Diskusi tentang masalah kebijakan - Minat PPK

Di akhir pembahasan ada pernyataan mengenai masalah kebijakan. Masalah-masalah yang ada dapat dikelompokkan menjadi 2 hal besar yaitu:

  1. Proses penyusunan kebijakan JKN sebagai kebijakan public yang besar terlihat didominasi oleh kekuatan politik, dan tidak banyak melibatkan stakeholder teknis seperti IDI, PERSI, dan pihak akademisi. Aspek teknisnya terlihat kurang dipersiapkan dengan evidence yang tidak jelas.
  2. Proses penyusunan 2 UU (JKN dan BPJS), dipandang dari waktunya relative memakan waktu sangat lama dan ada kesan dipaksakan. Terlibat bahwa prosesnya tidak ideal.

Silahkan anda memberi komentar dibawah atau tambahan untuk masalah kebijakan yang ada di balik Kasus tersebut.

Comments  

# Luqman Afifudin 2016-10-11 11:24
melihat dari 2 kelompok masalah yang disampaikan diatas menurut saya masalah tersebut masih bertumpu kepada PROSES belum sampai pada tahap IMPLEMENTASI dilapangan sehingga basic study yang bisa saya sampaikan adalah belajar dari kasus yang disampaikan melalui online atau internet. pendapat saya :
1. Tidak secara eksplisit dijelaskan oleh Prof.Dr. Thabrany Dekan FKM UI pada saat Temu Ilmiah Public Health in the New Millenium, 18-20 Agustus 2004 bahwa memang isu yang berkembang menarik kepentingan politik dalam pembuatan RUU SJSN dengan kantor sekretariat Tim SJSN berada di Kantor Wakil Presiden dan diduga menjadi kendaraan partai politik tertentu, namun apabila melihat sosok Ketua Tim yaitu Prof. Yaumil Agus Achir adalah sosok birokrat yang bersih maka menurut pendapat saya, kepentingan politik tetap mewarnai pembuatan RUU SJSN ini namun ada unsur birokrat bersih yang menjadi penyeimbang, RUU diajukan oleh presiden SBY pada 26 Januari 2004 untuk dibahas di DPR dan disahkan pada 19 oktober 2004 dalam tahun yang sama jadi menurut saya tidak ada unsur dipaksakan dari segi waktu, kalau memang pada saat pembuatan nasakah akademik memakan waktu kurang lebih 3 tahun menurut saya hal itu wajar karena ini adalah kepentingan nasional dan penulis juga mempunyai pengalaman yang sama pada saat penyusunan naskah akademik PERDA KTR kurang lebih selama 1 tahun (level kabupaten)
Reply
# # Laode Reskiaddin 2016-10-11 11:41
Menurut saya penyusunan kebijakan JKN ini sangat erat dengan unsur politik. Saya berpikir apakah ada mungkin kaitannya dengan perspektif yang dianut aktor kebijakan tersebut dalam menggunakan "power"nya. Jika kila lihat konsep segitiga kebijakan, posisi aktor berada di tengah-tengah artinya aktor dalam mempengaruhi ketiga faktor lainnya (konteks,konten dan proses) sehingga nilai atau ekspetasi si aktor mempengaruhi proses penyususnan kebijakan itu sendiri. Seharusnya perlu melibatkan stakehoulder teknis karena jika kita melihat implikasinya dilapangan, banyak menyentuk peran IDI terkait income yang di dapatkan yang diatur dalam undang-undang, sedangkan PERSI berbicara INA-CBG's dan tentu perlu adanya kontribusi dari para akademisi yang dapat membantu dalam mengkaji dan menemukan formula yang baik terhadap perbaikan sistem. Dan yang paling penting adalah peran FKTP..
Selain itu, Saya berpendapat sarana prasana yang kita miliki belum sepenuhnya siap, impilikasinya dilapangan minim. Namun, kembali lagi keputusan pada desicioon maker dan unsur politik didalamnya
Reply
# #Laode Reskiaddin 2016-10-11 11:42
Menurut saya penyusunan kebijakan JKN ini sangat erat dengan unsur politik. Saya berpikir apakah ada mungkin kaitannya dengan perspektif yang dianut aktor kebijakan tersebut dalam menggunakan "power"nya. Jika kila lihat konsep segitiga kebijakan, posisi aktor berada di tengah-tengah artinya aktor dalam mempengaruhi ketiga faktor lainnya (konteks,konten dan proses) sehingga nilai atau ekspetasi si aktor mempengaruhi proses penyususnan kebijakan itu sendiri. Seharusnya perlu melibatkan stakehoulder teknis karena jika kita melihat implikasinya dilapangan, banyak menyentuk peran IDI terkait income yang di dapatkan yang diatur dalam undang-undang, sedangkan PERSI berbicara INA-CBG's dan tentu perlu adanya kontribusi dari para akademisi yang dapat membantu dalam mengkaji dan menemukan formula yang baik terhadap perbaikan sistem. Dan yang paling penting adalah peran FKTP..
