Diskusi tentang masalah kebijakan - Minat K3

Di akhir pembahasan ada pernyataan mengenai masalah kebijakan. Masalah-masalah yang ada dapat dikelompokkan menjadi 2 hal besar yaitu:

  1. Proses penyusunan kebijakan JKN sebagai kebijakan public yang besar terlihat didominasi oleh kekuatan politik, dan tidak banyak melibatkan stakeholder teknis seperti IDI, PERSI, dan pihak akademisi. Aspek teknisnya terlihat kurang dipersiapkan dengan evidence yang tidak jelas.
  2. Proses penyusunan 2 UU (JKN dan BPJS), dipandang dari waktunya relative memakan waktu sangat lama dan ada kesan dipaksakan. Terlibat bahwa prosesnya tidak ideal.

Silahkan anda memberi komentar dibawah atau tambahan untuk masalah kebijakan yang ada di balik Kasus tersebut.

Comments  

# AHMAD FAUZI k3 2016 2016-10-10 07:08
Menurut saya kebijakan JKN sebagai kebijakan public memang kebijakan politik dan terkesan di pakasa demi kepentingan politik. Selain itu menurut saya perlu di lakukan amandemen undang-undang tentang BPJS yang selama ini BPJS bertanggung jawab langsung kepada presiden di rubah agar BPJS ini tidak merasa Super Power. Agar adanya sinergi BPJS dengan Dinas Kesehatan. Menurut saya BPJS ini jangan di terapakan dulu sebelum Infrastruktur dan SDM kesehatan tersebar merata di seluruh Indonesia.
Agar dokter spesialis mau di tempatkan di daerah terpencil.Apalagi pelayanan kesehatan yang menggunakan kartu BPJS Kesehatan sangat jauh dari kata Puas bagi peserta di banding pelayan kesehatan dibayar uang pribadi.Menurut saya perlu adanya REFORMASI di BPJS Kesehatan Baik di bidang kebijakan UU JKN dan BPJS serta Pelayanan Kesehatan. Menurut Saya BPJS Kesehatan ini baru siap di terapkan di Jawa. Karena Infrastruktur di bidang Kesehastan JAWA yang baru siap. Apalagi ada kebijakan pak Jokowi KIS yang sangat kental dengan adanya POLITIK yang masih tumpang tindih dengan BPJS Kesehatan
Menurut saya ada 3 hal yang harus hal mendasar yang harus di rubah:
1. UU BPJS Perlu dilakukan Amandemen/Perubahan Kalau perlu BPJS itu di bawah Kementrian Kesehatan
2. Adanya peningkatan Infratstruktur dan SDM di Bidang Kesehatan yang merata di seluruh Indonesia
3. Perlu adanya sosialisasi terhadap masyarakat dan sinergi dengan Dinas Kesehatan di daerah-daerah
Reply
# Anisful Lailil M. 2016-10-10 09:48
Menanggapi dan menambahi komentar dari mas Fauzi , untuk melakukan perubahan amandemen tentu perlu pentingnya sinergi. Pendapat saya tentang amandemen bpara pembuat kebijakan dari pusat harus duduk bersama dengan organisasi kesehatan seperti IDI, PPNI, IBI, dll sehingga membuat kebijakan juga dapat melihat secara langsung permasalahan yang ada di bidang kesehatan melalui delegasi organisasi kesehatan, dan tentu pembuat kebijakan harus memahami cara dan mengimplimentasikan kebijakan dengan efektif.
Reply
# Yessy Trisnaningsih 2016-10-10 10:03
proses pembuatan BPJS memakan waktu yang cukup lama, yang awalnya dari 1. pengundangan UU No. 40 Tahun 2004 Tentang SJSN pada 19 Oktober
2004;
2. pembacaan Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara No. 007/PUUIII/
2005 pada 31 Agustus 2005;
3. pengundangan UU No. 24 Tahun 2011 Tentang BPJS pada 25 November
2011;
4. pembubaran PT Askes dan PT Jamsostek pada 1 Januari 2014;
5. pengoperasian BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan pada 1
Januari 2014.
Meskipun sudah memakan waktu yang lama, namun ternyata pada implementasinya terkesan dipaksakan dan masih ada masalah-masalah yang muncul, antara lain :
1. defisit 7-9 triliun yang dikarenakan iuran premi yang cukup rendah, masalah kepesertaan yang dimulai karena sudah adanya sakit, dan sakit-sakit yang diderita merupakan penyakit akibat life style. meskipun sudah ada perpres no.19 tentang kenaikan premi ternyata hanya bisa mengurangi defisit 2-3 triliun saja.
masalah ini terjadi karena regulasi yang kurang kuat mengenai sistem kepesertaan dan kurangnya sosialisasi terhadap masyarakat.
2. Adanya kecurangan pada FKRTL berupa pengajuan klaim tidak sesuai dengan diagnosis.
3. jika dilihat dari segi tenaga medis, pendanaan kapitasi pada FKTP masih tergolong cukup rendah dan tidak sesuai dengan realita dilapangan.
Reply
# Anisful Lailil M. 2016-10-10 10:31
seperti yang dijelaskan oada komponen masalah yang ada di penjelasan tutorial antara lain :

