Diskusi tentang masalah kebijakan - Minat KPMAK

Di akhir pembahasan ada pernyataan mengenai masalah kebijakan. Masalah-masalah yang ada dapat dikelompokkan menjadi 2 hal besar yaitu:

  1. Proses penyusunan kebijakan JKN sebagai kebijakan public yang besar terlihat didominasi oleh kekuatan politik, dan tidak banyak melibatkan stakeholder teknis seperti IDI, PERSI, dan pihak akademisi. Aspek teknisnya terlihat kurang dipersiapkan dengan evidence yang tidak jelas.
  2. Proses penyusunan 2 UU (JKN dan BPJS), dipandang dari waktunya relative memakan waktu sangat lama dan ada kesan dipaksakan. Terlibat bahwa prosesnya tidak ideal.

Silahkan anda memberi komentar dibawah atau tambahan untuk masalah kebijakan yang ada di balik Kasus tersebut.

Comments  

# ELDO KP-MAK 2016-10-11 03:47
Selamat pagi.... semangat pagi...

saya mohon ijin sharing saja untuk point yang nomor 1 masalah pembuatan kebijakan tersebut didominasi kekuatan politik dan aspek-aspek tekhnis kurang dalam ikut perumusan kebijakan.
tanggapan saya mengenai hal tersebut, kita lihat pembuatan kebijakan apapun itu memang terkadang terkendala pada sektor politik... mengapa ? ketika kita meletakkan suatu kebijakan pada sektor politik untuk dirancang, maka di sinilah para politisi dari sudut mana pun akan saling tarik ulur kepentingan dan mencari jalan yang paling aman, sehingga mayoritas kebijakan kurang mencapai target - target sesuai kebutuhan.
menurut saya jika ingin memperbaiki kebijakan, ada beberapa cara yang saya usulkan:
1. analisis kebijakan harus dimulai dari Agenda setting, tidak hanya Implementasi kebijakan saja, jika kita hanya ananlisis dan merevisi pada implementasi kebijakan...
2. stakeholder teknis harus ikut dalam perpolitikan, dalam artian ikut dalam perumusan kebijakan pada tahap "ketuk-palu", jangan sekedar mengusulkan isu, kemudian memberikan Teori dalam menangani isu saja.
3. Politisi yang berbicara mengenai Kesehatan harus mengerti seluk beluk Kesehatan, agar mengerti apa yang seharusnya dibahas.. dan juga orang Kesehatan harus mengerti karakter perpolitikan di sekitarnya pula
4. jangan pernah berpikir masalah "biaya" ketika bersentuhan dengan Kebijakan, karena kebijakan itu urusannya dengan publik, bukan private... jika berbicara Kebijakan yg bersifat Publik, silahkan berbicara masalah Hak dan Kewajiban, bukan masalah financial.
Reply
# Anggi Ardhiasti 2016-10-12 01:20
Menarik sekali pembahasannya, apabila melihat kebijakan dari model segitiga analisis kebijakan oleh Walt & Gilson (1994) tarik ulur kepentingan ini berarti paling kuat ada di aktor ya?

