Diskusi tentang masalah kebijakan - Minat Gizi

Di akhir pembahasan ada pernyataan mengenai masalah kebijakan. Masalah-masalah yang ada dapat dikelompokkan menjadi 2 hal besar yaitu:

  1. Proses penyusunan kebijakan JKN sebagai kebijakan public yang besar terlihat didominasi oleh kekuatan politik, dan tidak banyak melibatkan stakeholder teknis seperti IDI, PERSI, dan pihak akademisi. Aspek teknisnya terlihat kurang dipersiapkan dengan evidence yang tidak jelas.
  2. Proses penyusunan 2 UU (JKN dan BPJS), dipandang dari waktunya relative memakan waktu sangat lama dan ada kesan dipaksakan. Terlibat bahwa prosesnya tidak ideal.

Silahkan anda memberi komentar dibawah atau tambahan untuk masalah kebijakan yang ada di balik Kasus tersebut.

Comments  

# siti maria ulva 2016-10-10 10:46
Slamt sore izin berkomentar..pda kenyataan yg trjadi kebijakan ttg Uu diatas menimbulkan masalah dilapangan baik dari segi 1.peserta 2.bagi pemberi pelayanan kesehatan 3.masalah bagi penyelenggara (bpjs sndiri.pemerintah baik pusat dan daerah). Dari segi peserta ketidakdisiplinnya dan ketakmampuan peserta mandiri (membayar sendiri) membayar iuran secara tepat waktu dan berkelanjutan. Dari segi penyelenggara sampai saat ini yg terjadi dana bpjs defisit akibat tinggix klaim pembayaran bahkan utk kab. Malinau sendiri ada wacana perlunya bantuan pemda untuk menalangi kekurangannya. Mengapa terjadi defisit karena dilihat dari masih minimnya alkes.baik itu dri tenaga kesehatan yang ada di faskes tk.1 /Fktp khususnya di kab.malinau yang akhirnya membuat tingginya angka rujukan ke faskes tk.2 (rsud) yang seharusnya bisa ditangani di puskesmas
Reply
# Muhammad Padlianor 2016-10-10 12:07
Mohon ijin, menanggapi apa yang disampaikan. Menurut saya, pengesahan UU JKN hanya upaya pemerintah menyelamatkan diri dari tekanan karena memenuhi janji-janji politiknya. Seyogyanya BPJS hanya dilaksanakan di pulau Jawa saja, yang notabene telah memiliki kesiapan. Sedangkan diluar Jawa, secara bertahap dilaksanakan sesuai dengan kesiapan daerah masing-masing. Permasalahan didaerah menyangkut SDM kesehatan, masih kurangnya alat-alat kesehatan. Minimnya sosialisasi tentang BPJS, terutama bagi masyarakat kurang mampu yang dulunya tercover oleh Kartu Sehat, sekarang diminta menjadi peserta mandiri yang aktif. Kemudian masih belum akuratnya data kepesertaan BPJS. Kasus yang saya temui , rujukan kerumah sakit ditolak karena data peserta BPJS telah meninggal, padahal peserta yang dimaksud masih hidup / duduk diatas kursi roda menunggu proses rujukan di rumah sakit.
Reply
# Josefa Rosselo 2016-10-11 23:47
Mohon Ijin memberi tanggapan. menurut sayaProses penetapan kebijakan BPJS yang tidak melibatkan sektor teknis dan tanpa survei lapangan terlebih dahulu memang telah menimbulkan beberapa masalah dalam penerapannya karena kurang sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat setiap daerah. Diantaranya adalah pada peserta mandiri . Penggunaan Faskes oleh Masyarakat di daerah masih bersifat kasuistis dimana mereka akan menjadi peserta BPJS ketika akan melakukan tindakan medis tertentu (salah satu contoh biasanya terjadi pada ibu hamil yang akan partus dalam waktu dekat baik secara normal atau caesar). Setelah mendapat pelayanan dengan BPJS selanjutnya tidak lagi membayar iuran secara rutin, sehingga PBJS (Negara) mengalami kerugian.Oleh karena itu hak dan kewajiban peserta perlu diatur secara jelas dalam regulasi BPJS.
Reply
# Juniar A Wigiyandiaz 2016-10-13 08:04
Izin menambahkan,
Dalam penyelenggaraan BPJS, tentunya ada koordinasi rutin. Dalam koordinasi tersebut, jika bisa, ada baiknya memasukkan tenaga kesehatan dari daerah tertinggal atau yg kurang terjangkau di Indonesia, untuk turut serta memberi masukan mengenai masalah apa yg terjadi di daerahnya. Sehingga pemerintah pusat bisa langsung mengetahui bagian mana yang harus didahulukan untuk diperbaiki. Karena menurut saya, selama ini pemerintah pusat kebanyakan membuat kebijakan tanpa mengetahui kondisi real di daerah, terutama daerah tertinggal.
terima kasih.
Reply
# Karina Muthia Shanti 2016-10-13 11:11
Izin menanggapi,
Pemanfaatan BPJS di daerah-daerah yang tertinggal seperti di daerah timur Indonesia masih kurang optimal karena tidak adanya fasilitas kesehatan yang mumpuni. Sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang terkait solusi jika tidak ada fasilitas kesehatan yang mendukung di suatu daerah, melalui adanya kompensasi dari pemerintah. Dalam UU SJSN Pasal 23 ayat 3 disebutkan bahwa "Dalam hal di suatu daerah belum tersedia fasilitas kesehatan yang memenuhi syarat guna memenuhi kebutuhan medik sejumlah peserta, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial wajib memberikan kompensasi". Namun, nampaknya pada pelaksanaannya hal ini belum dapat terlaksana dengan baik, sehingga dapat dilihat dari dana PBI untuk daerah yang tertinggal masih belum dapat terserap. Sulitnya mengoptimalkan penerapan BPJS yang merata di seluruh daerah di Indonesia, dapat disebabkan oleh polemik politik dalam pembentukan Undang-Undang tersebut sehingga ada kesan peluncuran kebijakan ini ‘dipaksakan’. Seperti yang telah disebutkan pada komentar-komentar sebelumnya, pembentukan Undang-Undang ini kurang melibatkan aspek-aspek teknis serta tidak diterapkannya evidence based policy. Dalam membuat kebijakan, hendaknya memperhatikan kemampuan kondisi dari setiap daerah, oleh karena itu penting menerepkan evidence based policy. Selain itu, hendaknya BPJS tidak didekatkan dengan konsep ‘sentralisasi’, tetapi dalam penerapannya disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing seperti dalam konsep ‘desentralisasi’.
Salam.
Reply
