Diskusi tentang masalah kebijakan - Minat KMPK

Di akhir pembahasan ada pernyataan mengenai masalah kebijakan. Masalah-masalah yang ada dapat dikelompokkan menjadi 2 hal besar yaitu:

  1. Proses penyusunan kebijakan JKN sebagai kebijakan public yang besar terlihat didominasi oleh kekuatan politik, dan tidak banyak melibatkan stakeholder teknis seperti IDI, PERSI, dan pihak akademisi. Aspek teknisnya terlihat kurang dipersiapkan dengan evidence yang tidak jelas.
  2. Proses penyusunan 2 UU (JKN dan BPJS), dipandang dari waktunya relative memakan waktu sangat lama dan ada kesan dipaksakan. Terlibat bahwa prosesnya tidak ideal.

Silahkan anda memberi komentar dibawah atau tambahan untuk masalah kebijakan yang ada di balik Kasus tersebut.

Comments  

# Henny Marchelina 2016-10-11 02:04
Dalam pembahasan penyusunan kebijakan JKN ini, saya setuju bahwa kebijakan JKN banyak didominasi oleh kepentingan politik. Proses yang lambat dalam pemberlakuan UU ini, Memperlihatkan bahwa UU SJSN dan UU BPJS penuh dengan unsur politik terutama saat pemberlakuannya saat pergantian kekuasaan presiden di tahun 2014. Disaat penerbitan UU ini pun terkesan tergesa-tergesa dimana sosialisasi ke daerah dirasa masih sangat kurang terutama didaerah pelosok, dan pada 1 januari 2014 saat itu belum ada juknis untuk implementasi JKN, sehingga pelaksanaannya di daerah masih meraba-raba maksud dari kebijakan ini. Selain itu UU ini masih banyak kekurangan. Kebijakan yang sepertinya terkesan di paksakan untuk melaksanakan kepentingan politik sehingga terlihat ketimpangan terutama dari implementasi BPJS di masyarakat.
Reply
# Florianus Albertus 2016-10-11 16:56
Ada beberapa hal menurut saya yang berkaitan dengan penyusunan kebijakan JKN dan BPJS:
Dari sisi aktor/pelaku ada Presiden/pemerintah dan DPR sebagai kelompok pengambil keputusan resmi. Selain itu ada pula stakeholder yang memiliki kekuatan untuk mempengaruhi isu, mempunyai sumber daya atau keahlian dalam perumusan atau pengimplementasian pilihan kebijakan. Dalam konteks JKN dan BPJS, stakeholder yang memiliki keahlian dan pengetahuan ini (IDI, PERSI) tidak dilibatkan secara penuh. Ada juga stakeholder lainnya yang memiliki kepentingan terhadap pemberlakuan kebijakan JKN seperti elemen-elemen masyarakat yang tergabung dalam Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS) yang mendukung pemberlakuan segera kebijakan JKN dan BPJS serta Serikat Pekerja Nasional yang menolak pemberlakuan kebijakan tersebut.
Dari sisi konteks:yang paling berpengaruh adalah faktor struktural yakni kepentingan politik. Berlarut-larutnya pembahasan RUU BPJS selain karena adanya perbedaan pandangan diantara menteri terkait (Tim Kerja Menko Kesra dan Tim Kerja Meneg BUMN), juga karena tidak adanya kesepakatan-kesepakatan antara Pemerintah dan DPR dalam poin-poin tertentu. Selain itu juga ada faktor situasional berupa tekanan sosial dalam bentuk demonstrasi besar-besaran baik itu dilakukan oleh yang pro pengesahan RUU BPJS maupun yang menolak.
Dari sisi proses, stakeholder yang sebetulnya memiliki ilmu dan pengetahuan tentang kebijakan JKN dan BPJS tidak dilibatkan secara intens. Akibatnya naskah akademik yang telah disusun kurang digunakan/dipertimbangkan dalam proses pembuatan kebijakan JKN dan BPJS khususnya pada tahapan agenda seting. Proses penyusunan kebijakan ini kembali masih didominasi oleh kepentingan politik sesuai faktor situasional yang tergambar diatas.
Sebagai akibat proses yang tidak berjalan secara baik ini, maka isi kebijakan JKN dan BPJS yang tujuan sebenarnya baik yakni Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan menjadi penuh bermasalah dalam implementasinya.
Reply
# Judika Tampubolon 2016-10-11 17:37
Selamat pagi,
Dalam diskusi minggu ini tentang penyusunan kebijakan kesehatan pada UU Nomor 40 tahun 2004 tentang SJSN dan UU Nomor 24 tahun 2011 tentang BPJS, saya sependapat bahwa penyusunan kebijakan tersebut terkesan dipaksakan dan prosesnya tidak ideal. Mengapa demikian? Menurut saya, bila hal ini ditelaah dari aspek segitiga kebijakan maka para pelaku penyusunan kebijakan (aktor) tidak melibatkan seluruh stakeholder yang seharusnya berperan dalam peyusunan kebijakan yang melahirkan UU tersebut. Penyusunan kebijakan didominasi oleh para politisi yang tidak paham tentang pelayanan kesehatan secara holistik termasuk tentang standar pelayanan minimal kesehatan (SPM-Kesehatan). Proses pengesahan RUU menjadi UU sekaitan dengan naskah akademik yang telah disusun kurang digunakan/dipertimbangkan dalam kebijakan JKN dan BPJS khususnya pada tahap agenda seting, sehingga lembaga eksekutif dan legislatif (yang berlatar belakang berbagai pendidikan dan belum tentu seorang berprofesi/ praktisi kesehatan) turut memperlemah konteks dan kontent dari kebijakan tentang SJSN dan BPJS, dan UU tersebut akhirnya disahkan hanya untuk kepentingan golongan masing-masing para politisi dari perspektif ekonomi saja, bukan untuk kepentingan masyarakat luas.
Selanjutnya berdasarkan aspek ideologi, maka UU SJSN dan UU BPJS seharusnya melahirkan kondisi yang berlandasakan ideologi Pancasila dimana seluruh rakyat Indonesia berhak mendapatkan kehidupan sehat yang berkeadilan, sementara saat ini di daerah-daerah Indonesia masih ada fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan (terkhusus dokter spesialis) yang tidak menyebar secara merata. Sehingga yang menikmati kebijakan kesehatan tentang JKN hanya orang-orang yang tertentu saja.
Berdasarkan evidence-based seharusnya sebuah kebijakan tersebut disusun berdasarkan permasalahan yang ada dengan menganalisis secara ‘matang’ pada bukti dan data ilmiah, tetapi pada kenyataannya implementasi dari UU SJSN dan UU BPJS tersebut tidak menjawab permasalahan kesehatan yang ada. Upaya kesehatan yang dilakukan melalui UU SJSN dan UU BPJS mendominasi pada pelayanan kesehatan kuratif saja, kurang memperhatikan dalam pelayanan kesehatan promotif dan preventif.

Terima kasih..
Salam KMPK
Reply
# Riesa Daeyani 2016-10-12 00:13
Menilik sejarah panjang lahirnya JKN, dimulai saat masa embrionya ketika muncul UU No. 40 tahun 20014 tentang SJSN hingga kelahirannya yang tak terduga di 1 Januari 2014 dengan Perpres No.12 tahun 2013 tentang JKN. Sejak awal lahirnya, muncul sebuah tanda tanya besar. Kenapa JKN dilahirkan tanpa adanya persiapan pola asuh dari berbagai aspek. Bagaimana JKN akan tumbuh dan berkembang tanpa persiapan berbagai aspek sumber daya (financing, method, regulation. Siapkah JKN menghadapi realita dan tantangan yang akan dihadapinya?
Sebuah kebijakan dilahirkan sebagai upaya untuk menyelesaikan masalah. Lalu sebenarnya apa masalahnya di balik lahirnya JKN?
Terbitnya UU SJSN tahun 2004, mengilhami saya melakukan penelitian pada tahun 2005 tentang kesiapan Pemberi Pelayanan Kesehatan dalam melaksanakan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM). Hasilnya belum ada kesiapan dari RS sebagai salah satu PPK dalam konsep JPKM sebagai asuransi sosial. Saat itu, kenapa JKN tidak langsung dilahirkan setelah adanya UU SJSN, pemikiran saya adalah pemerintah sedang mempersiapkan sebuah sistem yang kondusif untuk penyelenggaraan JKN. Jadi, ketika nantinya JKN lahir, sudah ada persiapan sumber daya yang matang. Terutama di daerah, sebagai lini terbawah dan ujung tombak pelaksanaan JKN. Tetapi bagaimana kenyataannya?
Pada bagian pertama ini, saya akan sedikit mengulas tentang kebijakan SJSN.
SJSN merupakan upaya memenuhi amanat konstitusi. Dalam Amandemen UUD 1945, Pasal 28 H ayat 3 dinyatakan, “Jaminan Sosial adalah hak setiap warganegara” dan Pasal 34 ayat 2 ditegaskan, “Negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu”. Sehingga MPR dalam TAP MPR No. X/MPR/2001 menugaskan Presiden untuk membentuk SJSN dalam rangka memberikan perlindungan sosial yang lebih menyeluruh dan terpadu. Hal ini berarti, SJSN sudah merupakan keputusan politik bersama dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Kajian tentang penyelenggaraan SJSN di Indonesia, ditugaskan pada sebuah Kelompok kerja yang dikukuhkan dengan Keppres 20/2002 dan Keppres 101/2003 menjadi Tim SJSN, untuk selanjutnya mempersiapkan naskah akademik dan RUU SJSN. Dapat dikatakan, 2 dokumen tersebut sudah dipersiapkan dalam waktu yang cukup lama. Karena merumuskan konsep SJSN yang ideal tidaklah mudah. Banyaknya persepsi yang berbeda tentang SJSN berdasarkan referensi
yang ada, serta pengalaman dan wacana dari negara lain yang sudah terlebih dulu menerapkan konsep SJSN. Sangatlah wajar, ketika naskah akademik dan RUU SJSN sering mengalami perubahan, hingga mencapai ke 56 kalinya, sebelum diajukan ke DPR. Proses ini penting untuk mewadahi pendapat dan masukan dari berbagai kalangan, baik badan penyelenggara, kalangan
akademisi, pakar, organisasi pemberi kerja dan pekerja serta kalangan ahli dari dalam dan luar negeri. Secara konsepsional, naskah akademik dan RUU SJSN telah disesuaikan dengan kondisi yang ada di Indonesia. Kemudian, setelah 2 tahun, pada Januari 2004, naskah akademik dan RUU SJSN diajukan ke DPR untuk dibahas bersama. Akhirnya pada 19 Oktober 2004, UU no. 40 tahun 2004 ini disahkan oleh Presiden Megawati. Memperhatikan dinamika pembahasan yang biasa terjadi di lingkup DPR, menurut saya rentang waktu pembahasan di DPR tentang RUU no. 40 tahun 2004 ini cukup singkat untuk sebuah kebijakan besar yang akan mereformasi salah satu sistem yang sangat fundamental di Indonesia. Adanya keterkaitan yang erat antara sebuah kebijakan dengan proses politik dan para pemangku kepentingan di dalamnya. UU no 40 tahun 2004 tentang SJSN ini diundangkan pada 19 Oktober 2004 oleh Presiden Megawati. Esoknya, tanggal 20 Oktober 2004, terdapat peristiwa sejarah penting, yaitu berakhirnya masa pemerintahan Presiden Megawati. Mengamati proses yang sebelumnya berlangsung, terkesan pengesahan UU SJSN ini adalah sebuah produk kebijakan sebagai bentuk rekam jejak politik pada masa pemerintahan Presiden Megawati.
Bagian kedua akan saya sampaikan berikutnya……
Reply
# Florianus Albertus 2016-10-12 06:32
Wah, jadi penasaran nih dengan bagian kedua dari pembahasan Mba Riesa, terutama dalam kaitan dengan proses agenda seting pembuatan UU BPJS. Kalo melihat dari apa yang disampaikan Mba Riesa tentang UU SJSN tim penyusun naskah akademiknya ditetapkan melaui Kepres dengan masa penyelesaiannya perumusan naskah akaedmik 2 tahun. Dan pembahasannya menjadi UU hanya memakan waktu kurang lebih 10 bulan. Bagaimana dengan tim penyusun naskah akademik UU BPJS, apakah juga ada Kepres yang mengatur tentang tim perumus naskah akaedmik? Karena dlam proses penyusunan UU BPJS, naskah akademik terkesan dikesampingkan.
Trima kasih Mba.....
Reply
# Riesa Daeyani 2016-10-12 07:43
Bahkan dalam Temu Ilmiah Public Health in the New Millenium FKMUI, tanggal 18-20 Agustus 2004 di Jakarta Hasbullah Thabrany, sebagai salah satu anggota Tim SJSN (Perubahan) menyampaikan sebelum adanya Tap MPR tersebut, telah dibentuk Tim SJSN tanpa legalisasi Keppres. Aktivitas tim ini banyak dilakukan di Kantor Menko Kesra, namun saat Gus Dur sebagai Presiden membubarkan kantor ini, tim tersebut langsung dikoordinir oleh Sekretaris Wapres. Pada saat itu, menurut Thabrany, banyak isu politik yang berhembus bahwa SJSN memiliki kaitan dengan target politik tertentu, juga adanya dugaan SJSN sebagai kendaraan politik Presiden, karena sekretariat Tim SJSN terletak di Kantor Sekretaris Wapres. Padahal faktanya, hal tersebut hanyalah sebuah kebetulan sebab Ketua Tim pertama kali adalah Alm. Prof. Yaumil Agus Achir yang saat itu masih menjabat sebagai Deputi Wapres bidang Kesejahteraan Rakyat.
Reply
# Nadia Syukria 2016-10-13 07:06
Pak Flori saya jadi tertarik membahas pernyataan anda mengenai naskah akademik.

