Kemungkinan masalah dalam kebijakan kesehatan di kasus 2 - minat Gizi

  1. Proses penyusunan kebijakan Raperda di DIY ini tidak berjalan sesuai harapan karena pertentangan pelaku (aktor).
  2. Kelompok di masyarakat dan perusahaan swasta yang mempunyai kemampuan lobby canggih terlihat lebih berkuasa dalam menentukan kebijakan dibanding pemerintah yang terpilih secara demokratis.

 

Comments  

# Muhammad Padlianor 2016-10-17 17:37
Mohon ijin memberikan komentar.
Dinegara kita, tembakau memberikan kontribusi besar dalam pendapatan negara sehingga kebijakan Raperda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) tentu saja menuai reaksi keras dari sejumlah masyarakat kretek dan petani tembakau. Terlebih saat mereka tidak merasa dilibatkan dalam sebuah pembuatan kebijakan. Seyogyanya seluruh unsur masyarakat terwakili dan berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut hajat orang banyak. Sehingga kebijakan yang ditetapkan mendapat dukungan masyarakat luas. Sayangnya, wakil-wakil rakyat dalam hal ini partai politik, justru turut memperkeruh suasana dengan tidak menanda tangani Raperda tersebut. Tentu saja ini tidak lepas dari manuver politik mereka dalam upaya pencitraan di Pemilu mendatang. Penolakan ini tidak mengejutkan karena penyusunan kebijakan merupakan perjuangan antar kelompok , sebagian mendukung perubahan dan sebagian lain menolak, tergantung kepada kepentingan mereka. Pemerintah memilih bersikap netral dengan menyeimbangkan tuntutan dan memberikan dukungan dalam bentuk lain. Raperda KTR ini merupakan usulan masyarakat yang berasal dari bawah, tentu saja prosesnya berjalan panjang dan berliku . Mungkin akan beda ceritanya bila Raperda merupakan hasil insiatif DPRD setempat, usulan kebijakan mungkin akan cepat prosesnya dan segera disyahkan oleh anggota dewan perwakilan rakyat.
Reply
# Lily Sulistyawati 2016-10-18 02:54
Peraturan mengenai rokok memang menjadi hal yang banyak diperdebatkan baik ditingkat lokal maupun nasional. Oleh karena itu penyusunan peraturan mengenai rokok sangat diwajarkan terkesan lama dan memakan waktu bertahun-tahun. Golongan yang kontra dalam kebijakan ini adalah mereka yang sebenarnya adalah penikmat rokok itu sendiri, dimana mereka berdalih bahwa jika dibuat kawasan bebas asap rokok maka sama saja melanggar hak perokok untuk merokok. Mereka tidak sadar bahwa dengan mereka merokok ditempat umum mereka juga telah melanggar hak orang lain untuk menghirup udara bersih bebs asap rokok. Dalih lain adalah memikirkan kepentingan para petani tembakau, ribuan buruh pabrik rokok, dan para pedagang asongan yang bergantung hidupnya dengan berjualan rokok. Di sisi lain para produsen rokok juga giat melalukan sesuatu sehingga memunculkan sisi baik dari rokok, misalnya dengan berpartisipasi dalam dunia pendidikan dan pelatihan dengan memberikan beasiswa. Dari kenyataan ini maka dapat disimpulkan masih rendahnya perhatian pemangku kebijakan mengenai perlindungan masyarakat dari bahaya asap rokok, advokasi penetapan perda yang berbelit-belit inilah salah satu bukti nyata. Sebenarnya amanat untuk membuat kawasan tanpa rokok secara jelas telah ada dalam Undang-undang. Sehingga pemerindah daerah mau tidak mau harus memiliki perutan pengendalian asap roko yang tertuang dalam rancangan peraturan daerah. Yang harus dipahami adalah dalam Perda tentang kawasan tanpa rokok tidak melarang orang untuk merokok, Perda tersebut hanya mengatur kawasan mana saja yang tidak boleh terpapar asap rokok. Tujuannya adalah untuk melindungi masyarakat yang tidak merokok agar mendapatkan udara yang bersih.
Reply
# andi tenri kawareng 2016-10-18 06:44
Undang – undang Republik Indonesia nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan pada bagian 17 pasal 115 telah enam Tahun diberlakukan sebagai kebijakan dalam langkah preventif dan promotif yaitu kawasan tanpa asap rokok. Namun berdasarkan data yang disajikan oleh Kementrian kesehatan 2015 hanya terdapat 30% (166 kabupaten/kota) yang menerapkan kebijakan ini dari 403 kabupaten dan 98 kota di Indonesia. Masalah ini disebabkan oleh kurang maksimalnya peran pemimpin daerah, tokoh masyarakat, advokasi yang kurang akademisi. Selain itu melihat kasus yang terjadi di DIY ini ideology kapitalisme sepertinya sangat kuat mempengaruhi proses kebijakan ini. Ideologi Kapitalisme oleh Adam Smith adalah sebuah ideologi yang digunakan oleh sebagian besar golongan atas/konglomerat untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya kepada dirinya sendiri. Dalam hal ini, masyarakat digunakan sebagai alat penggerak kesejahteraan bagi dirinya dengan cara mempekerjakan orang banyak dengan upah 'secukupnya'. Masyarakat kretek dan petani tembakau dijadikan alat untuk menentang kebijakan ini. Disamping itu kuatnya pengaruh kapitalisme (perusahaan rokok) dalam melobby agar penyusunan rancangan kebijakan ini dibatalkan.