Selain itu, Saya berpendapat sarana prasana yang kita miliki belum sepenuhnya siap, impilikasinya dilapangan minim. Namun, kembali lagi keputusan pada desicioon maker dan unsur politik didalamnya
Reply
# Zainab Hikmawati 2016-10-11 13:01
Menurut saya 2 masalah ini muncul karena ada kesalahan pada proses penyusunan kebijakan JKN, mulai dari tahap awal identifikasi masalah yang masih kurang yaitu Indonesia belum siap menerapkan kebijakan JKN secara merata diseluruh Provinsi karena FKTP, RS dan Tenaga Kesehatan di masing-masing provinsi tidak sama dari segi kualitas dan kuantitas, kemudian perumusan kebijakan JKN yang tidak melibatkan stakeholder teknis dibidang kesehatan sehingga berdampak pada proses pembuatan kebijakan JKN yang tidak rasional maksudnya, tidak ada kesesuaian antara masalah dengan penyelesaian masalah. Dampak dari perumusan kebijakan yang salah ini mengarah pada proses implementasi tidak sesuai yang diharapkan dapat dilihat pada proses implementasi penyusunan kebijakan JKN yang dibuat pemerintah terkesan setengah-setengah dan memaksakan keadaan yaitu UU SJSN yang hanya berlaku apabila UU BPJS ada. Sehingga implikasinya kedua UU ini memakan waktu yang lama dalam proses penyusunannya.
Reply
# Luqman Afifudin 2016-10-11 16:44
2. keterlibatan peran dari aktor pembuat kebijakan akan nampak pada saat proses penyusunan naskah akademik melalui susunan Tim yang bisa kita lihat bersama pada UU No. 40 Tahun 2004 , SK Menko Kesra No. 14A/KEP/MENKO/KESRA/VI/2006, diantaranya ada : DR. Sulastomo, MPH - Pakar SJSN sekaligus akademisi, Prof. DR. Hasbullah Tabrani, MPH - Dekan FKM UI (akademisi), Dr. Widyastuti Wibisana, MPH - Ahli SJSN sekaligus pengurus PERSI (Ketua lembaga hubungan internasional) ini adalah bagian gambaran dari keterlibatan para ahli dalam menyusun Naskah Akademik atau Tim Penyusun Peraturan Perundang-undangan Pelaksanaan UU No. 40 Tahun 2004 disamping ahli-ahli lainnya yang terlibat
Reply
# Luqman Afifudin 2016-10-11 17:44
3. memang ada tenggat waktu yang cukup lama dari mulai disahkannya UU SJSN 19 Oktober 2004, BPJS lahir pada tahun 2011 (UU No. 24 Tahun 2011) kemudian progam JKN mulai dicanangkan pada 1 Januari 2014 (Perpres 13 Tahun 2013), menurut saya banyak hal yang berpengaruh kenapa hal ini bisa terjadi termasuk persiapan teknis sarana dan prasarana serta hal - hal lainnya yang mendukung terlaksananya program ini, namun saya menjadi tertarik tentang situasi politik yang bisa jadi hal ini menjadi sangat berpengaruh juga kenapa memaka waktu lama. dimulai dari pengajuan RUU SJSN untuk dibahas di DPR dan disahkan menjadi UU SJSN pada 24 Januari 2004, pada saat ini Presiden RI adalah Megawati dan menjadi saat yang menarik karena menjelang berakhirnya pemerintahan beliau (20 oktober 2004) dan Pemilu Presiden Tahun 2004 memenangkan pasangan SBY-JK mengalahkan pasangan Megawati-Hasyim Muzadi, masa pemerintahan SBY-JK (20 oktober 2004 - 20 Oktober 2009) dan SBY menjadi presiden yang ke 2 kalinya berpasangan dengan Boediono (20 Oktober 2009 - 20 Oktober 2014). Jadi dapat dikatakan bahwa BPJS lahir setelah masa pemeritahan SBY periode kedua (2011), Tahun 2009 terjadi krisis ekonomi dan finansial secara global dan ekonomi Indonesia mulai tumbuh pesat di tahun 2010. Bisa jadi karena produk SJSN ini lahir dari presiden sebelumnya (Megawati) yang notabene rival politik SBY maka UU SJSN kurang mendapat respon selama hampir lebih dari 1 periode masa jabatan (2004 - 2009), namun seiring terpilihnya kembali SBY menjadi Presiden dan situasi ekonomi yang semakin membaik maka Tahun 2011 terbentuklah BPJS
Reply