Ketika saya membaca beberapa literatur (termasuk ulasan dari Mbak Riesa) yang menyangkut naskah akademik ada dua hal yang bisa saya simpulkan
1. Saya menilai naskah akademik SJSN sudah benar benar dibuat dengan baik (terlepas dari pengesahan yang mendadak), hal ini ditunjukkan dengan 56 kali perubahan, selain itu benar-benar sudah diplot bahasan menjadi beberapa bagian dengan runtut dan sistematis dalam 134 halaman. Sedangkan naskah akademik UU BPJS cukup singkat pembahasannya.
2. Tekanan luar negeri pada perjalanan RUU SJSN juga cukup kuat yaitu dengan adanya dokumen Asia Development Bank (ADB) yang bertajuk “Financial Governance and Social Security Reform Program (FGSSR). Dalam dokumen tersebut antara lain disebutkan: “ADB Technical Assistance was provided to help develop the SJSN in line with key policies and priorities established by the drafting team and other agencies.” Nilai bantuan program FGSSR ini sebesar US$ 250 juta atau Rp 2,25 triliun (kurs 9.000/US$). Sedangkan tekanan untuk perjalanan RUU BPJS salah satunya datang dari DPR yang menyebutkan mewakili masyarakat, karena seharusnya batas waktu pembentukan lembaga (yang tertera di UU no 40 tahun 2004) paling lambat Oktober 2009, notabene molor 2 tahun.
Reply
# Grace Sicilia 2016-10-12 15:37
Menarik dan cukup unik paparan yang mba Riesa sampaikan. Saya sendiri juga berpandangan serupa mengenai asumsi "kenapa JKN tidak langsung dilahirkan setelah adanya UU SJSN", bahwa pemerintah memang mempersiapkan sebuah sistem jaminan yang paripurna dalam mengcover pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia dengan membekali semua lini di faskes-faskes yang diperlukan sesuai content (isi)rancangan sistem jaminan yang dimaksud. Namun fakta berbicara lain, ternyata akhirnya JKN terlahir dengan kesan prematur ( tanpa persiapan yang matang baik dari kebijakan yang diputuskan maupun dari pelaksana yang dijadikan aktor pemberi pelayanan kesehatan) meskipun telah melalui proses selama 7 tahun.
Reply
# Achmad Djunawan 2016-10-12 04:56
Tanggapan terhadap UU SJSN dan UU BPJS

Bahwa ideologi indonesia adalah pancasila yang mana sila kedua adalah kemanusian yang adil dan beradab. Pelayanan dasar yang menjadi kebutuhan rakyat harus di penuhi oleh negara seperti pendidikan dan kesehatan. Biaya kesehatan untuk setiap warga negara khususnya orang miskin ditanggung negara sesuai dengan porsi biaya masing masing.
Sayangnya dalam pelaksanaan UU SJSN dan UU BPJS telah dapat terprediksi bahwa pelaksanaan akan terjadi banyak permasalahan khususnya dengan pengelolaan dana. Hal tersebut dapat dilihat dari
1.Banyaknya penduduk yang harus dicover
2.Premi terlalu kecil dengan fasilitas pelayanan kesehatan yang tidak terbatas
3.Tidak ada kriteria tertentu untuk menjadi peserta BPJS
4.Masyarakat masih berparadigma “tidak apa sakit toh nanti semua dibayar sama BPJS” dari pada mencegah kesakitan
5.Sistem kontrol untuk pelayanan kesehatan masih belum di rencanakan dengan baik
Dilihat pada awal RUU tersebut kemungkinan masalah itu telah terbaca sehingga perlu dilakukan kajian lebih dalam terhadap kebijakan tersebut.
Implementasi di pasuruan, daerah saya sendiri dapat dilihat penggunaan fasilitas BPJS rendah khususnya bagi peserta PBI, bukan karena tidak ada yang sakit tapi karena berbagai hal seperti
1.Tidak mengetahui bahwa mereka sedang sakit
2.Tidak tahu alur penggunaan fasilitias BPJS Kesehatan
3.Rumitnya proses administrasi untuk peserta PBI
Bila kebijakan ini dilihat dari segitiga kebijakan dapat dianalisa bahwa keberhasilan atau tidaknya kebijakan tergantung dari pelaku, konteks, isi, dan proses.
Berikut kita bahas Kebijakan melalui segitiga kebijakan
Pelaku :
Bahwa dalam pelaksanaan penyusunan kebijakan harus melibatkan berbagai pihak seperti kementrian kesehatan, kementrian sosial, badan keuangan, badan pusat statistik, penyedia obat dan alkes, perhimpunan organisasi fasilitas pelayanan kesehatan, ikatan profesi di bidang kesehatan, serta akademisi. Bila dilihat dalam pelaksanaan pembuatan kebijakan dapat diketahui bahwa tidak semua pihak dilibatkan sehingga banyak kebocoran kebocoran yang seharusnya dapat ditambal oleh pendapat dari pelaku lain.
Konteks :
1.Faktor situasional:
a.ketersediaan obat di pusat, daerah, maupun organisasi pelayanan kesehatan
b.ketersediaan, akses dan jarak dengan fasilitas pelayanan kesehatan primer maupun spesialis dan sub spesialis
c.ketersediaan tenaga medis, paramedis, kesehatan, mapun non kesehatan
d.kesiapan tenaga dalam pelaksanaan implementasi kebijakan

2.Faktor struktural:
a.politik sangat mempengaruhi dalam penyusunan kebijakan ini. Tekanan tekanan politik dapat diketahui dari terburu burunya penyusunan kebijakan ini untuk memenuhi janji politik yang di lakukan di awal pemilu
b.keadaan ekonomi negara juga menjadi hal sangat penting dalam penyusunan kebijakan ini. Ekonomi negara yang merupakan sumber pembiayaan dana kesehatan bagi rakyat miskin menentukan berapa besar dana yang akan digelontorkan bagi rakyat miskin tersebut.
3.faktor budaya tidak banyak berpengaruh pada kebijakan ini
4.faktor eksternal juga tidak banyak berpengaruh pada kebijakan ini

Proses:
1.Identifikasi Masalah dan Isu
a. belum meratanya pelayanan kesehatan di indonesia
b.terbatasnya akses pelayanan kesehatan bagi warga miskin
c.belum ada badan pemerintahan yang mengelola dana kesehatan secara menyeluruh untuk kuratif

2.Perumusan Kebijakan
Penyusunan Agenda, Formulasi kebijakan, dan Adopsi/ Legitimasi Kebijakan terkesan terburu buru dan banak disebabkan oleh tekanan politik tanpa adanya uji percontohan dan kajian kajian yang cukup sehingga dalam pelaksanaan belum maksimal

3.Pelaksanaan Kebijakan
Kebijakan ini langsung di implementasikan secara nasional setelah di sahkan pada 1 januari 2014 tanpa ada uji coba terlebih dahulu.

4.Monitoring dan Evaluasi Kebijakan
Monitoring dan evaluasi kebijakan masih belum di rencanakan dengan maksimal, mulai dari siapa yang harus monitoring evaluasi pelaksanaan dari badan jaminan sosialnya maupun fasyankes. Sanksi yang diberikan juga hanya sebatas pemutusan kontrak kerjasama.


Mohon dikoreksi atau ditambahkan bila ada kekurangan, terimakasih.......
Reply
# Kurnia Widyastuti 2016-10-12 10:19
Mencoba melihat dua kasus diatas dalam perspektif ilmu kebijakan, saya mencoba berpendapat dengan mengaitkannya pada segitiga kebijakan kesehatan. Yang kita ketahui bahwa segitiga kebijakan kesehatan merupakan sebuah pendekatan yang sudah disederhanakan dari tatanan kompleks yang meliputi aktor, konteks, proses dan isi yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Seperti yang diketahui, pelaksanaan kebijakan JKN sampai sekarang masih belum bisa dinilai optimal. Adapun faktor pelaku ternyata tidak diterapkan ideal dimana masih ada stakeholder yang tidak diikut sertakan dalam penyusunan, dalam hal ini adalah IDI, PERSI dan pihak akamedisi. Padahal, mereka mampu memberikan sumbangsih pemikiran secara ilmiah melalui akademisi dan pengalaman pelaksanaan secara teknis di lapangan sebagai bahan pertimbangan perencanaan agar kebijakan ini dapat berjalan ideal. Dominansi kekuatan politik sebagai pengambil kebijakan dikhawatirkan menjadi aspek kesalahan untuk kemudian kebijakan ini tidak menjadi matang. Elemen politik yang memiliki pengaruh besar berasosiasi dengan kekuasaan yang ia miliki, dimana kekuasaan ini berfungsi untuk mempengaruhi orang lain dengan membentuk keinginan mereka. Yang kita ketahui bahwa aktor mempengaruhi isi. Ketika belum semua stakeholder dilibatkan maka timbul kekhawatiran isi dari kebijakan yang tidak paripurna.
Aspek berikutnya berkenaan dengan faktor kontekstual. Sependapat dengan opini Pak Florianus, faktor situasional dan faktor struktural bermain peran dalam hal ini. Adanya pro kontra pelaksanaan BPJS sehingga pelaksanaan dari BPJS pun memerlukan waktu yang lama dan beberapa kali perombakan. Kontroversi itu juga melibatkan beberapa pihak seperti kementrian, pejabat pemerintah, dan pekerja. Seperti saat mentri teknis sedang mendorong terbentuknya BPJS, mentri keuangan dan BUMN masih bersikap konservatif.contoh lainnya kontra dari serikat pekerja melalui SPN yang sempat tidak setuju RUU BPJS disahkan menjadi undang-undang untuk dilaksanakan.
Aspek proses yang juga masih perlu telaah lagi, apakah dalam hal ini sudah sesuai menentukan identifikasi masalah/isu, perumusan kebijakan, pelaksanaan dan evaluasi kebijakan. Selain isu dari aktor yang mungkin kurnag kuat, hal ini juga berkenaan dengan monitoring dari pelaksanaannya, bagaimana tujuan JKN yang menyerukan untuk memberikan kemudahan dan akses pelayanan kesehatan kepada seluruh peserta telah tercapai di semua daerah. Yang kita tahu selama ini permasalahan pemerataan pelayanan fasilitas kesehatan di Indonesia masih belum merata di beberapa daerah sehingga memungkinkan asas “keadilan” tidak dirasa merata. Ketika tujuan belum tercapai apakah ada kebijakan baru yang dibuat sebagai alternatif untuk mencapai hasil yang diharapkan.
Terkait dengan proses, apakah implementasi ini sudah dilaksanakan melalui proses penelitian untuk mendapatkan bukti-bukti yang dilanjutkan dengan proses adopsi baru kemudian lanjut ke agenda setting, saya belum mendapatkan gambaran dalam hal ini. Apakah mungkin implementasi ini dilakukan sebagai pilot project untuk melihat gambaran keberhasilannya baru kemudian diimplementasikan secara nasional.
Reply
# Erwin Purwaningsih 2016-10-12 13:19
Indonesia telah melaksanakan program JKN terhitung sejak Januari 2014, yang dalam perjalanannya telah mengalami berbagai macam masalah dan tantangan. Pada proses penyusunan UU SJSN pada tahun 2004 terdapat proses yang diawali dengan Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2000, dimana Presiden Abdurrahman Wahid menyatakan tentang Pengembangan Konsep SJSN. Penetapan 4 BUMN sebagai BPJS dipahami sebagai monopoli dan menutup kesempatan daerah untuk menyelenggarakan jaminan sosial. 4 bulan kemudian, pada 31 Agustus 2005, MK menganulir 4 ayat dalam Pasal 5 yang mengatur penetapan 4 BUMN tersebut dan memberi peluang bagi daerah untuk membentuk BPJS Daerah (BPJSD). Putusan MK semakin memperumit penyelenggaraan jaminan sosial di masa transisi. Pembangunan kelembagaan SJSN yang semula diatur dalam satu paket peraturan dalam UU SJSN, kini harus diatur dengan UU BPJS. Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) pun akhirnya baru terbentuk. Pemerintah secara resmi membentuk DJSN lewat Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 110 tahun 2008 tentang pengangkatan anggota DJSN tertanggal 24 September 2008. Pembahasan RUU BPJS berjalan alot. Tim Kerja Menko Kesra dan Tim Kerja Meneg BUMN, yang notabene keduanya adalah Pembantu Presiden, tidak mencapai titik temu. RUU BPJS tidak selesai dirumuskan hingga tenggat peralihan UU SJSN pada 19 Oktober 2009 terlewati. Seluruh perhatian tercurah pada RUU BPJS sehingga perintah dari 21 pasal yang mendelegasikan peraturan pelaksanaan terabaikan. Hasilnya, penyelenggaraan jaminan sosial Indonesia gagal menaati semua ketentuan UU SJSN yaitu 5 tahun. Tahun berganti. DPR mengambil alih perancangan RUU BPJS pada tahun 2010. Perdebatankonsep BPJS kembali mencuat ke permukaan sejak DPR mengajukan RUU BPJS inisiatif DPR kepada Pemerintah pada bulan Juli 2010. Bahkan area perdebatan bertambah, selain bentuk  badan hukum, Pemerintah dan DPR tengah berseteru menentukan siapa BPJS dan berapa jumlah BPJS. Dikotomi BPJS multi dan BPJS tunggal tengah diperdebatkan dengan sengit. Pro dan kontra keberadaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) akhirnya berakhir pada 29 Oktober 2011, ketika DPR RI sepakat dan kemudian mengesahkannya menjadi Undang-Undang. Setelah melalui proses panjang yang melelahkan mulai dari puluhan kali rapat di mana setidaknya dilakukan tak kurang dari 50 kali pertemuan di tingkat Pansus, Panja, hingga prosesformal lainnya. Sementara di kalangan operator hal serupa dilakukan di lingkup empat BUMN penyelenggara program jaminan sosial meliputi PT Jamsostek, PT Taspen, Asabri, dan PTAskes. Dari berbagai proses diatas menunjukkan bahwa terdapat suatu tahapan-tahapan penyusunan agenda setting dimana tidak melibatkan aktor lain yang sesungguhnya terkait dan layak untuk dimintai pertimbangan seperti IDI, PERSI, dan pihak akademisi, namun disana hanya terlihat para pemangku kepentingan politik saja yang justru sibuk mengatur dan merumuskan sistem jaminan sosial di bidang kesehatan ini. Selain terdapat gambaran siapa saja aktor atau pelaku penyusun jaminan sosial ini juga dapat kita lihat dari aspek waktu, yang mana semua bermula dari inisisasi presiden ke-4 Indonesia pada tahun 2000 hingga penetapan UU SJSN tahun 2004, terkesan mengulur-ulur waktu dengan melempar naskah perencanaan ke sana dan ke sini dipandang dari waktunya relative memakan waktu sangat lama dan ada kesan dipaksakan dan faktanya bahwa prosesnya memang tidak ideal.
Reply
# Andri Nugroho 2016-10-12 16:08
Penyusunan kebijakan SJSN telah menjadi isu dan masalah yang patut diagendakan sesuai dengan amanat UU NKRI 1945 pasal 28 dan pasal 34.
Proses pengesahan kebijakan SJSN disahkan di akhir pemerintahan Megawati, hal ini mungkin terjadi sebagai pertanggungjawaban presiden terhadap Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik yang tertuang dalam TAP Nomor X/MPR/2001 dan amanat undang-undand dasar yang menugaskan Presiden untuk membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dalam rangka memberikan perlindungan sosial yang menyeluruh dan terpadu.
Dalam perjalannya diperlukan undang-undang BPJS dan ini pun memakan waktu yang cukup lama, ini dimungkinkan karena negara dinilai belum siap untuk dapat menjamin pemerataan terhadap jaminan kesehatan.
Kebijakan publik mengacu kepada kebijakan pemerintah. Thomas Die (2001)dalam buku Making Health Policy menyatakan bahwa kebijakan umum adalah segala sesuatu yang dipilih oleh pemerintah untuk dilaksanakan atau tidak. Ia berpendapat bahwa kegagalan untuk membuat keputusan atau bertidak atas suatu permasalahan juga merupakan suatu kebijakan, mungkin ini yang dilakukan pada pemerintahan SBY. Namun pada akhirnya kekuatan politik memaksa kebijakan ini untuk dibuat sebagai komitmen pemerintah.Walaupun prosenay terlihat kurang ideal dan dan tidak banyak melibatkan stakeholder teknis seperti IDI, PERSI, dan pihak akademisiserta naskah akademik yang jelas.
Ada beberapa Kriteria isu yang bisa dijadikan agenda kebijakan publik (Kimber, 1974; Salesbury 1976; Sandbach, 1980; Hogwood dan Gunn, 1986) diantaranya: telah mencapai titik kritis tertentu jika diabaikan, akan menjadi ancaman yang serius; telah mencapai tingkat partikularitas tertentu berdampak dramatis; 3. menyangkut emosi tertentu dari sudut kepent. orang banyak (umat manusia) dan mendapat dukungan media massa; 4. menjangkau dampak yang amat luas ; 5. mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan dalam masyarakat ; 6. menyangkut suatu persoalan yang fasionable
Reply
# Ratna Kusumasari P. 2016-10-12 20:00
Menyoroti proses penyusunan kebijakan JKN dan BPJS ini, kawan kawan sebelumnya sudah beberapa membahas dari segitiga kebijakan dan sepakat bahwa banyak ketidak idealan dalam penyusunnya dan kekuatan politik yang bermain. Kesempatan kali ini saya akan mencoba melihat dari segi kesiapan Rancangan Naskah Akademik (NA) terkait konten yang mana NA adalah dasar acuan pembuatan UU serta dihubungkan dengan pola implementasinya.