1. BPJS mengalami defisit sekitar 4-5 triliun tiap tahunnya.

hal ini terjadi karena peserta yang non PBI menggunakan BPJS jika ada butuhnya saja sehingga dana bisa defisit.

2. Sistem single pool

klaim untuk PBI relatif lebih rendah sedangkan yang non PBI lebih tinggi, sehingga sistem single pool ini memberikan dampak seakan-akan salah subsidi.

3. Sistem pembelian pelayanan kesehatan oleh BPJS menghadapi berbagai tantangan, antara lain: penyebaran dokter dan RS yang tidak seimbang antar wilayah, dan kapitasi FKTP yang belum menjamin mutu.

Penyebaran RS masih belum fleksibel, karena pasien BPJS akan bisa berobat di RS jejaring BPJS dan tidak bisa secara langsung di gunakan di RS luar , untuk pindah harus menunggu proses lagi. Selain itu, RS di tiap daerah memiliki kelengkapan infrastruktur yang berbeda-beda.

Mengapa penyebaran Nakes masih minim dikarenkan anggaran untuk penyebarn nakes masih minim di kemenkes, sehingga kurang tersebar dengan baik.

Kapitasi pada FKTP juga belum menjamin mutu pelayanan, memang kapitasi bertujuan untuk membuat pelayanan secara teori menjadi pelayanan paripurna namun realita lapangan menunjukkan semakin membludaknya pasien BPJS faktanya pelayanan semakin dipercepat dan kepuasan pasien menurun dengan sistem regulasi yang ribet serta pengethauan tentang masyarakat tentang alur untuk mencari faskes belum di pahami banyak oleh masyarakat.


4. Pembangunan RS banyak di Jawa (Regional 1) yang mengakibatkan kebutuhan dokter spesialis semakin tinggi di Jawa. Hal ini dapat menarik dokter luar Jawa pindah ke Jawa. Di tahun 2014 dana Kemenkes untuk pembangunan RS atau faskes rendah, dan dana untuk penyebaran SDM kesehatan juga rendah.

Berdasarkan penelitian prof. Laksono menunjukkan bahwa ketidakmerataan ketersediaan fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan dan kondisi geografis yang sangat bervariasi, menimbulkan potensi melebamya ketidakadilan kesehatan antara kelompok masyarakat. Sebagai gambaran adalah ketimpangan infrastruktur, fasilitas dan
sumber daya manusia (SDM) antara Indonesia bagian barat dan timur. Di daerah kawasan timur jumlah fasilitas dan SDM kesehatan terbatas. Tanpa
adanya peningkatan ketersediaan (suplai fasilitas dan SDM di Indonesia bagian timur, dana BPJS Kesehatan akan banyak dimanfaatkan di daerah-daerah perkotaan dan wilayah
Indonesia Barat.

