Kemungkinan masalah dalam kebijakan kesehatan di kasus 2 - minat Kesling

  1. Proses penyusunan kebijakan Raperda di DIY ini tidak berjalan sesuai harapan karena pertentangan pelaku (aktor).
  2. Kelompok di masyarakat dan perusahaan swasta yang mempunyai kemampuan lobby canggih terlihat lebih berkuasa dalam menentukan kebijakan dibanding pemerintah yang terpilih secara demokratis.

 

Comments  

# Ajeng Prastiwi 2016-10-18 23:09
Selamat pagi, bedasarkan kasus yang telah dipaparkan, dapat dilihat macam-macam fungsi kekuasaan. Pemerintah sebagai fungsi pengambil keputusan atau politik power dimana berhak untuk memutuskan kebijakan seperti kebijakan kawasan tanpa rokok. Namun kebijakan ini diprotes oleh petani tembakau yang merasa dirugikan sehingga kenijakan tersebut belum terealisasi. Masyarakat/petani tembakau ini merupakan social power. Bantul merupakan wilayah yang belum melaksanaan KTR, di bantul itu terdapat pabrik rokok, pihak pabrik rokok tersebut punya kepemtingan bisnis (bussiness power) dimana apabila KTR dilaksanakan pabrik rokok ini tidak laku lagi seiring dengan pengurangan rokok oleh masyarakat karena larangan merokok di tempat umum. Social power ini memiliki kekuasaan untuk ikut andil atau dapat mempengaruhi hasil dari pengambilan keputusan pemerintah. Begitu juga pabrik rokok, dengan alasan bisnis mereka juga bekerja sama dengan petani tembakau untuk menolak kebijakan KTR, yang menjadi pertanyaan adalah mengapa bantul tidak tetap mendatangani kebijakan tersebut? Di sini ada kekuatan politik dimana penguasa atau pengambil keputusan ini tidak mau kehilangan suara yang isinya juga petani tembakau yang pertama, yang kedua petani tembakau merasa tidak dilibatkan dalam pembuatan kebijakan dan memikirkan nasib mereka, masing-masing memiliki kekuasaan dalam pengambilan keputusan. Sehingga di sini harus ada sistem lobby kepada kelompok berkepentingan, harusnya melibatkan petani tembakau dan perusaan rokok untuk membicarakan kebijakan KTR tersebut agar terlihat adil dan pemerintah di bantul harus melihat wilayah di yogyakarta seperti kulonprogo yang sudah terlebih dulu menjalankan kebijakan KTR ini, belajar dari pengalaman wilayah lain.
Reply
# Bekti Nur aini 2016-10-20 14:12
Saya setuju dengan pendapat Mbak Ajeng. alangkah lebih baik apabila kebijakan KTR tersebut dalam disosialisasikan dengan baik agar terjadi kesepakatan bersama. Bersikap dan berpikir dengan kepala dingin tentu dapat menghasilkan jalan tengah yang setidaknya dapat mendekati tujuan awal dirumuskannya kebijakan.
Reply
# Muhammad Ichsan H 2016-10-19 07:16
Proses kebijakan tentang rokok tentu saja melibatkan banyak pihak, dan banyak terjadi pertentangan, namun untuk kota jogja walikota telah mengambil inisiatif yaitu mengeluarkan Peraturan Walikota Yogyakarta No.17/2016 tentang kawasan tanpa rokok, yaitu menetapkan 8 tempat bebas asap rokok, tentu saja ini merupakan triger sehingga mempercepat pembahsan di DPR, dan perlu mempelajari daerah yang telah menerapkan perda KTR yaitu kulon progo dan gunung kidul
Reply
# Nurfitria Hariyani 2016-10-19 11:32
selamat malam.
Berbicara tentang rokok apalagi kebijakan yang menyangkut tentang rokok tentu bukan masalah biasa tetapi permasalahan terkait rokok merupakan permasalah yang cukup kompleks karena pembuat keputusan tidak hanya membuat kebijakan berdasarkan 1 kepentingan saja, tetapi juga harus melihat aspek lainnya seperti aspek ekonomi. Walaupun kebijakan ini sebatas hanya kebijakan kawasan tanpa rokok bukan larangan merokok tetap saja hal ini menimbulkan protes dari pihak masyarakat kretek dan petani tembakau, karena mereka memiliki sudut pandang bahwa jika ada batasan seperti ini maka produktivitas tembakau semakin berkurang dan akan berdampak pada masalah ekonomi. Pembuat kebijakan tentu saja tidak lepas dari dunia politik yang memiliki andil besar dalam penetapan kebijakan, sehingga dalam pembuatan kebijakan tentu saja harus melibatkan sektor-sektor terkait agar kebijakan bermanfaat bagi seluruh aspek masyarakat.