# Rizka Fikrinnisa 2016-10-13 11:33
Izin menambahkan, proses penyusunan JKN dan BPJS merupakan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat. Sehingga perlunya melibatkan stakeholder seperti IDI, PERSI dan pihak akademisi pada daerah-daerah terkait agar diharapkan nantinya pada saat implementasi akan berjalan sesuai dengan keadaan masyarakat di lapangan karena harus ada pandangan yang lebih objektif dari pemerintah pusat terkait kesiapan SDM, sarana dan prasarana di setiap daerah yang tidak sama. Masih banyak kesenjangan dan kapasitas fasilitas kesehatan khususnya di daerah terpencil sehingga ketidaksiapan ini mengakibatkan pelayanan kesehatan tidak maksimal.
Reply
# Anis Kurnia Maitri 2016-10-12 12:15
Penyusunan kebijakan kesehatan harus selalu didasarkan kepada kerangka Segitiga Kebijakan Kesehatan. Terdapat 4 Unsur yang merupakan pendekatan yang disederhanakan dalam suatu tatanan hubungan yang kompleks. Unsur tersebut adalah Isu/Content, Konteks, Proses, dan Actor/Stakeholder. Segitiga ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Ketika salah satu unsur tidak dilibatkan, maka akan terjadi ketimpangan dalam pelaksanaan kebijakan tersebut.
Seperti yang terjadi pada penyusunan UU BPJS ini, penyusunannya tidak melibatkan unsur stakeholder teknis dalam hal ini berbagai organisasi profesi, menyebabkan banyak terjadi ketimpangan di dalamnya. Sehingga, sejak dilaksanakannya UU BPJS per 1 Januari 2014, pelaksanaan BPJS menemui cukup banyak kendala, diantaranya seperti yang sudah disampaikan rekan-rekan diatas. Dan masih cukup banyak permasalahan-permasalahan lain diantaranya kesiapan faskes-faskes terutama di daerah luar jawa maupun perbatasan untuk memenuhi ketentuan-ketentuan sesuai UU BPJS. Padahal kendala di daerah perbatasan tersebut sangat kompleks dan membutuhkan waktu lama untuk dapat menyesuaikan dengan Undang-Undang BPJS. Dan masih banyak permasalahan lain. Lalu, untuk mengatasi ketimpangan tersebut pemerintah harus menerbitkan hingga lebih dari 10 aturan tambahan untuk memperbaikinya.
Dalam banyak fakta, ke empat unsur dalam segitiga kebijakan ini dipengaruhi oleh banyak faktor. Isi dapat saja dipengaruhi oleh norma-norma yang dianggap sesuai oleh penyusun kebijakan, konteks dapat dipengaruhi oleh adanya ideologi penyusun maupun sejarah atau budaya, proses terkadang dipengaruhi oleh pelaksana, kedudukan maupun keuntungan bagi mereka sendiri, serta serta pelaku mungkin saja dipengaruhi oleh budaya mereka sendiri. Seperti juga dalam penyusunan UU BPJS ini, penyusunannya sebenarnya sudah dirintis sejak lama mulai tahun 2004. Setelah diujicobakan mulai tahun 2012 hingga benar-benar dilaksanakan pada 1 Januari 2014, UU BPJS ini masih harus ditunjang dengan aturan-aturan tambahan yang mendukung pelaksanaannya. Artinya, undang-undang ini nampaknya belum siap secara matang dan berdasarkan evidance base, sehingga dalam pelaksanaanya terus menerus dilakukan penyesuaian. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat faktor “tertentu” dalam penetapan UU BPJS ini, dan menurut hemat saya faktor “tertentu” dalam proses penetapan undang-undang ini lebih banyak bersifat politis.
Reply
# Resti Kurnia 2016-10-12 14:51
Perkenankan saya memberikan pandangan mengenai UU JKN dan BPJS
Ada beberapa hal yang saya soroti, pertama, konteks dari penyusunan kedua UU tersebut adalah dilatarbelakangi kebutuhan Indonesia akan sistem pelayanan kesehatan yang tidak hanya mengutamakan kalangan atas tetapi juga rakyat miskin. Tetapi dari pelaksanaan UU JKN per Januari 2014 terlalu tergesa- gesa tanpa melihat kesanggupan masing-masing daerah untuk mengadopsi sistem tersebut. Ketergesaan tersebut banyak di latarbelakangi kepentingan politik, pencintraan dan perebutan kewenagan. Alangkah baiknya jika JKN dilaksanakan bertahap mulai dari daerah yang sudah siap dengan fasilitas kesehatannya, aturan pelaksanaannya dan pemahaman masyarakat akan JKN.
Yang kedua adalah aktor, aktor dari kebijakan JKN ini adalah pemerintah baik pusat maupun daerah, BPJS dan terutama masyarakat. Saya ingin menyoroti peran BPJS yang mendominasi pelayanan kesehatan saat ini. Memang BPJS merupakan badan keuangan bukan kesehatan sehingga banyak ketidakharmonisan antara BPJS, Fasilitas Kesehatan maupun pemerintah. Dengan berlandaskan UU JKN BPJS menjadi badan yang setiap tindakannya menjadi acuan bagi istansi kesehatan yang aturannya lebih diikuti daripada Dinas Kesehatan maupun Kementrian Kesehatan. Sebaiknya perlu dibuat batasan batasan yang jelas sejauh mana peran BPJS, Dinas Kementrian dan Faskes sehingga pelaksaannya tidak terjadi perebutan kewenangan.
Yang ketiga pada proses, pada proses penerapan UU JKN ini yang seharusnya paling diutamakan adalah masyarakat sebagai sasaran. Walau sejauh atau selengkap apapun ketentuan BPJS, sesengit apapun diperdebatkan, tetapi jika tidak disosialisasikan dengan baik maka hasilnya tidak akan dirasakan. Sosialisasi yang menyeluruh dan mendalam perlu dilakukan agar masyarakat benar- benar paham hak dan kewajibannya pada BPJS.
Sekian, terimakasih.
Reply
# Resti Kurnia 2016-10-12 14:54
Perkenankan saya memberikan pandangan mengenai UU JKN dan BPJS
Ada beberapa hal yang saya soroti, pertama, konteks dari penyusunan kedua UU tersebut adalah dilatarbelakangi kebutuhan Indonesia akan sistem pelayanan kesehatan yang tidak hanya mengutamakan kalangan atas tetapi juga rakyat miskin. Tetapi dari pelaksanaan UU JKN per Januari 2014 terlalu tergesa- gesa tanpa melihat kesanggupan masing-masing daerah untuk mengadopsi sistem tersebut. Ketergesaan tersebut banyak di latarbelakangi kepentingan politik, pencintraan dan perebutan kewenagan. Alangkah baiknya jika JKN dilaksanakan bertahap mulai dari daerah yang sudah siap dengan fasilitas kesehatannya, aturan pelaksanaannya dan pemahaman masyarakat akan JKN.
Yang kedua adalah aktor, aktor dari kebijakan JKN ini adalah pemerintah baik pusat maupun daerah, BPJS dan terutama masyarakat. Saya ingin menyoroti peran BPJS yang mendominasi pelayanan kesehatan saat ini. Memang BPJS merupakan badan keuangan bukan kesehatan sehingga banyak ketidakharmonisan antara BPJS, Fasilitas Kesehatan maupun pemerintah. Dengan berlandaskan UU JKN BPJS menjadi badan yang setiap tindakannya menjadi acuan bagi istansi kesehatan yang aturannya lebih diikuti daripada Dinas Kesehatan maupun Kementrian Kesehatan. Sebaiknya perlu dibuat batasan batasan yang jelas sejauh mana peran BPJS, Dinas Kementrian dan Faskes sehingga pelaksaannya tidak terjadi perebutan kewenangan.
