatian, apalagi kebijakan ini diterapkan di Indonesia sebagai Negara yang sangat variasi dalam budaya, demografis serta sosialnya, hal lain yang membuat lamanya pengesahan kebijakan SJSN dan BPJS ini . adalah karena adanya berbagai kepentingan dari elit politik yang akhirnya butuh negosiasi yang cukup alot dengan berbagai pihak yang berkepentingan tersebut. Kebijakan baru disahkan pada tahun 2011 dan pelaksanaannya pada tahun 2014. Setelah berjalan 2 tahun dalam evaluasi masih banyak ketidaksiapan baik secara operasionalnya maupun dari pemberi pelayanan kesehatan.
Terimakasih...
Reply
# Elvaria Mantao 2016-10-11 13:22
selamat malam Prof. Laksono dan teman-teman semuanya.

mohon ijin untuk menanggapi pernyataan diatas mengenai permasalahan penyusuna JKN :
Menurut saya mengapa proses penyusunan 2 UU (JKN dan BPJS) memakan waktu yang cukup lama karena adanya kepentingan elit politik, sehingga pada saat penyusunan kebijakan terjadi tumpang tindih didalam pembuatan kebijakan antar sesama elit politik. JKN bukanlah hal yang baru di Indonesia, sebelumnya sudah ada jaminan-jaminan kesehatan sebelum JKN. Sejak program JKN diluncurkan Dengan ditetapkannya Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN maka bangsa Indonesia sebenarnya telah memiliki sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pasal 5 Undang-Undang tersebut mengamanatkan pembentukan badan yang disebut Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang harus dibentuk dengan Undang-Undang. Pada tanggal 25 November 2011, ditetapkan Undang-Undang No 24 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan sosial yang mulai dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2014. Karena proses penyusunan JKN didominasi oleh kelompok politik dan tidak melibatkan stekholder seperti IDI, PERSI, dan pihak akademisi sehingga kebijakan tidak mempunyai output yang baik dimasyarakat karena adanya kepentingan politik semata. Apabila pada saat penyusunan agenda seting JKN mereka melibatkan stekholder seperti IDI, PERSI, dan pihak akademisi lainnya maka proses implentasi akan berjalan dengan baik, karena mereka lebih mengetahui keadaan di lapangan atau dimasyarakat pada umumnya dibanding dengan mereka yang hanya membuat kebijakan tanpa melihat fakta yang terjadi pada masyarakat, sehingga Banyak permasalah yang terjadi pada saat implementasi BPJS, padahal kita mengetahui bahwa tujuan utama dari BPJS adalah pasien mendapat kepuasaan, Rumah sakit tidak mengalami kerugian, dan BPJS tidak defisit. Tetapi kenyataanya pada tahun 2015 BPJS mengalami kerugian mencapai 50%, hal ini dikarenakan pengeluaran BPJS lebih besar dari pada pemasukan.
Terima Kasih
Reply
# Almas Awanis 2016-10-11 14:53
UU BPJS itu sendiri sebenarnya telah jelas tercantum dalam UUD 1945 yang diamanatkan bahwa tujuan negara adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tujuan tersebut semakin dipertegas yaitu dengan mengembangkan sistem jaminan sosial bagi kesejahteraan seluruh rakyat.
Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, bangsa Indonesia telah memiliki sistem Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk mewujudkan tujuan sistem jaminan sosial nasional perlu dibentuk badan penyelenggara yang berbentuk badan hukum public berdasarkan prinsip kegotongroyongan, nirlaba, keterbukaan, kehatihatian, akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana amanat, dan hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besarnya kepentingan Peserta. Konsepnya begini pada awalnya, namun pada prosesnya memang tidak semulus "konsep" tersebut. Tentunya harus disesuaikan dengan dinamika perkembagan jaminan sosial dari tahun ke tahun.
Isi/konten (UU) sudah jelas, aktor terlibat sudah jelas, konteks penyusunan sudah jelas (walau kenyataannya menakan waktu lama), tinggal bagaimana proses penyusunan agenda kebijakan yang seyogianya dilakukan berdasarkan tingkat urgensi dan esensi kebijakan, juga keterlibatan stakeholder.