Reply
# Itsna Masyruha 2016-10-19 18:52
Jika dilihat dari perannya, pemerintah pusat telah berperan dalam pembuatan kebijakan yaitu menetapkan UU kesehatan no 36 tahun 2009 pasal 115 tentang kawasan tanpa asap rokok dan pemerintah daerah wajib menetapkan kawasan tanpa rokok di wilayahnya. Organisasi masyarakat kemudian menjalankan perannya dengan menjalankan fungsi pengawasan terhadap UU ini dengan menginisiasi Raperda KTR dan menjadi actor sebagai interest grup yang bersifat sukarela, dan tidak berusaha menginfiltrasi proses penatapan keputusan. Namun di wilayah provinsi DIY hal ini tidak dapat menjalankan kebijakan ini karena adanya kekuatan besar yaitu dari sector swasta (perusahaan rokok). Perusahaan rokok menjadi kuat posisinya dalam kebijakan karena perusahaan memberikan pemerintah pendapatan berupa pajak. Sehingga posisi Perusahaan rokok dan petani tembakau bergabung menjadi sectional group yang mampu melakukan tawar menawar dengan pemerintah dan menyediakan peran produktif dalam ekonomi dan menjadi kelompok minoritas istimewa (elit). Sehingga pengambilan keputusan lebih menguntungkan bagi perusahaan-perusahaan swasta. keputusan yang diambil yaitu dengan jalan mengundurkan diri dari Raperda KTR tersebut. Pengambilan keputusan ini menurut March dan Simon (1958) dianggap rasional karena telah memuaskan pihak yang merasa dirugikan yaitu petani tembakau.
Reply
# Ayu Wulandari 2016-10-20 06:07
Salam sehat...
Melihat kasus seperti diatas menurut saya pertentangan akan terjadi karena aktor yang terlibat dalam penyusunan kebijakan masih saja memiliki tujuan masing-masing, misalnya petani tembakau akan kehilangan pendapatan jika rokok dihentikan, masyarakat yang bekerja di pabrik rokok juga akan kehilangan pekerjaan atau pendapatan yang menurut karena pembelian rokok juga menurun dsb. Dan menurut saya pihak swasta yang memiliki lobby canggih akan lebih mampu dalam penentuan kebijakan misalnya pihak swasta pabrik rokok dengan materi yang dimiliki akan lebih bisa menjadi sponsor kegiatan berbasis masyarakat seperti jalan sehat, beasiswa olahraga, beasiswa pendidikan dll.nya. Disini terlihat bahwa pihak swasta tsb lebih pintar untuk masuk dalam segmentasi pasar yang nantinya akan secara langsung ataupun tidak berpengaruh pada penentuan kebijakan. terimakasih
Reply
# arfiny ghosyasi 2016-10-20 08:01
selamat siang :)
sependapat dengan mbak ayu wulandari bahwa aktor yang terlibat dalam penyusunan kebijakan masih saja memiliki tujuan masing-masing. Pengendalian tembakau di Indonesia mengalami perdebatan yang panjang, mulai dari hak asasi seorang perokok, fatwa haram merokok di tempat umum sampai pada dampak antirokok terhadap perekonomian dan tenaga kerja di Indonesia. World Health Organization (WHO) Indonesia melaporkan empat alternatif kebijakan yang terbaik untuk pengendalian tembakau, yaitu : manaikkan pajak (65% dari harga eceran), melarang semua bentuk iklan rokok, Implementasi 100% Kawasan Tanpa Rokok di tempat umum, tempat kerja, tempat pendidikan dan memperbesar peringatan merokok dan menambah gambar dari akibat kebiasaan merokok. namun kebijakan ini belum cukup berhasil dalam pengendalian rokok di indonesia. Aktor yang sangat berperan disini adalah perusaan rokok dan petani tembako. Dari kedua aktor ini memberikan peran yang sangat penting dalam perekonomian di indonesia. sedangkan kita tahu bahwa peraturan sudah jelas ditetapkan di uu UU No.36 Tahun
2009 menjelaskan bahwa ruang lingkup KTR meliputi fasilitas pelayanan kesehatan, tempat belajar mengajar, tempat ibadah,tempat bermain anak, angkutan
umum, tempat kerja.
namun kekuatan undang-undang tidak cukup kuat dibandingkan aktor-aktor lain yang terlibat dalam pengadaan rokok.
Reply
