Diskusi tentang masalah kebijakan - Minat SIMKES

Di akhir pembahasan ada pernyataan mengenai masalah kebijakan. Masalah-masalah yang ada dapat dikelompokkan menjadi 2 hal besar yaitu:

  1. Proses penyusunan kebijakan JKN sebagai kebijakan public yang besar terlihat didominasi oleh kekuatan politik, dan tidak banyak melibatkan stakeholder teknis seperti IDI, PERSI, dan pihak akademisi. Aspek teknisnya terlihat kurang dipersiapkan dengan evidence yang tidak jelas.
  2. Proses penyusunan 2 UU (JKN dan BPJS), dipandang dari waktunya relative memakan waktu sangat lama dan ada kesan dipaksakan. Terlibat bahwa prosesnya tidak ideal.

Silahkan anda memberi komentar dibawah atau tambahan untuk masalah kebijakan yang ada di balik Kasus tersebut.

Comments  

# RANNI MURTININGRUM 2016-10-10 08:58
UU SJSN dan UU BPJS memiliki rentang waktu terbit yang cukup lama yaitu 7 tahun, menurut saya rentang waktu ini terlalu lama bagi terbitnya suatu UU. pemberlakuan JKN di tahun 2014 dirasa cukup tergesa-tergesa dimana sosialisasi ke daerah dirasa kurang dan pada 1 januari 2014 saat itu belum ada juklak dan juknis untuk implementasi JKN, sehingga pelaksanaan di daerah seperti kehilangan arah sampai kemudian terbit juklak dan juknisnya pada pertengahan tahun 2014.
Pemberlakuan JKN di tahun 2014 juga dirasa sarat unsur politik karena pada saat itu sedang terjadi proses pergantian kekuasaan presiden.
Proses penyusunan kebijakan juga kurang melibatkan aktor-aktor yang terlibat, seperti contoh yaitu organisasi profesi seperti persatuan profesi dokter spesialis dan organisasi profesi PORMIKI (perhimpunan profesional perekam medis dan informasi Kesehatan Indonesia), sehingga dalam implementasinya di Rumah Sakit contohnya ada beberapa kasus yang mungkin menurut dokter spesialis tidak relevan dengan output yang dihasilkan dari program INA CBG's. dalam proses memasukkan kode penyakit juga ada beberapa aturan yang tidak sesuai dengan kaidah kode ICD 10 sehingga menimbulkan gesekan-gesekan dalam pelaksanaan di Rumah Sakit antara koder dan verifikator BPJS.
Reply
# Tri Adi Nugroho 2016-10-10 09:51
Sungguh sangat disayangkan, bila kita melihat lebih dalam dari sudut pandang (perspektif) SJSN itu dirumuskan ada “sembilan Prinsip SJSN” yang harus pahami, ditaati dan dijalankan oleh seluruh warga negara Indonesia. Sembilan prinsip tersebut adalah pertama gotong royong, kedua nirlaba, ketiga keterbukaan, keempat kehati-hatian, kelima akuntabilitas, keenam portabilitas, ketujuh kepesertaan wajib, kedelapan dana amanat dan kesembilan hasil pengelolaan dana.
Dari sembilan prinsip SJSN yang terangkum dalam buku saku PAHAM SJSN, justru sekarang menjadi tanda tanya besar dalam proses IMPLEMENTASInya.
Reply
# Nasruddin 2016-10-10 09:03
Menurut singkat saya, Program JKN ini terkesan terlalu sarat dengan kepentingan tertentu. Karena jika dikatakan bahwa bahwa Program JKN ini "mendadak", maka jika melihat ke belakang bahwa UU terkait JKN dalam hal ini UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN. 10 tahun Waktu yang cukup panjang untuk merumuskan rencana action secara matang.
Saya melihat bahwa kebijakan program JKN ini terkesan di monopoli oleh kalangan tertentu. Salah satu contoh, dalam penyusunan MOU antara Pemerintah dengan BPJS tidak mempertimbangkan kondisi dan kebutuhan di daerah. Misalnya dalam hal kepesertaan, pihak Dinas Kesehatan di Daerah tidak memiliki akses langsung terhadap data kepesertaan, untuk mendapatkan data kepesertaan tersebut perlu langkah-langkah yang cukup rumit dan memakan waktu yang cukup lama. Padahal kita ketahui bersama bahwa data kepesertaan tersebut terkait dengan informasi serta pengambilan kebijakan baik itu kebijakan program maupun dalam hal penganggaran.
Jadi menurut saya, perlu adanya perbaikan terhadap kebijakan JKN ini dengan mempertimbangkan aspek teknis di daerah serta melibatkan unsur-unsur yang terkait dengan program ini termasuk pihak pelaksana kegiatan di lapangan.
Reply
# Budi Prihantoro 2016-10-10 09:29
Yth. Prof. Laksono