Bentuk badan hukum BPJS dan segmentasi penyelenggaraan jaminan sosial berhasil dirumuskan dan dituangkan dalam Naskah Akademik (NA) RUU SJSN. Namun, sayang sekali NA seolah hanya diperlakukan sebagai prasyarat pembuatan Undang-undang. Dalam setiap perdebatan, tim perumus tidak memerhatikan NA RUU SJSN.

Pertama, UU SJSN menetapkan BPJS sebagai badan hukum publik nirlaba dan penyelenggaraan jaminan sosial oleh beberapa badan penyelenggara. Dalam proses perumusannya, BPJS telah berkali-kali mengalami perubahan karena tarik-menarik kepentingan dan juga karena pertimbangan kelayakan implementasi UU SJSN dalam waktu dekat. Pilihan terahir kelembagaan SJSN dan BPJS dituangkan pada NA RUU SJSN dan RUU BPJS. Pada finalisasi rumusan RUU SJSN, berbagai ketentuan menyangkut BPJS (Persero), perlakuan khusus, Rapat Umum Pemegang Saham, Komisaris dan Direksi dihilangkan.

Mengenai konsep BUMN yaitu badan hukum publik nirlaba ini dimana sempat mengalami perdebatan sengit antara pemerintahan SBY dan DPR terhadap salah satu poin DIM (Daftar Inventarisasi Masalah) yang diajukan pemerintah yaitu Masa Peralihan (Transisi dan Transformasi) yang sebenarnya, secara prinsip DPR dan pemerintah sudah sepakat adanya transformasi. Namun, detail transformasi, seperti waktu transformasi masih diperdebatkan. Hal ini karena masih ada perbedaan pendapat di kalangan menteri mengenai penyatuan 4 BUMN yang sudah menjalankan fungsi jaminan sosial yaitu PT Jamsostek, PT Taspen, PT Asabri, dan PT Askes. Pemerintah sepertinya tidak rela jika keempat perusahaan negara yang akan dijadikan BPJS, melepaskan identitas BUMN-nya. Padahal jelas dinyatakan, bahwa pengelolaan SJSN salah satunya harus berprinsip nirlaba dan dana amanat, sesuatu hal yang jelas sangat jauh berbeda dengan ciri BUMN. Sebenarnya, perdebatan tentang bentuk badan hukum BPJS ini sudah berulang kali terjadi pada saat perumusan UU SJSN dan sudah final hasilnya dalam UU SJSN, yaitu nirlaba. Oleh karena itu, niat Pemerintah untuk mengulang perdebatan yang sama mengindikasikan bahwa dimungkinkan memang ada oknum yang tidak setuju dengan penerapan UU SJSN sehingga berusaha menggagalkannya dengan segala cara.

Kedua, Demikian halnya dengan penyelenggaraan jaminan sosial di daerah. NA RUU SJSN dengan tegas menjabarkan harmonisasi kebijakan jaminan sosial dengan kebijakan desentralisasi Pemerintahan dan otonomi daerah. Lebih jauh ditegaskan dalam NA RUU SJSN bahwa jaminan sosial merupakan tugas Negara yang jauh lebih efektif diselenggarakan secara nasional agar dapat dinikmati secara sama antar daerah. Oleh karenanya, diputuskan bahwa penyelenggaraan jaminan sosial dikelola secara nasional dan tidak didesentralisasikan. Keterlibatan Pemerintah Daerah dalam pembangunan jaminan sosial diarahkan pada pengelolaan dana, investasi dana dan penjaminan bagi penduduk miskin.

Namun konsep ini nampaknya saat sekarang mulai dianalisa dan direkonstruksi kembali bahwa pemerintah daerah (PEMDA) akan dilibatkan dalam kontribusi premi bagi masyarakatnya, hal ini karena adanya ketimpangan pada anggaran yang makin merugi di tingkat pusat karena belum idealnya pengaturan pembayaran dan penggunaan layanan kesehatan yang lebih spesifik agar tidak ada ketimpangan keuntungan yang tidak tepat sasaran.
(Bersambung...maaf terpotong)
Reply
# Ratna Kusumasari P. 2016-10-12 20:01
(Lanjutan sebelumnya)

Ketiga, Dalam NA RUU SJSN telah dijelaskan mekanisme penyelenggaraan jaminan kesehatan sosial beserta argumentasinya. Dengan rinci disampaikan bahwa program jaminan kesehatan diselenggarakan untuk terciptanya gotong-royong sosial yang melibatkan masyarakat dari seluruh strata ekonomi dan Pemerintah. Poin seluruh strata ekonomi ini faktanya perlu dievaluasi kembali, bentuk gotong royong yang bagaimana sebenarnya yang ideal diterapkan? Kalau kenyataannya jumlah dana BPJS yang terserap akhirnya adalah pada penyakit kronis pada strata ekonomi atas. Apakah mungkin kepesertaan BPJS akan berubah haluan segmentasi hanya untuk strata ekonomi ke bawah? Atau memungkinkan adanya dasar aturan yang lebih adil bsgi semua strata penggunanya.

Keempat, di dalam bagian Aturan Penjelas UU No 24 Tahun 2011 tentang BPJS disebutkan bahwa kepesertaan bersifat wajib meskipun bertahap. Hal ini juga tertera pada RNA RUU BPJS yang berbunyi “Perlu dikemukakan bahwa jangkauan kepesertaan program jaminan sosial sampai saat ini masih sangat terbatas. Perluasan kepesertaan menurut UU No. 40 Tahun 2004 dilakukan secara bertahap, diawali dengan program Jaminan Kesehatan (JK) bagi fakir miskin dan orang yang tidak mampu sebagai penerima bantuan iuran.”
Sayangnya dalam NA maupun RUU BPJS tidak ada penjelasan mengenai kriteria fakir miskin dan tidak mampu. Seolah di atas kertas, bantuan iuran bagi fakir miskin dan tidak mampu merupakan hal yang sangat baik. Namun, masalah klasik yang sering menjadi batu sandungan adalah tidak jelasnya kriteria kelompok fakir miskin dan tidak mampu. Dalam pelaksanaan Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) misalnya, ketidakjelasan dalam perumusan siapa saja yang seharusnya mendapat BLT menimbulkan kekacauan. Banyak warga yang secara kasat mata merupakan warga tidak mampu tidak mendapatkan BLT, sedangkan justru warga yang berkecukupan mendapatkan BLT. Jika hal kriteria kelompok fakir miskin dan tidak mampu tidak diperjelas dan disempurnakan, maka bukannya tidak mungkin dapat terjadi kekacauan dalam pelaksanaan SJSN (dalam program jaminan kesehatan) seperti yang mulai disadari baru-baru ini.