Saya juga tertarik dengan poin no 3 yang Anda jabarkan, bahwa politisi yang berbicara mengenai kesehatan harus mengetahui seluk beluk kesehatan, dalam kata lain pemahaman mengenai masalah kesehatan, pendanaan kesehatan yang memadai, praktik perlindungan rakyat di negara lain, sistem pembayaran dan rendahnya pemahaman tentang asuransi dan pajakjuga harus dipahami sehingga implementasi kebijakan JKN ini dapat secara efektif diberlakukan.
Reply
# EKA PUSPASARI KP-MAK 2016-10-11 03:48
Saya ingin ikut sharing sedikit, dimulai dari pertanyaan seperti ini :Apakah kekuasaan mempengaruhi pembuatan kebijakan kesehatan atau apakah kebijakan kesehatan adalah sesuatu yang bersifat rasional atau politis serta adakah kaitannya antara kebijakan kesehatan dengan sistem politik di suatu negara ?
Ini menjadi bahasan penting dalam memahami sistem penetapan kebijakan, peran stakeholder atau aktor serta kotak hitam (black box) dalam proses pengambilan keputusan
Penentuan kebijakan di bidang kesehatan memang merupakan sebuah sistem yang tidak terlepas dari keadaan di sekitarnya yaitu semua faktor-faktor sosial, politik, ekonomi, sejarah dan pengaruuh lainnya.
Selain itu komponen, proses, alokasi, sumber daya, aktor dan kekuasaan merupakan faktor yang berperan pada penetapan kebijakan sebagai sebuah sistem. Oleh karena itu kebijakan yang dihasilkan merupakan produk dari serangkaian interaksi elit kunci dalam setiap detail proses pembuatan kebijakan termasuk tarik meanrik kepentingan antar aktor interaksi kekuasaan alokasi sumber daya diantara elit yang terlibat.
Proses pembuatan kebijakan tidak dapat menghindari dari upaya individual atau kelompok tertentu yang berusaha mempengaruhi para pengambilan keputusan agar suatu kebijakan dapat lebih menguntungkan pihaknya.
Semua itu merupakan manifestasi dari kekuatan politik (power) untuk mempertahankan stabilitas dan kepentingan masing-masing aktor.
Bahkan tidak jarang terjadi pula intervensi kekuasaan dan tarik menarik kepentingan politis dari pemegang kekuasaan atau aktor yang memiliki pengaruh dalam posisi politik.
Menurut Walk, ia menyatakan bahwa kebijakan kesehatan dan pada gilirannya status kesehatan dari sebuah negara merupakan cerminan dari sistem politik yang ada pada negara tersebut.