Dokter tertarik pindah ke jawa karena secara materil lebih untung di jawa, peluang kerja dan kebutuhan akan dokter juga meningkat ditambah fasilitas yang lebih memadai, selain itu dana APBN untuk penyebaran nakes masih di abaikan oleh kemenkes. APBN ke APBN-P 2014 yaitu 120 milyar ke 95,7 milyar untuk program perencanaan SDMK. Besarnya anggaran tersebut sangat kecil apabila ditujukan untuk penyebaran tenaga kesehatan ke daerah-daerah di Indonesia.


5. Fraud belum dapat dikendalikan karena sistem pencegahan dan penindakan belum ada.
Kecurangan/fraud terjadi banyak di lapangan realitanya. Kecurangan JKN menurut Permenkes No. 36 Tahun 2015 adalah tindakan yang
dilakukan dengan sengaja oleh peserta, petugas BPJS kesehatan, pemberi pelayanan kesehatan serta penyedia obat dan alat kesehatan untuk mendapatkan keuntungan finansial. Untuk sanksi fraud sudah ada berupa pemutusan kontrak kerjasama anatar BPJS dan faskes, yang memberi sanksi dinkes namun realitanya dinkes tidak bersinergi dengan BPJS sehingga untuk mekanisme sanksi belum terlaksana dengan baik.
Reply
# Zahra Kumala Rachma 2016-10-10 10:41
Sudah menjadi hal umum bahwasanya pembentukan kebijakan baru akan membentuk sebuah polemik permasalahan yang baru. Proses penyusunan yang lama namun implementasi yang terkesan memaksa membuat implementasi BPJS banyak menimbulkan kendala disetiap lini. Proses pembentukan sistem yang kurang melibatkan seluruh komponen masyarakat membuat pelaksanaan sistem BPJS kurang terorganisir dengan baik.
Risiko kecurangan dan moral hazard banyak ditemukan pada implementasi BPJS misalnya banyak peserta yang menunggak untuk melakukan pembayaran premi BPJS, sudah sakit baru mengurus BPJS, rumah sakit mengajukan klaim yang tidak sesuai dengan kondisi pasien (melebihkan agar mendapatkan keuntungan), puskesmas yang terkadan tidak memberikan pelayanan maksismal dan seringkali langsung melakukan rujukan ke puskesmas serta penyimpangan lainnya
Penyaluran dana yang diajukan BPJS juga belum tepat sasaran, belum adanya pemisah penggunaan dana untuk Peserta PBI dan peserta non PBI membuat seringkali dana yang seharusnya digunakan untuk peserta PBI disalurkan untuk peserta non PBI yang terkadang klaim yang diajukan jauh lebih tinggi dibandingkan mereka yang berasal dari kepersertaan PBI. Hal ini bisa dimungkinkan karena para peserta PBI yang berasal dari daerah-daerah ini belum bisa mengakses pelayanan dengan mudah dan tenaga kesehatan belum banyak ditemukan di daerah mereka. Oleh karena itu, untuk peningkatan kualitas kesehatan peran promotif dan preventif sangat diperlukan. Dalam hal ini peran puskesmas atau dinas kesehatan yang ada di daerah sangat dibutuhkan. Sehingga saya ingin menggarisbawahi bahwa BPJS harus bisa bersinergi dengan baik, baik dengan puskesmas maupun dengan dinas kesehatan di daerah-daerah yang erat kaitannya dengan pelayanan yang bersifat promotif maupun preventif demi peningkatan kualitas kesehatan masyarakat yang lebih baik.
Reply