Dibutuhkan perencanaan dan implementasi kebijakan yang lebih siap serta mempertimbangkan berbagai faktor dalam penyusunannya dengan memperhatikan kepatuhan terhadap peraturan sebagai upaya penegak hukum, pemantauan dengan evaluasi yang terus menerus.
Reply
# siti maria ulva 2016-10-18 16:27
izin berkomentar
ada beberapa point yang bisa digarisbawahi dalam kebijakan KTR Diy al: 1. peraturan rokok dipertajam/ kesepakatan pemahaman dahulu antara "tidak boleh merokok" dan "boleh merokok tapi pada tempat tertentu" dlm hal ini KTR 2. rokok menjadi hak asasi dan perilaku seseorang/individu dalam menentukan pilihan untuk dirinya sendiri3. ada banyak Pemain/aktor dlm kebijakan rokok al: pemerintah, legislatif/dprd dan organisasi masy/lsm, masyarakat, industri dari rokok itu sendiri baik dari petani tembakau, perusahaan rokok, pekerja include masing2 dg pro dan kotranya ttg kebijakan rokok itu sendiri 4. media rokok yang sangat kencang/ isu2 bahwa rokok tdklah berbahaya dll 5. penghasilan dari pajak rokoksangat tinggi itu harus bisa diterima dan difikirkan bgm caranya jka rokok bnr2 tdk lagi diproduksi 6.pada daerah yg sdh mempunyai kebijakan Ktr pun harus ada pegawasan yang terus menerus 7. bgm dengan saksi/hukuman bagi yang melanggar 8. point utama bahwa seharusnya peraturan KTR bisa disetujui dan dilaksanakan dengan kesadaran penuh kepada masing2 aktor yang sudah disebutkan diatas. tks
Reply
# Vidya Avianti Hadju 2016-10-19 07:54
Izin berkomentar. Berdasarkan kasus ini, pola interaksi kekuasaan yang terbentuk bersifat pluralism, dimana kekuasaan terdistribusi diantara kelompok-kelompok yang ada di masyarakat. Kebijakan muncul hasil dari konflik dan proses lobby dari masing-masing kelompok. Dalam Perda KTR ini, terdapat beberapa aktor yang berperan, yaitu QTI dan yang juga bersama-sama dengan pegiat pengendalian tembakau membentuk Forum JSTT yang mendukung Perda ini dan juga terdapat kelompok masyarakat yang bernama "Masyarakat Kretek dan Petani Tembakau" serta pabrik rokok yang menentang Raperda ditandatangani oleh DPRD. Dari kasus di atas, dapat dilihat lobby yang dilakukan oleh kelompok masyarakat yang kontra sangat gencar jika dibandingkan dengan kelompok masyarakat yang pro Raperda KTR, dimana industry hasil tembakau ini sendiri memiliki andil yang cukup besar terhadap pendapatan Negara misalnya saja pajak dan cukai, penyediaan lapangan kerja, hingga beasiswa kepada pemuda/i Indonesia sehingga pemerintah dalam menyusun kebijakan banyak dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan kelompok pro rokok ini.
Media memiliki peranan yang cukup besar dalam menggiring persepsi masyarakat terhadap rokok. Selama ini rokok dikenal sebagai simbol maskulinitas dikarenakan iklan-iklan rokok yang menggambarkan seperti itu jauh berbeda dengan iklan dari pomosi kesehatan anti rokok yang tidak mampu mengubah persepsi masyarakat akan bahaya rokok. Sehingga sangat penting bagi kelompok masyarakat yang pro terhadap raperda KTR agar lebih menggiatkan proses lobby dan advokasi yang terus menerus terhadap legislatif sebagai penyusun kebijakan agar dapat diwujudkan. Terima kasih.
Reply
# Nurmina H 2016-10-19 09:43
Selamat sore. Melanjutkan komentar teman teman. Karena salah satu penyebab belum ditandatanganinya kebijakan terkait ktr di DIY adalah adanya pihak yang dianggap tidak dilibatkan dalam perumusan kebijakan dalam hal inu petani tembakau dan perusahaan rokok, juga masalah pwrgantian kepemimpinan dan jajarannya di DPRD sehingga perumusan kebijakan ini semakin abuabu. Terutama terkait hal kedua ini, mungkin ada baiknya pemerintah membentuk sebuah Badan yang resmi khusus merumuskan masalah kebijakan terkait rokok. Sehingga segala permasalahan terkait rokok bisa fokus diselesaikan dalam artian dirumuskan sampai pada penandatanganan kebijakan dan followup keberlangsungan kebijakan ini. Disamping itu, menanggapi masalah petani tembakau yang terancam kehilangan sumber penghasilan mungkin bisa diberikan alternatif pekerjaan lain yang lebih banyak mendatangkan manfaat bagi dirinya sendiri dan masyarakat pada umumnya. Jadi tidak ada pihak yang merasa dirugikan dengan adanya kebijakan KTR di DIY.
Terima kasih
Reply
# Nurlienda Hasanah 2016-10-19 11:28
Selamat Malam, Izin berkomentar.
Raperda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di DIY belum juga disahkan. Sebelumnya DIY memiliki kebijakan tentang Kawasan Dilarang Merokok (KDM) melaui Peraturan Gubernur No. 42 Tahun 2009 dan Perda nomor 5 Tahun 2007 tentang Pengendalian Pencemaran Udara khususnya Pasal 11.
Akan tetapi peraturan ini lemah karena tidak memberikan sangsi pada pelanggar sehingga perlu merancang Perda KTR yang mempunyai kekuatan hukum untuk melindungi masyarakat dari dampak buruk asap rokok.