Tidak ada hak tanpa kebijakan. Rakyat berhak mendapatkan perlindungan dan jaminan dari negara, tetapi rakyat wajib membayar pajak, termasuk pajak jaminan sosial yang disebut iuran (Hasbullah, 2014)
Reply
# Sri Guntari KP-MAK 2016-10-11 04:03
Menurut saya apabila dilihat dari tujuannya, penerapan JKN ini memiliki tujuan mulia yaitu mengcover kesehatan seluruh masyarakat indonesia. Namun dalam implementasinya, JKN mengalami banyak kendala sehingga membutuhkan penguatan sistem dan peran dari berbagai pihak untuk bersama sama menyukseskan program ini.
Pada penjelasan oleh Prof. Laksono telah banyak disampaikan masalah-masalah yang dihadapi oleh BPJS Kesehatan selaku penyelenggara JKN, mulai dari peraturan yang kerkesan terburu-buru, sistem single pooling yang menyebabkan subsidi silang salah alamat, fraud, lemahnya pengawasan dan lain-lain.
Memang sangat terlihat bahwa dari awal penyusunan kebijakan ini sangat kental akan isu politik. Aktor yang berperan dalam penyusunannya pun hanya pihak-pihak tertentu yang memiliki power yang kuat dalam kedudukannya sebagai pemangku kepentingan. Peran akademisi masih kurang dilibatkan sebagai aktor dalam upaya penyusunan kebijakan. Padahal akan lebih baik apabila para akademisi dapat berperan dan dilibatkan untuk membuat riset yang menghasilkan bukti secara ilmiah sebagai upaya penetapan kebijakan secara evidence based policy making. Sepertinya sangat sulit bagi akademisi dan praktisi klinis untuk menembus black box dalam penyusunan kebijakan, termasuk dalam kebijakan SJSN dan BPJS Kesehatan ini.
Reply
# sri wusono 2016-10-11 05:00
1. Kebijakan publik bersifat politik adalah benar karena Kebijakan di bidang kesehatan merupakan bentuk refleksi dari tindakan politik. Hal tersebut berfungsi untuk mengetahui bagaimana interaksi pemerintah dengan masyarakat dalam menanggulangi masalah kesehatan yang ada di dalam masyarakat. Pemerintah dituntut untuk mampu menyelesaikan masalah ini secara politik, hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan Politik sangat erat kaitannya dengan kebijakan publik, karena didalam politik itu selalu terkandung unsur kebijakan yang menyangkut harkat hidup masyarakat secara luas.
Sebagaimana tujuan dari bangsa dalam konteks ke Indonesiaan yang didasarkan pada Pancasila dan UUD 1945, menyebutkan bahwasannya keinginan dalam menciptakan masyarakat yang adil dan makmur
2. Penyusunan memakan waktu lama
dalam hal penyusunan seharusnya memperhatikan setiap elemen bangsa karenaKeberhasilan dalam sebuah program yang dibuat dan dikeluarkan oleh pemerintah merupakan suatu bentuk upaya dalam mensejahterahkan masyarakatnya, untuk itu pencapaian sebuah keberhasilan tersebut sedianya didukung oleh pihak-pihak terkait, agar apa yang menjadi tujuan dari program tersebut mampu diwujudkan. Dalam implementasi program Jaminan Kesehatan Nasional ini, peran dari para stakeholder merupakan wujud dukungan dalam melancarkan proses implementasi kebijakan. Artinya, stakeholder memiliki peran penting dalam mewujudkan keberhasilan dalam implementasi program JKN. Perwujudan keberhasilan tersebut ditunjukkan dengan adanya peran aktif, baik dari pemerintah, organisasi profesi, masyarakat, dan pihak-pihak terkait untuk turut serta dalam mendukung proses Jaminan Kesehatan tersebut
Peranan stakeholder menunjukkan adanya dukungan. Namun, dalam hal ini ditemui bahwa dari pihak IDI (Ikatan Dokter Indonesia) sebagai pihak stakeholder tidak dilibatkan dalam proses penyusunan Undang-Undang dan peraturan yang terkait atas program Jaminan Kesehatan Nasional, IDI juga mengakui bahwa pihaknya sama sekali tidak memiliki peran terhadap program JKN ini, karena JKN ini sepenuhnya telah diatur oleh pemerintah pusat, sehingga pihak IDI hanya berperan serta dalam menyediakan tenaga medis saja, selain itu pihak IDI juga mengharapkan adanya pengelolahan dana sendiri, karena yang mengetahui kualitas dokter adalah para dokter itu sendiri. Pihak IDI juga menyampaikan bahwa penilaian baik buruknya dokter seringkali tidak sesuai, sehinggadirasa kurang efektif jika pendanaan dalam sistem JKN ini sepenuhnya diserahkan pada fasilitas kesehatan terkait.
Kemudian dari pihak peserta, yang dalam hal ini adalah masyarakat. Perlu diketahui bahwa, program JKN ini merupakan program yang telah diatur sedemikan rupa oleh pemerintah pusat, sehingga masyarakat disini sama sekali tidak dilibatkan, baik dalam proses perumusan hingga evaluasi, artinya disini masyarakat hanya diperlakukan sebagai pengguna layanan, untuk selebihnya masyarakat diwajibkan untuk turut serta dengan membayar iuran sesuai kelas yang dipilihnya, digunakan atau tidak kartu JKN ini tidak akan berpengaruh pada pembayaran yang tetap harus dibayarkan per-bulannya. Terlebih lagi, dalam program JKN ini akan dijadikan kewajiban bagi masyarakat Indonesia maupun asing yang telah bekerja di Indonesia sekurang-kurangnya enam bulan untuk menjadi peserta dari program JKN, artinya disini terdapat suatu kewajiban yang sifatnya memaksa masyarakat untuk turut serta menjadi peserta JKN, meskipun di sisi lain terdapat banyak manfaat yang ditawarkan dari program.Kajian Undang - undang berbasis researc dan tehnis seharusnya di utamakan dari pada muatan politisnya.
Reply
# #La Ode Nur R Syadzr 2016-10-11 14:28
Saya sebenarnya sangat mendukung cita-cita pelaksanaan prog.JKN secara universal dan saya juga mengatakan bahwa UU SJSN dan UU BPJS adalah merupakan suatu kebijakan, tetapi kemudian setelah saya membaca teori Making Health Policy saya berasumsi bahwa :
1.Pada saat ditetapkannya kebijakan UU SJSN dan UU BPJS ini para aktor tidak melihat faktor-faktor kontekstual yang nantinya akan mempengaruhi penetapan kebijakan tersebut dalam artian tidak sepenuhnya atau malah sama sekali jauh dari konsep triangle of policy. saya kemudian menggaris bawahi faktor ketersediaan infrastruktur dan SDM Kesehatan yang nantinya akan mengambil peran besar setelah kebijakan JKN diterapkan. Menurut saya seharusnya infrastruktur Yankes mulai dari tingkat dasar terlebih dahulu telah siap dan SDM Kesehatan telah merata diseluruh wilayah NKRI barulah kebijakan JKN diterapkan agar nantinya terjadi pemerataan yankes sehingga prinsip keadilan masyarakat terjadi.
2.Setelah kebijakan UU SJSN dan UU BPJS berjalan, saya melihat ada tumpang tindih kebijakan atara Pemerintah dalam hal ini Kemenkes/P2JK dan BPJS Kesehatan. dari unsur pemerintah pasal2 yg ada dalam Permenkes.28/2014 belum sepenuhnya menjawab persoalan yg ada dilapangan, kemudian dari unsur BPJS Kesehatan kebijakan yg dibuat malah kadang membingungkan dimana adanya perbedaan kebijakan misalnya regional a dan regional b
3.Kemudian saya menggaris bawahi UU.36/2015 ttg Fraud.menurut saya UU tersebut belum sepenuhnya diterapkan saya melihat UU.36 hanya sekedar dijadikan bahan bacaan oleh pihak2 terkait alias ut sekedar diketahui, padahal didalam UU tersebut ada banyak hal yg mesti dilaksanakan contoh:Punishment
4.Saya menilai pola pembayaran kapitasi ut Faskes tk.1 kurang tepat, sebab setelah 2 tahun pelaksanaan JKN utilisasi pelayanan kita masih rendah.
terima kasih
Reply
# I Gede Artha Kusuma 2016-10-11 16:47
Selamat malam teman-teman. Mohon ijin untuk berpendapat, dan terbuka untuk didiskusikan bersama-sama