# Cati Martiyana 2016-10-11 21:04
Menurut saya, dalam proses penyusunan kebijakan SJSN-BPJS mulai dari identifikasi masalah sampai kebijakan terlahir, membutuhkan waktu yang sangat lama. Isu penyelenggaraan SJSN atau BPJS untuk dapat menjadi agenda kebijakan pada mulanya sangat tergantung dari penting tidaknya kebijakan tersebut, artinya memperjuangkan antara kebutuhan riil masyarakat vs kepentingan kelompok pembuat kebijakan (politis). Tampak jelas ada kepentingan politik yang diusung oleh kekuatan politik saat itu dalam penyusunan dan pengesahan SJSN-BPJS. Ada kemungkinan proses kebijakan yang disusun menghasilkan output UU yang prematur karena tidak mempertimbangkan situasi dan kondisi secara komprehensif meski terlahir dalam waktu yang lama. Salah satu content kebijakan tersebut adalah menjelaskan kewenangan BPJS, pemerintah, Dinas kesehatan dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP), namun dalam pelaksanaannya kewenangan yang ada belum menjadi sebuah sistem yang bisa saling bekerja sama dengan baik antar lembaga. Fakta yang ada, muncul berbagai permasalahan berkaitan dengan distribusi kewenangan/ kekuasaan antar lembaga dalam pelaksanaan BPJS tersebut, muncul ketimpangan di sana sini. Dalam pelaksanaannya, tentu saja rakyat menjadi pihak yang tidak diuntungkan karena banyak penerima bantuan yang ternyata salah sasaran. Melihat pada kondisi yang ada, memang banyak daerah di Indonesia, terutama di luar Pulau Jawa yang belum siap dengan pelaksanaan BPJS. Banyak muncul konflik dalam pelaksanaan BPJS, seperti sistem pelaporan, kapitasi, pelaksanaan di fasilitas pelayanan kesehatan, kepesertaan, kasus fraud dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa dalam penyusunan kebijakan BPJS kemungkinan besar kebijakan tersebut tidak melibatkan pihak-pihak yang dapat memberikan evidence based dan pertimbangan terhadap plus minus implementasi kebijakan BPJS tersebut. Aspek Konteks meliputi faktor situasional, struktural, budaya dan internasional belum dieksplor/ dikaji dengan baik sebagai landasan diberlakukannya kebijakan BPJS. Implementasi BPJS perlu dikaji kembali terkait bagaimana skenario terbaik untuk mengatasi berbagai permasalahan yang ada. Indonesia belum siap, ke depan rakyat akan semakin “menderita” bukan semakin “sehat” dengan adanya implementasi BPJS.
Reply
# luthfiatul makhmudah 2016-10-12 04:30
saya setuju dengan pendapat @catimartiyana "Indonesia belum siap, ke depan rakyat akan semakin “menderita” bukan semakin “sehat” dengan adanya implementasi BPJS."
Reply
# Ida Susanti 2016-10-12 05:25
Menurut pendapat saya, munculnya permasalahan-permasalahan tersebut, jika dikaitkan dengan segitiga kebijakan kesehatan dari ke-4 aspek antara isi/content, konteks, aktor dan proses tersebut, dapat berpengaruh terhadap timbulnya masalah masalah kebijakan yang sudah ada atau yang akan terjadi. Pada masalah UU SJSN dan BPJS berdasarkan segitiga kebijakan kesehatan belum sesuai dengan konsep segitiga kebijakan kesehatan tersebut. Hal tersebut dilihat dari proses penyusunan kebijakan belum terlaksana dengan baik, melihat dari sistem BPJS yang belum bisa terlaksana secara sistematis, efektif dan efisien. Hal ini disebabkan aktor pelaksana SJSN dan BPJS dan pembuat kebijakan memiliki perbedaan penyelenggaraan terhadap SJSN dan BPJS. Sehingga timbul ketimpangan dari implementasi pada proses BPJS dan SJSN yang mengakibatkan pada proses penyusunan UU yang terlalu lama atau dikatakan tidak ideal.
Reply
# Tika Amimah Hasibuan 2016-10-12 08:02
Saya sangat setuju bahwa proses penyusunan JKN sangat bernuansa politik karena pada tahun 2014 adalah tahun pergantian kepemimpinan di Indonesia. Oleh karena itu kebijakan JKN dijadikan alat untuk mencapai kepentingan politik. Penyusunan kebijakan JKN yang tidak melibatkan pihak yang tidak berkompeten dalam hal teknisnya maka ditengah jalan, JKN banyak menimbulkan permasalahan baru. Jadi karena dari awal sudah tidak matang sehingga menimbulkan tumpang tindih dengan pembiayaan kesehatan lainnya.
Untuk penyusunan UU JKN yang dianggap lama, sebelumnya kita harus mengetahui terlebih dahulu waktu yang ideal dalam penyusunan sebuah Undang-Undang agar kita dapat menilai 7tahun proses penyusunan JKN apakah termasuk lama, cepat atau sudah ideal.