# Rusdy I. Miolo 2016-10-20 06:24
Mencermati kasus tentang kebijakan Kawasan Tanpa rokok (KTR) ini benar apa yang disampaikan oleh mba Nurfitria Hariyani bahwa kebijakan ini sesungguhnya mengandung permasalahan yang kompleks. Artinya bahwa terdapat banyak kepentingan yang perlu memperoleh pertimbangan dalam proses penyusunan kebijakan ini. Idealisme yang mendasari kebijakan ini adalah bagaimana pemerintah melindungi masyarakat dari Asap Rokok yang membahayakan kesehatannya . Namun tentunya content kebijakan KTR ini akan memperoleh respon dari yang berhubungan dengan kesejahteraan Masyarakat Kretek dan pendapatan perusahan swasta. Kegagalan atas Realisasi dikeluarkannya Kebijakan KTR ini menurut saya disebabkan karena proses penyusunan kebijakan yang dilalui tidak memenuhi proses tahapan penyusunan Kebiajakan. Content dan respon diatas seharusnya masuk dalam Agenda Setting kebijakan KTR serta defenisi dan pembatasan terhadap kontent harus jelas sehingga bisa menghasilkan solusi yang merata dan terterima oleh Publik yang juga terlibat dalam proses penyusunan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok.
Dalam 3 Dimensi Kekuasaan, DPRD DIY merupakan Pihak yang memegang Kekuasaan dalam menetapkan atau menolak kebijakan KTR ini (Aktor maupun Policy Maker ). DPRD DIY harus mampu mengkaji preferensi kelompok kelompok berkepentingan dan membandingkan dengan hasil kebijakan (Dahl,1961) Dahl menyimpulkan bahwa kelompok kelompok masyarakat yang berbeda termasuk kelompok yang lemah dapat “menekan” kedalam sistem Politik dan menguasai para pembuat keputusan sesuai dengan preferensi mereka. Dan terbukti dalam kasus ini masyarakat kretek mampu mempengaruhi DPRD DIY (Sebagai pengambil Keputusan) tidak menanda tangani Perda tersebut. Selanjutnya sebagai pengendali pikiran DPRD DIY harusnya mampu mempengaruhi keinginan masyarakat Kretek dan perusahaan sehingga patuh terhadap kebijakan ini melalui Cara terselubung. Menurut Steven Lukas 1974 cara terselubung meliputi kemampuan membentuk arti dan cara pandang terhadap kenyataan yang mungkin dilakukan melalui pengendalian informasi, media massa dan pengendalian proses sosialisasi. Disini DPRD DIY mampu menggunakan media massa dalam mensosialisasikan kebijakan serta alternatif kebijakan dalam menanggulangi kerugian yang ditimbulkan oleh kebijakan KTR. Seperti kebijakan tentang program yang menjamin kesejahteraan masyarakat Kretek memperoleh penghasilan lainnya serta bimbingan dari pemerintah bagi perusahaaan untuk beralih usahanya.
Reply
# Rusdy I. Miolo 2016-10-20 07:28
Terkait dengan analisis stakeholders dan kemampuan advokasi-lobby saya setuju apa yang disampaikan mba Ajeng Prastiwi tentang social power yang mengisyaratkan bahwa ada makna politik dalam sikap masyarakat kretek yang tentunya berkaitan dengan hubungan antara anggota legislatif dengan pendukungnya. Disamping itu selaras dengan pendapat mba Itsna Masyruha bahwa kontribusi perusahaan swasta dalam hal pendanaan pembangunan daerah termasuk dibidang kesehatan cukup besar dan sangat mempengaruhi penanda tanganan kebijakan KTR. Semakin besar jumlah pendanaan semakin besar pula kelompok pelobi mengajukan pendapat mereka kepada legislator. Menurut Kushel dan Bindman, 2004 bahwa kebijakan kesehatan berada dalam resiko terlalu dipengaruhi oleh kelompok kepentingan tertentu yang dapat menyediakan sumber daya keuangan yang paling besar.
Dalam hal pengambilan pengambilan keputusan kita bisa mengembangkan Model Rasional dalam pengambilan keputusan seperti yang disampaikan oleh Simon (1957) tentang bagaimana seharusnya sebuah organisasi mengambil keputusan. Pertama tama para pengambil keputusan dalam hal ini DPRD DIY dan aktor lainnya yang berkompeten perlu mengidentifikasi masalah yang perlu dipecahkan dan memisahkannya dari yang lain. Apakah kebijakan Kawasan Tanpa Rokok ini termasuk peningkatan atau perbaikan dari kebijakan sebelumnya. (Peraturan Gubernur No. 42 Tahun 2009dan merupakan amanah dari Perda nomor 5 Tahun 2007 tentang Pengendalian Pencemaran Udara khususnya Pasal 11). Apakah Perhatian kebijakan ini hanya pada kelompok masyarakat atau seluruh masyarakat DIY. Kedua, Tujuan-tujuan, nilai nilai dan objektif-objektif para pembuat keputusan perlu diklarifikasi dan dirangking. Apakah