Dalam penyusunan kebijakan ini memang terlihat didominasi oleh kekuatan politik, bukan kah memang dari awal penyusunan teknis seperti IDI, PERSI, dan pihak akademisi tidak diikut sertakan. Ini karena mindset beberapa stakeholder itu sebagai "tenaga pelayan" namun bukan sebagai "ikut bersuara".
Reply
# yuli luthfiana 2016-10-11 17:04
Selamat Malam
menurut saya dalam penentuan suatu kebijakan dibutuhkan dulu pesamaan pendapat dari semua aktor yang terkait terlebih dahulu, dan untuk mempunyai pendapat yang sama harus bersama memahami tentang maksud/isi/content rencana kebijakan dilihat dari kebutuhan dan hal yang ada dilapangan secara prospektif dan retrospektif agar pada PROSES bejalannya kebijakan dapat dievaluasi bersama tanpa saling mencari kesalahan dari sesama aktor tetapi memperbaiki dan membenahi sistem yang ada.
untuk UU BPJS harusnya bisa dipelajari dari pengalaman adanya SJSN sehingga tidak hanya proses adanya kebijakan yang alot dan kenyataan proses pelaksanaan kebijakan itu sendiri saat ini hasilnya terasa sangat sulit dimasyarakat dan juga bagi tenaga kesehatan pelaksana.
itulah salah satu contoh kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat dan pelaksananya adalah daerah, dimana pemerintah pusat sendiri tidak mengkaji langsung dengan keadaan di daerah, yang paling susah adalah pelaksana di daerah dan masyarakat.

Terima Kasih
Reply
# Monica Dara Delia su 2016-10-12 13:33
Selamat malam Prof. Laksono dan teman-teman KIA2016. Saya ingin memberikan tanggapan mengenai permasalahan yang telah dipaparkan sebelumnya, berikut tanggapan saya:
Di dalam UU SJSN No.40 tahun 2004 dinyatakan bahwa BPJS harus dibentuk dengan Undang-undang. BPJS merupakan badan penyelenggara pokok agar UU SJSN dapat direalisasikan. Seharusnya melihat hal tersebut pemerintah segara menyusun UU BPJS, namun kenyataannya UU BPJS baru disahkan pada tahun 2011. Proses penyusunan UU BPJS menghabiskan waktu 7 tahun sejak disahkan UU SJSN. Hal tersebut dikarenakan dalam proses penyusunan kebijakan UU BPJS sangat didominasi oleh kekuatan politik. Aktor yang terlibat dalam penyusunan UU SJSN dan UU BPJS jelas berbeda karena dalam waktu 7 tahun sejak UU SJSN disahkan, telah terjadi 2 kali pergantian kepala negara dan kabinetnya, pergantian tersebut berdampak pada lamanya proses penyusunan UU BPJS.
Dalam proses perumusan UU BPJS, empat BUMN yang menyelengarakan jaminan sosial tidak pernah diajak bicara atau dilibatkan dalam proses penyusunan UU BPJS yang berisi tentang peleburan keempat BUMN jaminan sosial tsb dan seolah pembentukan UU BPJS hanya dikuasai oleh sejumlah elit politik dan fraksi di DPR saja. Selain itu muncul dugaan bahwa UU SJSN dan UU BPJS banyak diintervensi oleh kepentingan asing karena dalam penyusunan draft UU BPJS melibatkan beberapa NGO asing. Asia Development Bank (ADB) ikut mengintervensi terbentuknya UU SJSN. Dalam memberikan bantuan program untuk BUMN salah satu agenda ADB adalah melakukan peleburan dari kempat BUMN yang menjalankan sistem jaminan sosial.
Jika dilihat lebih lanjut dengan model sistem politik Easton, terlihat jelas bahwa adanya “black box” dalam proses penyusunan UU BPJS, patut dipertanyakan apakah dalam penyusunan UU tersebut dibuat dengan cara yang rasional atau hanya didasarkan oleh kepentingan suatu golongan.