Proses penyusunan kebijakan Raperda ini berlangsung alot karena adanya pertentangan aktor terkait. Jika kita melihat dimensi kekuasaan yang berjalan, maka terjadi berbagai hambatan yang disebabkan oleh;
1. Political Will dan komitmen politik
Komitmen politik yang dilakukan oleh satu fraksi DPR yang menyetujui Raperda tersebut akhirnya mengundurkan diri dan diikuti fraksi lain merupakan bentuk tidak komitmennya aktor-aktor tersebut dalam penetapkan Raperda KTR di DIY. Seyogyanya fraksi di DPR melindungi masyarakat dan berdasarkan evidence based bukan sekedar mengikuti political will semata. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa ilmu politik memusatkan perhatiannya pada perjuangan untuk memperoleh, mempertahankan kekuasaan, melaksanakan kekuasaan, mempengaruhi pihak lain ataupun menentang pelaksanaan kekuasaan.
Namun, Fraksi DPR sebagai aktor mengambil posisi penting dalam menentukan langkah lanjutan dari suatu kebijakan, sehingga komitmen mereka untuk melindungi masyarakat menjadi hal utama dari kepentingan pihak lain yang merugikan masyarakat.

2. Kekuatan lobby-lobby
Kekuatan lobyying berasal dari sekelompok orang dan swasta seperti pelaku industri rokok yang merasa dirugikan. Kekuatan lobby ini menjadi salah satu alasan terkuat akan tidak dilakukannya penandatangan KTR. Padahal Raperda KTR ini dapat mencegah masyarakat luas dari paparan asap rokok. "Masyarakat Kretek dan Petani Tembakau" yang memprotes penandatandangan Raperda tersebut perlu mendapatkan advokasi lebih lanjut, sebab Raperda KTR tersebut tidak melarang merokok, tapi memberikan perlindungan asap rokok kepada orang lain (AROL), mencegah kepada yang belum merokok dan mengatur kawasan bebas asap rokok.

Tak bisa dipungkiri, media menjadi aktor pendukung yang secara tak langsung terlibat dalam proses penyusunan kebijakan. Advokasi melalui media pun jangan dilupakan dan perlu dilakukan secara masif untuk menyeimbangkan informasi timpang yang beredar & terkesan mendukung tidak disahkannya Perda KTR.
Sehingga perlu dilakukan edukasi melalui media tentang bahaya merokok dan manfaat hidup tanpa rokok harus dilakukan karena memegang peranan yang penting dalam pembentukkan persepsi masyarakat mengenai Raperda KTR ini agar segera disahkan.

Berdasarkan beberapa parpol yang memilih mengundurkan diri, rasanya dalam penyusunan kebijakan Raperda KTR ini, mereka mengambil teori inkremental dalam pengambilan keputusan . Teori ini dengan cara menghindari banyak masalah yang harus dipertimbangkan dan merupakan model yang sering ditempuh oleh pejabat-pejabat pemerintah dalam mengambil keputusan. Sehingga model pengambilan keputusan ini membuahkan hasil terbatas, praktis dan dapat diterima (segelintir kelompok yang memiliki kepentingan).
Oleh karenanya, perlu dilakukan tekanan oleh masyarakat (societal pressure), berbagai forum, lembaga dan organisasi sosial termasuk pemda wilayah itu sendiri agar Raperda KTR ini dapat segera ditandatangani dan diimplementasikan.
Reply
# Vita Nurhikmah 2016-10-19 20:47
Menambahkan komentar Mbak Nurlienda di atas. Selain memiliki kekuatan lobby, pelaku industri rokok serta Masyarakat Kretek dan Petani Tembakau merupakan interest group yang memiliki pengaruh dalam proses pembentukan kebijakan. Kedua kelompok tersebut merupakan interest group paling berpengaruh di semua area kebijakan publik menurut Buse, yakni bussiness interest (pelaku industri rokok) dan buruh (Masyarakat Kretek dan Petani Tembakau). Rokok sendiri merupakan suatu bisnis besar yang memberikan keuntungan tidak hanya kepada pelaku industri namun juga bagi pemerintah sehingga, seperti pendapat Mbak Nurlienda, peran masyarakat menjadi sangat penting dan dibutuhkan untuk pengesahan dan pengimplementasian RaperdaKTR ini.
Reply
# Anis Kurnia Maitri 2016-10-19 13:20
Menurut Kingdon (1984) terdapat tiga alur dalam proses politik, (1) Adanya sebuah permasalahan yang ingin diselesaikan. Permasalahan ini merupakan pilihan prioritas dari sekian banyak masalah yang muncul untuk diselesaikan. Prioritas masalah diketahui dari penilaian terhadap indikator-indikator, hasil monitoring dan evaluasi serta kejadian-kejadian tertentu yang mendesak. (2) adalah alur kebijakan, yaitu merupakan analisis solusi terhadap permasalahan yang muncul. Solusi ini dibuat dalam bentuk aturan-aturan yang dinilai dapat menyelesaikan masalah yang timbul. (3) adalah alur politik, yaitu merupakan sebuah kondisi diluar dua alur sebelumnya, namun mampu menguasai kedua alur tersebut. Kepentingan kelompok yang berkuasa sangat berperan dalam alur politik ini. Ketika ketiga alur ini dapat menemukan kesamaan dan kesepakatan, maka kebijakan akan muncul dalam Jendela Kebijakan menjadi sebuah kebijakan yang sesuai dengan kepentingan semua pihak.

Seperti juga yang terjadi dalam penyusunan Perda AROL dan pengurangan kebiasaan merokok di DIY ini. Pada awal penyusunan dilakukan upaya diskusi dan duduk bersama antara QTI dan pegiat pengendalian tembakau membentuk Forum JSTT, melakukan penyusunan naskah akademik. Naskah akademik ini telah didiskusikan dan disetujui sehingga Raperda telah dimasukkan dalam Prolegda. Ditengah perjalanan alur penyusunan kebijakan ini, ternyata terdapat kepentingan lain yang menghambat pengesahan kebijakan yang telah disusun di awal. Kekuatan ini sudah pasti memiliki “power” yang lebih tinggi sehingga berhasil menghambat pengesahannya. Di sinilah “politik kepentingan” bermain dalam sebuah alur penyusunan kebijakan. Dalam kasus diatas "Masyarakat Kretek dan Petani Tembakau" berhasil menghambat pengesahan Perda AROL karena mereka memiliki kemampuan Lobby pada level yang lebih tinggi.