para pembuat kebijakan lebih memilih untuk mengurangi pencemaran asap rokok untuk membebaskan seluruh kawasan atau mengurangi pencemaran asap rokok dengan membebaskan satu atau beberapa kawasan saja. Ketiga, para pengambil keputusan membuat daftar semua strategi alternatif untuk mencapai tujuan. Memperluas ruang lingkup Kawasan Tanpa rokok, Memberi bantuan kepada masyarakat kretek dalam mengatasi masalah ekonominya pasca alih usaha/profesi, menekan produksi rokok sekaligus menawarkan alternatif usaha lain yang lebih produktif ketimbang berusaha dibidang produksi rokok. Langkah keempat, akan melibatkan para pengambil keputusan yang rasional melakukan analisa yang komprehensif atas semua akibat dari dari tiap tiap alternatif.
Dalam mewujudkan terbitnya Perda DIY Tentang Kawasan Tanpa rokok maka peran negara sangat di butuhkan dalam hal pendanaan terhadap konsekuensi anggaran yang ada dalam penyusunan maupun implikasi dari kebijakan KTR ini. Dalam penyusunan Kebijakan Kawasan tanpa rokok juga dibutuhkan peran seluruh masyarakat termasuk organisasi dan perusahaan swasta sehingga PERDA Kawasan Tanpa Rokok di Daerah Istimewa Jogjakarta bisa terterima dan dilaksanakan seperti yang telah dilakukan di Daerah Lainnya.
Reply
# Ani Muliyani 2016-10-20 08:43
Menurut saya proses penyusunan kebijakan Raperda di DIY ini tidak berjalan sesuai harapan, karena salah satunya karena isu HAM (hak asasi manusia). Masyarakat yang pro dengan kebijakan ini, yang bergabung dengan aktivis JSST (Jogja Sehat tanpa Tembakau) bahwa masyarakat harus mendapat perlindungan dari dampak buruk asap rokok, sesuai dengan amanah UU Kesehatan No. 36 tahun 2009 pasal 115. Dalam artian bahwa perokok aktif dapat menimbulkan gangguan pada kesehatannya sendiri.Apalagi merokok di tempat umum juga berdampak pada kesehatan orang lain di sekitarnya (perokok pasif yang terkena dampak "asap"). Sementara di sisi lain, masyarakat yang kontra,yaitu 'masyarakat kretek dan petani tembakau' juga "mengedepankan masalah HAM. Dalam hal ini mereka menganggap bahwa kebijakan KTR ini akan mematikan petani tembakau, khususnya pada sektor ekonomi mereka. Kelompok ini terancam kehilangan mata pencaharian atau produksi akan menurun karena kebijakan ini. karena kedua kelompok ini, anggota DPR dan para pemangku kebijakan menjadi dilema, sehingga diantara mereka ada yang memilih mundur. Menanggapi hal ini, menurut saya, jika jumlah perokok tidak bisa dihentikan, kebijakan KTR harus dibarengi dengan penegasan kebijakan "smoking area". Dengan adanya kawasan ini, menjadi area khusus untuk perokok, yang harus disertai dengan syarat yang ketat, seperti jarak kawasan 'smoking area'dengan KTR; area ini tertutup bagi anak-anak, ibu hamil, dan masyarakat atau orang-orang yang 'alergi' dengan asap rokok. Sehingga para perokok "terbatasi ruang gerak dan aksesnya".
Reply
# Noor Rosyidah Amini 2016-10-20 13:02
Aktor memiliki peran yang cukup besar dalam kasus di atas. Kebijakan akan dianggap lemah jika keterlibatan, peran, dan kerjasama para aktor tidak maksimal. Mulai dari anggota DPRD yang secara beruntun mengundurkan diri, sumber daya manusia (masyarakat) kurang mendukung penetapan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, pemerintah tidak mengikutsertakan masyarakat terkait (petani tembakau) dalam membuat kebijakan, peran LSM dalam mendukung kebijakan dinilai kurang maksimal karena LSM tidak lagi fokus dalam mensosialisasikan KTR, melainkan lebih berfokus untuk menggalang kekuatan melawan somasi dari masyarakat kretek, hingga pergantian anggota DPR karena pembuatan kebijakan ini memakan waktu yang cukup lama. Hal tersebut menyebabkan adanya overlapping dari kepemimpinan atau pemerintahan yang baru karena peraturan akan berganti dan secara otomatis perumusan kebijakan akan dilakukan dari nol kembali.
Reply