# Pertiwi 2016-10-10 10:55
Proses Kebijakan penyusunan UU JKN dan BPJS merupakan kebijakan yang dibuat di Pusat tanpa ada campur tangan dari daerah yang lain. Padahal seharusnya kebijakan yang digunakan tersebut bukan hanya untuk kepentingan pusat saja, tetapi juga merupakan kebutuhan yang ada di daerah-daerah yang lain. Seharusnya dalam proses penyusunan UU harus dilibatkan penjabat daerah yang lebih paham tentang wilayah mereka sendiri sehingga dalam pelaksanaan UU JKN dan BPJS dapat memenuhi kebutuhan daerah secara merata dari sabang sampai merauke.
Reply
# arie prayudhi 2016-10-10 12:18
Program JKN sebenarnya bukan kebijakan yang baru di keluarkan oleh pemerintah sebelum-sebelumnya sudah banyak kebijakan-kebijakan yang serupa seperti JPS BK, Askeskin, Jamkesmas dan jampersal, dan sekarang JKN secara garis besar banyak kesamaan dari kebijakan-kebijakan di atas hanya berganti aturan dan nama. dilihat dari segi baiknya semua kebijakan tersebut sebenarnya bertujuan mulia sebagai usaha pemerintah menjamin semua rakyatnya mendapatkan pelayanan kesehatan yang optimal , akan tertapi di ibaratkan program JKN ini adalah bayi prematur yang di paksakan lahir walaupun secara anatomi dan fisiologi belum siap begitu pula dengan program JKN sebenarnya dipaksakan "kelahirannya" walaupun secara akademis kesiapan infra struktur, regulasi, SDM belum siap.yang menarik mengkaji alasan alasan pemerintah segera memasukan kebijakan tersebut ke DPR sebagai proses legislasi menurut model Hall ada tiga hal yang membuat sebuah kebijakan segera di masukan ke dalam proses legisasi yaitu : keabsahan (pemerintah dianggap berhak untuk turut campur), Tingkat kelayakan tinggi ( adanya sumber daya dan infrastruktur yg memadai) dan dukungan yg tinggi (Kelompok-kelompok yg medukung). Jika di lihat dari kebijakan JKN pemerintah merasa harus turun tangan untuk membantu rakyatnya dalam hal mendapatkan pelayanan kesehatan ( Keabsahan), pemerintah juga merasa sudah memiliki puskesmas sebagai infra struktur yg mendukung walaupun hal ini yang banyak di tentang oleh para akademisi ( Tingkat kelayakan tinggi) dan dukungan dari partai-partai politik pendukung pemerintah yang menggunakan isu-isu pelayanan kesehatan untuk kepentingan kampanye ( Kelompok-kelompok yang mendukung) dengan lengkapnya tiga unsur tersebut menurut model Hall pemerintah merasa bisa segera mengeksekusi program JKN walaupun minimnya masukan dari akademisi, organisasi-organisasi profesi dan pihak-pihak lain.
Reply
# Hesti Diana K32016 2016-10-10 13:57
Tanggapan saya mengenai kebijakan SJSN serta BPJS, menurut saya kebijakan BPJS tidak melulu memberikan dampak negatif, banyak pula masyarakat yang telah mendapatkan dampak positif masyarakat. walaupun kembali tidak dapat mencakup seluruh masyarakat di Indonesia. Pembicaraan mengenai BPJS ini sangat kompleks, banyak kekurangan-kekurangan yang dimiliki oleh BPJS yang kita telah ketahui sebelumnya, kebijakan mengenai BPJS mulai dari sistem yang dipaksakan ketika bangsa kita dianggap masih tidak mampu dalam hal kesiapan tenaga kesehatan juga biaya dalam menampung seluruh pasien yang menganggap bahwa apabila pengobatan dengan BPJS merupakan pengobatan gratis tanpa mengindahkan iuran yang harus di angsur setiap bulanya.