Pada pembahasan masalah JKN ini, beberapa hal yang ingin saya sampaikan, yaitu
1. Dalam setiap pembahasan rancangan undang-undang atau peraturan pemerintah, biasanya didahului dengan naskah akademik sebagai bahan utama. Apakah dalam penyusunan UU SJSN dan UU BPJS tidak didahului dengan naskah akademik?
2. Dalam pelaksanaannya, BPJS Kesehatan merupakan transformasi dari PT Askes. Dahulu, Askes hanya mengelola dana untuk peserta dari golongan PNS (hanya 4-5 juta penduduk), saat ini BPJS kesehatan mengelola dana lebih dari 120 juta penduduk. Apakah pernah dilakukan monitoring dan evaluasi terhadap penyelengara sistem JKN ini?
3. Sampai saat ini aliran data yang di input dalam sistem PCare belum dapat dimanfaatkan oleh pihak Kementerian Kesehatan ataupun pihak Dinas Kesehatan Provinsi/Kab/Kota, sehingga perlu dibuat suatu aturan baru mengenai pemanfaatan data ini antara pihak BPJS Kesehatan dengan Kemenkes/Dinas Kesehatan
Reply
# Nasruddin 2016-10-10 12:07
Fokus pada point ke tiga, jika kita menelaah UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN pada Pasal 4 diterangkan bahwa salah satu prinsip dari SJSN ini yaitu keterbukaan. Melihat fenomena sistem yang berlaku di BPJS tentang pengelolaan data baik itu Output data dari PCare maupun data kepesertaan yang masih cenderung sangat tertutup, hal ini jelas-jelas bertentangan dengan amanat UU tersebut.
Reply
# Tri Adi Nugroho 2016-10-10 09:41
Pada akhir kasus yang telah kita baca bersama, masalah-masalah yang terkait dengan Kebijakan Undang-Undang SJSN dan Undang-Undang BPJS terdapat dua aspek yang yang perlu kita garisbawahi, yaitu pertama teknisnya terlihat kurang dipersiapkan dengan evidence yang tidak jelas. Kedua aspek waktu perumusan sampai dengan keputusan penetapan kebijakan yang relatif lama dan terdapat kesan yang dipaksakan, padahal kita ketahui bersama apabila menyangkut hal-hal yang dipaksakan bisanya waktu relatif singkat. Tapi berbeda dengan kebijakan 2 Undang-undang (JKN dan BPJS) yang terkesan prosesnya tidak ideal dan terindikasikan ada unsur kepentingan sekelompok golongan yang memiliki peran penting. Kita biasanya menyebutnya sebagai “elit” pengambil kebijakan.
Reply
# Felix Mailoa 2016-10-10 10:35
Yth.Pak Tri Adi
Apakah menurut pak adi, sistem yang diterapkan oleh JKN ini sudah berpangkal pada ideologi Insonesia seperti tertuang dalam sila ke 5 yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia? Karena menurut saya ada ketidakseimbangan antara daerah satu dan daerah lain.
Reply
# Prayudha Benni S 2016-10-10 09:45
Kebijakan yang sepertinya di paksakan untuk melaksanakan kepentingan politik sepertinya terlihat dari implementasi BPJS. Terlihat bahwa pemerataan dan penyerapan dari PBI dan non PBI. Kebijakan Beberapa pelaksanaan BPJS yang implementasi masih terdapat kekurangan. Seperti penyerapan dari PBI yang tidak sampai 100%, sedangkan untuk mandiri penyerapan hingga 300 %. Sehingga terdapat ketimpangan penyerapan antara PBI dan Mandiri. Penerapan single pool yang hanya BPJS saja yang mengelola sehingga ketidakfokusan antara peserta PBI, Mandiri dan dari Perusahaan. Hasil yang ditimbulkan dari ketidak merataan adalah dana PBI yang harusnya digunakan untuk masyarakat miskin, maka harus diberikan untuk peserta non-PBI yang sebenarnya mampu. Untuk Pelaksanaan kemungkinan akan lebih fokus apabila peserta PBI, mandiri dan perusahaan dilakukan terpisah.