# yaniar n.Wokas 2016-10-20 13:08
Saya sepakat dengan teman teman dalam menyikapi persoalan Kasus Kawasan Tanpa Rokok ini. Dan dalam hal ini saya berpendapat bahwa Lembaga Legislator DPRD DIY telah menyia-nyiakan peluang dalam mengeluarkan kebijakan tentang Rancangan Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok. Padahal kebijakan ini merupakan amanah dari Perda nomor 5 Tahun 2007 tentang Pengendalian Pencemaran Udara khususnya Pasal 11. Disamping itu Bebas Asap Rokok merupakan komitmen yang sifatnya emergency dan perlu diwujudkan. Permasalahannya menurut saya sudah jelas bila mengacu pada materi diskusi minggu ini, bahwa penandatanganan terkendala pada kepentingan masyarakat kretek dalam hal pendapatan (status ekonomi) pasca ditegakkan Perda KTR dan Kepentingan Perusahaan swasta dalam mengembangkan perusahaannya. Barangkali dalam menyikapi hal ini sudah banyak yang dibahas oleh teman teman seperti sebelumnya, dan kali ini saya ingin menyikapinya dari sisi pengambilan keputusan dengan pendekatan INCREMENTAL yang lebih realistis yang di usulkan oleh Charles Lindblom (1959). Menurut Lindblom bahwa pengambil keputusan mengambil langkah tambahan dari situasi awal dengan membandingkan hanya beberapa alternatif yang mungkin bisa digunakan yang tidak jauh beda dengan kebijakan yang di ambil sebelumnya. Dalam kasus ini saya melihat DPRD DIY tergesa gesa dalam menyurutkan langkahnya untuk menandatangani Ranperda tersebut. Seharusanya bila merujuk pada model Incremental maka DPRD DIY perlu menegosiasikan kembali persoalan ini kepada aktor yang berkompeten dan menghasilkan kebijakan tambahan untuk mengantisipasi atau menjawab persoalan Perusahaan Swasta dan Masyarakat Kretek. Dalam tahapan ini pula para aktor akan menguji situasi politik sebagai akibat dari adanya sosialisasi kebijakan ini. Situasi penolakan masyarakat dan perusahaan serta keinginan aktor penyusun kebijakan Kawasan Tanpa Rokok perlu dipertemukan. Efek yang terjadi akibat adanya kebijakan KTR ini haruslah di prediksi terlebih dahulu dan menyediakan saran maupun solusi yang lebih baik. Lindbolm menyatakan bahwa langkah ini memberikan pendekatan yang lebih demokratis dan praktis dan ini akan melindungi pemerintah yang terpilih secara demokratis dari loby canggih masyarakat kretek dan perusahaan swasta.
Reply
# Bekti Nur aini 2016-10-20 14:05
Pembuatan kebijakan kesehatan dimaknai oleh mixed scanning, yaitu dengan memahami kepentingan-kepentingan berbagai pelaku dan cara mereka menggunakan kekuasaan. Dalam kasus tersebut jelas terlihat bahwa dengan beragamnya kepentingan para aktor menyebabkan gagalnya penerapan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Kepentingan para pembuat kebijakan tidak sejalan dengan kelompok masyarakat yang pro tembakau termasuk petani tembakau sehingga kebijakan KTR tidak dapat dilaksanakan.
Telah kita ketahui sebelumnya bahwa tidak hanya pemerintah yang mempunyai kekuasaan untuk membuat kebijakan, akan tetapi kekuatan politik, kelompok masyarakat dan media massa merupakan aktor yang turut andil dalam kesuksesan suatu kebijakan. Berdasarkan kasus tersebut terdapat suatu kekurangan yaitu tidak adanya keterlibatan kelompok masyarakat termasuk petani tembakau untuk bersama-sama merumuskan kebijakan KTR. Hal tersebut dapat menyebabkan timbulnya anggapan pelanggaran HAM karena sesungguhnya suatu kesepakatan itu berdasarkan asas mufakat seperti yang terkandung dalam sistem demokrasi Pancasila. Salah satu asasnya adalah asas musyawarah untuk mufakat, yaitu asas yang memperhatikan aspirasi dan kehendak seluruh rakyat yang jumlahnya banyak dan melalui forum permusyawaratan dalam rangka pembahasan untuk menyatukan pendapat bersama serta mencapai kesepakatan bersama yang dijiwai oleh kasih sayang, pengorbanan demi tercapainya kebahagiaan bersama. Kemampuan lobby dari aktor kelompok di masyarakat dan perusahaan swasta merupakan sebuah kesatuan kekuatan yang kuat dari kekuasaan karena mereka mampu menggeser kekuatan pemerintah.
Reply
# Arda Dinata 2016-10-20 17:46
http://www.ardadinata.com/2016/10/kasus-kebijakan-kawasan-tanpa-rokok-ktr.html?m=1
Reply
# Arda Dinata 2016-10-20 17:58
Salam sehat..!