Beberapa fakta dan pengamatan di atas menjadi bukti bahwa ada ketimpangan dan kekurangan dalam pembahasan konten Naskah Akademik dengan UU BPJS dan SJSN serta aspek teknis dan penjelasan UU masih kurang dipersiapkan dengan fakta evidence-nya. Terlihat hingga saat ini masih terus dilakukan perbaikan dan aturan-aturan teknis yang harus disusun, terlibat bahwa prosesnya belum ideal.
Reply
# Heti Susilo A. 2016-10-13 04:48
Proses penyusunan kebijakan JKN sebagai kebijakan public yang besar terlihat didominasi oleh kekuatan politik, dan tidak banyak melibatkan stakeholder teknis seperti IDI, PERSI, dan pihak akademisi. Aspek teknisnya terlihat kurang dipersiapkan dengan evidence yang tidak jelas. Saya setuju dengan pernyataan ini. Karena tidak banyak melibatkan stakeholder teknis dan lebih di dominasi oleh aktor-aktor politik, konteks dan isi UU SJSN tidak bicara banyak mengenai tradisi di sektor kesehatan, bagaimana peran dokter dan tenaga medis lainnya. Selain itu, UU SJSN juga tidak membahas mengenai bagaimana meratakan pelayanan kesehatan ke berbagai tempat, sehingga yang terjadi saat ini adalah adanya kesenjangan pelayanan antar daerah di Indonesia. Pembangunan rumah sakit dan distribusi tenaga medis saat ini berpusat di pulau jawa, sehingga ada daerah-daerah yang kekurangan tenaga medis dan fasilitas kesehatan yang kurang memadai. Dari segi kepesertaan, dalam Peraturan Presiden Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran Kesehatan, tidak disebutkan secara jelas definisi baku tentang fakir miskin yang memperoleh bantuan iuran, sehingga rawan untuk terjadi penyimpangan.
Reply
# Mariane Erika Pay 2016-10-14 01:59
Terima kasih buat saya sampaikan kepada Heti Susilo Asih yang telah mengangkat tentang pemerataan masalah kesehatan dan kesenjangan pelayanan antar daerah terkait masalah BPJS ini. Saya sangat setuju. Masalahnya, setiap kali masalah BPJS diangkat hampir selalu dapat dipastikan bahwa masalah KESENJANGAN pelayanan yang menjadi isu nomor satu. Selalu ada perbandingan mencolok antara daerah Jawa (Indonesia bagian barat) dan NTT beserta tetangganya (Indonesia bagian timur). Seperti kata pak Felix Mailoa, sejawat kita di minat SIMKES, apakah kami (Indonesia Timur) bukan bagian dari Indonesia, mengapa seolah-olah kami "di-anak tiri-kan"? Mengapa semua program, proyek dan pusat semua kegiatan selalu dititikberatkan pada ibukota, pulau Jawa dan sekitarnya? Apakah ada unsur politik di dalamnya? toh kami juga ikut serta dalam PILKADA.
Selanjutnya, masalah pemerataan pelayanan kesehatan. Jika boleh berbagi sedikit, berdasarkan pengalaman, pernah ada anggota keluarga saya yang sakit. Waktu itu sempat dirujuk ke Denpasar-Bali, namun akhirnya tidak tertolong. Ketersediaan sarana prasarana menjadi masalah yang saya angkat. Kurangnya dokter ahli dan alat kesehatan yang berteknologi canggih, ditunjang dengan masalah jaringan listrik dan sebagainya, pantaslah kami disebut sebagai "anak tiri".
Menggarisbawahi pada UU BPJS nomor 24 tahun 2014 pada pasal 2 dimana BPJS menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional berdasarkan asas kemanusiaan, manfaat dan KEADILAN sosial bagi SELURUH masyarakat Indonesia, kiranya lebih diperhatikan oleh para pemegang kekuasaan penentu kebijakan.
Terima kasih.
Reply
# Ari Kurniawati 2016-10-13 05:03
Sebagai suatu kebijakan kesehatan, kebijakan JKN memiliki karakteristik sebagai berikut: 1. Bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui penyediaan jaminan pelayanan kesehatan 2. Merupakan kebijakan yang berisi tindakan atau pola tindakan pemerintah di bidang kesehatan 3. Merupakan kebijakan yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah bersama aparaturnya terutama organisasi pelayanan kesehatan. 4. Bersifat posistif dalam arti bahwa JKN dilakukan semata-mata untuk memberi manfaat bagi seluruh penduduk untuk memperoleh hak yang sama dalam pelayanan kesehatan. 5. Kebijakan JKN didasarkan pada peraturan atau perundang-undangan yang bersifat mengikat.
Dalam konten UU Nomor 40 tahun 2004 pasal 4 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, sistem ini diselenggarakan berdasarkan pada prinsip kegotong-royongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dan amanat, dan hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta. Apakah dalam implementasinya sudah tercemin seperti itu? Bisa kita lihat sejak awal penyusunannya yang penuh motif politik untuk mengesahkan UU tersebut, belum secara komprehensifnya pelibatan berbagai stakeholder yang vital seperti para pelaksana kebijakan tersebut seperti IDI yang akhirnya sampai sekarang menolak konsep DLP karena belum siapnya sistem kesehtan di Indonesia, belum adanya pilot project padahal situasi fasilitas pelayanan kesehatan di berbagai propinsi sangat beragam sehingga memperbesar gap menuju universal couverage, defisit yang semakin membengkak karena rasio klaim peserta mandiri malah menyedot dana dari pihak PBI, masalah distal para dokter yang mengeluhkan tidak sesuainya cakupan aspek yang dijamin dalam diagnosis dan terapi belum sesuai penerapannya sehingga memicu fraud, persepsi perilaku masyarakat yang kurang terdukasi (promotif preventif) sementara dana yang ada lebih berorientasi ke kuratif, SDM yang belum mendukung, sampai dengan BPJS yang dianggap superbody karena tiidak sejalan dengan sistem kesehatan nasional. Itulah fakta di mana JKN sebagai sebuah kebijakan kesehatan masih kompleks permasalahannya dari sisi konten, konteks, proses, dan aktor kebijakan tersebut.
Reply
# ANITA MEIRIANA kmpk 2016-10-13 05:32
sepemahaman saya, konsep kebijakan terdiri dari kebijkan publik dan kebijakan kesehatan.kebijakan kesehatan merupakan bentuk refleksi tindakan sosial dan politik, dengan tujuan interaksi antara pemerintah dan masyarakat untuk menanggulangi masalah kesehatan.
simpulan UU SJSN dan UU BPJS produk dari kebijakan kesehatan dengan adanya UU tersebut tidak dapat dipisahkan dengan situasi politik. dalam hal situasi politik ini terkait masalah isu- isu kesehatan yang penting yang dimanfaatkan oleh aktor sperti bupati dsb untuk daya tarik dalam kampanye.
selanjutnya penyusunan kebijakan ke dalam di pengaruhi oleh aktor yangtidak berdasarkan kebutuhan masyrakat tapi kebutuhan golongan, sehingga kebijakan belum siap diterapkan.
Reply
# Ridwan Bawor 2016-10-13 07:21
Mohon ijin, kita lihat dari segitiga kebijakan, empat faktor yaitu konteks, actor, proses, dan isi (konten). Para pelaku dapat dipengaruhi (sebagai seorang individu atau seorang anggota suatu kelompok atau organisasi) dalam konteks dimana mereka tinggal dan bekerja, konteks dipengaruhi oleh banyak faktor. Seperti ketidak stabilan atau ideology, dalam hal sejarah dan budaya, serta proses penyusunan kebijakan, bagaimana isi dapat menjadi menjadi agenda kebijakan, dan bagaimana isu tersebut dapat berharga yang dipengaruhi oleh pelaksana, kedudukan mereka dalam struktur kekuatan, norma dan harapan mereka sendiri. Dan isi dari kebijakan menunjukkan seluruh bagian ini. Segitiga kebijakan dapat bersifat Retrospektif yaitu meliputi evaluasi dan monitoring kebijakan) dan prospektif yaitu memberi pemikiran strategis, advokasi dan lobi kebijakan).
Menurut saya, dalam proses penyusunan kebijakan JKN didominasi oleh kekuatan politik itu benar adanya, dalam penyusunan kebijakan tersebut dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan politik tertentu. Tidak banyak melibatkan stakeholder teknis (Aktor) menurut saya juga benar, tetapi tetap melibatkan stakeholder teknis meskipun tidak semua terlibat. Proses yang lama dan sosialisasi yang masih kurang sehinggadalam pelaksanaannya masih sangat banyak terjadi kelemahan dari kebijakan ini. Masih banyak kebijakan (Permenkes, Juknis, dsb) masih yang hanya berorientasi pada hasilnya (output) , masih banyak yang “Asal Bapak Senang” yaitu terkait pergantian pejabat baru sehingga program pejabat lama harus segera tercapai 100% yang akan membuat citra pejabat lama dianggap bagus kinerjanya. Sehingga konsekuensinya akan banyak kekurangan setelah proses kebijakan tersebut berjalan. Sehingga pelaksanaan kebijakan ini terkesan terlalu dipaksakan.
Reply
# Ridwan Bawor 2016-10-13 07:21
Bila dilihat dari segitiga kebijakan, empat faktor yaitu konteks, actor, proses, dan isi (konten). Para pelaku dapat dipengaruhi (sebagai seorang individu atau seorang anggota suatu kelompok atau organisasi) dalam konteks dimana mereka tinggal dan bekerja, konteks dipengaruhi oleh banyak faktor. Seperti ketidak stabilan atau ideology, dalam hal sejarah dan budaya, serta proses penyusunan kebijakan, bagaimana isi dapat menjadi menjadi agenda kebijakan, dan bagaimana isu tersebut dapat berharga yang dipengaruhi oleh pelaksana, kedudukan mereka dalam struktur kekuatan, norma dan harapan mereka sendiri. Dan isi dari kebijakan menunjukkan seluruh bagian ini. Segitiga kebijakan dapat bersifat Retrospektif yaitu meliputi evaluasi dan monitoring kebijakan) dan prospektif yaitu memberi pemikiran strategis, advokasi dan lobi kebijakan).
Menurut saya, dalam proses penyusunan kebijakan JKN didominasi oleh kekuatan politik itu benar adanya, dalam penyusunan kebijakan tersebut dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan politik tertentu. Tidak banyak melibatkan stakeholder teknis (Aktor) menurut saya juga benar, tetapi tetap melibatkan stakeholder teknis meskipun tidak semua terlibat. Proses yang lama dan sosialisasi yang masih kurang sehinggadalam pelaksanaannya masih sangat banyak terjadi kelemahan dari kebijakan ini. Masih banyak kebijakan (Permenkes, Juknis, dsb) masih yang hanya berorientasi pada hasilnya (output) , masih banyak yang “Asal Bapak Senang” yaitu terkait pergantian pejabat baru sehingga program pejabat lama harus segera tercapai 100% yang akan membuat citra pejabat lama dianggap bagus kinerjanya. Sehingga konsekuensinya akan banyak kekurangan setelah proses kebijakan tersebut berjalan. Sehingga pelaksanaan kebijakan ini terkesan terlalu dipaksakan.
Reply
# Ingka Bella Naya 2016-10-13 10:49
Pembahasan penyusunan kebijakan JKN dan BPJS ini yang tidak banyak melibatkan stakeholder teknis seperti IDI, PERSI, dan pihak akademisi mungkin merupakan suatu jawaban mengapa BPJS tidak terlalu berfungsi dengan baik di daerah khususnya pedalaman/pelosok. Bagian proses yang berkaitan dengan agenda setting sehingga kemudian pada implementasi menimbulkan persoalan karena proses penyusunan tidak berjalan dengan baik. Adapun asas dan tujuan terkait dengan Amandemen UUD 1945, Pasal 28 H ayat 3 dinyatakan, “Jaminan Sosial adalah hak setiap warganegara” dan Pasal 34 ayat 2 ditegaskan, “Negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu”, hal tersebut yang menjadi isi sekaligus ideologi dari kebijakan UU SJSN dan UU BPJS.
Reply
# Hermanto 2016-10-13 14:53
1. - Didominasi kekuatan politik : Tujuan kebijakan mempengaruhi mempengaruhi penerimaan stake holder kebijakan disektor kesehatan. Dimana proses terjadi dipengaruhi oleh nilai-nilai dan kepentingan tertentu pula. Tentu hal ini tidak bisa lepas dari aspek politik yang dilakukan atau disponsori oleh partai-partai yang memang tertarik untuk menilai prospek-prospeknya dan mengelola perubahan kebijakan politik yang ada dengan mematuhi tujuan-tujuan yang telah ditetapkan.
- Tidak banyak melibatkan stake holder teknis : Pemahaman tentang kompleksitas kebijakan kesehatan sangat diperlukan, Berbagai aspek, termasuk politik ini perlu dipahami oleh para pemimpin lembaga, perhimpunan profesi dan asosiasi organisasi pelayanan kesehatan karena sangat mempengaruhi proses penyusunan UU. Para Pemimpin lembaga, perhimpunan profesi dan asosiasi organisasi pelayanan kesehatan sangat diperlukan kehadirannya untuk memasukan suara kedalam Undang-Undang. Para pakar (Akademisi) dan kelompok lain diluar struktur organisasi perlu dilibatkan kedalam kelompok kerja, sehingga setiap permasalahan yang timbul dapat dikaji secara akademis.
- Evidence tidak jelas : Pada tahun 1997 ada sekelompok akademisi di UGM yang menyampaikan naskah akademik untuk Rancangan Undang-Undang (RUU) Asuransi Kesehatan Sosial yang berfokus pendanaan masyarakat miskin oleh negara. Perkembangan selanjutnya, kebijakan politik berperan sehingga tidak focus pada masyarakat miskin saja namun UU SJSN & UU BPJS memberi tempat bagi masyarakat menengah keatas untuk menjadi anggota Asuransi Kesehatan Nasional. Kemudian terjadi unrationalisme in policy making dengan mengabaikan naskah akademik yang telah disusun oleh para akademisi. Semua lebih didorong oleh intuisi saja, atau opini, atau bisikan-bisikan, dan sebagainya. Tidak mengarah ke evidence based policy.