Reply
# Felix Mailoa 2016-10-10 09:49
Saya sangat setuju dengan asumsi bahwa kebijakan JKN banyak didominasi oleh kepentingan politik. Tarik ulur terhadap kepentingan konstituen politik di Indonesia yang menyebabkan UU ini terkatung-katung selama beberapa lamanya. Okmum politisi didaerah juga menggunakan kesemapatan ini untuk politik pencitraan sebagai kerberhasilan pembangunan yang digawanginya. Namun saya melihat dari sudut pandang lain terhadap permasalahan ini, yaitu ada ketidaksiapan BPJS dalam mengimplementasi aturan yang telah dibuat karena UU yang diterapkan itu sendiri masih banyak memiliki kekurangan. Saya ingin melihat masalah ini dari sudut pandang yang berbeda, misalnya saya secara pribadi menginginkan adanya ketegasan mengenai optimalisasi integrasi dengan jaminan kesehatan didaerah karena ada banyak daerah yang sebenarnya belum sepenuh hati mengimplementasi JKN di daerah masing-masing. Selain itu pasca diberlakukannnya JKN ini, BPJS belum memiliki kesiapan sumberdaya secara menyeluruh sehingga didaerah-daerah yang jauh dan tidak tersedia cukup SDM terkesan tidak siap menghadapi perubahan sistem kesehatan termasuk implementasi yang masih kocar-kacir didaerah. Fakta inilah yang membuat saya merasa sedikit pesimistis bahwa akan terjadi penyamarataan pelayanan antara pusat dan daerah khususnya daerah yang jauh. Kebijakan populer yang dihasilkan tanpa perhitungan serta perencanaan fiskal yang matang pasti akan berjalan dalam ketimpangan.
Reply
# Beny Binarto 2016-10-10 10:17
Menurut saya dimana pada era terdahulu pelaksanaan pendanaan jaminan kesehatan ini hanya menjamin masyarakat kalangan atas yakni masyarakat aparatur Negara PNS, POLRI dan BUMN. Dalam kenyataannya JKN ini terkesan dipaksakan agar segera terealisasi kebijakannya.
Sebagai contoh Dalam hal pengadaan alat-alat dan bahan kesehatan daerah yang potensinya besar seperti pulau jawa yang hanya dapat menikmati fasilitas yankes yang memadai sebaliknya dengan daerah-daerah yang kurang memiliki SDM yang sesuai kebutuhan. Ini keuntungan besar bagi fasilitas yankes dikota besar, selain itu juga dalam segi keadaan data pemerintah daerah tidak berhak untuk mendapatkan akses informasi yang diinginkan.
Tetapi dalam kenyataannya dilapangan seorang yang mengikuti jaminan kesehatan ini hanya saja pembayaran iuran dilakukan jika seorang mengalami keadaan sakit (posisi terdesak). Hasil akhir dari pembahasan ini, perlu adanya regulasi perbaikan terhadap kebijakan JKN ini dengan mempertimbangkan aspek teknis baik yang ada dipusat atau yang berada didaerah agar kedepannya proses JKN ini dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia.
Reply
# Mochammad Kurniawan 2016-10-10 10:31
Saya setuju dengan pendapat teman-teman di atas. Menurut pengamatan saya, untuk implementasi di lapangan memang tertatih-tatih dan terkesan dipaksakan.