Reply
# luthfiatul makhmudah 2016-10-12 08:14
(Tambahan) bahwa program BPJS niatnya sudah benar yaitu untuk memberikan perlindungan pembiyayaan kesehatan kepada penduduk indonesia tanpa terkecuali, karena hal tersebut sudah sesuai dengan amanat UUD 1945. Akan tetapi dalam perjalanannya BPJS masih bayak kekurangan dan belum sempurna, misalnya BPJS masih suslit di akses oleh masyarakat, terutama oleh masyarakat yang tidak mampu. hal ini dikarenakan sebagai sebuah produk yang masih baru tentu saja masih perlu penyempurnaan sambil berjalanya program ini. dengan demikian kedepanya diharapkan program BPJS ini semakin sempurna dan dapat menutupi kekurangan-kekuranganya.
Reply
# Dita Anugrah Pratiwi 2016-10-12 09:49
Menurut saya, UU Nomor 40 tahun 2004 tentang SJSN dan UU Nomor 24 tahun 2011 tentang BPJS “seharusnya” menjadi kebijakan yang dapat meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat. Ada empat faktor yang mempengaruhi dari pembentukan hingga implementasi suatu kebijakan yaitu aktor, konteks, proses, dan isi (konten). Empat faktor ini yang seluruhnya harus dipertimbangkan dalam suatu kebijakan kesehatan. Namun, dalam UU SJSN dan UU BPJS belum mengedepankan hal tersebut. Jika dilihat : Dari segi aktor, proses penyusunan UU SJSN dan UU BPJS masih melibatkan unsur politik daripada melibatkan stakeholder yang lebih teknis seperti IDI ataupun PERSI, selain itu masih kurang melibatkan pihak akademisi dalam proses penyusunannya. Bahkan mungkin saja dalam proses penyusunannya aktor yang berperan justru tidak paham dengan kondisi pelayanan kesehatan secara menyeluruh di Indonesia. Jika dilihat pada kurun waktu dari proses pengesahan UU SJSN sampai pada proses pengesahan UU BPJS berselang 7 tahun dimana terjadi pergantian pemerintahan yang berimplikasi pada aktor-aktor yang berperan juga turut berubah, terdapat unsur-unsur dan kepentingan politik didalamnya. Dari segi konteks, secara konteks situasional pemerintah pusat dalam menetapkan kebijakan ini, belum melihat bagaimana kondisi situasi dilapangan, didaerah-daerah. Kualitas Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) masih mengalami kesenjangan yang cukup besar antara yang berada di pulau Jawa dengan yang berada di pulau Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Dalam pelaksanaannya terjadi berbagai masalah, hal ini dipengaruhi oleh kesiapan dari FKTP itu sendiri dan penyebaran tenaga medis yang belum merata di daerah-daerah, disisi ini Indonesia masih perlu berbenah. Diperlukan monitoring dan evaluasi yang jelas dari proses pelaksana kebijakan ini baik dari badan jaminan sosial maupun penyedia pelayanan kesehatannya.
Reply
# Bernike sofia zega 2016-10-12 13:08
Saya setuju dengan pendapat diatas. Menurut saya, kedua masalah terkait JKN diatas timbul akibat terlalu cepatnya program ini diluncurkan tanpa perencanaan yang baik. Jika dilihat dari segitiga analisis kebijakan, penyusunan program ini tidak melibatkan aktor-aktor yang tepat seperti IDI, PERSI, maupun pihak akademisi sehingga proses penyusunan kebijakan JKN sebagai kebijakan publik ini terlihat didominasi oleh kekuatan politik yang notabenenya kurang paham akan kondisi kesehatan dan pelayanan kesehatan. Program yang berskala nasional ini selayaknya mengikutsertakan orang-orang yang berkompeten atau paham akan kondisi kesehatan di masyarakat dari sabang sampai merauke. Proses penyusunan program yang terkesan asal ini akhirnya menghadapi berbagai masalah dalam pelaksanaannya. Pada dasarnya, program JKN yang diluncurkan oleh pemerintah pada 1 Januari 2014 ini bertujuan baik, yakni salah satu upaya untuk mengatasi berbagai masalah terkait pelayanan kesehatan yang selama ini dipandang tidak adil dan layak untuk seluruh masyarakat Indonesia. Hanya saja dalam pelaksanaan program JKN masih banyak kendala yang dihadapi dan belum dapat memenuhi harapan tersebut. Sistem yang ada belum dipersiapkan dengan baik sehingga berpengaruh pada kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan. Seharusnya perlu dilakukan evaluasi terhadap program JKN ini agar dapat memenuhi harapan akan pelayanan kesehatan yang layak, adil dan merata.