Berdasarkan narasi kasus di atas, menurut saya ada beberapa hal yang dapat diambil pelajaran dan bisa didiskusikan lebih lanjut, diantaranya:

1. Konsep Aktor.
Secara konsep aktor kebijakan pada proses pembuatan kebijakan Perda KTR di Yogyakarta, ada beberapa fraksi di DPR mengundurkan diri tidak menandatangani pengesahan kebijakan KTR dan ada elemen "Masyarakat Kretek dan Petani Tembakau" yang merasa tidak diajak dalam proses pembuatan kebijakan.

Bila kita analisis secara stakeholders dan kemampuan advokasi-lobby, maka terlihat jelas masih lemahnya aspek ini yang dilakukan oleh para aktor kebijakan tersebut. Kita tahu bahwa pemilik pabrik rokok nasional dan dunia memiliki uang banyak. Mereka selalu berkolaborasi dengan politisi di pemerintah. Politisi kebetulan memang sedang memerlukan dana untuk pilkada. Mereka sedang mendapat dana dari pabrik rokok dengan mengubah sikap mereka yang lebih lunak terhadap larangan merokok.
Dalam hal ini, kekuasaan itu adalah kewenangan yang didapatkan oleh seseorang atau kelompok guna menjalankan kewenangan itu sesuai dengan kewenangan yang diberikan. Menurut Andrain, distribusi kekuasaan digambarkan dalam bentuk tiga model, antara lain model elite sebagai yang memerintah, model pluralis, dan model populis.