Yang ketiga pada proses, pada proses penerapan UU JKN ini yang seharusnya paling diutamakan adalah masyarakat sebagai sasaran. Walau sejauh atau selengkap apapun ketentuan BPJS, sesengit apapun diperdebatkan, tetapi jika tidak disosialisasikan dengan baik maka hasilnya tidak akan dirasakan. Sosialisasi yang menyeluruh dan mendalam perlu dilakukan agar masyarakat benar- benar paham hak dan kewajibannya pada BPJS.
Sekian, terimakasih.
Reply
# Lily Sulistyawati 2016-10-12 22:53
Tujuan lahirnya kebijakan BPJS ini adalah berupaya meningkatkan kesejahteraan rakyat dari segi akses terhadap pelayanan kesehatan, ini dapat dikatakan sebagai konten dalam penyusunan kebijakan. Dari tujuan tersebut keinginan dari pemerintah sebagai pemegang amanat rakyat sudah baik hanya saja ada beberapa kekurangan dalam penyusunan kebijakannya. Dalam penyusunan kebijakan yang tidak banyak melibatkan stakeholder kesehatan berakibat dalam implementasi kebijakan mengalami kesulitan. Kesulitan yang banyak dialami adalah kurangnya fasilitas pelayanan kesehatan karena ketidakmerataan pembangunan fasilitas pelayanan kesehatan diseluruh wilayah Indonesia. Apabila dalam penyusunan kebijakan melibatkan stakeholder atau dapat dikatakan pelaksana kebijakan maka akan banyak masukan untuk penyusunan kebijakannnya sehingga dalam implementasinya lebih lancar. Dalam proses penyusunan kebijakan BPJS yang memakan waktu relatif lama, hal ini menandakan bahwa kebijakan ini sarat dengan politik dan kepentingan golongan tertentu. Lamanya waktu yang dibutuhkan dalam penyusunan kebijakan maka dapat dikatakan kegagalan dalam membuat perencanaan agenda setting. Atau bisa jadi agenda settingnya baik tetapi dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan yang diagendakan sehingga berdampak pada waktu yang tidak sesuai. Dalam perjalanan implementasi kebijakan sistem monitoring dan evaluasi terlihat hanya dari segi keuangannya saja sedangkan segi pelayanan kurang diperhatikan. Misalnya masalah fasilitas pelayanan kesehatan berapa persenkah yang sudah diperbaiki sehingga dapat meningkatkan pelayanan kesehatan. Proses evaluasi juga dapat dilakukan dengan cara survey kepuasan baik pengguna pelayanan maupun pelaksana pelayanan, hasil survey tersebut dapat dilakukan untuk memperbaiki pelayanan dalam hal ini adalah implementasi kebijakan. Masukan-masukan dari pihak akademisi atau pelaksana kebijakan sepertinya tidak begitu diperhatikan oleh pemangku kebijakan sehingga terlihat bahwa implementasi kebijakan tidak lebih baik dari sebelumnya.
Reply
# Salahuddin Al Ayubi 2016-10-12 23:09
Saya ingin menyampaikan realita yang ada bahwa kebijakan JKN pada aspek teknisnya belum evidence dilapangan, ini terlihat antara lain pada :
1. Masyarakat dilevel yang paling bawah belum mengerti tentang mekanism, aturan dan hak peserta secara menyeluruh, perlunya peningkatan sosialisasi disemua tingkatan msyarakat dg melibatkan semua stakeholder yang berwenang
2. Masyarakat yang terpencil dan sangat terpencil kesulitan untuk menjadi peserta baru, bila mekanisme pendaftaran dan pembayaran harus melalui bank/kantor pos, mendaftar bila ada kasus rujukan saja, perlunya proses yang memudhkn masyarakat
3. Pada saat mendaftar, masyarakat harus diberikan penjelasan secara lengkap dan jelas tentang hak yang akan didapatkan oleh peserta dan kewajiban2 yg harus dipenuhi, hal ini penting untuk menghindari banyaknya komplain terhadap kelbihan biaya, jenis dan pelayanan yang diberikan dll
4. Belum siapnya sarana dan prasarana didaerah untuk memberikan pelayanan maksimal kepada peserta JKN
5. Kegiatan preventif dan promotif yang ada dalam program JKN harus benar2 dilaksanakan riil dilapangan.
Reply
# hurfiati 2016-10-13 00:10
izin komentar menurut saya penetapan UU JKN dan UU BPJS sudah sesuai dengan kebutuhan masyarakat yaitu memberikan perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat, namun dalam pelaksanaannya masih banyak kendala yang ditemukan dilapangan seperti peserta non PBI menggunakan jasa BPJS hanya sebatas keperluan saja setelah mendapat pelayanan pembayaran iuran tidak lagi dilaksanakan dan masih banyak lagi kedala-kendala yang lain yang ditemukan, menurut saya perlu adanya reformasi pada sistem BPJS.
Reply
# marlindha setyarini 2016-10-13 05:11
pada dasarnya setiap kebijakan dibuat untuk kesejahteraan masyarakat. dalam penetapan kebijakan JKN terlihat bahwa banyak sekali pihak-pihak yang mempunyai kepentingan di situ, masyarakat sendiri sebagai peserta, pemerintah, fasilitas pelayanan kesehatan. Dalam pelaksanaannya,setiap pihak juga mengalami berbagai macam masalah. yang jadi persoalan kepesertaan, terutama anggota PBI. ada peserta yang sudah meninggal juga masih terdaftar. data penduduk miskin dari dinas social kadang-kadang kurang up date, sehingga perlu kerja sama antara dinas kesehatan dan dinas social dalam hal kepesertaan PBI. tentu masih banyak juga masalah yang lain. menurut saya perlu dilakukan reformasi JKN
Reply
# Vita Nurhikmah 2016-10-13 05:11
Selamat siang.
Mencoba memberi komentar sesuai dengan pemahaman saya. Adanya JKN dan BPJS ini menurut saya merupakan niat baik pemerintah untuk menyejahterakan rakyatnya yang patut diapresiasi tinggi. Namun masih terdapat banyak kekurangan. Salah satunya adalah sosialisasi yang belum optimal. Jangankan di daerah-daerah yang jauh dari ibukota, di kota yang dekat dengan ibukota pun, seperti Bogor dan Bandung, masih banyak masyarakat yang belum terpapar dengan BPJS. Masih banyak masyarakat yang baru mengetahui adanya JKN dan BPJS ini ketika sedang mengurus administrasi rawat inap. Perlunya sosialisasi yang optimal sampai ke lapisan masyarakat tingkat bawah sangat dibutuhkan agar niat baik pemerintah dalam menyejahterakan rakyatnya dapat tercapai. Sosialisasi tersebut bisa dilakukan dalam bentukiklan layanan masyarakat yang diputar dengan frekuensi cukupsering di televisi, banner, poster, leaflet, sampai penyuluhan-penyuluhan yang diberikan ke masyarakat langsung.