Kesimpulannya hingga saat ini Perda AROL dan pengurangan kebiasaan merokok di DIY belum berhasil “menemukan Jendela”nya, dan masing-masing pihak masih harus saling bersepakat agar kepentingan semua pihak dapat terwujud, walaupun mungkin masih memerlukan waktu yang lebih lama.
Reply
# yeniar alifa 2016-10-19 14:00
menurut saya kembali lagi pada segitiga kebijakan, konsep aktor dalam kasus ini "masyarakat kretek dan petani tembakau tidak dilibatkan pada pembuatan. Konsep isi/konten dirasa juga merugikan beberapa pihak. kebijakan ini dibuat untuk melindungi hak asasi perokok pasif, dan beberapa alasan mengapa pada akhirnya satu persatu fraksi di DPRD mengundurkan diri yakni karena Perusahaan rokok telah melakukan "lobying" terhadap fraksi-fraksi, atau bisa jadi karena fraksi tersebut betul-betul merasa punya hati nurani mengkhawatirkan nasib para petani.
Reply
# Irmayanti 2016-10-19 15:07
Izin berkomentar:
Setelah membaca komentar teman2 di atas saya hanya ingin menambahkan menurut saya macetnya penyusunan Perda KTR ini dikarena adanya gejolak pihak-pihak yang merasa terancam dengan adanya perda ini. Tidak mungkin kita terus-terusan harus menyenangkan semua pihak. Menurut saya sebaiknya pihak yang berkewajiban dan berwenang dalam memutuskan Peraturan ini mengambil sikap tegas dan mulai menyusun prioritas dengan sebisa mungkin meminimalisir dampak bagi pihak yang diasumsikan akan “dirugikan”. Dengan diberlakukannya peraturan ini tidak serta merta pabrik rokok langsung tutup atau pertanian tembakau langsung dibumihanguskan tapi ini merupakan langkah untuk “menertibkan” para perokok dan melindungi orang-orang yang sebenarnya sangat BERHAK untuk terlindungi dari bahaya asap rokok. Peraturan tentang rokok memang akan menemui berbagai hambatan dan tantangan karena rokok yang seakan-akan sudah mendarahdaging di negeri ini sehingga para actor yang berperan harus mengambil sikap tegas, dan konsisten terus melakukan advokasi dan melobi pihak2 yang dianggap kurang menyetujui peraturan ini. Pemangku kebijakan harus kokoh untuk memperjuangkan perda ini meski harus mendapat gempuran kapital.
Reply
# Rosita Antariksawati 2016-10-19 21:27
Mengenai Raperda KTR di DIY yang belum di tandatangani sampe sekarang yaitu karena pemerintah ditengarai belum mengambil kebijakan (policy) yang bisa menciptakan kebajikan (wisdom) bagi semua pihak. Karena regulasi yang ada belum mampu mengintegrasikan kepentingan negara dengan pelbagai kelompok masyarakat.
ROKOK di Nusantara telah mengalami evolusi panjang, menyentuh batas-batas sosial, ekonomi, tradisi, budaya, bahkan agama. Jika ditelisik secara struktural, semua ranah kemasyarakatan tersebut membangun suatu pola kombinasi kepentingan yang saling bergantungan.Tarik ulur dalam pembahasan rancangan undang-undang tentang pengendalian dampak produk tembakau terhadap kesehatan menjadikan regulasi rokok tidak terkendali.Kalangan antirokok maupun yang mengklaim peduli terhadap kesehatan masyarakat senantiasa memproduksi informasi tentang bahaya rokok bagi kesehatan yang dapat menimbulkan berbagai macam penyakit. Sementara para pelaku industri rokok, atau kalangan yang mengklaim membela kepentingan buruh dan petani tembakau menandinginya dengan dalil perekonomian rakyat. Taruhlah pada tahun 2010 rokok menyumbang cukai sebesar Rp 57 triliun.
Pada dasarnya semua pihak menginginkan regulasi rokok yang komprehensif yang mengakomodasi segala kepentingan masyarakat. Pemerintah mesti tegas dalam menentukan regulasi tembakau. Jika memang industri tembakau akan digulung, harus dipikirkan industri turunan atau alternatif tembakau agar masyarakat buruh tetap memiliki harapan. Juga memikirkan tanaman alternatif pengganti tembakau untuk daerah-daerah potensial tembakau agar masyarakat petani tetap bisa melangsungkan kehidupannya.
Reply
# Karina Muthia Shanti 2016-10-20 05:47
Izin menambahkan terkait dalil perekonomian rakyat,
KTR pada prinsipnya tidak hanya membuat daerah bebas asap rokok, tetapi juga bebas dari promosi iklan-iklan rokok. Padahal, sumber pendapatan daerah dari perusahaan-perusahaan rokok juga cukup besar berasal dari pajak pemasangan iklan-iklan rokok. Hal ini yang mungkin juga menjadi alasan tidak dapat dibentuknya perda KTR oleh pemerintah daerah dan legislatif. Pemerintah daerah hendaknya perlu mencari sumber pendanaan lain selain dari pajak iklan rokok tersebut.
Reply
# hurfiati 2016-10-19 22:52
Actor yang berperan dalam pembuatan Raperda adalah(Eksekutif pemeritah dan dibantu dengan forum sehat tanpa petani tembakau (JSTT) tanpa melibatkan petani tembakau dan pengusaha rokok.
Pembahasan raperda KTR sudah masuk sampai prolegda akan tetapi ada beberapa fraksi di DPRD dimentahkan atau ditolak perda tersebut. Kemungkinan ada beberapa alasan tersendiri bahwa kemungkinan dengan membatasi para perokok akan mengurangi pedapat daerah terkait pajak rokok. atau mungkin lobi yang dilakukan oleh pengusaha rokok kepada legislative sehingga pengambil keputusan tidak memiliki power dan kebijakan ini lemah. Di sisi lain pemerintah harus menggambil sikap tegas dengan melobi kapada frakasi yang pro terhadap Raperda KTR
Reply
# Resti Kurnia 2016-10-19 23:57
Menambahkan pendapat teman teman,
bahwa besarnya political will disini snagat mempengaruhi proses penyusunan kebijakan. Beberapa teman memang sudah mmaparkan bahwa maslah politik sebenarnya dibayangi dengan kapitalisme ( pengaruh yang sangat besar dari Perusahaan Rokok dan sekutunya).
Sebenarnya konten tidak bermasalah dari Perda, sudah siap, penyusunan sudah lama dan sudah sampai tahap hearing ditingkat akhir. Munculnya masalah adalah dari aktor aktornya yaitu DPRD dengan ketidak setujuannya yang tiba tiba dan munculnya masyarakat kretek dan tembakau di akhir tahap dengar pendapat.
Ketika kita sudah mengetahui sumber masalhnya, dari situ pula kita mencoba menyelesaikannya. Untuk masalah dengan DPRD kita bisa belajar dari Kab. Kulon Progo bagaimana eksekutif (terutama Bupati ) melakukan advokasi dan negosiasi terus menerus kepada pihak legislatif dalam upaya persetujuan KTR.