Jika dilihat dari proses dan riwayat terbentuknya kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) memang cukup panjang. Bahkan cikal bakal dari Undang-Undang No. 40 tahun 2004 tentang SJSN sudah mulai diinisiasi ketika masa Presiden K.H Abdurahman Wahid. Hal ini dipicu oleh direvisinya UUD 1945 dan perubahannya Tahun 2002 dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 28H ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) yang mengamanatkan untuk mengembangkan Sistem Jaminan Sosial Nasional. Mau tidak mau Pemerintah wajib untuk membuat sebuah kebijakan yang komperehensif untuk menjamin seluruh penduduk Indonesia agar terjamin secara sosial termasuk salah satunya dalam bidang kesehatan. UU No. 40 tahun 2004 terbit ketika hari-hari terakhir Presiden Megawati menjabat sebagai Presiden yakni pada tanggal 19 Oktober Tahun 2004. Setelah UU ini terbit, implementasi belum bisa dilaksanakan bahkan banyak pertentangan yang muncul dimasyarakat. Sampai akhirnya muncul UU No 24 tahun 2011 tentang BPJS sebagai bagain dari implementasi UU No.40 Tahun 2004 tengan SJSN. Butuh waktu kurang lebih sekitar 10 tahun untuk membuat dua kebijakan ini sampai akhirnya JKN sebagai salah satu jaminan sosial dapat diimplementasikan di masyarakat.