Sekian dari saya.
Reply
# Hafidhotun N 2016-10-13 05:49
Menambahkan mba vita, saya setuju dengan usulan untuk memperkuat sosialisasi. Apalagi bila dilakukan evaluasi dari unsur teratas hingga bawah ataupun sebaliknya diharapkan mendapat saran maupun masukan agar penyelenggaraan JKN ini lebih efektif. Sekian dan Trimakasih
Reply
# Kartika Yuliani 2016-10-13 08:04
Selamat siang. Menambahkan komentar dari mbak Vita dan Hafi. Sosialisasi JKN dan BPJS merupakan salah satu upaya yang baik untuk menambal beberapa permasalahan BPJS yang ada. Seharusnya memang penetapan UU JKN dan BPJS harus melalui analysis for policy yang matang bahkan perlu adanya pilot project di daerah yang dirasa sudah mampu menyelenggarakan sistem BPJS untuk selanjutnya diikuti oleh daerah lain. Perlu disadari bahwasannya Indonesia sangat luas dengan berbagai kondisi pelayanan kesehatan yang beragam di setiap daerah. Sebenarnya adanya pilot project pelaksaaan sistem BPJS akan sangat membantu tetapi kenyataannya fasilitas dan SDM di daerah-daerah tertentu umumnya di luar jawa masih terbatas sehingga penyelenggaraan sistem ini masih sulit. Upaya yang seharusnya juga dilakukan oleh pemerintah selain sosialisasi adalah pemerataan tenaga kesehatan dan perbaikan fasilitas kesehatan untuk dapat menunjang pencapaian tujuan dari JKN itu sendiri. Terima kasih
Reply
# Fahmi Tiara Sari 2016-10-13 14:15
Izin menanggapi perntayaan mbak vita dari pemahaman saya. Saya setuju dengan pernyataan mbak vita bahwa kita tetap harus mengapresiasi niat baik pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama di bidang kesehatan dengan program JKN dan BPJS ini. Memang tidak ada kebijakan yang sangat sempurna tanpa masalah begitu pula dengan kebijakan terkait JKN dan BPJS. Tidak akan ada habisnya jika kita hanya mencari kekurangan dari kebijakan tersebut. Yang perlu dilakukan ialah mencari solusi/upaya perbaikan yang paling mungkin dilakukan dalam waktu dekat ini, melakukan monitoring dan evaluasi kebijakan secara berkelanjutan sehingga dapat dilakukan perbaikan sistem secara bertahap. Peningkatan sosialisasi JKN dan BPJS bisa menjadi salah satu upaya perbaikan sistem tersebut, baik sosialisasi dalam masyarakat mengenai hak dan kewajibannya serta sosialisasi kepada petugas pelaksana program JKN terkait tugas/tanggungjawab dan hak mereka. sebab di masyarakat masih banyak yang belum paham mengenai perbedaan BPJS kesehatan, BPJS tenaga kerja maupun lainnya. Jadi, menggencarkan kembali sosialisasi program JKN dan BPJS, dengan cara yang disesuaikan dengan karakteristik masyarakat kemungkinan dapat mengurangi “keruwetan” dalam pelaksanaan program terkait dengan kurangnya pemahaman masyarakat tentang JKN. Terima kasih.
Reply
# Fahmi Tiara Sari 2016-10-13 14:19
maaf yang baris pertama maksudnya pernyataan dari mbk vita.. :)
Reply
# Irmayanti 2016-10-13 05:43
Izin memberi komentar menurut pemahaman saya.
Peraturan tetang JKN ini menurut saya disusun tidak epenuh hati. Peraturannya dirancang menurut hemat para penyusun kebijkan tanpa melihat kondisi lapangan. Apakah dengan diberlakukan JKN ini secara nasional dapat memberikan dampak yang merata pula pada setiap daerah Di Indonesia. Nyatanya di berbagai daerah JKN ini tidak diserap secara maksimal oleh masyarakat yang justru paling membutuhkan JKN ini. Misalnya di daerah yang infrastruktur sebenarnya masih perlu ditingkatkan dengan adanya JKN ini sama saja tidak begitu bermanfaat jika fasilitasnya tidak ada. Selain itu, beberapa kelompok masyarakat lebih diuntungkan karena syarat untuk mendapatkan pelayanan BPJS membutuhkan berbagai persyaratan (surat2). Selain itu, jalur koordinasi BPJS dengan Kementrian Kesehatan masih belum jelas sepengetahuan saya, karena UU BPJS ini langsung di bawah UUD. Jadi hal ini juha perlu diperjelas untuk lebih memperbaiki pelaksanaan JKN ini. Mungkin manfaatnya belum bisa dirasakan dalam waktu dekat karena itu diperlukan komitmen untuk melakukan evaluasi demi tercapainya manfaat JKN ini terutama dalam jangka panjang. Mohon dikoreksi kalau ada salah saya berkomentar sesuai pengetahuan saya sebagai freshgradute.
Reply
# Vidya Avianti Hadju 2016-10-13 07:52
Izin berkomentar, saya setuju dengan pendapat saudari Irma, dimana dalam UU ini masih belum jelasnya pembagian peranan dari masing-masing actor dalam implementasi kebijakan salah satumya peran pemerintah, yaitu pemerintah provinsi dan kabupaten. Hanya disebutkan pemerintah, dalam hal ini dimaksudkan Pemerintah Pusat, padahal pemerintah provinsi maupun kabupaten memiliki peran yang cukup besar dalam pelaksanaan jaminan kesehatan. BPJS sendiri sangat mendominasi pelayanan jaminan kesehatan saat ini. Belum lagi masih kurangnya keterlibatan ikatan profesi kesehatan dalam pelaksanaan UU ini. Untuk itu perlu peninjauan kembali terhadap UU SKJN dalam pembagian peran dari aktor-aktor yang terlibat dalam kebijakan ini. Selain itu banyak permasalahan-permasalahan yang dapat dikaji dalam UU ini, salah satunya jumlah kapitasi yang tidak sesuai dengan beban masalah kesehatan, masyarakat masih belum berorientasi sehat karena menggangap jika sakit maka mendapatkan pengobatan gratis.
Reply
# Irmayanti 2016-10-13 10:30
Maaf saya koreksi komentar saya, UU BPJS itu satu tingkat di bawah UUD maksud saya jika di lihat dalam hirarki kebijakan di Indonesia
Reply
# Karina Puspa Adwaita 2016-10-13 05:58
Selamat siang,
Menurut saya, segala permasalahan yang timbul dari implementasi JKN disebabkan kebijakan ini sejak awal TIDAK DIPERSIAPKAN DENGAN BAIK.