Reply
# WARTONO_PPK 2016-10-12 13:35
Terkait 2 masalah besar terkait kebijakan JKN dan BPJS diatas:
1. Proses penyusunan kebijakan didominasi kekuatan politik, dan kurang melibatkan stakeholder
a. Didominasi kekuatan politik, hal ini sangat terlihat dari dinamikanya yaiitu Sejak awal diberlakukannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) lalu disahkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS (UU BPJS) terlihat betapa dipaksakannya pengesahan kedua UU tersebut. Misalnya UU SJSN itu diteken mantan Presiden Megawati disaat akhir masa jabatannya tahun 2004. Lalu dengan ngototnya anggota DPR RI dari PDI Perjuangan untuk meloloskan UU BPJS dengan mengilusi rakyat bahwa BPJS adalah jaminan kesehatan yang ideal dan gratis. Kemudian ketika BPJS berjalan, malah berbalik arah dengan cepat-cepat melontarkan kritik terhadap JKN yang notebene adalah produk dari BPJS. Mereka mengkritisi tentang iuran yang dipungut oleh BPJS kepada rakyat yang menjadi peserta diluar peserta yang ditanggung pemerintah. Lah padahal sejak di bahas UU BPJS sudah mencantumkan pasal tentang iuran.
b. Kurang melibatkan stakeholder yang ada
- Tarif INA-CBGs dinilai terlalu rendah, misal biaya operasi bedah yang membutuhkan biaya 7 juta, Cuma dibayar BPJS (sesuai tarif InaCBGs) sebesar 2-3 juta. Sehingga bagian bedah ini sering menjadi sumber devisit RS, yang tentu saja akan mengancam kebrlangsungan RS.
- Belum semua RS taat peraturan, BPJS tidak jujur kepada masyarakat kalo asuransi yang diberikan ada keterbatasan
Reply
# WARTONO_PPK 2016-10-12 14:22
Secara sederhananya menurut saya timbulnya masalah no. 1 (penyusunan kebijakan yang didominasi kekuatan politik, dan kurang melibatkan stakeholder yang ada) menunjukan bahwa unsur-unsur dalam segitiga kebijakan tidak berjalan pada rel nya. AKTOR-aktor yang semestinya terlibat kurang terakomodir, KONTEKS kebijakan yang dibuat pada penyusunan kebijakan ini (JKN, BPJS) kurang fleksibel, dilihat dari faktor Situasional, apakah poin-poin kebijakan yang dibuat sudah mengantisipasi situasi-situasi yang dimungkinkan terjadi kedepannya (perubahan iuran, tarif ina-CBGs), dilihat dari faktor Struktural, apakah kebijakan tersebut sudah mempertimbangkan faktor sistem pemerintahan di daerah, keadaan demografi di masing-masing wilayah dan kekuatan Sumber Daya kesehatan yang ada. KONTEN, ketika aktor yang dilibatkan saja kurang mengakomodir maka konten dari UU yang dihasilkanpun akan kurang bisa mewakili.
Untuk persoalan no 2. (proses penyusunan kebijakan yang cukup lama) hal ini menurut saya sangat dipengaruhi oleh politikal will dari pemerintah pusat (presiden). mengingat kebijakan ini digulirkan pada masa peralihan kepemimpinan sehingga, pertimbangan-pertimbangan mendalam pasti dilakukan agar tidak menjadi blunder.
Reply
# Apriliana Dany Susan 2016-10-12 23:17
Kesan “dipaksakan” terlihat dari diresmikannya BPJS pada tanggal 31 Desember 2013 dan tanggal 1 Januari 2014 BPJS sudah harus beroperasi dan semua harus faskes harus bisa untuk memulai melaayani masyarakat dengan sistem BPJS. Padahal jika dilihat dari sosialisasi pemberlakuan BPJS per tanggal 1 Januari 2014, untuk tingkat provinsi dan kabupaten memang sudah dilaksanakan sebelum 1 Januari 2014 tetapi sosialisasi dari puskesmas ke lintas sektor dan masyarakat baru dilaksanakan setelah tanggal diberlakukannya BPJS, otomatis masyarakat saat itu masih belum paham dengan adanya BPJS. Untuk kami yang ada di derah jawa mungkin sosialisasi yang terlalu mendadak ini tidak begitu bermasalah, karena akses apapun mudah disini dan tidak ada daerah yang sangat susah untuk dijangkau, tetapi untuk saudara kita yang berada di luar jawa, akses listrik saja ada yang belum bs dijangkau apalagi untuk telepon, fax atau bahkan internet, harus melalui jalan darat, laut atau bahkan udara untuk bisa sampai di daerah yang terpencil da memakan waktu yang lama dalam perjalannya. Dalam program baru dalam pemerintah seharusnya sosialisasi kepada masyarakat dilakukan sebelum pemberlakuan aturan tentang BPJS, karena ini merupakan indikator keberhasilan program, jika masayarakat yang notabene nya adalah sasaran utama dalam program ini sudah benar - benar mengerti dan faham maka mungkin masyarakat akan berbondong - bondong mengakses BPJS ini sebelum pelaksanaan BPJS diberlakukan. Jika melihat dari kurang