Jika pertanyaannya apakah kebijakan ini ada unsur politik?
Jawabannya adalah tentu saja ada, sebab tidak ada sebuah kebijakan yang terbentuk tanpa adanya intervensi politik. Dalam konteksnya dengan kebijakan JKN, penetapannya memang cukup banyak kepentingan politik didalamnya. Misalnya saja penetapan beberapa BUMN sebagai calon dari badan penyelenggara SJSN menimbulkan kontroversi karena dianggap sebagai sebuah monopoli dan dianggap tidak memberi peluang bagi daerah untuk membentuk badan penyelenggara secara mandiri. Walaupun pada akhirnya pada UU BPJS menyebutkan bahwa PT. Askes diputuskan sebagai badan penyelenggara dalam JKN.
Jika kita hubungkan dengan teori dalam proses terbentuknya kebijakan, perumusan JKN sudah menggunakan alur yang sesuai yakni mulai dari penetapan agenda, perumusan kebijakan, pelaksanaan sampai evaluasi. Akan tetapi proses perumusannya memakan waktu yang sangat lama sehingga yang dirugikan adalah masyarakat yang seharusnya sudah dapat dijamin oleh negara. Proses merumuskan kebijakan yang lama ini secara konsep masuk ke dalam Model Sistem Politik Easton dimana dalam penyusunan kebijakan dianalogikan sebagai sebuah “kotak hitam”. Maksudnya adalah proses penyusunan kebijakan terkesan tertutup tanpa kajian, tanpa input yang matang, tanpa melibatkan stakeholder terkait yang berhubungan dengan kesehatan baik akademisi, ahli profesi, pihak rumah sakit, kemudian tiba-tiba muncul sebuah kebijakan. Proses yang tidak ideal akan berdampak pada implementasi kebijakan dimana akan banyak permasalahan yang akan muncul dilapangan.

Terima kasih.
Reply
# Sri Fadhillah KPMAK 2016-10-11 17:15
Selamat Malam,
saya ingin memberikan pendapat terkait kasus di atas,
Dalam wikipedia dijelaskan bahwa, idealnya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) memiliki tujuan mulia yaitu menjamin peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan, ini tertuang dalam UU No. 40 Tahun 2004 Pasal 19 Ayat 2. Tujuan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bertujuan agar semua penduduk terlindungi dalam sistem asuransi, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak, dalam rangka memberikan kemudahan dan akses pelayanan kesehatan kepada peserta di seluruh jaringan fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), dan mendorong peningkatan pelayanan kesehatan kepada peserta secara menyeluruh, terstandar, dengan sistem pengelolaan yang terkendali mutu dan biaya, serta terselenggaranya pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabel.
Namun perlu dingat bahwa, kebijakan ini merupakan produk politik jadi tidak dapat dipungkiri jika kebijakan ini rentan dengan dominasi kekuatan politik dan kurang melibatkan stakeholder teknis seperti organisasi profesi kesehatan serta akademisi. Kurangnya riset serta perencanaan yang kurang matang dari pemerintah serta DPR yang notabenenya adalah politisi tentu saja mengambil keputusan dengan pertimbangan populis Pemerintah dan legislator sebagai aktor utama dinilai hanya mementingkan kepentingan beberapa golongan saja, tanpa melibatkan semua stakeholder yang terkait. Masyarakat yang menjadi objek utama dari kebijakan ini tidak pernah dilibatkan terkait masalah kenaikan iuran ataupun masalah regulasi lainnya. Sehingga muncul berbagai masalah pada saat pelaksanaan kebijakan ini, seperti dimuat di beberapa media, seperti mulai dari registrasi peserta, sistem pembiayaan dan pembayaran kesehatan yang dianggap membingungkan masyarakat, adanya subsidi silang yang salah alamat, kurangnya sosialisasi terkait rujukan berjenjang, selain itu petugas JKN di berbagai daerah belum dapat mengakomodasi kebingungan dari peserta JKN serta sistem pembayaran dimana dalam penetapan tarif tidak melibatkan organisasi profesi kesehatan, sehingga besaran pembiayaan dirasa tidak sesuai dengan pelayanan yang harus diberikan oleh tenaga kesehatan
Di sisi lain, proses waktu penyusunan dua UU JKN dan BPJS ini memakan waktu yang sangat lama karena memang penyusunan melewati banyak tahapan dan adanya tarik menarik di kalangan elit politik untuk mempertahankan kepentingan politiknya masing-masing di dalam setiap proses penyusunan UU, dan ini juga dapat dipengaruhi dengan adanya pemilu dan pilpres di tahun 2014