Dalam pengesahan UU BPJS tidak mengacu pada kondisi kesiapan dari seluruh fasilitas kesehatan di masing-masing daerah. Seharusnya dalam pembuatan suatu kebijakan harus berdasarkan evidence based atau bukti ilmiah yang ada. Namun dalam penyusunan UU BPJS tidak memakai prinsip evidence based policy, karena para stakeholder pembuat kebijakan hanya berpusat pada kepentingan ekonomi dan politik saja. Dasar pembuatan kedua UU ini hanya mengacu pada UUD’45 tidak ada bukti ilmiah yang digunakan dalam pembuatan kebijakan.
Reply
# Nadia Ade Pratiwi 2016-10-12 13:44
Selamat malam
Menurut saya aspek sumberdaya BPJS kesehatan terutama sumberdaya manusia memperlihatkan bahwa perlunya peningkatan secara signifikan, baik secara kuantitas maupun secara kualitas, dan pola relasi hubungan kerja BPJS dengan stakeholder masih membutuhkan optimalisasi dan revitalisasi agar terbangun kekuatan sinergitas yang kuat. Pola hubungan kerja antara BPJS Kesehatan dengan seluruh stakeholder terkait dengan penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional selama ini masih terkesan asimetris sehingga relatif sulit untuk menghasilkan sinergitas kerja yang diharapkan. Seluruh stakeholder terkait, baik di tataran regulator maupun di tataran provider seyogyanya diposisikan sebagai mitra kerja yang saling membutuhkan. Di antara seluruh jaringan mitra, tidak ada yang harus dipandang dominan lebih penting dari yang lain, melainkan semua berada dalam posisi kesetaraan kepentingan.
Reply
# Laras Prastiyawati 2016-10-12 15:12
JKN merupakan program pemerintah yang bertujuan memberikan kepastian jaminan kesehatan yang menyeluruh bagi seluruh rakyat Indonesia untuk dapat hidup sehat. Program JKN sesuai dengan amanat UUD 45 yang menyebutkan bahwa kesehatan masyarakat khususnya yang miskin dan tidak mampu adalah tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah. Namun dalam pengaplikasian yang terjadi sekarang lebih terlihat bahwa pemerintah hanya menyamarkan kewajibannya tersebut. Hal tersebut dapat dilihat, dengan adanya pembayaran premi untuk anggota BPJS. Dan dalam penerimaan layanan kesehatanya disesuaikan dengan kelas yang mereka pilih, padahal seharusnya penerima layanan kesehatan harus sesuai dengan apa yang dibutuhkan, bukan seberapa mampu ia membayarnya. Kiranya akan lebih baik lagi jika kebijakan ini di kaji ulang dengan lebih memperhatikan mulai dari input, proses, output dan feed back nya agar kebijakan ini lebih mengena pada tujuan utamanya.
Reply
# Verayanti A.Bata 2016-10-12 16:31
Menurut saya proses penyusunan JKN sebagai kebijakan public agenda settingnya tidak dipersiapkan dengan baik. Karena lebih kepada kepentingan para elite politik yang berperan tanpa melibatkan elemen – elemen ( actor ) yang di anggap mampu dan mengetahui keadaan lapangan,sehingga hal ini memakan waktu yang lama dan prosesnya pun menjadi tidak, esensi dari JKN agar masyarakat miskin memperoleh pelayan kesehatan yang memadai akhirnya menjadi tidak terealisasi dengan baik . Kesiapan SDM, sarana dan prasarana dari setiap pelayanan kesehatan di setiap daerah perlu menjadi perhatian /pertimbangan agar penerapan atau proses suatu kebijakan bisa mencapai tujuan yang maksimal..
Reply
# DARSAL Z DAFID 2016-10-12 18:00
Di dalam Naskah Akademik UU SJSN tahun 2004 disebutkan bahwa Program Jaminan Kesehatan Nasional, disingkat Program JKN, adalah suatu program pemerintah dan masyarakat dengan tujuan memberikan kepastian jaminan kesehatan yang menyeluruh bagi setiap rakyat Indonesia agar penduduk Indonesia dapat hidup sehat, produktif, dan sejahtera. Program jaminan sosial yang menjamin biaya pemeliharaan kesehatan serta pemenuhan kebutuhan dasar kesehatan yang diselenggarakan nasional secara bergotong-royong wajib oleh seluruh penduduk Indonesia dengan membayar iuran berkala atau iurannya dibayari oleh Pemerintah kepada badan penyelenggara jaminan sosial kesehatan nirlaba - BPJS Kesehatan.