Saya beranggapan positif bahwa BPJS terlalu arogan karena menganggap bahwa lembaga tersebut langsung berada dibawah presiden serta campur tangan politik terlalu mengganggu. Banyak polemik-polemik yang mengakibatkan banyak masalah yang dianggap sebagai penghambat kelancaran pengimplementasian BPJS. Pada faktanya semua dapat memberikan tanggapanya mengenai salah satu kebijakan Indonesia yang tidak matang ini serta terkesan dipaksakan. Namun, apabila dari pengambil kebijakan sendiri bukan merupakan orang-orang yang mengerti kebutuhan dari rakyat perifer yang setidaknya mengerti mengenai kesehatan dan peduli tanpa memedulikan polemic politik, maka tidak akan pernah ada titik terang dari kebijakan ini. Oleh karena itu hingga saat ini permasalahan mengenai BPJS tidak kunjung menemukan titik terangnya. Semoga kedepanya dalam mengambil keputusan secara global yakni indonesia secara komprehensif, pada elite kebijakan dapat berasal dari orang-orang yang pernah mengalami permasalahan yang sesuai dengan kebijakan yang akan diambilnya.
Salam
Reply
# Selfiana Sakka 2016-10-10 14:47
Mengenai JKN dan BPJS, dilihat dari segi kepesertaan dan premi, sesuai dengan yang tertera di JKN dan perpres Nomor 12 tahun 2013, peserta dari JKN dikelompokan menjadi dua, yaitu peserta PBI (penerima bantuan luran) dan peserta non-PBI (non-penerima bantuan iuran). Untuk peserta PBI adalah peserta fakir dan miskin yang memenuhi kriteria sehingga preminya dibayar oleh pemerintah. Sedangkan peserta non-PBI adalah peserta yang membayar preminya secara mandiri. Sedangkan mengenai bpjs menurut data pelayananya masih kurang optimal sebab masih banyak di daerah terpencil belum mendaptkan pelayanan yang merata seperti yang dikeluarkannya Peraturan BPJS Kesehatan Nomor 4 Tahun 2014 yang direvisi oleh Peraturan BPJS Kesehatan Nomor 1 Tahun 2015 jelas-jelas sangat menyusahkan rakyat yang ingin menjadi peserta BPJS Kesehatan. Alasannya, diberlakukannya masa aktivasi yang awalnya tujuh hari dan sekarang ditambah menjadi 14 hari merupakan keputusan Direksi BPJS Kesehatan yang telah melanggar Pasal 20 Ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN. "Rakyat yang mau menjadi peserta BPJS Kesehatan disuruh kembali lagi ke kantor BPJS Kesehatan 14 hari kemudian untuk membayar iuran.
Reply
# Pratami Tamka 2016-10-10 23:11
penyusunan JKN dan BPJS yang tidak banyak melibatkan stakeholder teknis seperti IDI, PERSI, dan pihak akademisi mungkin merupakan suatu jawaban mengapa BPJS tidak terlalu berfungsi dengan baik di daerah , BPJS yang awalnya tujuannya membantu meringankan di daerah saya malahan menjadi beban untuk masyarakat yang sakit.
pembentukan BPJS yang juga pada awalnya bertujuan untuk menggantikan sejumlah lembaga jaminan sosial kesehatan (Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011) malah terlihat tumpang tindih dengan adanya KIS besutan presiden jokowi, kepentingan politik dengan iming-iming jaminan kesehatan yang pada zaman sekarang "SANGAT" dibutuhkan menjadi suatu senjata ampuh untuk menarik simpati masyarakat awam.
Reply
# Deslani K.N 2016-10-11 21:49
Selayaknya sebuah kebijakan, terutama kebijakan baru yang digulirkan ke masyarakat, tentu terdapat pro-kontra maupun trial error dari kebijakan tersebut, begitu juga dengan kebijakan BPJS ini.