Terima Kasih
Reply
# Adhinda Prativi 2016-10-11 17:49
Sebenarnya program JKN merupakan program yang sangat bagus, meskipun pada awal pembuatannya sangat bermuatan politis, sebab dengan adanya program JKN masyarakat yang bukan pegawai pemerintah dan rakyat miskin umumnya belum tercover dengan asuransi kesehatan. Dalam penentuan agenda setting/ agenda kebijakan umumnya aspek politis lah yang banyak berperan, jika suatu masalah tersebut dinilai dapat menguntungkan pemerintah (para pebuat kebijakan) maka akan lebih mendapat prioritas untuk dibuat suatu kebijakan. Menurut saya kebijakan JKN terlihat dipaksakan juga karena ada aspek politis berperan disini, pemerintah saat itu semacam dikejar target untuk segera meng-goal kan kebijakan JKN tersebut dan segera eksekusi sebelum masa kepemimpinannya berakhir, meskipun pada kenyataanya banyak hal teknis yang belum siap, hal ini terlihat pada saat dicanangkannya JKN pada 1 januari 2014 para pelaksana teknis baik di tingkat FKTP, FKTL maupun BPJS sendiri masih belum mengetahui peraturan-peraturan tentang JKN tersebut, bahkan masih banyak peraturan yang belum dibuat sehingga ketika berjalan belum ada pedoman yang lengkap. Belum adanya perencanaan peraturan yang matang membuat banyaknya masalah yang bermunculan pada program JKN ini, masalah terbesar yang terlihat adalah defisitnya anggaran BPJS sejak tahun pertama hingga sekarang tahun ketiga, adanya fraud, subsidi yang lebih banyak dinikmati masyarakat mampu di perkotaan, dll. Padahal jika stakeholder teknis dan akademisi banyak dilibatkan maka dapat dibuat perencanaan yang lebih matang sebab para stakeholder teknis inilah yang paling mengetahui kondisi/permasalahan di lapangan, juga para akademisi dengan adanya naskah akademik dapat memperkuat kebijakan yang dibuat. Untuk itu seharusnya saat penentuan agenda setting praktisi-praktisi di bidang kesehatan perlu speak-up/ ikut andil memberikan pandangan berdasarkan kondisi di lapangan dan masukan-masukan dari segi keilmuan kesehatan. Selain itu para praktisi bidang kesehatan juga seharusnya dapat memahami masalah politik / pengambilan kebijakan, dan tidak antipati dengan masalah politik agar dapat lebih banyak lagi yang berperan dalam pengambilan kebijakan bidang kesehatan.
Reply
# Ranik Diastuti 2016-10-12 02:26
Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN maka sebenarnya Indonesia telah memiliki sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pasal 5 Undang-Undang tersebut mengamanatkan pembentukan badan yang disebut Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang harus dibentuk dengan Undang-Undang. Dengan landasan tersebut, disahkanlah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Kedua Undang-Undang tersebut menjadi landasan pelaksanaan Jaminan Kesehatan di Indonesia.