Dari penjelasan tersebut jelas bahwa program JKN adalah program pemerintah untuk masyarakat dan bukanlah suatu program yang merawat, mengobati dan menyediakan rumah sakit. Akan tetapi suatu program yang membiayai perawatan, biaya pengobatan dan biaya rumah sakit. Berbicara tentang politik, ada politik yang tujuanya berkonotasi positif dan ada yang berkonotasi negatif. Tapi kembali lagi dari tujuan program JKN merupakan suatu program jaminan kesehatan, sehingga masyarakat Indonesia yang berada pada kelompok masyarakat ekonomi rendah mendapatkan pelayanan, perawatan dan pengobatan yang layak. Jadi saya pikir bahwa program JKN merupakan suatu program yang sangat baik. Sedangkan jika berbicara dalam pembiayaan kesehatan yang berperan penting adalah pemerintah, apalagi dihadapkan derajat kesehatan Indonesia yang menurun dan populasi masyarakat ekonomi rendah yang tinggi. Maka dalam perumusan Program JKN pelaku yang terkait adalah Presiden selaku penentu kebijakan, DPR yang menyetujui program JKN serta kementrian yang membantu Presiden dalam penyusunan program JKN.

Penyusunan Program JKN tidak melibatkan IDI, PERSI, dan pihak akademisi ini beralasan banyak hal diantaranya bahwa apa peran dokter dan rumah sakit?, Siapa yang mengatur dokter dan rumah sakit?, dan siapa yang membayar biaya pengobatan masyarakat pada dokter dan perwatan rumah sakit? Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 5 Tahun 2014 Tentang Panduan Klinis Praktek Dokter di Fasilitas Kesehatan Primer juga menegaskan bahwa Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer bertujuan untuk memberikan acuan bagi dokter dalam memberikan pelayanan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer baik milik pemerintah maupun swasta dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan sekaligus menurunkan angka rujukan. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer meliputi pedoman penatalaksanaan terhadap penyakit yang dijumpai di layanan primer berdasarkan kriteria : penyakit yang prevalensinya cukup tinggi, penyakit dengan risiko tinggi, dan penyakit yang membutuhkan pembiayaan tinggi. Saya rasa dari penjelasan tersebut cukup jelas mengapa tidak melibatkan IDI, PERSI, dan pihak akademisi. Selain itu kita kembali pada konteks politik, Indonesia dihadapkan pada kondisi ekonomi yang rendah, saya berpikir bahwa pemerintah akan menekan anggran pembiayaan kesehatan. Dan jika dalam penyusunan UU JKN melibatkan IDI, PERSI, dan pihak akademisi, kemudian tingginya biaya pendidikan dan biaya fasilitas kesehatan. Ini akan sulit dalam penyusunan UU JKN, karena tidak akan ada dokter dan rumah sakit yang dibiayai dengan biaya rendah.

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang selanjutnya disingkat BPJS adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial (UU No 24 Tahun 2011). BPJS terdiri dari BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan. Dalam penyusunan UU BPJS memakan waktu yang cukup lama, ini merupakan imbas dari penyusunan UU JKN, sebab BPJS dapat terbentuk apabila Program JKN telah terealisasi, dan dalam perumusan kebijkan BPJS melibatkan BUMN. Akibatnya muncul pro dan kontra, sebagai contoh kebijakan ASKESKIN mengantar beberapa daerah ke MK untuk menguji UU SJSN terhadap UUD Negara RI Tahun 1945. Penetapan 4 BUMN sebagai BPJS dipahami sebagai monopoli dan menutup kesempatan daerah untuk menyelenggarakan jaminan sosial. Dalam penetapan suatu kebijakan bukanlah hal yang mudah, apalagi persoalan pembiayaan dan peningkatan derajat kesehatan masyarakat Indonesia. Selain itu ketika melibatkan badan usaha dan berbicara tentang pembiayaan, saya rasa tidak ada satu pengusaha yang ingin rugi. Sehingga pemerintah perlu tegas dan teliti dalam pemilihan badan usaha yang menyelenggarakan BPJS.