Menurut pendapat saya, walaupun UU BPJS ini sudah dirancang sejak lama, bahkan fondasinya sudah diancang sejak 2004. Namun, entah kenapa masih terasa 'mentah' untuk digulirkan ketengah masyarakat. Hal ini mungkin yang membuat kebijakan ini terkesan dipaksakan, seperti yang disampaikan teman-teman diatas.

Bisa kita lihat dari ketidaksiapan sistem kesehatan kita untuk menerima kebijakan ini. Tenaga kesehatan yang kurang memadai (kekurangan jumlah tenaga kesehatan, tidak adanya pemerataan distribusi tenaga kesehatan), dan pelayanan kesehatan yang masih minim, terutama di daerah-daerah perifer membuat kurang efektifnya kebijakan ini untuk dilaksanakan.
Lebih jauh kita melihat membludaknya antrian peserta BPJS di rumah sakit-rumah sakit, yang berakibat pada kewalahan pihak rumah sakit mengatasi hal ini dan berkurangnya kualitas pelayanan kesehatan yang diterima masyarakat.

Di beberapa rumah sakit (terutama swasta), kita melihat pembatasan pasien pengguna BPJS, terutama untuk ruangan-ruangan intensif seperti ICU/CVCU/PICU. Hal ini bisa dimaklumi mengingat tingginya harga bayar ruangan-ruangan tersebut. Adanya pembatasan ini tentu terkait masalah dana/financial.
Sebagaimana kita ketahui, saat ini BPJS mengalami defisit sampai sekitar 8 triliun rupiah. Saya rasa ini adalah salah satu impact kurang matangnya sistem dari kebijakan ini sebelum digulirkan ke masyarakat.
Reply
# Raden Seto Kaliurang 2016-10-12 01:38
tanggapan sederhana dari saya, yang saya pahami asas awal dari terbentuknya BPJS adalah bergotong-royong. artinya masyarakat yang mampu memberikan bantuanya kepada masyarakat yang diaktegorikan tidak mampu. untuk permasalahan iuran/premi yang harus dibayar sepenuhnya merupakan tanggung jawab dari masyarakat tersebut, bukan karena dipaksakan ataupun memaksa namun inilah indonesia dimana hal lain yang tidak penting lebih di prioritaskan dari pada kesehatanya. untuk itu diperlukan suatu sistem yang tegas agar sistem yang dibentuk dapat dirasakan oleh semua orang tanpa ada terkecuali.
NB : tidak perlu adanya sistem atau program yang baru, kita/pemerintah cukup memperbaiki dan mengoptimalkan sistem yang telah ada dengan cara mengusut lebih lanjut oknum-oknum yang menjadi duri dalam sistem. makasih
Reply
# Muhammad Andriadi K 2016-10-12 04:48
Deretan panjang telah dilalui dalam mempersiapkan pelaksanaan program JKN pada awal tahun 2014. Reformasi menyeluruh program jaminan sosial bidang kesehatan sangat krusial untuk dilaksanakan, baik dalam aspek peraturan, kepesertaan, manfaat dan iuran, pelayanan kesehatan, penguatan SIM dan pembayaran. Pada dasarnya tujuan pelaksanaannya juga sangat baik bagi masyarakat indonesia. Namun hingga kini setelah penerapanya berbagai permasalahan telah muncul. Selama 1 tahun pertama muncul berbagai masalah yang dapat menyebabkan kesenjangan social, padahal esensinya adalah untuk keadilan sosial bagi warga Negara akan tetapi justru manfaatnya lebih dirasakan oleh orang yang mampu dan kaya, sedangkan orang miskin hanya memperoleh sedikit manfaat dari pelaksanaan JKN tersebut. Di beberapa daerah dengan keterisolasian jangkauan terhadap fasilitas kesehatan cenderung tidak memanfaatkan JKN tersebut, karena untuk dapat memanfaatkan fasilitas tersebut membutuhkan biaya transportasi yang besar dan sulit bagi mereka untuk dapat menjangkau harga transportasi yang mahal.