  • Pada awalnya untuk implementasi laporan PCare secara online, pihak BPJS Kesehatan ilangsung ke Puskesmas tanpa ada pemberitahuan ke pihak Dinkes Provinsi / Kabupaten / Kota. Sehingga banyak pihak yang merasa diliwati begitu saja. Selain itu awal-awal dulu pengkodean ICD 10 tidak standar. Tetapi berangsur-angsur sudah ada perbaikan dari pihak BPJS Kesehatan.
  • Begitu juga dengan pendanaan, pada awalnya semua yang mendaftar keanggotaan BPJS Kesehatan Mandiri langsung bisa memakai kepesertaannya untuk berobat.
  • Sepertinya dalam pelaksanaan JKN ini dikerjakan dahulu baru diperbaiki secara bertahap dan ini berlaku secara nasional. Tidak dilakukan uji coba misal di beberapa provinsi atau kab/kota yang dianggap mampu, selanjutnya diimplementasikan secara nasional.

Semoga ke depan pelaksanaan JKN bisa lebih baik lagi.
Reply
# Prayudha Benni S 2016-10-17 04:35
Kepada pak M. Kurniawan, untuk poin pertama dimana implementasi PCare yang dikhususkan untuk Pengelolaan pasien BPJS, sedangkan beberapa puskesmas mengelola simpus. apakah strategi bridging perlu diterapkan untuk kepentingan integrasi data?. sehingga mungkin informasi bisa terintegrasi bpjs-puskesmas-dinkes
Reply
# Erdiana Retnowulan P 2016-10-10 12:11
SJSN adalah program negara yang bertujuan untuk memberi perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Melalui program ini, setiap penduduk diharapkan dapat memenuhi kebutuhan hidup dasar yang layak apabila terjadi hal-hal yang dapat mengakibatkan hilangnya atau berkurangnya pendapatan karena menderita sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki usia lanjut atau pensiun (Penjelasan atas UU No. 40 Tahun 2004 paragraf ketiga).
Tetapi kelahiran UU SJSN ini kalau dilihat dari prosesnya memakan waktu yang cukup panjang yaitu dari tahun 2000 hingga 19 Oktober 2004. Ada kesan bahwa pengesahan UU SJSN terburu-buru mengingat tanggal 29 Oktober 2004 ada penggantian Kepala Negara (unsur politik). Dalam penyusunannya pun tidak banyak melibatkan stakeholder teknis terkait, sehingga banyak kelemahan-kelemahan yang terjadi pada UU SJSN ini, hal tersebut sebenarnya sudah disadari oleh semua anggota tim yang terlibat dalam penyusunan UU SJSN termasuk dari DPR RI.
Reply
# Astria Lolo 2016-10-10 12:17
Beralihnya Jamkesmas menjadi BPJS dan merangkul seluruh masyarakat Indonesia baik sektor formal maupun informal memiliki tujuan yang baik yaitu untuk mensejahterakan masyarakat Indonesia terlebih khusus dalam bidang kesehatan. Namun, ketidaksiapan BPJS dalam mengimplementasikan program ini justru membuat sistem dalam pelaksanaan BPJS mengalami berbagai macam kendala seperti terjadinya defisit anggaran hingga mencapai 4-5 triliun dalam setahun. Dengan program yang sudah berjalan selama hampir 3 tahun ini, seharusnya BPJS mulai mengambil langkah untuk melakukan perubahan setelah belajar dari permasalahan-permasalah yang ada selama ini. Namun masalah-masalah yang ada dalam pelaksanaan BPJS tidak hanya berasal dari pihak BPJS saja, masyarakat pun terkadang menjadi penyebab kendala-kendala yang ada dalam sistem BPJS seperti : ketidakpatuhan masyarakat dalam melakukan pembayaran premi namun tidak diberikan punishment atau sejenisnya dan masyarakat yang rutin mengunjungi puskesmas untuk meminta pengobatan padahal sakit yang diderita hanya penyakit ringan saja contohnya flu ringan dan sakit kepala ringan. Penyebab lainnya adalah potensi Fraud pada INA-CBG’s yang dilakukan oleh faskes ketika mengklaim di BPJS. Untuk itu pihak BPJS diharapakan bisa lebih tegas dalam menyikapi permasalahan ini sehingga masyarakat dan semua pihak yang terlibat dalam BPJS juga bisa menjadi peserta yang tertib serta tahu apa yang menjadi hak dan kewajibannya.
Reply
# Atina Husnayain 2016-10-10 12:19
Salah satu masalah kebijakan yang ada dalam undang-undang SJSN dan BPJS menurut saya adalah belum diaturnya peran serta/keterlibatan dinas kesehatan. Dimana pada era sebelumnya, yaitu sebelum era JKN, dinas kesehatan memiliki peran sentral dalam memainkan peran dalam bidang kesehatan. Sehingga harusnya perundang-undangan SJSN dan BPJS ini juga mempertimbangkan keterlibatan dinas kesehatan dan memberikan rambu-rambu yang jelas terkait tupoksi masing-masing. Hal ini juga terkait dengan akses data. Keterlibatan dinas kesehatan yang jelas ini memungkinkan adanya penerapan MGIS (Medical Geographic Information System) ke depannya yang melibatkan BPJS (sebagai pemegang data di era JKN), Dinas Kesehatan (sebagai pemegang data cohort), rumah sakit dan puskesmas sebagai sumber data serta sektor terkait lainnya.