1. Dalam persiapannya, pemerintah kurang melibatkan organisasi profesi dan fasilitas kesehatan sebagai pelaksana teknis di lapangan sehingga banyak SDM, sarana dan prasarana yang belum siap/tersedia untuk menjalankan program JKN tersebut. Hal yang demikian menyebabkan pelayanan kesehatan yang diberikan menjadi tidak optimal, terutama di daerah-daerah perifer, terpencil, atau pedalaman.

2. Tarif INA-CBG banyak yang tidak sesuai dengan kebutuhan di lapangan sehingga menimbulkan potensi fraud dari beberapa Rumah Sakit guna menghindari kerugian. Pembayaran klaim oleh BPJS yang sering terlambat menjadikan kecenderungan ini makin mungkin terjadi.

3. Besaran kapitasi yang dibayarkan pada fasilitas kesehatan primer amat terbatas, akibatnya pelayanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat menjadi tidak maksimal, kurang berkualitas, dan terkesan seadanya. Fokusnya masih banyak untuk membiayai upaya kuratif, program-program preventif belum mendapat porsi yang memadai.

4. Banyak masyarakat yang belum memahami konsep asuransi sosial yang diberlakukan dalam sistem JKN sehingga beberapa peserta hanya membayar premi saat sakit saja. Setelah sehat, mereka tidak membayar lagi. Hal ini mengakibatkan BPJS tidak memiliki cukup dana untuk secara kontinue membiyai pengeluaran kesehatan, bahkan terus merugi.

Demikian sementara yang dapat saya sampaikan terkait permasalahan JKN di atas.
Reply
# Nurlienda Hasanah 2016-10-13 10:44
Saya sependapat dengan Saudari Karina yang menyatakan kebijakan JKN TIDAK DIPERSIAPKAN DENGAN BAIK. Selain 4 hal yang disampaikan diatas, saya rasa pembagian fungsi dan peran antara pemerintah, pelaksana teknis dan juga provider perlu ditata ulang. Permasalahan yang terjadi apalagi di daerah, dengan keterbatasan pelaksana teknis, alat kesehatan dan fasilitas kesehatan lainnya jelas merugikan peserta JKN itu sendiri. Mereka yang membayar secara berkesinambungan namun berada di tempat yang sulit akses dan faskes tidak memadai, maka manfaat yang ia terima tidaklah sepadan dibandingkan peserta di kota besar seperti di pulau Jawa. Asas universal coveragenya jelas belum terpenuhi. Olehkarenanya diperlukan perbaikan sistem dan integrasi yang matang antar peran dan sektor (Organization dan Regulation). Selain aspek kebijakan dalam hal financing, payment dan behavior.
Reply
# Rosita Antariksawati 2016-10-13 07:44
Assalammualaikum....selamat sore,permisi ijin berkomentar.. Menurut pendapat saya adanya program JKN yang bertujuan untuk meningkatkan akses pelayanan kesehatan masyarakat yang menyeluruh, namun pada kenyataannya banyak masalah yang terjadi Terutama sistem birokrasinya yang terbilang rumit.Beberapa fakta seperti masih terlantarnya pasien BPJS saat mencari pengobatan di Puskesmas dan di Rumah Sakit,sulitnya mencari ruang perawatan di Rumah Sakit,dan lain sebagainya. Menurut saya, sistemnya masih harus dipelajari dan diperbaiki,sehingga perlunya sosialisasi khususnya untuk masyarakat yang belum terjamah fasilitas kesehatan. BPJS harus memperbaiki sistem pelayanannya dengan baik untuk mengurangi kasus-kasus yang timbul dari dampak pelayanan kesehatan tersebut.
Reply
# Farah Nuriannisa 2016-10-13 07:58
Ijin menambahkan opini Mbak Rosita. Di Surabaya pun masih sering terjadi diskriminasi perlakuan antara pasien BPJS dgn non BPJS, misalnya untuk pasien BPJS lbh lama untuk antri menerima pelayanan drpd yg non BPJS. Mungkin itu bs jd salah satu alasan masyarakat untuk tdk mengikuti BPJS jg selain dr segi birokrasi, jd mgkn bs dievaluasi terkait diskriminasi pelayanan itu. Terimakasih
Reply
# Rizti Medisa 2016-10-13 15:02
Selamat Malam, izin menambahkan pendapat mengenai program BPJS.
Sebagai bagian dari kebijakan kesehatan, pelaksanaan BPJS masih terdapat kekurangan dalam hal pelayanan kepada peserta, salah satunya seperti yang disampaikan Mbak Farah di atas. Karena alasan diskriminasi tersebut, masyarakat tertentu tetap memilih berobat dengan biaya mandiri untuk menghindari antrian lama atau segala "kerumitan" yang kerap dikeluhkan banyak orang.
Hal-hal teknis terkait pembayaran iuran dan sistem informasi manajemen nya juga masih perlu perbaikan. Terkait dengan peraturan terbaru yaitu "Bayar BPJS Kesehatan Harus 1 KK" yang berlaku per 1 September, belum disosialisasikan secara menyeluruh dan masih terjadi kesalahan yang merugikan peserta.
Contoh :
1. Tn.W membayar perawatan Kelas I untuk dirinya dan 3 orang anggota keluarga, yang mana totalnya 320.000, tetapi ternyata tiap orang di keluarga Tn.W masih diharuskan membayar 320.000.
2. Peserta perawatan kelas III tiba-tiba statusnya berubah menjadi peserta perawatan kelas I. Yang seharusnya membayar 100.000 untuk 4 orang anggota keluarga, saat membayar melalui ATM diminta membayar sebesar 320.000