Sedangkan untuk masalah masyarakat kretek dan petani tembakau, kita harus menelusur siapa sebenarnya mereka? Apakah memang masyarakat DIY yang benar – benar petani tembakau atau masyarakat yang dikendalikan oleh kapitalisme Perushanan Rokok. Kita bisa menyelami lagi mereka, mendengar apa yang dipermasalhkan mereka jika mereka memang petani rokok dan masyarakt kretek. Selain itu kita bisa mencontoh pergerakan mereka dengan membuat perestujuan atau komitmen KTR dikelompok – kelompok kecil dahulu misal dalam skala Dusun, Desa, atau komunitas2 sehingga banyak muncul deklarasi KTR (komitmen tertulis) di banyak tempat walaupun skalanya kecil (menjamur). Ini yang nantinya dapat dijadikan kekuatan bargaining position di tingkat atas, karena dukungan kelompok2 kecil. Denagn banyaknya pergerakan seperti itu dimasyarakat maka bisa dijadikan alasan untuk mempertanyakan kenapa DPRD menolak padahal DPRD adalah wakil rakyat di legislatif.

Memang untuk mewujudkannya butuh usaha dan komitmen yang besar serta waktu yang cukup lama.
Reply
# Hafidhotun N 2016-10-20 00:35
Menurut saya sebagai seorang awam.Setelah membaca pendapat teman-teman. Peraturan mengenai KTR ini merupakan salah satu bentuk kepentingan juga dalam hal ini masyarakat yang mendapat dampak negatif dari adanya rokok. Menurut saya, pemerintah perlu membandingkan kawasan yang memang seharusnya terbebas dari asap rokok, baik instansi seperti rumah sakit hingga rumah tangga karena masyarakat yang bukan pengguna rokok juga memerlukan perlindungan dalam hal ini berupa kebijakan yang intinya sebagian masyarakat tersebut terhindar terutama dari asap rokok. Untuk saat ini, bisa melihat hasil evaluasi daerah yang menerapkan kawasan rokok dengan pendapat masyarakat. Kemudian, dari contoh tersebut kembli lagi usulan peraturan disampaikan dengan sedikit modifikasi. Dan saya setuju dengan pendapat mba resti bahwa untuk membuat sebuah perubahan butuh komitmen dan juga waktu yang tidak cepat. Trimakasih
Reply
# Marlindha setyarini 2016-10-20 01:42
Melihat kasus Perda KTR di DIY,tidak dapat dilepaskan dari peran pimpinan daerah. Seperti di Kab.Kulonprogo,bupatinya seorang dokter,sehingga kebijakan-kebijakan yang menyangkut kesehatan akan lebih mudah diterima oleh DPRD,karena advokasi dari pimpinan daerah tentu menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan,selain dinas teknis terkait dengan substansi kebijakan tersebut. Selain itu pihak-pihak yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam kebijakan,baik yang pro maupun kontra harus diikutsertakan dalam setiap tahap penentuan kebijakan. Peran media juga harus menjadi perhatian. Karena media berperan dalam membentuk opini masyarakat. Apalagi jika menyangkut hal-hal yang strategis seperti masalah rokok.
Reply
# Juniar A Wigiyandiaz 2016-10-20 04:49
Izin berkomentar,
Pertanyaan yang terus disampaikan adalah, apakah ketika proses pembuatan kebijakan, para petani tembakau dan pemilik pabrik rokok sudah dilibatkan?
Kemudian, sudahkan dibuat win-win solution kepada seluruh aktor yang terlibat di dalamnya?
Misalnya, dapatkan petani tembakau yang merasa rakyat kecil ini diarahkan untuk mengolah sektor pertanian lain seperti holtikultura atau sejenisnya, yang pada dasarnya sama-sama dalam lingkup pertanian. Dapatkah pemerintah memfasilitasi perubahan tersebut bagi para petani tembakau?
Apakah hal ini disebut sulit karena petani tembakau berada di bawah kuasa pemilik pabrik rokok? Jika dirasa iya, adakah solusi lain yang juga dianggap bijak untuk diterapkan pada pemilik pabrik rokok?
Reply
# Karina Muthia Shanti 2016-10-20 05:41
Izin menganggapi,
Memang pembuatan perda ini adalah fenomena yang dilematis antara aspek kesehatan dan aspek kesejahteraan, di mana kesejahteraan petani tembakau juga perlu diperhatikan di samping kepentingan kesehatan masyarakat luas.
UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan PP no. 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Tembakau bagi Kesehatan merupakan dasar dibentuknya perda-perda KTR atau KDM (Kawasan Dilarang Merokok) di Indonesia. Pada PP no. 109 Tahun 2012 pasal 7 ayat 1 dan 2 telah dicantumkan bahwasanya pemerintah mendukung kegiatan penelitian dan pengembangan produk tembakau, serta mendukung pelaksanaan diversifikasi produk tembakau dalam rangka pengamanan produk tembakau (rokok) bagi kesehatan. Hal ini saya rasa yang perlu ditingkatkan pelaksanaannya agar petani tembakau tidak mengalami 'keresahan' akibat dibentuknya perda KTR.
Reply
# Farah Nuriannisa 2016-10-20 15:01
Selamat malam, izin untuk menanggapi
Selain 'menyelamatkan' petani tembakau, yg harus dipikirkan juga adalah 'menyelamatkan' dana CSR yang biasanya memang banyak dikeluarkan oleh perusahaan atau pabrik rokok. Seperti yang kita ketahui, pabrik atau perusahaan rokok sudah mengeluarkan dana CSR, misalnya untuk bidang pendidikan dan olahraga. Mungkin pemerintah dapat melakukan lobbying pada perusahaan besar seperti perbankan atau food industry, sehingga dana CSR dapat terselamatkan, karena dana CSR berperan cukup besar dalam pembangunan negara, terutama di bidang pendidikan. Terima kasih
Reply
# Martha Puspita Sari 2016-10-20 08:00
Menambahkan komentar, memang hingga saat ini masalah rokok masih menjadi perdebatan dari berbagai pihak. Mengingat semakin gencarnya iklan rokok untuk kalangan muda, perlu dilakukan langkah-langkah mengurangi perokok melalui penetapan Kawasan Tanpa Rokok. Hal yang penting dalam pembuatan KTR adalah mengatur tempat merokok, melindungi balita dan generasi muda dari paparan asap rokok serta menekan perokok pemula. Terkait berhentinya pembahasan Perda KTR di DPRD Kota Yogyakarta, diduga ada kepentingan dari industri rokok yang ingin menunda regulasi. Kulon Progo sebagai kabupaten yang telah berhasil menerbitkan Perda KTR di Yogyakarta mengalami kenaikan pendapat asli daerah (PAD) walaupun telah menerapkan KTR. Belajar dari Kabupaten Kulon Progo, strategi yang dilakukan adalah melakukan komunikasi yang baik terhadap masyarakat dan industri rokok serta advokasi secara kontinu terhadap pemegang kebijakan.