Reply
# Bayu Kusuma 2016-10-10 12:56
Jaminan kesehatan nasional, dalam hal ini diwadahi oleh BPJS adalah hal yang positif yang bermaksud memberikan pelayanan kesehatan kepada seluruh rakyat Indonesia. Sesuai dengan amanat perubahan UUD 1945 Pasal 34 ayat 2, yaitu bahwa negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Apabila dalam pelaksanaannya ada hal-hal yang perlu perbaikan secara terus menerus merupakan proses panjang dalam rangka pendewasaan SJSN.
Indonesia sudah sangat jauh tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asean, sebagai contoh negara Srilangka sudah memiliki jaminan kesehatan sejak tahun 1948. Semua penduduk berhak mendapatkan layanan di puskesmas maupun rumah sakit publik tanpa bayar. Begitu juga dengan Malaysia, gratis biaya obat, laboratorium, atau jasa dokter, dan hanya membayar beberapa ringgit per hari. Permasalahan antrian untuk pasien, bagi yg tidak mau antri panjang bisa ke RS Swasta yang biayanya 1/3 biaya RS kita. Selanjutnya Taiwan memulai JKN di th 1995, Filipina juga dimulai tahun 1997.
Ketertinggalan ini memang membutuhkan akselerasi dalam pelaksanaannya, dan terhitung sejak dimulainya BPJS di tahun 2014, banyak sekali dilakukan perbaikan-perbaikan yang telah dilakukan dalam pelaksanaan sistem ini. Bisa kita bayangkan jika pelaksanaan JKN ini harus menunggu sistem yang benar benar matang, infrastruktur, sarana dan prasarana yang memadai juga ketersediaan SDM yang cukup dan cakap di seluruh wilayah Indonesia, pada tahun berapa JKN di Indonesia akan bisa dimulai?
Defisit yang ada disebabkan masih rendahnya tingkat kepatuhan pembayaran iuran peserta dan universal coverage belum terlaksana. Sedangkan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 84 tahun 2016, ada tiga mekanisme yang bisa ditempuh BPJS Kesehatan jika terjadi defisit atau mengalami kesulitan likuiditas. Ketiga mekanisme itu yaitu melakukan penyesuaian iuran, melakukan penyesuaian manfaat atau pelayanan kesehatan yang diberikan, dan terakhir memperoleh suntikan dana dari pemerintah. Selama proses perbaikan pelaksanaan sistem JKN oleh BPJS, pemerintah bisa menutup defisit anggaran BPJS di tahun 2016 yang diperkirakan mencapai 7 Trilyun setelah iuran kepersertaan dinaikkan. Hal ini masih rendah jika dibandingkan dengan subsidi pemerintah yang besar untuk sektor lain di luar kesehatan yaitu subsidi BBM 32,3 triliun dan Listrik sebesar 45 triliun.
Reply
# Prayudha Benni S 2016-10-17 06:06
Kpd. Pak Bayu Kusuma
Apakah dengan kondisi BPJS sekarang yang dianggap devisit. Adakah solusi dari dari kendala-kendala yang disebabkan adanya ketimpangan penyerapan dana dari anggota PBI dan Non PBI (mandiri)?
Reply
# Meiyana Dianning R 2016-10-10 13:12
Munculnya era JKN adalah suatu reformasi sitem kesehatan di Indonesia. menurut saya, diberlakukannya JKN adalah sesuatu yang terburu-buru dan dipaksakan. Bagaimana para pembuat kebijakan ini apakah sudah mempelajari terlebih dahulu kesiapan-kesiapan elemen yang akan menjalankannya seperti FKTP dan FKTRL.mulai dari persebaran SDM nya sampai dengan sarpras. Rasio kebutuhan untuk tenaga medis dengan jumlah penduduk yang ada, apakah sudah diperhitungkan. Misal didaerah dengan peserat BPJS sebesar 30.000 peserta, dan jumlah tenaga medis (dokter) hanya 2 orang, tentulah tidak bisa memberikan pelayanan yang maksimal kepada peserta. Alangkah baiknya dari segi SDM diratakan agar bisa memberikan pelayanan maksimal dan "cost effective".
Masa peralihan dari Jamkesmas/Askes ke sistem JKN(BPJS) sangat terasa. Sebelum era JKN, verifikator utama kami adalah Dinas Kesehatan, dimana kepesertaan, sistem klaim, data 10 besar penyakit, semua data ada di Dinas Kesehatan. Namun saat sekarang semua dilakukan oleh BPJS, kami meng-entry pasien di sistem P-Care, namun itu tidak bisa digunakan untuk bank data, dan seolah2 antara Dinas Kesehatan dengan BPJS berjalan sendiri2. Jadi Dinas Kesehatan tidak bisa memonitor kunjungan/kasus2 pada peserta BPJS.
Agar tidak berpotensi terjadinya Fraud di FKTP, kami selaku FKTP diawasi langsung oleh BPJS, dan dilakukan monitoring dan evaluasi oleh BPKP setiap tahunnya, baik itu mengenai dana kapitasi ataupun dalam hal pelayanan pasien.
Kepesertaan BPJS,trutama penetapan peserta PBI masih belum merata dan salah sasaran. Banyak didaerah kami, yang menjadi peserta PBI adalah mereka kelas menengah, justru yang ekonominya rendah/orang miskin banyak yang tidak menjadi peserta PBI, sehingga mereka harus mendaftar secara mandiri/Non-PBI.