Saya rasa ada beberapa hal yang perlu ditinjau kembali dalam pelaksanaan JKN ini, baik dalam memberikan perlindungan, manfaat dan akses pelayanan kesehatan pada seluruh penduduk. JKN harus memberikan pelayanan secara meneyeluruh, Komprehensip sesuai kebutuhan medis berdasarkan kebutuhan dasar yang layak (pasal 22 UU SJSN). JKN juga harus memberikan keadilan dalam pembiayaan kesehatan sehingga terjadi cross subsidi di antara penduduk dan antara daerah. Serta Memperbaiki kembali berbagai kebijakan yang ada di JKN.
Reply
# Indah Rahmawati 2016-10-12 14:54
Undang-Undang SJSN tidak bicara banyak mengenai tradisi di sektor kesehatan, termasuk peran para dokter. Masalah apakah para dokter akan kekurangan income apabila menjalankan UU SJSN tidak dibahas, yang tentunya menimbulka polemik.
program JKN dan BPJS merupakan program kesehatan yang menyerupai program kesehatan yang ada pada negara maju sehingga Indonesia terkesan memaksakan diri dengan keterbatasan sarana prasarana, jangkauan fasilitas yang belum dapat mencapai seluruh lapisan masyarakat. Mengingat keberagaman masyarakat, JKN ataupun BPJS tentunya belum dapat dilaksanakan secara maksimal diseluruh pelosok Indonesia.
selain itu fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan kualitasnya tentu saja tidak sama di setiap daerah yang tentunya menimbulkan kesenjangan.
Hal-hal tersebut tentunya membuat program JKN ataupun BPJS belum dapat berjalan secara maksimal sehingga diperlukan inovasi-inovasi baru atau reformasi kesehatan.
Reply
# indah ade prianti 2016-10-13 01:28
memang benar kebijakan JKN masih didominasi oleh politik. Dan setiap kebijan pasti ada pro-kontranya. Menurut tanggapan saya, kebijakan ini sangat membantu masyarakat, dapat di lihat masyarakat sdh bebas biaya kesehatan lagi khususnya bagi masyarakat dalam kategori tidak mampu. akan tetapi, menurut saya perlu adanya perbaikan, misalnya pemerataan tenaga kesehatan, saran kesehatan, akses jalan, listrik dan sebagainya yang mendukung sehingga kebijakan JKN ini menjadi lebih baik. karena dpat dilihat di daerah pedalaman sana untuk mengakses kesehatan di tempat kesehatan sangat susah. ini diakibatkan sarana dan prasarana, infrastruktur yang masih kurang.
Reply
# dwi lassmy samaritan 2016-10-13 02:43
Menurut saya melihat dari keadaan BPJS yang mengalami kerugian dikarenakan para peserta yang tidak melakukan pembayaran atau iuran rutin bisa saja dikarenakan kurangnya soialisasi dan ketidakpuasan pengguna jaminan kesehatan dari BPJS karena merasa tidak mendapatkan pelayanan yang sama seperti pasien umum. faskes yang bekerjasama dengan BPJS harus menjalakan kewajibannya dengan baik sehingga dapat memberikan kepuasan pada pasien. selain itu pembentukan kebijakan pengobatan dalam bentuk paket dan kebijakan lainnya memerlukan perhitungan ulang dengan lebih rinci dengan mempertimbangkan pendapat dari pihak-pihak berkompeten. karena pelayanan jaminan kesehatan mengandalkan faskes tingkat pertama maka menurut saya penting untuk mengupayakan pemerataan faskes dan tenaga kesehatan di seluruh indonesia.
Reply
# Taufik abdullah 2016-10-13 04:36
awal permasalahan terlalu cepat pemerintah menjalankan program tersebut sehingga kurang adanya kesiapan serta masih minimnya pengetahuan masyarakat tentang JKN sehingga antusiasme masyarakat belum tinggi sehingga program JKN tidak berjalan dengan baik dan efektif