Reply
# Destriyani 2016-10-20 14:45
Aktor-aktor yang terlibat dalam proses agenda setting Raperda KTR yaitu Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, Quit Tobacco Indonesia (QTI), Forum Jogja Sehat Tanpa Tembakau (Forum JSTT) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Yogyakarta. Adanya ketidakterlibatan aktor dalam pembuatan kebijakan tersebut yaitu petani tembakau membuat Raperda tidak berjalan mulus. Pentingnya keterlibatan semua aktor agar tidak ada yang merasa dirugikan dalam membuat kebijakan KTR, AROL dan pengurangan kebiasaan merokok di DIY. Petani tembakau juga bagian dari masyarakat yang memiliki hak untuk mendapatkan kesejahteraan. Setidaknya ada solusi untuk mata pencaharian baru bagi mereka. Kelompok di masyarakat dan perusahaan swasta yang mempunyai lobby canggih ini terlihat lebih berkuasa dalam menentukan kebijakan dibanding pemerintah yang terpilih secara demokratis karena mereka memiliki power dan dukungan yang kuat meskipun output bertentangan dengan kebijakan kesehatan dan mereka adalah kelompok yang berkepentingan. Ada sistem lobby kepada kelompok berkepentingan dengan melibatkan petani tembakau dan perusahaan rokok untuk membicarakan kebijakan KTR agar adil. Pemerintah seharusnya semakin gencar dalam advokasi, mampu menggunakan media massa dalam mensosialisasikan kebijakan serta alternatif kebijakan dalam menanggulangi kerugian yang ditimbulkan oleh kebijakan KTR
Reply
# Masfufah 2016-10-20 14:48
Dalam proses pengambilan kebijakan haruslah bersifat Rasionalisme yang artinya bahwa keputusan dibuat dengan mempertimbangkan semua kemungkinan beserta konsekuensi yang akan terjadi jika kebijakan ini di implementasikan. Dalam Proses penyusunan kebijakan tidak terlepas dari yang namanya aktor. Oleh karena itu, dalam kasus Raperda KTR ini harusnya harusnya melibatkan semua elemen yang punya kepentingan sehingga masalahnya bisa dibicarakan dengan baik dan para aktor bisa mencari solusi yang tepat. Seperti misalnya dalam kasus ini harusnya pabrik rokok dan petani tembakau ikut terlibat dalam proses penyusunan karena mereka termasuk kelompok yang punya kepentingan sehingga tidak terjadi aksi protes dalam proses penyusunan Raperda KTR ini. Mengapa akhirnya penyusunan Raperda ini macet dan DPR akhirnya mundur satu per satu, karena . Pabrik rokok ini merupakan kelompok yang memiliki kekuasan sehingga mempengaruhi dalam pemutusan suatu kebijakan. Andai kata di dalamnya tidak mementingkan kepentingan pribadi/politik dan proses advokasi eksekutif dan legistlatif terus dilakukan, besar kemungkinan Raperda ini tidak akan mengalami kemacetan. Maka dari itu sebaiknya pihak yang berkewajiban dan berwenang dalam memutuskan Peraturan ini mengambil sikap tegas dan mulai menyusun prioritas dengan sebisa mungkin meminimalisir dampak bagi pihak yang diasumsikan akan dirugikan.
Reply
# Josefa Rosselo 2016-10-20 15:53
Ijin memberi komentar. Kebijakan tentang rokok memang selalu menimbulkan polemik dimasyarakat. Hal ini disebabkan perbedaan kepentingan aktor-aktor yang terlibat didalamnya. Pemerintah berorientasi pada aspek kesehatan, ingin memberikan perlindungan bagi kelompok beresiko dan meyelamatkan generasi muda dari dampak buruk asap rokok. Pengusaha rokok (swasta) berorientasi pada aspek ekonomi, ingin mendapatkan keuntungan yang besar dari bisnisnya. Dalam penerapannya akan ada lobby-lobby politik untuk mempengaruhi penetapan kebijakan tersebut. Aktor yang "kuat" akan memenangkan lobby politik dan akan mempengaruhi lebih banyak elemen masyarakat/aktor lain untuk menentang kebijakan tersebut. Disisi lain kelompok masyarakat awam sebagai penikmat rokok telah terhipnotis dengan iklan-iklan rokok yang telah mengubah paradigma, perspektif dan opini mereka tentang rokok dan konsep sehat. Keadaan ini tentunya membuat kebijakan tentang "rokok" semakin sulit diterapkan. Ditambah lagi Pemerintah pada satu sisi juga telah memperoleh pendapatan yang besar dari perusahaan rokok dalam bentuk pajak, dan menyerap tenaga kerja. Sehingga memang tidak mudah untuk menetapkan sebuah kebijakan yang kontroversial dalam hal rokok. Diperlukan komitmen pemerintah dan kepedulian masyarakat. Oleh karena itu semua pihak perlu dilibatkan sejak awal, misalnya dalam proses penyusunan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) sehingga diperoleh Win-Win solution yang disepakati bersama untuk dijadikan sebuah kebijakan publik. Terima kasih.
Reply
# Fatimah Zahra Burhan 2016-10-20 15:54
Dalam masalah kebijakan ini terlihat pentingnya peran pemerintah dalam perumusan dan pembentukan kebijakan serta bagaimana advokasi pemerintah sebagai eksekutif kepada legislatif sangat berpengaruh terhadap disahkannya suatu kebijakan. Seharusnya sejak awal sudah difikirkan segala pihak yang terkait dengan kebijakan KTR termasuk perwakilan dari petani tembakau dan pabrik rokok dilibatkan dalam pembahasan kebijakan ini agar dapat dicari titik tengah yang terbaik karena asap rokok dan bahayanya sangat meresahkan masyarakat dan harus dicari jalan keluarnya, apabila belum bisa dihilangkan setidaknya bisa dikurangi dampaknya bagi perokok pasif dengan memberlakukannya KTR ini. Sedangkan petani tembakau dapat dirangkul oleh pemerintah dengan menyediakan alternatif pertanian yang lebih menyehatkan dan bermanfaat bagi orang banyak dengan bekerjasama dengan dinas pertanian dan ketahanan pangan misalnya sehingga petani-petani tembakau kita ini tidak membebek kepada kapitalisme pabrik rokok.
Reply
# Karina Puspa Adwaita 2016-10-20 16:29
Saya hanya ingin menambahkan sedikit dari pendapat teman-teman di atas yang tampaknya sudah mengkaji secara menyeluruh.