Semoga kedepannya sistem JKN ini bisa lebih baik lagi, dan diperbaiki dari semua aspek, sehingga Tahun 2019 universal coverage bisa terwujud dengan baik. FKTP maupun FKTRL bisa memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat
Reply
# Bayu Kusuma 2016-10-11 12:34
Dalam pembuatan suatu sistem, memang diperlukan perencanaan yang matang, sebagaimana dalam pembuatan suatu program komputer. Perancangan desain yang menurut kita sudah bagus, saat dilaunching, biasanya kemudian ada revisi. Dalam bahasa program ada versi alfa versi beta dan versi final. Saat versi final dirilis sekalipun, akan ada service pack, update dan sebagainya. Artinya program harus dilaunching dan dikoreksi apabila ada patch atau bug dalam program tersebut dan bukan sekali diluncurkan langsung sempurna dan tanpa ada update sama sekali.

Penyiapan sumber daya manusia membutuhkan waktu yang cukup panjang dan tidak sebentar. Menunggu semuanya siap dan berada pada kondisi ideal seringkali hanyalah ada dalam tataran teori belaka.

Mengenai masalah PCare, dan interoperabilitas dengan software yang lain sebenarnya sedang dilakukan oleh BPJS, agar petugas FKTP tidak terlalu banyak melakukan entri data.