Reply
# Faizah Ruhil Islam 2016-10-12 22:53
Selamat malam,
Tanggapan saya untuk 2 permasalahan diatas adalah organisasi profesi (IDI, PERSI, dan lain-lain) serta akademisi yang tidak dilibatkan dalam penyusunan UU SJSN dan BPJS merupakan suatu bentuk permainan politik yang nyatanya sangat tidak rasional. Dalam suatu penyusunan kebijakan mestinya perlu ada pengkajian terhadap masalah yang ada di Indonesia oleh stakeholder terkait (pemerintah, organisasi profesi, dan akademisi) terlebih dahulu kemudian dituangkan dalam naskah akademik yang bertujuan untuk menemukan gagasan-gagasan solutif sesuai kebutuhan masyarakat. Meskipun tujuan BPJS sendiri pada intinya adalah mewujudkan universal health coverage (UHC) sehingga tiap masyarakat mendapatkan akses yang adil, namun nyatanya di lapangan hal demikian tidak terjadi jika bahkan fasilitas kesehatan yang ada di daerah timur belum merata dan optimal. Perputaran uang hanya akan berpusat di Jawa, munculnya kecurangan-kecurangan oleh elit politik, dana justru dimanfaatkan oleh masyarakat yang mampu dan lain sebagainya. Dengan kenyataan yang demikian, timbul pertanyaan mengapa pemerintah harus terburu-buru dalam melaksanakan BPJS. Apakah tidak sebaiknya jika pemerintah fokusnya adalah membangun sarana kesehatan yang baik di seluruh wilayah Indonesia serta pemerataan tenaga kesehatan baru setelah itu mewujudkan UHC. Dan saya setuju dengan gagasan sekelompok akademisi di UGM di tahun 1997 mengenai RUU asuransi kesehatan sosial. Pendanaan oleh negara difokuskan bagi masyarakat miskin sehingga masyarakat yang mampu harus membayar sendiri.
Reply
# Husnawati 2016-10-13 09:35
Mohon ijin untuk memberikan tanggapan.
Saya ingin menanggapi proses pembuatan kebijakan terkait dengan agenda setting dan aktor (pemangku/pembuat) yang berperan dalam membuat kebijakan. Dalam agenda setting seharusnya telah disiapkan kajian mendalam dengan melibatkan beberapa stakeholder misalnya IDI, PERSI, Kesmas, Apoteker akademisi, dan lain-lain. Karena para stakeholder tersebut menjalani dan memahami situasi teknis dan kenyataan yang terjadi di lapangan. Hal tersebut guna membangun persepsi yang sama di kalangan stakeholder sehingga batasan masalah dapat disusun, misalnya masalah ekonomi dan fasilitas kesehatan di masing-masing daerah di Indonesia yang tidak sama antar satu daerah dengan daerah lainnya. Namun dalam kenyataannya aktor (para pemangku/pengambil kebijakan) yang banyak berperan dalam pembuatan kebijakan adalah para elit politik yang masih mementingkan masalah politik semata dan belum sepenuhnya dapat membuat kebijakan yang sesuai dengan permasalahan yang ada, sehingga perlu dilakukan pengkajian ulang agar suatu kebijakan lebih obyektif dan dapat menyejahterakan masyarakat.
Lamanya proses penyusunan 2 UU (JKN dan BPJS) mungkin bisa dikarenakan oleh tidak terjadwalnya pembahasan mengenai kedua undang-undang tersebut atau bisa juga dikarenakan oleh banyak UU lain yang menjadi agenda pembahasan oleh pemangku kebijakan. Terkait dengan para elit politik yang berperan didalam pembuatan kebijakan dapat dikarenakan oleh lobi-lobi politik yang tidak sejalan antar partai yang satu dengan yang lain di dalam komisi tersebut sehingga memakan waktu yang lama untuk menyusun kebijakan tersebut.
Reply

Add comment

Security code
Refresh