Menurut saya, selama keputusan politis di negara ini masih banyak ditentukan oleh dominasi kekuatan pemilik modal yang besar, maka kebijakan yang sifatnya kontra rokok akan terus mengalami kendala. Selain konsisten berupaya melakukan advokasi guna meminimalisir konsumsi dan paparan rokok di masyarakat, ada baiknya kita juga mempertimbangkan untuk mencari jalan keluar lain dengan mengintervensi dampak buruk rokok menggunakan kebijakan di sektor lain.

Misalnya:
- Mengembangkan alternatif komoditas pertanian selain tembakau yang memiliki nilai ekonomi serupa bagi para petani tembakau.
- Menggalakkan aturan pengurangan polusi udara selain dari asap rokok, misalnya regulasi kualifikasi knalpot kendaraan, cerobong asap pabrik, dan pembakaran sampah sehingga konsentrasi zat racun di udara dapat berkurang.
- Memberlakukan aturan wajib untuk membangun area hijau lebih banyak, khususnya di area tempat-tempat umum guna menetralisir sebagian gas2 beracun yang beredar di udara (termasuk yang bersumber dari rokok).
- Memberlakukan standarisasi dan subsidi penyediaan pangan lokal yang aman dan berkualitas sehingga masyarakat memperoleh akses yang mudah dan murah terhadap makanan sehat untuk mengkompensasi dampak negatif akibat rokok karena pada dasarnya kejadian penyakit itu multifaktorial.
Dll.
Reply
# Fahmi Tiara Sari 2016-10-20 16:50
saya ingin menganggapi sedikit, pernyataan mbak destriyani. Seperti yang telah dijelaskan oleh mbak destri bahwa sebenarnya banyak aktor yang terlibat dalam proses penyusunan perda tersebut, tetapi aktor terakhir yang muncul dalam proses yaitu masyarakat yang menamakan dirinya "Masyarakat Kretek dan Petani Tembakau" menyatakan protes dan tidak menyetujui Raperda tersebut dan menuntut Raperda tidak ditandatangani hingga pada akhirnya raperda tersebut memang tidak ditandatangani meskipun proses penyusunan sudah pada tahap akhir. Hal ini menunjukkan bahwa dalam kasus ini, pemegang kekuasaan lebih "condong" kepada aktor terakhir yang muncul tersebut dan ini juga membuktikan bahwa masyarakat atau perusahaan swasta masih memiliki kekuatan untuk menentukan apakah kebijakan yang disusun akan disahkan atau ditolak dan tentu saja harus didukung dengan kemampuan advokasi dan lobbi politik yang mumpuni.
terima kasih
Reply
# Rizka Fikrinnisa 2016-10-20 23:37
Izin menambahkan dan berkomentar. Kebijakan akan berlaku tergantung dari siapa yg memiliki kekuasan dan pengaruh yg besar. Sepertinya Raperda KTR ada unsur kekuasaan atau kepentingan aktor-aktor tertentu dgn lobby yg kuat dari pelaku yg diuntungkan, dalam hal ini Perusahaan Rokok. Kekuatan industri tembakau dgn dana yang besar, lobby, dan kreativitas yg menarik pada media di Indonesia sangat gencar. Berbagai upaya industri tembakau sangat kuat mempengaruhi para opinion leaders dan para pengambil keputusan. Hal tersebut dilakukan dengan terus menyampaikan informasi yang terfokus pada hal-hal yang diberikan industri tembakau terhadap negara, misalnya industri tembakau sebagai sarana peningkatan pendapatan petani. Sehingga perlu dilakukan kembali koordinasi yang lebih baik antara pihak-pihak yang terkait untuk menguatkan regulasi terkait raperda KTR ini.
Reply
# Kartika Yuliani 2016-10-20 22:56
Selamat pagi, menambahkan beberapa komentar yang telah disampaikan oleh rekan-rekan, menurut saya, penetapan kebijakan KTR di DIY yang terhambat disebabkan oleh kurangnya partisipasi oleh beberapa aktor dalam penyusunan kebijakan itu sendiri. Entah memang aktor yang kontra terhadap kebijakan ini tidak dilibatkan atau sengaja tidak ingin dilibatkan pada awal proses penyusunan. Seharusnya lobbying sudah harus dilakukan oleh pemerintah pada semua kelompok yang terkait dengan kebijakan ini dari awal penyusunan perda, bahkan sebelum penyusunan perda. Bukan malah akhirnya pemerintah yang dilobby untuk tidak jadi mengesahkan perda ini oleh kelompok yang kontra terhadap perda. Tujuan perda ini sangat mulia, masyarakat dan/atau kelompok rentan harus dilindungi dari bahaya asap rokok. Agaknya terlalu berlebihan menurut saya jika kelompok kontra KTR tidak setuju dengan perda ini karena dianggap akan menurunkan penjualan rokok hingga penurunkan produksi tembakau petani kecil. Memang mungkin terjadi penurunan, tetapi secara evidence-based penurunan ini tak sebanding dengan berapa jumlah korban asap rokok jika perda ini tidak disahkan. Perda ini juga hanya sebatas memberikan batasan berupa ada tempat-tempat yang harus bebas asap rokok, bukan pelarangan merokok disetiap tempat. Lobbying merupakan salah satu solusi yang tepat dalam mengatasi kasus ini menurut saya. Jika perda ini mampu disahkan saya rasa Pemerintah harus juga segera memikirkan bagaimana nasib masyarakat terutama masyarakat kecil yang menggantungkan hidup dari rokok dan nasib pecandu rokok. Program pelatihan dan dukungan usaha/pertanian pengganti usaha rokok kecil serta pelayanan kesehatan yang mudah untuk para pecandu yang ingin mengubah perilaku dapat diberlakukan sebagai salah satu contohnya.
Reply
# Rizti Medisa 2016-10-20 23:37
Selamat pagi.
Menanggapi komentar yang disampaikan teman-teman di atas, saya setuju dengan sebagian besar pernyataan yang mengungkapkan bahwa aktor di pembuatan kebijakan ini masih belum menemukan titik temu dalam penetapan Raperda Kawasan Tanpa Rokok DIY. Seperti yang telah tercantum di Pedoman Kawasan Tanpa Rokok, sebelum perumusan dilakukan, Dinas Kesehatan dan lembaga pemerintahan terkait hendaknya berkonsolidasi lintas program dan lintas sektor. Tidak hanya elite pemerintahan saja yang diajak berkoordinasi tetapi juga perwakilan LSM atau bahkan perwakilan petani kretek, seperti halnya dalam kasus ini. Menyamakan persepsi berkaitan dengan tujuan dan manfaat adanya KTR perlu dilakukan sejak awal, toh KTR bukan dibuat untuk serta merta melarang orang merokok, tetapi sebagai upaya perlindungan Asap Rokok Orang Lain (AROL).
Peran media sebagai kontrol sosial juga sangat dibutuhkan dalam perumusan kebijakan publik ini, diharapkan media dapat mensosialisasikan adanya kebijakan KTR agar dapat tersampaikan secara luas. Informasi mengenai KTR juga dapat disampaikan dengan media komunikasi yang menarik, seperti yang dilakukan negara Thailand dalam membuat iklan promosi kesehatan.
Diperlukan lobbying dan advokasi lebih kuat dari dinas terkait dan LSM atau komunitas anti rokok kepada pemerintah eksekutif dan legislatif agar kebijakan KTR dapat segera ditandatangani, apabila terganjal di permasalahan dana, dapat bekerja sama dengan instansi besar sebagai bagian dari program CSR, misalnya Bank, perusahaan otomotif, atau perusahaan farmasi.
Sebagai solusi terhadap aksi "walk-out" beberapa fraksi di legislatif sebagai dukungan terhadap "Masyarakat Kretek dan Petani Tembakau", perlu disampaikan alternatif usaha pertanian dan perkebunan lain selain tembakau, atau adanya upaya community empowerment terhadap masyarakat tersebut agar ke depannya tidak terlalu menggantungkan sumber pendapatan dari pertanian tembakau dan/atau pabrik rokok.