Menurut saya ada beberapa hal yang menjadi masalah pada pelaksanaan JKN ini, antara lain :
1. Seperti diketahui bahwa Undang-Undang SJSN disahkan oleh Presiden Megawati di hari-hari akhir masa jabatannya sebagai presiden. Selain adanya unsur politik yang kuat, hal ini juga berpotensi untuk menimbulkan kurangnya rasa memiliki pada periode kepresidenan berikutnya. Sehingga untuk pelaksanaannya kurang maksimal. Begitu juga dengan amanat UU SJSN untuk membentuk badan yang disebut BPJS, butuh waktu yang cukup lama hingga ditetapkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
2. Bagi fakir miskin dan masyarakat tidak mampu, iurannya akan dibayarkan oleh pemerintah. Namun batasan untuk fakir miskin dan tidak mampu tersebut yang kurang jelas. Sehingga dalam pelaksanaannya banyak yang tidak tepat sasaran. Misalnya masyarakat yang sebenarnya mampu membayar iuran sendiri justru masuk ke dalam kelompok Penerima Bantuan Iuran (PBI), sebaliknya masyarakat yang sebenarnya tidak mampu justru tidak masuk ke dalam kelompok PBI.
3. Dalam Undang-Undang SJSN pada segi kepesertaan, saya rasa masih ada beberapa hal yang kurang jelas, karena semua yang akan diikutkan dalam program ini harus membayar iuran. Iuran ditanggung oleh pemberi kerja. Hal ini tidak bermasalah bagi para pekerja yang memiliki badan hukum seperti perusahaan swasta misalnya, juga pada pegawai BUMN maupun PNS. Namun bagaimana dengan buruh kontrakan, petani, nelayan dan self employee lainnya?
4. Pembayaran kapitasi berdasarkan kepesertaan di masing-masing daerah. Menurut saya kebijakan ini kurang tepat, karena tidak melihat dari segi jumlah kunjungan. Bagi FKTP yang memiliki jumlah peserta banyak dengan sedikit kunjungan tentu akan diuntungkan, namun bagi FKTP yang memiliki jumah kunjungan lebih banyak dari jumlah pesertanya tentu akan merasa dirugikan. Hal ini akan mempengaruhi kinerja dan mutu pelayanan bagi pasien, karena FKTP beranggapan tidak ada perbedaan penerimaan dana kapitasi pada FKTP dengan jumlah pelayanan yang berbeda.
Reply
# Anggi Ardhiasti 2016-10-12 04:46
Menarik sekali untuk dibahas bahwa dari dari 2 kelompok besar masalah kebijakan JKN ini:

1. Terlihat sangat didominasi oleh muatan politis dan conflict of interest, karena kebijakan yang populer di masyarakat adalah terkait dengan semua berjudul “gratis” sehingga para politikus dalam hal ini cenderung memaksakan untuk membuat kebijakan yang mengarah kesana tanpa melihat sumber daya yang dimiliki. Terkesan kurang siap dalam aspek teknisnya serta tidak berbasis bukti (evidence) dalam dasar dari pembuatan kebijakan publik ini sehingga dalam implementasinya banyak masalah yang dihadapi yaitu kekurangan dana, subsidi yang salah alamat, penyebaran SDM Kesehatan yang tidak merata, pembangunan infrastruktur banyak di Jawa sehingga kebutuhan dokter spesialis yang tinggi ada di Jawa, dan masalah fraud yang belum ada sistem pencegahan dan penindakannya. Padahal prinsip dari SJSN ini baik sekali, dapat mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sesuai sila ke 5 Pancasila, salah satunya yaitu prinsip kegotongroyongan, dimana gotong royong dalam JKN harus terjadi antara peserta yang mampu kepada peserta yang kurang mampu, yang berisiko rendah membantu yang berisiko tinggi, dan yang sehat membantu yang sakit secara nasional (Thabrany, 2014).