2. Kebijakan JKN dengan dasar 2 UU (Undang-Undang) yaitu :1. UU SJSN (2004), disahkan oleh Presiden Megawati pada hari terakhir pemerintahannya.
2. UU BPJS (2011) disahkan pada periode terakhir pemerintahan Presiden SBY.
Pengesahan dilakukan dalam suasana yang pro dan kontra terhadap isi RUU dengan demonstrasi besar-besaran di Gedung DPR Senayan pada tahun 2011.
Setiap tahap dalam siklus kebijakan ini mulai dari identifikasi masalah (agenda setting), perumusan kebijakan (formulasi), implementasi dan evaluasi, disesuaikan dengan peristiwa-peristiwa politik. Dengan demikian perubahan kebijakan tergantung pada analisis politik yang sistematis dan terjadi terus menerus (Roberts dkk, 2004). Karena sistem politik bersifat responsive terhadap tekanan masyarakat.
Implementasi ideal dari JKN masih menemui berbagai kendala. Berbagai peraturan pelaksanaan yang dibutuhkan sampai saat ini belum terbentuk. Kompleksitas implementasi JKN terutama terletak pada pengaturan teknis berbagai program dalam JKN yakni jaminan kesehatan. Tampaknya memang masih diperlukan komitmen tinggi dan kesungguhan dari berbagai pihak pengambil kebijakan untuk mewujudkannya.
Reply
# Wildan Akbar 2016-10-13 15:33
Bicara soal JKN kita bahas sejarahnya sedikit, Presiden Megawati mensahkan UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) pada tanggal 19 oktober 2004. Di awali dengan sidang tahunan MPR RI tahun 2000 dimana Presiden Abdurrahman Wahid menyatakan tentang pengembangan konsep SJSN. Pernyataan Presiden tersebut di realisasikan melalui upaya penyusunan konsep tentang Undang – Undang Jaminan Sosial (UU JS) oleh kantor Menko Kesra (Kep. Menko Kesra dan Taskin no 25 KEP/MENKO/KESRA/VIII/2000) pada tanggal 3 agustus 2000, tentang Pembentukan Tim Penyempurnaan Sistem Jaminan Sosial Nasional. Sejalan dengan persyaratan presiden, DPA RI melalui pertimbangan DPA RI No. 30/DPA/2000, menyatakan perlu di bentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang sejahtera. Namun sejak di sahkan UU NO. 40 Tahun 2004 oleh Presiden Megawati tentang SJSN selama beberapa tahun kedepan undang–undang tersebut hanya sebagai undang – undang dan belum ada pelaksanaannya. Dan pada masa kepemimipinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan berselang waktu kurang lebih tujuh tahun lamanya barulah dilakukannya pengesahan atau terjadi puncak dinamika dengan lahirnya UU NO. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), dalam undang-undang kesepakatan Pemerintah dan DPR telah di amanatkan bahwa BPJS Kesehatan harus sudah operasional pada 1 Januari 2014 dan peraturan perundangan di bawahnya harus sudah selesai 1 tahun setelah di undangkannya UU BPJS. Meskipun pada saat itu pemerintah tidak banyak melibatkan stakeholder teknis seperti IDI, PERSI, dan pihak akademisi dalam membuat suatu kebijakan/keputusan.
Kenapa kebijakan JKN di dominasi oleh kekuatan politik ? Penentuan kebijakan di bidang kesehatan memang merupakan sebuah sistem yang tidak lepas dari keadaan disekitarnya yaitu politik. Oleh karena itu, kebijakan yang dihasilkan merupakan produk dari serangkaian interaksi elit kunci dalam setiap proses pembuatan kebijakan termasuk tarik-menarik kepentingan antara aktor, interaksi kekuasaan, alokasi sumber daya dan bargaining position di antara elit yang terlibat. Proses pembentukan kebijakan tidak dapat menghindar dari upaya individual atau kelompok tertentu yang berusaha mempengaruhi para pengambil keputusan agar suatu kebijakan dapat lebih menguntungkan pihaknya. Semua itu merupakan manifestasi dari kekuatan politik (power) untuk mempertahankan stabilitas dan kepentingan masing-masing aktor. Bahkan tak jarang terjadi pula intervensi kekuasaan dan tarik-menarik kepentingan politis dari pemegang kekuasaan atau aktor yang memiliki pengaruh dalam posisi politik.
Peraturan pemerintah dalam bidang kesehatan meliputi undang-undang, peraturan presiden, keputusan menteri, peraturan daerah, baik tingkat provinsi maupun kabupaten kota, dan peraturan lainnya itu merupakan peraturan yang di atur oleh para elit politik.
Apakah setelah disahkan Undang-Undang NO. 40 Tahun 2011 tentang BPJS pelaksanaanya sudah berjalan dengan baik ? mungkin di daerah-daerah tertentu BPJS sudah berjalan dengan baik tapi bagaimana dengan daerah lainnya contohnya di salah satu daerah di Sulawesi Utara pada awal bulan oktober tahun 2016 di salah satu RSUD ada salah satu pasien dari peserta BPJS di paksakan pulang oleh pihak rumah sakit dengan alasan batas waktu yang di tentukan telah lewat yakni telat 15 hari dari waktu yang ditentukan, pasien dibawa pulang oleh keluarga dengan menggunakan kursi roda dan jarum infus masih menempel di tangan pasien (mungkin lebih jelasnya ada di media). Ada kasus lainnya juga seperti lambatnya pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang menggunakan kartu BPJS di bandingkan dengan masyarakat yang melakukan pelayanan kesehatan tanpa menggunakan kartu jaminan kesehatan/biaya mandiri. Mungkin dari beberapa contoh ini bisa disimpulkan bahwa apa yang diinginkan oleh pemerintah pusat atau para pembuat kebijakan tidak seperti apa yang masyarakat rasakan khususnya di daerah-daerah tertentu. Diharapkan dengan adanya sebagian kecil contoh dari ratusan juta masyarakat Indonesia yang masuk peserta BPJS tentunya ada perbaikan bagi Pemerintah mengenai Jaminan Kesehatan Nasional untuk terciptanya masyarakat Indonesia yang sehat secara merata dan sesuai dengan tujuan dari BPJS yaitu seluruh penduduk Indonesia memiliki jaminan kesehatan nasional untuk memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatannya yang di selenggarakan oleh BPJS Kesehatan. Peserta program JKN per 1 oktober 2016 berjumlah 169.357.677 (sumber data dari www.bpjs-kesehatan.go.id).
Terima kasih, mohon di koreksi jika ada kekurangannya :)
Reply
# TASMAN 2016-10-13 15:46
Kasusmingguinitentang UU SJSN dan UU BPJS ..
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) merupakan produk hukum yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden.

Menurut saya, UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN dan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS merupakan produk hukum yang masih premature, terkesan terburu buru. Yang didalam pengambilan kebijakannya tidak didasarkan pada kepentingan masyarakat, tetapi pada kepentingan golongan-golongan tertentu. Sehingga dalam implementasi kedua undang-undang tersebut ditemui berbagai masalah. KEMENKES sebagai regulatornya atau pembuat regulasi, sementara BPJS sebagai operator tidak mempunyai komunikasi yang baik. Apakah karena kedua lembaga ini sama-sama bertanggung jawab langsung kepada presiden? Sesuai yang diatur dalam UU Nomor 24 tahun 2011 pasal 37 (BPJS)
Serta dalam pelaksanaan kedua undang-undang itu belum didukung oleh FASYANKES dan NAKES yang memadai, dapat dilihat pada persebaran tenaga dokter yang tidak merata serta fasilitas-fasilitas pelayanan kesehatan yang belum siap, yang pada akhirnya berdampak pada pelayanan kesehatan yang diperoleh masyarakat itu sendiri.

Dalam implementasinya, Apakah kedua Undang-undang tersebut sudah menyelesaikan permasalahan kesehatan (pembiayaan terhadap pelayanan kesehatan)? Menurut saya belum secara keseluruhan masyarakat miskin memperoleh pelayanan kesehatan yang layak.

Salah satu kasus peserta BPJS mengeluhkan pembayaran biaya pengobatan yang tidak ditanggung sepenuhnya oleh BPJS. Sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011, BPJS seharusnya menyelenggarakan sistem jaminan social berdasar asas kemanusiaan, manfaat, dan keadilan social bagi semua rakyat Indonesia.

Dengan berbagai permasalahan yang timbul tersebut, sekiranya dapat menjadikan pelajaran berharga dalam perumusan kebijakan publik yang lebih memihak pada masyarakat, bukan pada kepentingan golongan, guna meningkatkan pelayanan kesehatan yang adil dan merata di seluruh Indonesia.Dengan melibatkan berbagai stakeholder yang berkompeten dalam penyusunan Undang-undang