dilibatkannya IDI dan organisasi profesi yang lain dalam pembuatan UU tersebut, menurut saya, ini sangat tidak etis dikarenakan dalam pelaksanaan nya di lapangan teman - teman dari tenaga kesehatan lah yang harus banyak berperan dalam pelayanan dengan menggunakan BPJS. Organisasi profesi lah yang paling banyak tahu kendala - kendala yang dialami dalam lapangan jika akan diterapkan BPJS. Jadi perundangan tersebut hanya mengakomodir ide atau masukan dari para pembuat kebijakan yang tidak paham benar bagaimana kenyataan pelaksanaan kesehatan di daerah. Jika dilihat lagi dari sektor BPJS sendiri, sebenarnya apakah BPJS sudah siap untuk mengelola asuransi kesehatan yang tadinya hanya untuk PNS dan masyarakat miskin, sekarang peruntukannya untuk seluruh warga negara Indonesia yang mungkin memang di tahun 2016 ini banyak juga masyarakat yang belum mengakses BPJS untuk berperan serta dalam pemanfaatan BPJS ini dengan alasana yang iurannya mahal atau males dengan proses pelayanannya yang berbelit - belit jika menggunakan BPJS. Jika memang sistem keuangan BPJS belum siap akan menimbulkan peluang untuk dikorupsi oleh pihak - pihak yang kurang bertanggungjawab dan paham betul akan kelemahan pengelolaan uang asuransi BPJS.
Reply
# Vina Yulia Anhar 2016-10-12 23:53
Mohon izin untuk memberikan komentar:
Menurut pandangan saya, 2 masalah yang tercantum di atas dapat dikaji dengan menggunakan segitiga kebijakan, diantaranya: Aktor: dalam proses penyusunan kebijakan JKN terlihat lebih pada kepentingan elit politik tertentu, apalagi pada saat itu merupakan tahun terjadi pergantian pemerintah Indonesia. Pembentukan regulasi tersebut tidak melibatkan secara penuh pada organisasi yang pada nantinya sangat terlibat dalam implementasi regulasi tersebut. Seperti halnya profesi kesehatan, mereka perlu dilibatkan karena mereka terdiri dari ahli yang memang berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan masyarakat di lapangan. Pembuatan regulasi ini kemungkinan dirancang oleh orang-orang yang tidak kompeten di lapangan, sehingga regulasi ini terkesan tidak siap. Mengapa seperti itu? dari segi waktu memang sudah terkesan lama, namun, isi yang termaktub dalam regulasi tersebut apakah sudah sepenuhnya dapat diwujudkan? Apakah kenyataan di lapangan seperti ketersediaan fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan sudah cukup memadai dan siap menjalankan program JKN di setiap daerah? Kemungkinan implementasi JKN yang berlandaskan UU SJSN No.40 tahun 2004 dan UU BPJS No.24 tahun 2011, hanya sebagai bentuk eksistensi semata yang menunjukkan bahwa pemerintah bertanggung jawab untuk "mewujudkan implementasi program jaminan sosial yang pro rakyat untuk kesejahteraan rakyat". Namun sepertinya perwujudan program JKN ini syarat akan kepentingan politik semata. Terjadi pengalihan tanggung jawab pemerintah kepada rakyat, karena dalam perjalanannya, sepertinya JKN ini malah menjadi beban di pundak masyarakat, mereka harus tetap membayarkan iuran, namun pada kenyataannya pelayanan yang diberikan belum maksimal. Pada intinya, aktor pembentuk regulasi ini tidak hanya para pemerintah atau elit politik saja, namun perlunya keterlibatan pihak lain, seperti organisasi profesi kesehatan.
Dari sisi Konteks: Apakah regulasi ini memang telah disesuaikan dengan keadaan sarana dan prasarana kesehatan yang tersedia di masing-masing daerah? Saya rasa UU SJSN dan BPJS belum tersinkronisasi dengan keadaan lapangan. Terlalu dipaksakan agar Indonesia mencapai Universal Health Coverage namun tanpa dukungan yang mumpuni, seperti fasilitas dan tenaga kesehatan yang belum merata dan mencukupi untuk membantu meningkatkan kesehatan masyarakat, yang notabene setiap daerah memiliki perbedaan kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana kesehatan, serta faktor lain, seperti kondisi ekonomirakyat, demografi setiap daerah dan kemajuan teknologi kesehehatan yang ada di setiap daerah. Dari aspek konten (isi): apakah isi dari kebijakan sudah memang benar mewakili kondisi kesehatan rakyat sehingga perlu dibuat kebijakan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di daerah yang berbeda-beda kemampuan pemenuhan kesehatan masyarakatnya? Jika penyusunan isi tidak melibatkan orang lapangan di bidang kesehatan, saya rasa isi dari kebijakan ini belum sepenuhnya siap untuk diimplementasikan.