Meskipun masyarakat merasa terbantu dengan BPJS, perlu dilakukan monitoring dan evaluasi berkala, terutama terkait hal-hal teknis yang tidak dapat diremehkan. Perlu perbaikan di berbagai aspek dalam pelaksanaan BPJS. Rentang waktu 11 tahun dari penyusunan undang-undang hingga menjadi kebijakan seharusnya bisa digunakan untuk memperkirakan masalah yang akan timbul beserta alternatif solusinya yang tentunya tidak merugikan peserta penerima jaminan kesehatan. Apabila permasalahan seperti itu masih sering terjadi di kota-kota besar yang notabene akses dan infrastruktur sudah baik, bagaimana dengan daerah lain yang aksesnya masih terbatas? Pemerintah pusat dan daerah sebaiknya juga berkoordinasi terkait pelaksanaan di masing-masing daerah, dengan tetap memperhatikan kapasitas daerah, sehingga diharapkan seluruh peserta BPJS di seluruh Indonesia mendapat hak pelayanan sesuai dengan apa yang telah dibayarkan.
Demikian pendapat dari saya, terima kasih.
Reply
# Martha Puspita Sari 2016-10-13 08:54
Selamat sore, saya menambahkan pendapat bahwa proses penyusunan 2 UU (JKN dan BPJS), dipandang dari waktunya relatif memakan waktu sangat lama dan ada kesan dipaksakan. Idealnya, BPJS diterapkan terlebih dahulu di wilayah Jawa, sebagai wilayah yang paling siap dilihat dari fasilitas, sumber daya, dan infrastruktur kemudian diikuti oleh wilayah lain seiring dengan perbaikan fasilitas, sumber daya, dan infrastruktur. Seperti yang diketahui, pelaksanaan kebijakan BPJS sampai sekarang masih belum bisa optimal. Terdapat beberapa permasalahan dalam implementasi UU tersebut, seperti rujukan lembaga jasa kesehatan yang ditunjuk BPJS Kesehatan tidak fleksibel. Peserta BPJS hanya boleh memilih satu fasilitas kesehatan untuk memperoleh rujukan sehingga menyulitkan orang yang sering bepergian dan bekerja di tempat lain. Kemudian banyak peserta BPJS mengeluhkan pembayaran biaya pengobatan yang tidak ditanggung sepenuhnya oleh BPJS sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011, BPJS seharusnya menyelenggarakan sistem jaminan sosial berdasar asas kemanusiaan, manfaat, dan keadilan sosial bagi semua rakyat Indonesia. Oleh karena itu diperlukan perbaikian sistem dan pelaksanaan BPJS Kesehatan.
Reply
# yeniar alifa 2016-10-13 09:49
Munculnya masalah karena proses yang , dilihakurang tepat, dilihat segitiga kebijakan, aktor berada ditengah mengartikan posisinya akan mempengaruhi faktor lainnya dengan kata lain aktor merupakan mempunyai peranan yang paling penting dalam penyusunan kebijakat, Namun pada kasus ini stake holder teknis justru tidak diajak terlibat. Faktor politiknya sangat tinggi. Selain itu masih banyak daerah yang belum siap itu menerapkan kebijakan ini karena sarana prasarana yang masih kurang atau minim, jadi kesannya memaksakan. Perlu diiingat kebijakan ini dibuat untuk mensejahterahkan bukan membuat rakyat makin menderita
Reply
# yeniar alifa 2016-10-13 10:02
sepakat dengan mbak rosita dan mbak farah, dikriminasi pasien bpjs dan non bahkan juga terjadi di daerah saya, bahkan mungkin di daerah lainnya juga.
lalu masyarakat yang bukan dari perkotaan dan yang berasal dari sosial ekonomi kurang tidak memahami aturan BPJS, sehingga baru tau kalau ada asuransi saat sakit dan akhirnya bingung mengurus dan membayar. Lalu saat sudah sehat mereka berhenti membayar seakan-akan meremehkan
Reply
# Nurlienda Hasanah 2016-10-13 10:31
Selamat sore, menurut saya permasalahan yang dihadapi oleh pemberlakuan kebijakan JKN ini bermula dari ketidaksiapan dari berbagai aspek. Mulai dari agenda setting hingga implementasinya sehingga tidaklah mengherankan jika proses penyusunan kebijakan JKN ini disinyalir adanya dominasi kekuatan politik dengan tidak libatkan stakeholder teknis.

Sebenarnya sudah ada niat baik dari pemerintah untuk menjalankan amanat konstitusi dengan adanya UU SJSN dan BPJS, namun dikarenakan penggondokannya yang "setengah hati' dan terkesan lip service pemerintah pada masa penyusunan hingga pengesahannya serta kurangnya kajian berbasis evidence membuat masalah JKN ini kronis, berlarut-larut hingga saat ini dan masa yang akan datang jika tidak ditangani secara serius.