Mengenai database di Dinas Kesehatan, Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta sudah mempunyai database PCare, karena puskesmas melakukan pengentrian 2 kali, yaitu entri di PCare dan SimPus, sehingga masalah yang ada, bukan Dinkes tidak mempunyai database melainkan mengurangi entri data di FKTP dengan jalan bridging antara software SimPus dan PCare, dan ini sedang dilakukan proses mengarah kesana.

Mengenai kesalahan dalam pemberian kartu KIS berbasis PBI, masih menjadi fenomena klasik dalam negara kita, dan perlu perbaikan dalam pendataan. Sistem human error sering terjadi di sini, artinya dari perangkat desa sendiri yang memberikan kepada orang yang tidak tepat, yang diberikan kepada orang yang dikenal baik (bias error)

Dalam hal pencegahan fraud atau kecurangan, pemerintah telah membuat PerMenKes No 36 tahun 2015 yang perlu diimplementasikan dalam Standar Prosedur Operasional pada FKTP, yang mengacu pada borang-borang atau aturan yang telah ada.
Reply
# Katrina Feby Lestari 2016-10-10 13:42
Proses penyusunan UU SJSN dan UUD BPJS yang memakan waktu yang sangat lama seharusnya dapat memberikan hasil yang maksimal. Namun pada kenyataannya masih banyak masalah-masalah yang terjadi terutama dalam ketersediaan akses pelayanan kesehatan bagi masyarakat di daerah sehingga terlihat sangat tidak adil. Kebanyakan yang menikmati pelayanan kesehatan dari JKN hanyalah masyarakat yang memiliki akses dalam mencapai tempat pelayanan kesehatan dimaksud. Untuk menunjang kemudahan akses pelayanan kesehatan dalam mendukung pemerataan dalam memperoleh JKN, Pemerintah harus memperhitungkan pembangunan infrastruktur yang memadai di daerah-daerah remote. Pembangunan infrastruktur di darah remote ini juga akan menunjang pemerataan pembangunan sehingga ketimpangan antara jawa dengan non-jawa tidak begitu besar terutama dalam hal akses pelayanan kesehatan, yang mana kesehatan saat ini adalah kebutuhan pokok yang wajib dipenuhi. Seiring dengan pembangunan infrastuktur yang ada maka akan memfasilitasi adanya tenaga kesehatan yang tersedia di fasilitas kesehatan sehingga peserta BPJS dapat tertangani dengan cepat. Kendati terkesan sulit untuk dilakukan, namun perubahan demi perubahan seharusnya dapat dilakukan dengan baik dan terarah demi terciptanya program jaminan sosial kesehatan yang komprehensif dan menjamin hak seluruh rakyat Indonesia sehingga amanah UUD 1945 sebagai konstitusi Negara dapat telaksana dengan baik dan Indonesia selangkah lebih maju menuju kesejahteraan.
Reply
# Nasruddin 2016-10-10 22:16
2. Berbicara tentang konsep kebijakan, yaitu sebagai suatu proses yang mengandung berbagai pola aktivitas tertentu dan merupakan seperangkat keputusan yang bersangkutan dengan tindakan untuk mencapai tujuan dalam beberapa cara yang khusus. Jika melihat pelaksanaan program JKN di Indonesia, perlu kajian lagi apakah kebijakan program JKN tersebut sudah memenuhi secara total dari isi konsep kebijakan yang ada dalam hal ini yang paling nampak apakah tujuan dari kebijakan itu sendiri sudah tercapai sesuai harapan tanpa ada pertentangan yang berarti.
Sedikit membahas fakta di lapangan, secara khusus di tempat tugas saya. Dalam sebulan kurang lebih ada 2 s/d 3 kali kami mendapatkan aduan atau laporan tentang masyarakat miskin yang tidak tercover dalam kepesertaan BPJS yang membutuhkan pelayanan kesehatan. Timbul pertanyaan, apakah fakta seperti ini sudah sesuai dengan konsep suatu kebijakan ? Apakah ini sudah sesuai dengan asas Sistem Jaminan Sosial Nasional yang “diselenggarakan berdasarkan asas kemanusiaan, asat manfaat, dan asa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” ? (Ps. 2 UU No. 40 Tahun 2004).
Reply

Add comment

Security code
Refresh