Dari sisi proses: banyak permasalahan yang ditemukan dari program JKN, mungkin ini dikarenakan dari awal tidak melibatkan berbagai organisasi (seperti organisasi kesehatan) yang nantinya berperan aktif sebagai implementator pelayanan kesehatan, dari isi UU-nya, kemungkinan belum terlalu siap untuk diaplikasikan pada pelayanan kesehatan masyarakat. Sehingga hal ini berdampak pada munculnya berbagai masalah dalam implementasi JKN, antara lain:
1. Pengumpulan dana kurang cukup. BPJS mengalami kekurangan dana yang cukup berat, sekitar 4-5 triliun tiap tahunnya.
2. Sistem single pool terbukti menjadi penyebab masalah terpakainya dana PBI untuk peserta non-PBI yang relatif tidak miskin. Hal ini berarti subsidi salah alamat. Hal ini dikarenakan tidak adanya pemilahan untuk pemasukan dan pengeluaran dari masing-masing iuran, baik PBI maupun non PBI.
3. Sistem pembelian pelayanan kesehatan oleh BPJS menghadapi berbagai tantangan, antara lain: penyebaran dokter dan RS yang tidak seimbang antar wilayah, dan kapitasi FKTP yang belum menjamin mutu.
4. Pembangunan RS banyak di Jawa (Regional 1) yang mengakibatkan kebutuhan dokter spesialis semakin tinggi di Jawa. Hal ini dapat menarik dokter luar Jawa pindah ke Jawa. Di tahun 2014 dana Kemenkes untuk pembangunan RS atau faskes rendah, dan dana untuk penyebaran SDM kesehatan juga rendah.
5. Fraud belum dapat dikendalikan karena sistem pencegahan dan penindakan belum ada.
Demikian komentar ini saya sampaikan, terima kasih.
Reply
# Sholikah 2016-10-13 00:20
Landasan SJSN yang digunakan adalah Undang-undang Republik Indonesia No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang merupakan amanat dari UUD Negara Republik Indonesia 1945, khususnya pasal 28H ayat 3 dan pasal 34 ayat 2. Sedangkan penyelenggara SJSN tersebut diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Istilah BPJS telah disebut dalam UU No.40/2004. Dalam proses pelaksaanaannya, kebijakan ini menemui beberapa permasalahan. Permasalahan tersebut dapat dianalisis melalui segitiga kebijakan yang meliputi aktor, proses, konteks, dan Isi
1. Dari segi aktor, penyusunan kebijakan ini melibatakan banyak actor yang saling terkait, mulai dari DPR, pemerintah, pemberi pelayanan kesehatan, organisasi profesi, swasta. Berbagai aktor yang berperan dalam penyusunan kebijakan berasal dari kalangan yang berbeda beda dan memiliki kepentingan yang berbeda-beda pula. Hal ini akan sulit untuk menampung semua hal sehingga pada akhirnya kekuatan yang paling besarlah yang akan menentukan ke arah mana kebijakan ini akan dibawa. Kemungkinan lain juga karena pihak-pihak atau actor yang berperan kurang memahami kondisi yang ada di masyarakat Indonesia yang memiliki karakterikstik geografi dan budaya yang luas
Reply
# Irma Alya Safira 2016-10-13 05:25
Sebuah kebijakan publik hendaknya ditinjau dari berbagai aspek sebelum kebijakan tersebut dijalankan karena akan menyangkut kehidupan orang banyak dan berlaku di masyarakat luas. Tantangan yang dihadapi salah satunya adalah Indonesia yang sangat luas dari segi geografis, dan tantangan lain seperti tantangan infrastruktur dan sistem rujukan berjenjang. Pada pasal 57 UU BPJS, Sebelum 1 Januari 2014 Jamkesmas yang sebelumnya berada dibawah Kemenkes, mulai 1 Januari 2014 berada dibawah BPJS Kesehatan. Perpindahan ini tentunya perlu kesiapan dan kecukupan finansial,pembenahan regulasi, dan sistem pemantauan kualitas pelayanan.
Jika dilihat dari analisis pendekatan segita kebijakan yang terdiri dari Konteks, Isi, dan Proses, salah satu faktornya yaitu aktor. JKN tidak banyak melibatkan peran actor dalam penyusunannya yaitu stakeholder teknis yaitu IDI, PERSI, dan pihak akademisi pengamat kebijakan. Peran aktor yang akan terlibat salah satunya penyedia pelayanan kesehatan, seharusnya dibuthkan kesamaan perspektif dalam penyelenggaraan pelayanan dan infrastruktur dan sarana yang cocok. Sehingga, tampak bahwa kepentingan politik terlihat jelas dalam program yang sedang berlangsung dan cukup menuai persoalan.