Tasman KMPK16
Terima Kasih …
Reply
# Happy R Pangaribuan 2016-10-13 16:14
Saya setuju dengan pendapat teman teman sebelumnya, karena pada dasarnya isi sebuah kebijakan bertujuan untuk merespon berbagai masalah public yang mencakup berbagai bidang. Namun sejauh mana kebijakan tersebut benar benar dapat menjadi solusi masalah public? Seperti UU SJSN dan UU BPJS, sitem jaminan social merupakan bentuk perlindungan social untuk menjamin seluruh rakyat dala memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak, dimana BPJS dibentuk menjadi salah satu badan penyelenggara jaminan kesehatan social. Berdasarkan kasus,terdapat isu BPJS tahun 2016 diantaranya BPJS mengalami kerugian, subsidi penggunaan dana peserta PBI yang salah alamat, ketersediaan dokter dan rumah sakit yang tidak merata dan fraud belum dapat dikendalikan. Muncul kemudian pertanyaan apakah UU SJSN dan UU BPJS tersebut sebagai kebijakan yang menyelesaikan masalah atau menimbulkan masalah baru atau mungkin tidak berpengaruh sama sekali. Saya akan mencoba menganalisis kasus tersebut dengan pertanyaan “does this health policy based on research or based on politic interest”. Pertanyaan tersebut menyinggung salah satu komponen segitiga kebijakan yaitu proses yang dilakonkan oleh actor kebijakan. Menurut saya policy maker membuat kebijakan BPJS bukan seutuhnya karena kepentingan BPJS tetapi lebih kepada kepentingan individu atau golongannya. Dalam isi UU BPJS jelas dikatakan bahwa BPJS bertanggungjawab penuh kepada presiden, pernyataan tersebut memiliki makna yang ambigu. Hubungan antara BPJS dengan sector kesehatan lainnya tidak dijelaskan secara detail dan structural dalam UU tersebut, sehingga muncul berbagai persepsi yang berbeda yang dipakai oleh sector kesehatan. Disamping itu efektifnya kebijakan ini berpengaruh pada peran DJSN, pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Namun keterlibatan pemerintah daerah masih terbatas, hal ini mungkin terjadi karena tidak ada regulasi yang jelas tentang hubungan kerja antara JKN dan pemerintah. Demikian halnya dalam PMK RI tentang Fraud, masih kurang pengawasan atas aksi fraud tersebut. Anggaran BPJS sangat besar dan sangat tidak masuk akal jika BPJS rugi, UU ini sebaiknya direvisi. Menyusul pasal demi pasal lebih detail dan melibatkan semua sector terkait dalam pembuatan kebijakan JKN.
Reply
# Dewi Nur Fatimah 2016-10-13 16:20
Kebijakan JKN berawal dari UUD 1945, pasal 28 H ayat 3 Jaminan sosial adalah hak setiap warga Negara, dan pasal 34 ayat 2 Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu. Adanya TAP MPR No.X/2001 menugaskan presiden mewujudkan SJSN, kemudian Presiden Megawati membentuk Tim SJSN (Keppres No.20/2002 &101/2003). Setelah sebanyak 56 kali mengalami perubahan sebelum diajukan ke DPR, Naskah Akademik SJSN dan RUU SJSN akhirnya terbentuk. Sistem Jaminan Sosial merupakan keputusan politik bersama dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Pada tahun 2004 UU SJSN No.40 disahkan pada masa pemerintahan presiden Megawati akan berakhir. Selama kurang lebih tujuh tahun dari pengesahan UU SJSN barulah UU No.24 tahun 2011 tentang BPJS disahkan oleh pemerintahan Presiden SBY. Adanya desakan dari luar negeri untuk Pemerintah agar secepatnya mengembangkan Universal Health Coverage. Dan terkesan terlalu lama pemerintahan SBY meregulasikan sistem JKN yang diusulkan pada masa pemerintah sebelumnya. Tanpa adanya pengesahan UU BPJS maka UU SJSN tidak dapat diterapkan, karena perlunya legalitas BPJS sebagai penyelenggara jaminan sosial. Namun setelah pengesahan UU BPJS berselang kurang lebih dua tahun barulah pemerintahan SBY di akhir masa kepemimpinannya mengimplementasikan JKN tepatnya pada tanggal 1 Januari 2014 diseluruh wilayah Indonesia secara bertahap hingga tahun 2019 semua penduduk di Indonesia memiliki asuransi kesehatan atau menjadi peserta BPJS. Adanya ketidaksiapan didaerah dalam pelaksanaan JKN pada saat itu menimbulkan masalah, menurut saya ini sudah tepat harus segera dilaksanakan demi sistem kesehatan yang lebih baik, dengan penundaan tidak menjadi lebih baik. Karena SJSN ini sudah memakan waktu cukup lama kurang lebih sepuluh tahun.
Reply
# Rima Yunitasari 2016-10-13 16:59
Selamat malam, mencoba berkomentar.
Dalam proses penyusunan kebijakan UU SJSN dan BPJS tealh lama berjalan sebagai kebijakan public lebih tepatnya kebijakan yang bergerak di bidang kesehatan. Pada tahun 1997 UGM pernah menyusun dokumen akademik (bersama PT Askes Indonesia) mengenai RUU Sistem Asuransi Kesehatan Nasional. Naskah akademik ini membatasi Jaminan Kesehatan hanya untuk masyarakat bawah seperti Jamkesmas.
Proses penyusunan UU ini kemudian tidak berjalan dan berganti dengan RUU SJSN. Pengembangan RUU SJSN berjalan secara berat dan mencakup tidak hanya asuransi kesehatan. Materi Asuransi kesehatan digabungkan dengan berbagai jaminan sosial lain seperti yang dimaksud dengan ILO. Proses penyusunan UU SJSN penuh kompromi dan pengesahannya cukup menarik: di hari terakhir Presiden Megawati. Selanjutnya selama 5 tahun dari tahun 2004 sampai dengan 2009, UU SJSN tidak berjalan dengan baik. Proses ini menunjukkan adanya ketergesaan dalam pengesahannya.UU BPJS disahkan dalam suasana yang hiruk-pikuk dengan berbagai stakeholder yang berbeda pendapat dan berbagai demonstrasi yang pro dan kontra.
Dan menurut sepemahaman saya maksudnya adalah proses penyusunan kebijakan terkesan tertutup tanpa kajian, tanpa input yang matang, tanpa melibatkan stakeholder terkait yang berhubungan dengan kesehatan baik akademisi, ahli profesi, pihak rumah sakit, kemudian tiba-tiba muncul sebuah kebijakan. Proses yang tidak ideal akan berdampak pada implementasi kebijakan dimana akan banyak permasalahan yang akan muncul dilapangan.
Serta kebijakan publik ini bersifat politik adalah benar karena kebijakan di bidang kesehatan merupakan bentuk refleksi dari tindakan politik. Hal tersebut berfungsi untuk mengetahui bagaimana interaksi pemerintah dengan masyarakat dalam menanggulangi masalah kesehatan yang ada di dalam masyarakat. Pemerintah dituntut untuk mampu menyelesaikan masalah ini secara politik, hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan Politik sangat erat kaitannya dengan kebijakan publik, karena didalam politik itu selalu terkandung unsur kebijakan yang menyangkut harkat hidup masyarakat secara luas.
Sebagaimana tujuan dari bangsa dalam konteks ke Indonesiaan yang didasarkan pada Pancasila dan UUD 1945, menyebutkan bahwasannya keinginan dalam menciptakan masyarakat yang adil dan makmur.
Namun saya juga merasa adanya keganjalan bahwa kebejikan ini terkesan tumpang tindih dari proses penyusunananya yang terlalu lama dan unsur politik ini bukan semata untuk kepentingan masyarakat namun juga terkesan dipakai untuk kepentingan individu atau golongan.
Reply
# NURLIA YUSUF 2016-10-13 17:01
Answer: Menurut saya, proses penyusunan kebijakan dapat dilihat dari bagaimana kebijakan itu dimulai, dikembangkan atau disusun, dinegosiasikan, dikomunikasikan, dilaksanakan dan dievaluasi. Berikut penjelasannya:
a. Pada mulanya jauh sebelum adanya kebijakan JKN, terjadi suatu konflik dimana sekelompok akademisi menuntut adanya kebijakan kesehatan yang berpihak kepada masyarakat miskin.
b. Seiring berjalannya waktu, kebijakan politik tersebut berubah, dimana masyarakat menengah ke atas diberikan jalan untuk bisa menikmati subsidi pelayanan kesehatan dari negara. Menurut saya situasi ini bisa jadi merupakan awal mula kebijakan ini mengarah pada kepentingan kaum-kaum elit.
c. Tentunya dalam proses penyusunan, negosiasi dan komunikasi dilakukan oleh para pemangku kebijakan dan berbagai aktor-aktor didalamnya. Seperti yang kita ketahui bahwa aktor yang berperan dalam proses penyusunan kebijakan akan sangat mungkin untuk dipengaruhi oleh situasi yang ada disekitarnya termasuk intervensi asing dan para elite parpol. Walaupun dalam kenyataannya belum diketahui secara pasti ada aktor-aktor siapa saja yang ikut terlibat didalam penyusunan UU SJSN dan BPJS ini. Yang pasti kebijakan ini di berlakukan tanpa menimbang secara baik dalam hal teknis implementasinya, buktinya kebijakan ini tidak terlalu melibatkan stakeholder teknis seperti IDI, PERSI, dan pihak akademisi sehingga belum memiliki evidence yang jelas mendasari kebijakan ini untuk di berlakukan.
Reply
# Ratna Simbolon 2016-10-13 17:13
Berawal ditetapkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN maka bangsa Indonesia sebenarnya telah memiliki sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pasal 5 Undang-Undang tersebut mengamanatkan pembentukan badan yang disebut Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang harus dibentuk dengan Undang-Undang. Pada tanggal 25 November 2011, ditetapkan Undang-Undang No 24 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan sosial yang mulai dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2014. Karena perjalanan penyusunan 2 UU (JKN dan BPJS), dipandang dari waktunya relatif memakan waktu sangat lama dan ada kesan dipaksakan padahal disisi lain mengingat pelaksanaan BPJS dikeluarkan melalui Undang-Undang dimana bersifat mengatur sedangkan proses penetapan pelaksanaan diperkuat melalui surat keputusan atau ketetapan dari pejabat Negara yang berwenang seperti peraturan pemerintah dan peraturan presiden setidaknya minimal 10 regulasi turunan harus dibuat untuk memperkuat pelaksanaan BPJS. Seperti pada tahapan penyusunan, ketika isu dan identifikasi masalah sudah dilaksanakan, perumusan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan sudah dilaksanakan serta evaluasi kebijakan perlu untuk dilaksanakan. Harus dilakukan kajian lebih lanjut untuk merevisi regulasi turunan BPJS sehingga memudahkan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan, serta fasilitas kesehatan yang dimiliki dapat menunjang pelaksanaan secara efisien dan efektif dan untuk menutupi keprematuran diberlakukannya BPJS ini sehingga menurut saya perlu dipikirkan apakah kebijakan yang sudah diambil perlu diubah atau dibatalkan atau dibuat kebijakan baru.
Reply
# NURLIA YUSUF 2016-10-13 18:26
Answer: menambahkan dari tanggapan saya sebelumnya, menurut saya proses penyusunan UU SJSN dan UU BPJS terkesan dipaksakan adalah alasan sebagai berikut:
Berangkat dari sejarah UU SJSN yang pada saat itu disahkan oleh Ibu Megawati pada tahun 2004, di mana saat itu adalah detik-detik berakhirnya masa jabatannya sebagai Presiden RI yang kemudian digantikan oleh Bapak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Saat itu untuk menjalankan UU SJSN yang terlanjur disahkan, Bapak SBY dengan situasi yang pro dan kontra harus menyetujui pembentukan UU BPJS pada tahun 2011 yang di mana dalam UU BPJS disebutkan bahwa BPJS Kesehatan mulai beroperasi menyelenggarakan program jaminan kesehatan pada tanggal 1 Januari 2014 (Pasal 60 ayat-1). Kemudian sejak beroperasinya BPJS, Kementerian Kesehatan tidak lagi menyelenggarakan program jaminan kesehatan masyarakat; (Pasal 60 ayat-2) dan PT Askes (Persero) dinyatakan bubar semua aset dan liabilitas serta hak dan kewajiban hukum PT Askes (Persero) menjadi aset dan liabilitas serta hak dan kewajiban hukum BPJS Kesehatan (Pasal 60 ayat-3). Sebagaimana yang tertuang dalam UU BPJS Pasal 60 ayat-1 bahwa BPJS Kesehatan mulai beroperasi menyelenggarakan program jaminan kesehatan pada tanggal 1 Januari 2014 maka jika diperhatikan saat itu adalah berakhirnya masa jabatan SBY sebagai Presiden RI. Melihat hal tersebut timbul keganjilan bahwa UU SJSN dan UU BPJS seolah dilemparkan begitu saja tanpa ada yang ingin menanggung prospek implementasi dari kebijakan tersebut. Hal ini jika dikaitkan dengan konteks politik maka bisa jadi UU SJSN dan UU BPJS hanya sebagai alat untuk mempengaruhi opini masyarakat terhadap kepemimpinan mereka tanpa ada maksud yang sungguh-sungguh untuk menolong para kaum miskin sebagaimana sejarah dari munculnya kebijakan ini.
Reply
# Firdaini Armita 2016-10-13 18:57
Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) mengharuskan adanya UU lain mengenai Badan Pelaksana Jaminan Sosial. UU No. 40 Tahun 2004 tenang SJSN mengamanatkan dibentuknya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) paling lambat 19 Oktober 2009. Namun baru tanggal 29 Juli 2010 Rapat Pripurna DPR RI mengesahkan Rancangan Undang-undang BPJS sebagai usul inisiatif DPR. Pembahasan RUU ini telah memakan waktu 7 tahun, melebihi batas waktu yang ditetapkan oleh UU SJSN yaitu 5 tahun sejak ditetapkan UU SJSN tersebut. Hal ini terjadi karena kurangnya political will pemerintah (komitmen pemerintah untuk kesehatan). Salah satu penyebabnya adalah karena UU SJSN disahkan oleh Ibu Megawati di hari-hari akhir periode Kepresidenannya.
Pembentukan RUU BPJS juga harus melalui proses yang panjang karena adanya pro dan kontra antara pemerintah dengan DPR. Pada awalnya pemerintah menilai UU BPJS bersifat penetapan karena sudah menginduk kepada UU SJSN sedangkan DPR menginginkan UU BPJS bersifat pengaturan menyangkut lembaga BPJSnya. DPR meminta agar pemerintah merevisi Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dalam RUU BPJS. Namun pihak pemerintah mengharapkan DPR terebih dulu merevisi UU SJSN. Pemerintah dan DPR akhirnya menyepakati bahwa BPJS merupakan badan hukum publik. Dengan adanya kesepakatan ini BPJS tidak berbentuk BUMN yang harus mengedepankan keuntungan. Setelah tertunda selama 2 tahun, akhirnya pada tangal 28 Oktober 2011 DPR bersama dengan pemerintah menyetujui RUU BPJS menjadi UU BPJS No. 24 Tahun 2011.
Di akhir masa jabatan Persiden SBY tepatnya terhitung sejak 1 Januari 2014 BPJS Kesehatan mulai beroperasi menyelenggaran Program Jaminan Kesehatan. Kebijakan ini belum bisa dikatakan ideal dikarenakan terkesan terburu-buru dan minim sosialisasi, sehingga banyak masyarakat yang tidak faham mengenai prosedur BPJS.
Dalam aspek regulasi diperlukan suatu penyusunan terhadap peraturan pelaksana baru dalam menunjang penyelenggaraan jaminan kesehatan oleh BPJS kesehatan dan review atau meninjau kembali peraturan yang sudah berlaku pada masyarakat selama ini.
Reply
# Riski Malimpa 2016-10-13 19:13
Menanggapi UU No. 40 tahun 2004 (SJSN) dan UU No. 24 tahun 2011 (BPJS) dalam kerangka kebijakan, actor (pelaku) yang membuat kebijakan tersebut adalah pemerintah pusat dan DPR RI (legislatif). Untuk penyelenggaraan SJSN, perumusan kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan SJSN dilakukan oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). Dalam hal ini elit kebijakan tersebut dapat mempengaruhi proses penyusunan undang-undang terkait adanya unsur politik dan kepentingan.Kurangnya memahami kompleksitas kebijakan kesehatan oleh dokter dan kesehatan masyarakat dalam elit kebijakan tersebut berakibat fatal untuk kemajuan bangsa. Termasuk lamanya penyusunan UU SJSN dipandang sebagai akibat kesalahan membaca kekuatan politik. Sedangkan pada UU BPJS, transformasi PT.ASKES (Persero) menjadi BPJS Kesehatan per 1 Januari 2014 terlihat dipaksakan secara cepat.
Content (Isi) dari UU No. 40 tahun 2004 (SJSN) ialah Sistem Jaminan Sosial Nasional merupakan suatu tata cara penyelenggaraan program jaminan sosial oleh beberapa badan penyelenggaraan jaminan sosial. Tujuan SJSN untuk memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya.Sedangkan UU No. 24 tahun 2011 (BPJS), BPJS adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial, bertujuan untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Namun, pada pelaksanaannya masih terdapat ketimpangan di daerah/pelosok yang tidak merata untuk tenaga kesehatan, fasyankes dan pemanfaatan JKN. Konteks situasional dan struktural lebih dominan dalam mempengaruhi kebijakan ini. Pada proses penyusunan kebijakan, identifikasi dan perumusan kebijakan dirasa kurang melibatkan IDI, PERSI, dan akademisi secara penuh sehingga pada teknis pelaksanaannya banyak terjadi kendala. Padahal, pelaksanaan merupakan tahap yang paling penting dalam penyusunan kebijakan. Peraturan-peraturan baru yang digulirkan BPJS pada teknis pelaksanaan sekarang ini menunjukkan bahwa kebijakan dilaksanakan secara terburu buru-tanpa didahului uji coba/kelayakan sebelum undang-undang disahkan. Akibatnya banyak pihak yang dirugikan terlebih masyarakat/peserta. Disisi lain, hal tersebut merupakan bentuk evaluasi kebijakan terhadap akibat pelaksanaan yang tidak diharapkan. Oleh sebab itu diperlukan peran serta semua pihak juga perguruan tinggi dalam monitoring, disamping pengawasan internal oleh Dewan Pengawas dan Satuan Pengawas Internal BPJS Kesehatan serta pengawasan eksternal oleh DJSN, OJK, dan BPK.
Reply
# Novy Nur K 2016-10-14 01:07
Dalam penyusunan kebijakan JKN dan BPJS, ada beberapa hal yang menurut saya berkaitan:
1. Dari segi aktor/pelaku, aktor/pelaku di kebijakan ini sangat dominan yaitu Presiden/pemerintah dan DPR sebagai pengambil keputusan. Sedangkan steakholder yang memiliki pengetahuan dan keahlian ini (IDI, Persi, dan pihak akademisi) tidak dilibatkan secara penuh.
2. Dari segi konteks, adanya faktor struktural yaitu didominasi dengan kekuatan politik terlihat dari pemberlakuannya dilakukan saat pergantian presiden ditagun 2004.
3. Dari segi konten, konten teknis terlihat kurang dipersiapkan dengan evidance base yang tidak jelas sehingga dalam implementasinya penuh dengan masalah yang terjadi
4. Dari segi proses, proses penyusunannya dipandang dari waktunya cukup lama sedangkan dalam penerbitannya terkesan tergesa-gesa karena kurangnya sosialisasi ke daerah-daerah terpencil. Proses ini pun masih dipengaruhi oleh kepentingan konflik, sehingga naskah akademik yang sudah dipersiapkan tidak dipertimbangkan atau digunakan.
Sebuah kebijakan jaminan kesehatan masyarakat memang memerlukan waktu yang lama untuk menjadi sebuah kebijakan yang ideal, diperlukan revisi-revisi yang disesuaikan dengan evidance base yang ada.
Reply
# Runni Kurnia Harmuko 2016-10-14 01:30
Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diamanatkan bahwa tujuan negara adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tujuan tersebut semakin dipertegas yaitu dengan mengembangkan sistem jaminan sosial bagi kesejahteraan seluruh rakyat. Sistem jaminan sosial nasional merupakan program negara yang bertujuan memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu, dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor X/MPR/2001, Presiden ditugaskan untuk membentuk sistem jaminan sosial nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial bagi masyarakat yang lebih menyeluruh dan terpadu. Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, bangsa Indonesia telah memiliki sistem Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk mewujudkan tujuan sistem jaminan sosial nasional perlu dibentuk badan penyelenggara yang berbentuk badan hukum publik berdasarkan prinsip kegotongroyongan, nirlaba, keterbukaan, kehati hatian, akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana amanat, dan hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar besarnya
kepentingan Peserta. Pembentukan Undang-Undang tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial ini merupakan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, setelah Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap perkara Nomor 007/PUUIII/ 2005, guna memberikan kepastian hukum bagi pembentukan BPJS untuk melaksanakan program Jaminan Sosial di seluruh Indonesia. Undang-Undang ini merupakan pelaksanaan dari Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang mengamanatkan pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan transformasi kelembagaan PT Askes (Persero), PT Jamsostek (Persero), PT TASPEN (Persero), dan PT ASABRI (Persero) menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Transformasi tersebut diikuti adanya pengalihan peserta, program, aset dan liabilitas, pegawai, serta hak dan kewajiban. Dengan Undang-Undang ini dibentuk 2 (dua) BPJS, yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan menyelenggarakan program jaminan kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. Dengan terbentuknya kedua BPJS tersebut jangkauan kepesertaan program jaminan sosial akan diperluas secara bertahap.
Bentuk badan hukum BPJS dan segmentasi penyelenggaraan jaminan sosial berhasil dirumuskan dan dituangkan dalam Naskah Akademik (NA) RUU SJSN. Namun, sayang sekali NA hanya diperlakukan sebagai prasyarat pembuatan Undang-undang. Dalam setiap perdebatan, tim perumus tidak memerhatikan NA RUU SJSN.
Selanjutnya, UU SJSN menetapkan BPJS sebagai badan hukum publik nir laba dan penyelenggaraan jaminan sosial oleh beberapa badan penyelenggara. Dalam proses perumusannya, BPJS telah berkali-kali mengalami perubahan karena tarik-menarik kepentingan dan juga karena pertimbangan kelayakan implementasi UU SJSN dalam waktu dekat. Pilihan terahir kelembagaan SJSN dan BPJS dituangkan pada NA RUU SJSN dan RUU SJSN. Pada finalisasi rumusan RUU SJSN, berbagai ketentuan menyangkut BPJS (Persero), perlakuan khusus, Rapat Umum Pemegang Saham, Komisaris dan Direksi dihilangkan.
Demikian halnya dengan penyelenggaraan jaminan sosial di daerah. NA RUU SJSN dengan tegas menjabarkan harmonisasi kebijakan jaminan sosial dengan kebijakan desentralisasi Pemerintahan dan otonomi daerah. Lebih jauh ditegaskan dalam NA RUU SJSN bahwa jaminan sosial merupakan tugas Negara yang jauh lebih efektif diselenggarakan secara nasional agar dapat dinikmati secara sama antar daerah. Oleh karenanya, diputuskan bahwa penyelenggaraan jaminan sosial dikelola secara nasional dan tidak didesentralisasikan. Keterlibatan Pemerintah Daerah dalam pembangunan jaminan sosial diarahkan pada pengelolaan dana, investasi dana dan penjaminan bagi penduduk miskin.
Reply
# Runni Kurnia Harmuko 2016-10-14 01:33
Dalam NA RUU SJSN juga telah dijelaskan mekanisme penyelenggaraan jaminan kesehatan sosial beserta argumentasinya. Dengan rinci disampaikan bahwa program jaminan kesehatan diselenggarakan untuk terciptanya gotong-royong sosial yang melibatkan masyarakat dari seluruh strata ekonomi dan Pemerintah.
Penyusunan RUU BPJS dinilai cacat hukum, prinsip nirlaba tak sesuai dengan badan hukum perseroan terbatas.
Menteri Kesehatan periode 2004-2009, Siti Fadilah Supari menilai proses pembahasan RUU Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) cacat baik dari sisi prosedural maupun substansial. Sepengetahuan Siti Fadilah, masih ada sekitar 10 pasal yang belum dibahas tetapi tetap disetujui Pemerintah dan DPR untuk disahkan menjadi undang-undang pada 28 Oktober lalu.