Perumusan kebijakan JKN dan BPJS memakan waktu yang lama, namun masih terdapat kekurangan pada berbagai aspek. Sebagai contoh dalam hal organization yakni sistem kontrol dan evaluasi. Sistem kepesertaan yang rumit dan sosialisasi yang belum menyebar secara luas membuat sebagian masyarakat mengambil jalan pintas, dengan pembayaran kolektif yang menjadi celah sejumlah oknum memanfaatkannya. BPJS palsu ditemukan di beberapa kota, seperti Cimahi,Padalarang dan Jakarta. Hal ini membuat keresahan pada sebagian peserta, khawatir kartu BPJSnya ditolak ketika diperlukan. Sehingga pada pelaksanaannya, kepatuhan peserta BPJS untuk membayar iuran secara berkesinambungan dan tepat waktu menjadi terancam. Padahal BPJS yang sebagian dananya didapat dari iuran peserta ini memerlukan kontinuitas pendanaan. Oleh karenanya, diperlukan pengoptimalan regulasi pada segi kontrol monitoring dan evaluasi BPJS. Jangan hanya di tingkat pusat, namun pemerintah daerah dan sektor terkait perlu dilibatkan.
Reply
# Nurmina H 2016-10-13 16:33
Izin berkomentar..
Saya sepakat dengan mba Lienda, bahwa lamanya waktu yang digunakan untuk perumusan sampai pengesahan UU BPJS tidak menjamin baiknya dalam pelaksanaan program BPJS ini sampai ke tingkat daerah. Contohnya di daerah saya, ada kasus seorang mendaftar BPJS karena ingin operasinya didanai sehingga mendaftarkan diri sebagai pengguna beberapa hari sebelum operasi dan setelah operasi selesai tidak lagi membayar premi yang menjadi kewajiban peserta BPJS. Ini tentu berdampak buruk kepada BPJS. Sehingga perlu adanya regulasi yang lebih baik untuk menjamin masyarakat dapat memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan dan membayarkan kewajibannya setiap bulan.
Reply
# Masfufah 2016-10-13 14:34
Mohon ijin berkomentar..
Kebijakan JKN merupakan program negara yang bertujuan memberikan kepastian perlindungan dan kesehatan bagi seluruh rakyat. Untuk mewujudkan tujuan tersebut dibentuklah badan penyelenggara yang berbentuk badan hukum berdasarkan prinsip kegotongroyongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana amanat, dan hasil pengelolaan dana jaminan kesehatan seluruhnya untuk pengembangan program kesehatan dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta.
Melihat dari tujuannya, dapat dikatakan bahwa program ini sangatlah baik namun pada kenyataannya masih memiliki banyak kekurangan misalkan saja perumusannya yang membutuhkan waktu yang agak lama dan adanya unsur politik dalam perumusannya. Dan ketika hal ini terjadi maka para politisi akan saling tarik ulur untuk mencari jalan yang aman untuk kepentingannya sendiri sehingga target dari sebuah kebijakan ini tidak tercapai dengan baik. Kalaupun politisi ikut serta dalam perumusan kebijakan kesehatan, alangkah baiknya kalau mereka paham dan mengerti betul mengenai seluk beluk tentang kesehatan agar mereka tahu apa yang harus dibahasnya agar implementasinya dapat diberlakukan secara efektif.
Karena pada kenyataannya Implementasi ideal dari JKN masih menemui berbagai kendala. Berbagai peraturan pelaksanaan yang dibutuhkan sampai saat ini belum terbentuk. Kompleksitas implementasi JKN terutama terletak pada pengaturan teknis berbagai program dalam JKN yakni jaminan kesehatan. Tampaknya memang masih diperlukan komitmen tinggi dan kesungguhan dari berbagai pihak pengambil kebijakan untuk mewujudkannya.
Reply
# Destriyani 2016-10-13 15:12
Di dalam naskah akademik UU SJSN tahun 2004 disebutkan bahwa program JKN adalah suatu program pemerintah dan masyarakat dengan tujuan memberikan kepastian jaminan kesehatan yang menyeluruh bagi setiap rakyat Indonesia agar penduduk Indonesia dapat hidup sehat, produktif dan sejahtera. UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) tidak menetapkan definisi atau pengertian JKN dalam salah satu ayat atau pasalnya. Dengan merangkai beberapa pasal dan ayat yang mengatur tentang program jaminan sosial, manfaat, tujuan dan tatalaksananya, dapat dirumuskan pengertian Jaminan Kesehatan Nasional sebagai beikut : Program jaminan sosial yang menjamin biaya pemeliharaan kesehatan serta pemenuhan kebutuhan dasar kesehatan yang diselenggarakan nasional secara bergotong-royong wajib oleh seluruh penduduk Indonesia dengan membayar iuran berkala atau iurannya dibayari oleh pemerintah kepada badan penyelenggara jaminan sosial kesehatn nirlaba-BPJS Kesehatan. Manfaat yang dijamin oleh program JKN berupa pelayanan kesehatan perseorangan yang komprehensif, mencakup pelayanan peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif) dan pengobatan (kuratif) dan pemulihan (rehablititatif) termasuk obat dan bahan medis. Pemberian manfaat tersebut dengan menggunakan teknik layanan terkendali mutu dan biaya. Program JKN hadir dalam pelayanan kesehatan karena perintah peraturan perundang-undangan. Peraturan perundangan mengatur dengan rinci tujuan, prinsip, para pelaku, dan tata kelola JKN dalam satu kesatuan sistem penyelenggaraan program jaminan sosial, yaitu sistem jaminan sosial nasional. Penetapan hal-hal tersebut melalui proses penetapan kebijakan publik. Dari pemahaman yang benar diharapkan akan tercipta dukungan publik secara berkelanjutan dan berorientasi peningkatan kualitas. Penyelenggaraan JKN menjadi program prioritas pemerintah, yaitu program kementerian kesehatan dan program dewan jaminan sosial nasional. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. HK.03.01/60/1/2010 Tentang Rencana Strategis Kementerian Kesehatan RI Tahun 2010-2014 menetapkan tema prioritas pembangunan kesehatan tahun 2010-2014 adalah peningkatan akses dan kualitas pelayanan kesehatan. JKN telah masuk dalam strategi utama program pembangunan kesehatan kementerian kesehatan dengan dimulai dari penyelenggaraan program jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin dan tidak mampu. Salah satu pelaku JKN adalah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan. BPJS kesehatan adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial kesehatan. BPJS kesehatan dibentuk dengan UU No.40 tahun 2004 tentang SJSN dan UU No.24 tahun 2011 tentang BPJS. Dalam pelaksaannya di lapangan, BPJS masih pro dan kontra misalnya dari segi pelayanan, dengan BPJS untuk berobat harus di faskes BPJS yang mungkin jauh dari tempat tinggal, akan berebut dengan peserta lain karena membludak yang seharusnya faskes ini untuk fasilitas masyarakat kurang mampu, pada akhirnya pelayanan tidak dapat maksimal dan menyulitkan saja.