Reply
# Windri Lesmana R 2016-10-13 07:54
Jika dilihat dari ‘nyawa’ terbentuknya JKN dan BPJS yang berangkat dari Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 H bahwa “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat” bahwasanya ini merupakan sebuah tujuan yang mulia dari suatu bangsa yang menginginkan revolusi dalam bidang kesehatan. Jaminan sosial merupakan bentuk pelayanan pemerintah pada masyarakat sesuai dengan kemampuan Negara guna memberikan keringanan bagi masyarakat dari segi ekonomi serta tepat guna melalui badan atau organisasi. Namun kenyataan yang dapat kita lihat, kehadiran produk kebijakan dalam hal ini JKN dan BPJS justru diiringi oleh berbagai permasalahan disana-sini, berbagai problem penggumpulan dana yang kurang cukup, subsidi yang salah alamat, timbulnya fraud, juga sistem pembelian pelayanan kesehatan dengan segala tantangan yang ada seperti pembangunan RS yang tidak merata yang berdampak pada penyebaran dokter dan tenaga kesehatan lain yang tidak seimbang (antara pulau Jawa dengan luar Jawa). Jika dikaji menggunakan analsisi segitiga kebijakan, memang terlihat jelas dalam proses penyusunannya kebijakan tersebut kurang ideal, dimana dari segi aktor yang dilibatkan dalam didominasi oleh kelompok elit yang sudah jelas memiliki kepentingan masing-masing sehingga nuansa politik tidak pun terelakan. Seandainya dalam perumusan saat itu melibatnya para stakeholder penting seperti IDI, PERSI, kalangan akademisi serta pihak-pihak kompeten sebagai perwakilan dari setiap daerah-daerah di Indoensia maka sebuah produk kebijakan kesehatan yang komperhensip pun niscaya akan kita rasakan. Semoga proses evaluasi panjang terhadap produk kebijakan ini bener-benar dapat menghasilkan sebuah revolusi atau pembenahan besar-besaran terhadap sistem JKN dan BPJS itu sendiri, meski pada akhirnya mungkin membutuhkan perjalanan yang cukup panjang namun harapan akan pemerataan sarana dan prasarana layanan kesehatan serta kehadiran tenaga medis dan tenaga kesehatan lain (kuantitias dan kualitas) di Indonesia selalu dinantikan oleh masyarakat kita yang berada di luar pulau Jawa khususnya wilayah-wilayah Indonesia Timur. Sistem jaminan kesehatan yang baik untuk Indonesia yang lebih baik (Selalu ingat fiosofi Undang-undang Dasar pasal 28 H).
Salam^^
Reply
# budi rodesta 2016-10-13 08:49
mohon izin untuk berpendapat. Menanggapi 2 kelompok masalah diatas, sebelumnya saya mengapresiasi pembentukan BPJS dalam rangka tanggung jawab pemerintah dalam menjamin kesehatan seluruh masyarakat di Indonesia. hanya saja dalam proses pembentukannya memang terkesan memakan waktu lama dan dipaksakan, sementara pada saat pelaksanaan terjadi banyak masalah. menanggapi masalah pada point 1 di atas, melihat pada segitiga kebijakan, bahwasanya proses penyusunan JKN yang lebih banyak melibatkan pihak politik dan kurang melibatkan stakeholder seperti IDI , PERSI, dan akademisi menunjukkan bahwa ada kesalahan dari segi aktor. kurangnya keterlibatan stakeholder atau orang yang mengerti lapangan, menyebabkan uu yang dibentuk susah diimplementasikan dan menimbulkan banyak kendala. kurangnya pengetahuan penyusun kebijakan akan kondisi riil lapangan menyebabkan isi atau content dari uu kurang mempertimbangkan/memperkirakan dampak yang terjadi di masyarakat bila jkn tersebut diimplementasikan. hal itu menunjukkan penyebab masalah dari segi content.
Reply
# Ridwan Syukri 2016-10-14 01:18
Kebijakan JKN memang bernuasa politik dari segi waktu pelaksanaannya yaitu mulai 1 Januari 2014 dimana tahun itu juga berkaitan langsung dengan momen Pemilu Legislatif dan Pilpres. Karena waktu pelaksanaannya yang memanfaatkan momen politik sehingga, keterlibatan dan sentuhan kalangan Profesional seperti Organisasi profesi kesehatan dan organisasi fasilitas kesehatan tidak terlibat secara utuh. Akibatnya evidence base dan kajian akademik analisa tidak mendalam sehingga ditengah jalan, program JKN ini banyak sekali mengalami kekeliruan dan kesalahan yang mengakibatkan polemik dikalangan: profesi kesehatan, pemerhati masalah kesehatan, penyelenggara fasilitas kesehatan dan masyarakat sebagai penerima manfaat JKN.
Reply

Add comment

Security code
Refresh