2. Proses Proses penyusunan 2 kebijakan ini pun relatif cukup lama, banyak pro kontra dalam penyusunannya, baik secara konsep maupun secara teknis karena penyelenggaraan SJSN mengundang percaturan politik sehubungan keterkaitannya dengan kepentingan seluruh rakyat.
Reply
# Herlinda Dwi Ningrum 2016-10-12 12:24
Selamat malam,
Menanggapi adanya pernyataan di atas, saya ingin sedikit berkomentar,
1. Menurut saya penyusun kebijakan JKN seharusnya diisi oleh orang yang memahami seluk beluk kesehatan, sebaliknya, para ahli ahli kesehatan itu dapat memahami proses politik dalam pembuatan kebijakan, khususnya kebijakan mengenai sistem jaminan kesehatan itu sendiri.
2. Selain itu para ahli kesehatan seharusnya lebih banyak berkontribusi dalam memberikan pemahaman kepada para pembuat dan pemegang kebijakan terkait pentingnya undang undang tersebut, sehingga undang undang tersebut dapat diimplementasikan dengan meminimalisir resiko yang ada.

Terimakasih
Reply
# Wulandari Indri Haps 2016-10-13 04:46
Selamat Pagi....
Kebijakan mengenai SJSN dan BPJS merupakan dua kebijakan yang seyogyanya ada karena kesehatan adalah salah satu hak asasi manusia dimana Negara harus hadir untuk menjamin pencapaian 'sehat' bagi masyarakat di Negaranya. Pentingnya kesehatan bagi Negara juga karena tujuan negara yaitu mewujudkan masyarakat adil, makmur, sejahtera dan cerdas akan dapat terpenuhi ketika kondisi kesehatan di masyarakat telah tercapai. Namun pada implementasinya terjadi banyak permasalahan yang pada intinya disebabkan oleh perencanaan dan pengorganisasian yang kurang optimal. Perencanaan dan pengorganisasian kurang optimal disebabkan karena kerangka pikir tim penyelenggara kebijakan masih terlihat parsial. Setidaknya ada 3 hal yang harus dilakukan sebelum JKN resmi dilaksanakan di masyarakat :
1. Merencanakan dan menyiapkan system :
a. Sistem di fasilitas pelayanan kesehatan yang berperan memberi pelayanan kesehatan yaitu Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama dan Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan yang merata di seluruh Indonesia. Sistem Input (Man, Money, Methode, Material, Machine), sekaligus system koordinasi dan komunikasi antara Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama dan Lanjutan.
b. System kepersertaan JKN di semua golongan masyarakat, tidak hanya untuk golongan masyarakat miskin dan ASN/Karyawan, namun juga bagaimana system termasuk didalamnya persyaratan dan jumlah besaran biaya bagi peserta non PBI yang sampai hari ini cakupan masih rendah dan besaran biaya tidak proporsional, antara manfaat yang didapat dengan besaran biaya premi.
c. Menyiapkan system klaim/pembayaran dari Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama dan Lanjutan sudah cukup jelas, namun baik Kapitasi maupun Ina CBG’s masih dianggap kurang adil bagi penyelenggara layanan. Kapitasi terlalu kecil dibandingkan operasional pengobatan, dan Ina CBG’s belum rasional jika melihat kebutuhan tatalaksana penyakit yang ditetapkan, bahkan berakibat pada pembatasan pemberian asuhan.
2. Mengidentifikasi siapa/institusi apa saja yang berperan dalam menyiapkan system dan apa saja perannya. Peran pemerintah daerah dalam menyiapkan system Fasilitas Kesehatan baik tingkat pertama maupun lanjutan, Peran Pemerintah Daerah dari tingkat Kab/Kota sampai Dusun atau bahkan RT serta Dinas Kependudukan yang belum dilibatkan dalam mempercepat cakupan kepesertaan JKN.
3. Melakukan koordinasi dan komunikasi dengan seluruh komponen yang berperan baik di tingkat nasional maupun daerah secara berkelanjutan sampai seluruh system siap bekerja dan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat.

Demikian komentar dari saya, dengan pelaksanaan monitoring dan evaluasi kerja yang berkelanjutan oleh Pemerintah dan BPJS yang melibatkan masyarakat selaku pengguna layanan Jaminan Kesehatan Nasional semoga JKN ke depan dapat diimplementasikan dengan lebih baik lagi.

Terimakasih….
Reply

Add comment

Security code
Refresh