Reply
# M. Harry Wijaya 2016-10-13 04:48
BPJS Kesehatan juga harus memperhatikan peserta dengan baik, dan fasilitas layanan di rumah sakit. Sehingga masyarakat yang berhak bisa mendapatkan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan apa yang di butuhkan masyarakat. masalah obat juga sering di keluhkan di dalam JKN dan ruangan juga sering sekali terjadi, pelayanan merupakan masalah yang paling banyak dikeluhkan peserta maupun penyedia jasa pelayanan kesehatan. Dari sisi pasien, sering kali terdengar keluhan bahwa mereka mendapat pelayanan yang kurang menyenangkan, bila dibanding sesama pasien yang membayar tunai atau menjadi peserta asuransi swasta.
Reply
# M.Hamdani Silaban 2016-10-13 04:54
Kurangnya kesiapan dari pemerintah dan terhambat oleh perpolitikan sehingga pelaksanaan JKN ini sangat sulit berjalan dengan baik. Sampai kapan kebijakan kesehatan di Indonesia di kuasi politik padahal kita tau tanpa sehat tidak bisa berpolitik dan jadikanlah kesehatan itu no.1 di Indonesia
Reply
# Alim Renjana 2016-10-13 16:07
Menurut saya cara mengatasi masalah-masalah yang masih ada di BPJS yaitu dengan cara:
“Memperbaiki manajemen program” maksudnya mengaplikasikan dengan baik manajemen itu sehingga tujuan program yang diinginkan bisa benar-benar tercapai. manajemen program disini bisa meliputi perbaikan SDA ( petugas kesehatan agar tidak ada lagi perbedaan pelayanan. Membekali petugas kesehatan dengan pengetahuan tentang BPJS agar pada saat ada keluhan dari peserta maka petugas dengan sigap dan ramah menjawab semua keluhan. selain petugas kesehatan, peserta BPJS kesehatan pun harus betul-betul mengerti dan mengetahui semua tentang BPJS agar nantinya pada saat pelaksaan di lapangan tidak ada lagi keluhan dengan alasan tidak tahu, atau tidak sesuai padahal semuanya sudah jelas ada di buku panduan BPJS). Pemerintah juga harus terus melakukan penyuluhan tentang kewajiban menjadi peserta BPJS terutama didaerah-daerah terpencil yang pada umumnya kesulitan mengakses informasi
Reply
# Ahmad Imanuddin 2016-10-14 06:17
Banyak sekali kendala di lapangan mengenai BPJS, seperti :
1. Sistem pelayanan yang kurang baik,
2. PBI atau kepesertaan/keanggotaan,
3. Defisit Anggaran pembiayaan,
3. SDM dan fasilitas kesehatan yang belum memadai di beberapa daerah terutama daerah pelosok di Indonesia.

Menurut saya perlu adanya sebuah prototipe untuk setiap kebijakan yang dibuat, sehingga bisa di uji coba terlebih dahulu di satu daerah pada jangka waktu tertentu. Baru akan bisa dilihat keberhasilan prototipe kebijakan tersebut, sehingga akan didapat masalah dan kendala di lapangan. Setelah itu baru dilakukan proses evaluasi, dan penerapan sistem yang baru. Proses ini mungkin akan memakan biaya yang cukup besar, dan juga waktu, tetapi jika prorotype kebijakan tersebut berhasil maka akan meminimalisir kendala-kendala di lapangan.
Reply
# suwandi n 2016-10-17 02:59
Saya sependapat dengan teman - teman diatas bahwa dalam pelaksanan program JKN dan BPJS terkesan dipaksakan, meskipun kita tahu bahwa dalam perumusan program ini memakan waktu yang lama. Dengan waktu yang lama tersebut seharusnya para pembuat kebijakan ini dapat merumuskan suatu kebijakan yang baik, dengan mempertimbangkan dampak dari program ini, namun yang menjadi pertanyaan saya mengapa program ini tetap dikeluarkan untuk publik?.
Reply

Add comment

Security code
Refresh