Siti Fadilah menilai selama proses pembahasan, DPR dan Pemerintah lebih banyak berdebat tentang peleburan BUMN yang selama ini menangani sistem jaminan sosial nasional ketimbang membahas hak-hak rakyat. Akibatnya, ketika disetujui Rapat Paripurna DPR, masih ada beberapa pasal yang belum dibahas secara intensif (Itu cacat prosedur).

Selain prosedural, Siti Fadilah juga mengkritik sejumlah substansi RUU BPJS. Misalnya pasal-pasal yang memberi peluang praktik diskriminasi dan keterlibatan asing. Demikian pula pasal yang memberi peluang BPJS berinvestasi, seperti tertuang dalam Pasal 7 ayat (3) huruf b.

Aturan lain yang dia kritik adalah Pasal 59 huruf a yang mempersyaratkan hanya penyakit medis dasar yang akan dilayani BPJS. Siti Fadilah membandingkan dengan program Jamkesmas yang lingkupnya bisa untuk semua jenis penyakit. Ia juga kritik penggunaan dana iuran peserta yang akan dipakai untuk gaji karyawan dan direksi BPJS serta wali amanat. “Itu dana rakyat yang dipakai”.

M Said Iqbal, Ketua Komite Aksi Jaminan Sosial, berpendapat ada tiga hal dalam RUU BPJS yang patut dikritik, yaitu klausul-klausul yang diskriminatif, masalah limitasi, dan bentuk badan hukum. Iqbal menilai prinsip nirlaba tak sejalan dengan bentuk badan hukum sistem jaminan sosial nasional saat ini. Jamsostek, Askes, dan Asabri –perusahaan pengelola jaminan sosial- ternyata berbentuk Perseroan Terbatas (PT). “PT kan berorientasi pada profit,”.

Siti Fadilah berpendapat beberapa rumusan RUU BPJS memperlihatkan ideologi kapitalisme liberal. Bentuk hukum PT perusahaan-perusahaan pengelola jaminan tak bisa lepas dari prinsip privat yang dianut UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Dana yang dikumpulkan dari iuran peserta nyatanya tidak dikelola oleh pemerintah, melainkan badan usaha berbentuk perseroan terbatas.

RUU BPJS disetujui untuk disahkan menjadi Undang-Undang pada 28 Oktober lalu. BPJS berfungsi menyelenggarakan Program Jaminan Kesehatan, Program Jaminan Kecelakaan Kerja, Program Jaminan Kematian, Program Jaminan Hari Tua, dan Program Jaminan Pensiun.

BPJS kesehatan menyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan, sedangkan BPJS Ketenagakerjaan bertugas menyelenggarakan program lain. Program jaminan kesehatan mulai beroperasi pada 1 Januari 2014. Sedangkan program ketenagakerjaan mulai beroperasi pada 1 Juli 2015.
Reply
# Runni Kurnia Harmuko 2016-10-14 01:34
Kewajiban membayar iuran diskriminatif, yang diwajibkan membayar iuran untuk jaminan ketenagakerjaan hanya pekerja dan pengusaha. Pemerintah sama sekali tak membayar, tetapi malah menikmati dividen dan keuntungan. Jaminan sosial untuk pegawai negeri sipil dan TNI/Polri berlangsung seumur hidup, sedangkan pekerja hanya selama mereka bekerja.

Berbagai kelemahan ini mendorong sejumlah pihak mengajukan judicial review UU BPJS setelah resmi disahkan. Dan ini memperlihatkan tarik menarik kepentingan dalam suatu produk perundang-undangan. Ada campur tangan asing dalam proses penyusunan UU SJSN dan RUU BPJS.

Kesalahan mendasar dari sistem jaminan sosial yang muncul dari sistem ekonomi kapitalis ini yang kemudian diadopsi dalam UU SJSN adalah negara tidak boleh ikut campur tangan dalam menangani urusan masyarakat, termasukdalam urusan ekonomi dan pemenuhan kebutuhan sosial masyarakat sepertikesehatan, pendidikan maupun keamanan. Semua urusan masyarakat, khususnya bidang ekonomi dan sosial, diserahkan kepada mekanisme pasar. Karena itulah,walaupun namanya Sistem Jaminan Sosial Nasional, isinya adalah menarik iuranwajib tiap bulan dari masyarakat tanpa pandang bulu, kaya maupun miskin,dengan cara yang murah. Sekalipun nanti yang miskin akan dibayari Pemerintah,tetapi atas nama hak sosial ini sebenarnya rakyat ditipu.Hal ini bisa dilihat pada bab 5 pasal 17, ayat 1,2 dan 3 UU No. 40/2004tentang SJSN. Ayat I. Tiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya berdasarkan % upah atas suatu jumlah nominal tertentu. Ayat 2: Pemberi kerjawajib memungut iuran dari pekerjanya dan menambahkan iuran yang menjadikewajibannya dan membayarkan ke BPJS secara berkala. Ayat 3: Besarnya iuranditetapkan untuk setiap jenis program secara berkala sesuai dengan perkembangan sosial ekonomi dan kebutuhan dasar hidup yang layak.Untukmenjustifikasi bahwa UU SJSN ini bukan produk neoliberal mereka menggunakan dalih falsafah gotong-royong yang ada dalam Pancasila
Reply
# Runni Kurnia Harmuko 2016-10-14 01:35
Pembuatan UU SJSN dan RUU BPJS merupakan pesanan asing sejak tahun 2002. Hal ini tertuang dalam dokumen Asia Development Bank (ADB) tahun 2006 yang bertajuk Financial Governance and SocialSecurity Reform Program (FGSSR). Dalam dokumen tersebut antara lain disebutkan: ADB Technical Assistance was provided to help develop the SJSN in line with key policies and priorities established by the drafting team and other agencies.Bantuan Teknis dari ADB telah disiapkan untuk membantu mengembangkan SJSN yang sejalan dengan sejumlah kebijakan kunci dan prioritas yang dibuat oleh tim penyusundan lembaga lain). Nilai bantuan program FGSSR ini sendiri sebesarUS$ 250 juta atau Rp 2,25 triliun (kurs 9.000/US$). Dengan adanyaSJSN ini maka dana yang dihimpun oleh BPJS tentunya jumlahnya akansangat besar. Dana-dana itu pastinya akan ditanamkan di sektor finansial (perbankan dan pasar modal) sehingga akan memperbesar nilaikapitalisasi sektor tersebut. Dalam kondisi tertentu, dana tersebut dapatdimanfaatkan pemerintah untuk mem-bail-out sektor finansial jika mengalami krisis. Ujung-ujungnya yang menikmati hal tersebut adalah para pemilik modal, investor dan negara-negara yang pembiayaan anggarannya bergantung pada sektor finansial.
Suatu kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tentu ada orang-orang yang merumuskannya, munculnya BPJS dan program JKN tak lepas dari campu rtangan asing. Pihak asing akan selalu mengambil keuntungan dari setiapkebijakan yang dirancangnya dan digulirkan kepada pemerintah.
Reply
# Runni Kurnia Harmuko 2016-10-14 01:36
Implementasi Kebijakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Implementasi kebijakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan seyogyanya mencakup empat bagian sebagai pelaksana kebijakan yaitu BPJS Kesehatan, Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP), Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan (FKTL) dan Fasilitas Kesehatan Penunjang (FKP). Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dibangun oleh dimensi komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi. 1. Sumber Daya - Administratif / staf: Kuantitas dan Kualitas Sumber Daya staf di FKTP dan FKTL di daerah terpencil dan atau daerah indonesia timur untuk saat ini masih belum mencukupi. Dimana para petugas pelaksana belum dapat memberikan pelayanan kepada pasien dengan baik masih diperlukan penambahan petugas pelaksana. - Fasilitas Fisik: Fasilitas fisik yang dimiliki di FKTP dan FKTL di daerah terpencil dan atau daerah indonesia timur untuk saat ini masih belum tercukupi pada beberapa fasilitas medis seperti alat alat medis yang masih kurang, ruang perawatan serta masih terbatasnya jumlah tempat tidur di Instalasi Rawat Inap. Serta belum tersedianya komputer, listrik beserta jaringan internet. - Dana: terjadi kendala pada proses klaim Rumah Sakit kepada BPJS. Untuk sistem pembayaran BPJS kepada Rumah Sakit menggunakan sistem INA-CBGs (Indonesia Case Based Groups), terdapat selisih antara tarif pelayanan rumah sakit dengan tarif INA-CBGs, khususnya terkait obat obatan meskipun ada kebijakan fornas dan sistem e purchasing pada pelaksanaannya obat banyak terjadi kekosongan stok (ada di list tetapi stok tidak ada) yang pada akhirnya demi tetap melaksanakan pelayanan FKTL, RS menyediakan obat di luar e purchasing dengan harga yang jauh lebih mahal (terutama untuk obat life safing serta obat obat kanker) sehingga muncul selisih dalam tarif. Dana BPJS mayoritas terserap untuk pembayaran kapitasi yang uncost effectiveness. • Struktur Birokrasi Dalam pelaksanaan progam JKN ini tiap faskes rata rata membuat struktur pengurusan yang terdiri dari 3 tim yaitu tim pengelola yang bertugas untuk mengkoordinasikan pelaksanaan program JKN di faskes. Tim pengendali yang bertugas melakukan pengawasan akan ketersediaan obat, durasi dan jumlah pemberian obat ke pasien. Lalu Tim Coding dan Costing yang bertugas melakukan input data pasien serta pengajuan klaim ke BPJS. Masih terdapat miskomunikasi antar 3 tim tersebut sehingga klaim sering terhambat dan pada akhirnya dapat berdampak pada pelayanan operasional. Kesemua hal tersebut menunjukkan masih belum siapnya program kebijakan BPJS ini di di FKTP dan FKTL di daerah terpencil (di luar pulau jawa) dan atau daerah indonesia timur untuk saat ini yang pada akhirnya tujuan dari program ini belum dapat tercapai, masih terdapat kesenjangan (unequity) dalam pelayanan kesehatan paripurna terhadap seluruh rakyat Indonesia.
Reply
# Yuditha Nindya KR 2016-10-14 01:40
Beberapa hal yang perlu dievaluasi terkait penyusunan kebijakan SJSN dalam UU no 40 tahun 2004 dan kebijakan JKN dalam UU no 28 tahun 2014,antara lain:
1. Dari aspek aktor/pelaku
Berdasarkan UU SJSN aktor yg berperan dalam penyusunan UU adalah DPR RI, tokoh ahli dari masing-masing bidang terkait,dan organisasi. Aktor perancang UU ini didominasi oleh kelompok politis dan belum melibatkan organisasi profesi seperti IDI,PERSI dll dan para akademisi.
2. Dari aspek konten dan konteks
Isi dari kebijakan SJSN dan JKN terkesan memaksa dan kurang berpihak pada masyarakat karena ada kepentingan politis dan kurang memperhatikan faktor struktural dan faktor situasional.
3. Dari aspek proses
Proses pengkajian kebijakan memakan waktu terlalu lama tanpa melihat dan mempertimbangkan sudut pandang praktisi sebagai pemberi pelayanan dan akademisi sebagai peneliti,sehingga saat diimplementasikan terkesan tergesa-gesa dan justru menimbulkan masalah baru.
Oleh karena itu, kebijakan SJSN dan JKN perlu dikaji dan dievaluasi kembali dengan memperhatikan evidence base yang terjadi di lapangan.
Reply
# Rifki Rismawan 2016-10-14 03:47
Selamat siang, saya ingin berpendapat mengenai materi diskusi kita berdasarkan sudut pandang proses, isi, dan konteks serta aktor-aktor yang terlibat di dalamnya.UU Nomor 40 2004 tentang SJSN dan UU Nomor 24 2011 tentang BPJS adalah undang-undang yang ditetapkan melalui banyak rangkaian kegiatan penyusunan regulasi yang berlaku di negara kita. Dengan kata lain terwujudnya sebuah undang-undang seperti kedua undang-undang tersebut telah melalui tahapan perencanaan yang matang yang dilakukan dalam prolegnas, dimana rangkaian kegiatannya tercantum dalam “BAB IV PERENCANAAN PENYUSUNAN UNDANG-UNDANG pasal 15 dan 16 dalam UU Nomor 10 tahun 2004”