Terima kasih
Reply
# Salahuddin Al Ayubi 2016-10-21 01:51
Dari study kasus kebijakan tentang KTR ini kita dapat belajar dan mencoba memahami bahwa : Kebijakan public yang disatu sisi untuk kepentingan kesehatan public disisi lain harus melihat dampaknya terhadap kebijakan ekonomi,sosial,kemasyarkatan, dan budaya.
Dalam pembuatan kebijakan diperlukan proses yang panjang,multidisiplin,dan melibatkan semua pihak, baik pembuat kebijakan dan masrayarakat dalam arti yang luas. Kebijakan pada realiatanya tidak bisa dilepaskan dari politik yang ada.
Reply
# Fahmy 2016-10-21 05:57
Good...Teman2, sedikit melenceng, bagaimana dengan pendapat Prof Hasbullah Thabrany yang menyebutkan 72,3 persen perokok sepakat harga rokok Rp 50 ribu/bungkus atau lebih akan membuat perokok berhenti merokok. Apakah ini efektif jika dijalankan?
FYI, beliau adalah peneliti dari Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan (PKEKK) Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) UI.

Ohya sambil diisi evaluasi minggu ke-2-nya kmd dikirimkan scr 'berjamaah' spt minggu lalu, ya. Suwun
Reply
# Nurlienda Hasanah 2016-10-21 08:08
Izin berkomentar, menurut saya jika harga rokok dinaikkan menjadi Rp 50 ribu/bungkus atau lebih akan membuat perokok berhenti merokok. Kebijakan ini akan lebih efektif untuk perokok pemula. Survei Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2014 terhadap siswa sekolah usia 13-15 tahun di Indonesia mengungkap 36,2% laki-laki dan 4,3% perempuan mengonsumsi tembakau.

Pendapat Prof Hasbullah akan efektif jika dijadikan kebijakan oleh pemerintah pusat yang di dalam kebijakannya terdapat rangkaian kebijakan pendukung; antara lain menyediakan terapi bagi masyarakat yang ingin berhenti merokok, mekanisme penjualan rokok yakni “Kebijakan kenaikan cukai rokok akan lebih efektif jika pada saat yang sama ada larangan menjual rokok secara eceran dan isi kemasan bungkus rokok dibatasi minimal 20 batang serta aturan peredaran jenis rokok lain untuk mencegah maraknya rokok ilegal.

Evaluasi minggu keduanya sedang dalam proses, pak Fahmy
:)
Reply
# Agus Santosa 2016-10-21 09:29
Dari permasalahan kasus gagalnya pembahasan Raperda KTR diatas menunjukkan bahwa aktor dalam hal ini Pemerintah Daerah dan DPRD belum mempunyai kesamaan persepsi dan kepentingan dalam kebijakan KTR..Hal tersebut dapat disebabkan Pemerintah Daerah belum melakukan sosialisasi dan advokasi yang maksimal kepada DPRD, masyarakat, LSM tentang maksud,tujuan dan kebutuhan masyarakat ttg kebijakan kawasan tanpa rokok (KTR) dan selain itu belum siapnya sarana dan prasarana membuat usulan kebijakan KTR sangat gampang utk dimentahkan...
Reply

Add comment

Security code
Refresh