Reply
# Fahmy 2016-10-13 15:12
Cukup hangat diskusinya. Saya sepakat ketika diskusinya tidak cenderung menyalahkan adanya kebijakan JKN ini, tetapi lebih kepada analisis mengapa bisa terjadi demikian (analysis of policy) dan bagaiamana solusi perbaikannya (analysis for policy).
Reply
# agus santosa 2016-10-13 15:56
Saya setuju mmg sepertinya pelaksanaan JKN terlalu dipaksakan karena tidak melihat realita kondisi masyarakat indonesia yang sebenarnya belum siap..Dengan rata-rata tingkat pendapatan dan pendidikan penduduk yang relatif masih rendah menjadi kendala pelaksanaan JKN ..Tidak mengherankan apabila saat ini banyak masyarakat yang membayar premi hanya ketika sakit, setelah sembuh masyarakat tidak membayar premi, hal ini dapat disebabkan :
1. mmg karena faktor ekonomi shg
masyarakat merasa berat membayar
premi setiap bulan.
2.bisa karena ketidaktahuan masyarakat
tentang fungsi JKN.
3.Masyarakat kecewa dengan pelayanan
kesehatan, dgn JKN masyarakat merasa
pelayanan kesehatan malah tdk baik.
Sehingga tidak mengherankan apabila saat ini BPJS menanggung tunggakan premi yang sangat besar...
Reply
# Fatimah Zahra Burhan 2016-10-13 19:11
Izin memberikan komentar. Saya sepakat bahwa masalah yang dihadapi dalam penyelenggaraan JKN berakar pada masalah kebijakan. Jika kita bedah unsur-unsurnya maka jelas terlihat bahwa aktor dalam penyusunan kebijakan ini notabene adalah para penguasa atau elit pemerintahan pusat yang dipengaruhi oleh kepentingan partai atau organisasinya masing-masing. Dalam penyusunan kebijakan ini tidak dilibatkan organisasi profesi sebagai pelaksana teknis di lapangan dan akademisi yang seyogyanya lebih tahu kebutuhan masyarakat berdasarkan evidence based dan pendekatan keilmuan. Tidak adanya jalur koordinasi yang jelas antara BPJS sebagai badan penyelenggara JKN ini dengan Kementerian Kesehatan, sehingga terjadi tumpang tindih dan ketidakjelasan regulasi di lapangan. BPJS seolah merupakan lembaga ekonomi yang hanya mengejar keuntungan tanpa menghiraukan kualitas pelayanan. Lamanya proses penyusunan kebijakan ini ternyata tidak menjamin kualitas dalam implementasinya hal ini menurut hemat saya disebabkan oleh proses penyusunan kebijakan termasuk aktor dalam perumusannya sehingga agenda setting dan identifikasi masalah menjadi tidak efisien dan efektif. Masalah lain dalam implementasi kebijakan ini adalah mengenai stakeholder yang memainkan peran yang berkaitan dengan implementasi kebijakan yang meliputi pelayanan dan sosialisasi kepada masyarakat sebagai pengguna layanan JKN ini. Salah satu contoh yang terjadi di daerah saya adalah berkenaan dengan kekurangan obat di apotik rumah sakit sehingga pasien harus membeli obat diluar dengan uang tunai. Berdasarkan Pasal 23 ayat (3) UU SJSN diatur: Dalam hal di suatu daerah belum tersedia fasilitas kesehatan yang memenuhi syarat guna memenuhi kebutuhan medik sejumlah peserta, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial wajib memberikan kompensasi. Dalam penjelasan UU tersebut dijelaskan bahwa Kompensasi yang diberikan pada peserta dapat dalam bentuk uang tunai, sesuai dengan hak peserta. Dalam implementasinya, kebanyakan peserta yang utamanya merupakan golongan masyarakat menengah ke bawah tidak mengetahui aturan ini sehingga ia tidak memasukkan permintaan kompensasi kepada pihak penyedia layanan BPJS di rumah sakit sehingga tidak mendapatkan kompensasi atau penggantian biaya beli obat diluar yang merupakan hak mereka. Sedangkan yang mengetahui hal ini hanya segelintir orang yang kenal dengan stakeholder BPJS sehingga mendapat informasi mengenai aturan ini. Hal ini menunjukkan sangat diperlukan komitmen dari stakeholder untuk memberikan sosialisasi mengenai layanan JKN ini sehingga masyarakat dapat menikmati haknya disamping membayar kewajiban premi atau sebagai PBI. Akhirnya, diharapkan kita semua sebagai generasi penerus dengan menimba ilmu mengenai Making Health Policy dapat berperan membuat sistem jaminan kesehatan lebih pro rakyat dan implementatif kemudian hari. Terimakasih.
Reply
# Andi tenri kawareng 2016-10-14 00:57
Selamat pagi, menurut saya JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) adalah program Pemerintah yang bertujuan memberikan kepastian jaminan kesehatan yang menyeluruh bagi seluruh rakyat Indonesia untuk dapat hidup sehat, produktif dan sejahtera.

Sesuai dengan UU No 40 Tahun 2004 tentang SJSN, maka Jaminan Kesehatan Nasional dikelola dengan prinsip Gotong royong. Dengan kewajiban semua peserta membayar iuran maka akan terjadi prinsip gotong royong dimana yang sehat membantu yang sakit, yang kaya membantu yang miskin Nirlaba. Namun pada prakteknya seiring dengan berjalannya waktu program ini berjalan menyimpang dari prinsipnya, banyak mereka yang telah terdaftar sebagai peserta BPJS tidak membayar iuran dan telah memanfaatkan pelayanan yang ada, sehingga terkesan memberatkan pihak yang patuh akan pembayaran iuran. Hal ini disebabkan oleh kurangnya sosialisasi sebelum peluncuran program ini. Sehingga beberapa daerah belum siap menjlankan program ini
Reply

Add comment

Security code
Refresh