Sepengetahuan saya kedua undang-undang tersebut melibatkan banyak ahli yang berkecimpung di masing-masing bidang keahlian, antara lain ada ahli hukum, ahli kesehatan, ahli sosial budaya, politisi, tokoh masyarakat dan lain sebagainya. Begitupun keterlibatan akademisi baik secara individu atau pun dalam sebuah tim yang dibentuk untuk membantu pembuatan naskah akademik yang berkaitan dengan penyusunan RUU pada masing-masing regulasi tersebut. malahan juga dalam UU nomor 10 tahun 2004 terdapat pasal yang menyebutkan tentang pastisipasi masyarakat "BAB X PARTISIPASI MASYARAKAT Pasal 53 Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pernbahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah". Jadi, penyusunan RUU SJSN dan RUU BPJS telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembetukan Peraturan Perundang-Undangan dan tidak melanggar peraturan yang lebih tinggi yaitu UUD 1945 dan Pancasila sebagai ideologi negara kita. Tentang nuansa politis yang melingkupi penyusunan kedua undang-undang itu merupakan suatu hal yang logis, karena melalui politik lah sebuah peraturan yang mencakup kehidupan berbangsa dan bernegara dapat diperoleh dengan baik di sebuah negara demokrasi.

Berdasarkan konsep segitiga kebijakan, keterlibatan berbagai aktor penyusun kebijakan UU SJSN dan UU BPJS sudah sangat kompleks karena melibatkan banyak pihak yang berkepentingan baik itu dari eksekutif, legislatif, yudikatif, akademisi, pihak swasta/pengusaha dan lain sebagainya. Dari segi konteks dan isi, kedua kebijakan ini merupakan upaya reformasi bidang sosial yang bermuatan semangat menjamin kesejahteraan sosial bagi segenap rakyat Indonesia. Proses penyusunan dan penetapannya tentulah memerlukan waktu dan dana yang tidak sedikit, serta menghadapi banyak kendala mengingat kita belum pernah memiliki sistem penjaminan sosial yang seperti ini di masa orde sebelumnya. Hal inilah yang memungkinkan dalam pelaksanaannya hingga hari ini masih didapatkan banyak kekurangan seperti defisit anggaran hingga dugaan terjadinya penyelewengan ditubuh badan penyelenggara dan lembaga-lembaga terkait ditingkat pemberi pelayanan kesehatan. Yang mana masalah-masalah tersebut akan membaik sering berjalannya reformasi atau perbaikan di bidang lainnya seperti perbaikan di bidang hukum, ekonomi, dan sosial budaya.

BPJS hari ini berbeda dengan PT Askes, Jamsostek, Taspen, Pepabri dan Bisnis-bisnis Jaminan / Asuransi swasta yang berbentuk perseroan dan tentunya dalam tata kelola usahanya berorientasi profit. BPJS merupakan Badan Hukum Milik Negara yang dibentuk atas asas gotong royong, berkeadilan sosial dan tidak berorientasi profit? Sehingga tidak heran besaran premi atau iuran yang ditetapkan jauh sangat kecil dibandingkan usaha-usaha sejenis dibidang penjaminan. Saat ini ditemui banyak kendala setelah beberapa tahun pelaksanaannya, seperti kualitas layanan yang jauh di bawah kualitas layanan lembaga penjaminan/asuransi swasta yang ada, maupun tata laksana penjaminan yang belum tertata baik. Hal ini masih wajar terjadi karena sistem dan badan penyelenggara yang berorientasi non profit ini merupakan sebuah hal yang baru untuk pelayanan kesehatan di negara kita. UU Nomor 40 tahun 2004 tentang SJSN dan UU Nomor 24 tahun 2011 tentang BPJS memerlukan kebijakan-kebijakan yang menyertai seperti peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri, dan atau peraturan daerah yang mendukung pelaksanaan SJSN dan BPJS. Atau bahkan sampai dengan melakukan revisi undang-undang. Demi terlaksananya penyelenggaran jaminan sosial kesehatan yang lebih baik.
Reply
# Mellisa D. Pitaloka 2016-10-14 09:33
Dalam menganalisis masalah dan implementasi kebijakan, saya mengunakan pendekatan segitiga analisis kebijakan. Ditinjau dari aktor, proses, konteks, hingga konten kebijakan yang akan dan sedang diimplementasikan di masyarakat.
Aktor dan Proses Pembentukan Kebijakan
Sebelum SJSN dibentuk banyak pihak yang mengatakan bahwa Indonesia adalah negara yang belum mampu memberikan jaminan kesehatan secara menyeluruh kepada masyarakatnya. Dalam UUD 1945 disebutkan hak konstitusional setiap orang dalam pasal 28 H ayat 3 UUD 45 bahwa “Setiap orang berhak atas Jaminan Sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermanfaat". Dan wujud tanggung jawab negara disebutkan dalam pasal 34 ayat 2 UUD 45 bahwa "Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan".
Menjawab permasalahan tersebut, diawali dengan Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2000, dimana Presiden Abdurrahman Wahid menyatakan tentang Pengembangan Konsep SJSN. Pernyataan Presiden tersebut direalisasikan melalui upaya penyusunan konsep tentang Undang-Undang Jaminan Sosial (UU JS). pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001 dihasilkan Putusan Pembahasan MPR RI yang menugaskan Presiden RI “Membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial yang lebih menyeluruh dan terpadu”.Presiden Megawati mensahkan UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) pada 19 Oktober 2004, Batas waktu penetapan UU tentang BPJS yang ditentukan dalam UU No. 40 Tahun 2004 tidak dapat dipenuhi oleh Pemerintah. RUU tentang BPJS tidak selesai dirumuskan. DPR RI mengambil inisiatif menyelesaikan masalah ini melalui Program Legislasi Nasional 2010 untuk merancang RUU tentang BPJS. DPR RI menyampaikan RUU tentang BPJS kepada Presiden pada tanggal 7 November 2011. Pemerintah mengundangkan UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS pada tanggal 25 November 2011.

Konteks.
Pembuatan kebijakan SJSN ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya faktor struktural, meliputi sistem politik, kondisi sosial ekonomi dan demografi masyarakat Indonesia. Bahkan juga dipengaruhi oleh faktor internasional. Dalam segi sosial ekonomi dan demografi rakyat Indonesia diperkirakan pada tahun 2030 jumlah penduduk Indonesia mencapai 270 juta orang. 70 juta diantaranya diduga berumur lebih dari 60 tahun. Dapat disimpulkan bahwa pada tahun 2030 terdapat 25% penduduk Indonesia adalah lansia diamana pada usia tersebut rentan mengalami berbagai penyakit degenerative yang akhirnya dapat menurunkan produktivitas dan berbagai dampak lainnya. Apabila tidak ada yang menjamin hal ini maka suatu saat hal ini mungkin dapat menjadi masalah yang besar. Dalam faktor politik dapat dilihat pada lamanya proses yang dibutuhkan sejak dikeluarkannya UU No.40 Thn 2004 hingga diterbitkannnya UU No.24 Th 2011. Ada kemelut dalam proses penentuan kebijakan sehingga RUU yang seharusnya diterbitkan pada tahun 2009 baru bisa diterbitkan pada tahun 2011. Terdapat benturan kepentingan politik dan sudut pandang akademisi dalam proses perumusan kebijakan. Dari sudut pandang elit politis, menginginkan SJSN dapat langsung berjalan mencakup seluruh rakyat Indonesia tanpa mendiskriminatifkan warga yang miskin sesuai dengan amanat UUD 45, sedangkan dari sudut pandang para akademis berpandangan bahwa SJSN sebaiknya fokus pada pendanaan bagi masyarakat miskin oleh negara sedangkan masyarakat yang mampu harus membayar sendiri. Hingga pada akhirnya diputuskan bahwa kebijakan politik tidak fokus pada masyarakat miskin saja. UU SJSN dan UU BPJS memberi tempat bagi masyarakat menengah ke atas untuk menjadi anggota seolah mengabaikan naskah akademik dalam proses penyusunan kebijakan SJSN ini.
Reply
# Mellisa D. Pitaloka 2016-10-14 09:33
Konten.
Dalam UU No.24 Tahun 2011 disebutkan bahwa Lembaga yang Bertanggung Jawab Langsung kepada Presiden untuk Menjalankan Jaminan Kesehatan dengan prinsip gotong royong Menginisiasi KIS dengan mendorong masyarakat sehat dan mampu menjadi peserta jaminan kesehatan-KIS; dan untuk masyarakat tidak mampu dibiayai negara melalui sistem PBI (Penerima Bantuan Iuran) . Pada Pasal 24 ayat (3): Badan Penyelenggara Jaminan Sosial mengembangkan sistem pelayanan kesehatan, sistem kendali mutu pelayanan dan sistem pembayaran pelayanan kesehatan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas jaminan kesehatan. Penjelasan pasal 24 ayat (3): Dalam pengembangan pelayanan kesehatan, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial menerapkan sistem kendali mutu dan kendali biaya termasuk menerapkan iuran biaya untuk mencegah penyalahgunaan pelayanan kesehatan. Wewenang besar yang diberikan pemerintah terhadap BPJS membuat BPJS menjadi sangat berpengaruh terhadap kualitas pelayanan kesehatan masyarakat.

Namun sayangnya tujuan yang mulia tersebut mengalami banyak kendala dalam implementasinya di masyarakat. Kurang efektifnya sosialisasi program membuat banyak orang masih bingung dengan SJSN mengakibatkan kepesertaan masyarakat belum bisa mencapai 100%. Strategic purchasing yang kurang tepat menyebabkan BPJS mengalami defisit anggaran,ketidak seimbangan pooling dana dari peserta mandiri dengan biaya kapitasi dan INA-CBGs yang dikeluarkan untuk menanggung beban peserta mandiri yang sakit menyebabkan subsidi PBI salah alamat, yang sakit semakin banyak ikut program BPJS sedangkan yang sehat justru semakin ragu terhadap mutu pelayanan kesehatan dan enggan untuk turut serta dalam BPJS.

BPJS melakukan berbagai upaya untuk meningkatan kepesertaan dan pendapatannya. Diantaranya membuat kebijakan untuk menerapkan pendaftaran untuk seluruh anggota keluarga namun masih timbul keengganan masyarakat untuk ikut serta disebabkan karena faktor sosial ekonomi serta latar belakang pendidikan keluarga yang berbeda-beda sehingga masih banyak keengganan untuk turut serta dalam iuran asuransi, alasannya mereka merasa ada yang lebih prioritas daripada membayar iuran bpjs satu keluarga per bulan dalam jumlah yang dirasa cukup memberatkan. Meskipun ada kebijakan untuk mendaftarkan keluarga tidak mampu di Kementrian sosial sebagai penerima bantuan iuran (PBI), namun nyatanya hal tersebut masih kurang menjadi daya ungkit kepesertaan masyarakat sehat untuk bergotong royong menanggung biaya kesehatan bersama yang menjadi prinsip BPJS. BPJS juga memulai kerjasama dengan pemda untuk meningkatkan pendapatan iuran melalui peningkatan kepesertaan, kedisiplinan membayar iuran, serta pengawasan dan peningkatan layanan kesehatan. Dalam proses pembuatan kebijakan kesehatan seharusnya memang perlu melibatkan asosiasi lembaga pelayanan kesehatan, perhimpunan profesi, akademisi, peneliti, dan berbagai pihak yang terkait agar implementasi kebijakan di masyarakat bisa berjalan dengan optimal meminimalisasi masalah sehingga dapat mencapai tujuan universal health coverage yang baik dan berkualitas.
Reply

Add comment

Security code
Refresh