1. Model Elite yang Memerintah. Yang memerintah teridiri dari sedikit orang, melaksanakan fungsi politik, memonopoli kekuasaan, dan mendapat keutungan akibat dari berkuasa. Sedangkan yang diperintah terdiri dari lebih banyak orang, diarahkan dan dikendalikan oleh penguasa dengan cara berdasar hukum, semaunya dan paksaan.

2. Model Pluralis. Setiap individu menjadi anggota satu atau lebih kelompok sosial tertentu. Kelompok sosial ini berfungsi sebagai wadah memperjuangkan kepentingan para anggota, menjadi perantara para anggotanya, dan pemerintah sebagai pembuat dan pelaksana keputusan politik.

3. Model Populis atau Kerakyatan. Maksudnya, partisispasi seorang warga negara dalam proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik akan mempengaruhi sendi-sendi kehidupan individual dan sosial masyarakat.

Jadi, salah satu kekuatan yang penting yang bisa mengatasi kekuasaan (power) dari pemilik pabrik rokok adalah anggota parlemen. Jika anggota parlemen mewakili kepentingan kelompok anti rokok, mereka akan memenangkan kebijakan penghilangan pabrik rokok.

Artinya, meski pun secara kesehatan, rokok itu berbahaya dan karena itu pabrik rokok seharusnya dilarang. Namun, secara ilmu sosial, di balik kebijakan pelarangan itu, terdapat kepentingan pemilik pabrik rokok, dan juga petani, pedagang, dan kegiatan berkaitan dengan tembakau. Kekuasaan adalah bidang kajian ilmu sosial. Oleh karena itu, kita harus bisa membaca kekuasaan dari penduduk, pengambil kebijakan, dan stakeholder lain.

Makasih.
Reply
# Arda Dinata 2016-10-20 18:13
Salam sehat..!

Berdasarkan narasi kasus di atas, menurut saya ada beberapa hal yang dapat diambil pelajaran dan bisa didiskusikan lebih lanjut, diantaranya:


2. Konsep Konten/Isi.

Secara konsep konten/ isi kebijakan, terlihat pada Masyarakat Kretek dan Petani Tembakau merasa tidak diajak dalam proses pembuatan Raperda KTR sehingga mereka beranggapan isi dari produk hukum ini tidak mencerminkan aspirasi masyarakat khususnya yang tergabung di "Masyarakat Kretek dan Petani Tembakau"

Sebenarnya proses penyusunan agenda Raperda KTR secara konsep konten/ isi kebijakan itu sudah bagus, namun masih kurang maksimal sosialisasinya ada semua elemen masyarakat yang ada di Yogyakarta. Kita tahu, agenda setting adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam realitas kebijakan publik. Dalam proses inilah memiliki ruang untuk memaknai apa yang disebut sebagai masalah publik dan prioritas dalam agenda publik dipertarungkan. Jika sebuah isu berhasil mendapatkan status sebagai masalah publik, dan mendapatkan prioritas dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih daripada isu lain.

Dalam agenda setting juga sangat penting untuk menentukan suatu isu publik yang akan diangkat dalam suatu agenda pemerintah. Issue kebijakan (policy issues) sering disebut juga sebagai masalah kebijakan (policy problem). Policy issues biasanya muncul karena telah terjadi silang pendapat di antara para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan tersebut. Isu kebijakan merupakan produk atau fungsi dari adanya perdebatan baik tentang rumusan, rincian, penjelasan maupun penilaian atas suatu masalah tertentu. Namun tidak semua isu bisa masuk menjadi suatu agenda kebijakan. Penyusunan agenda kebijakan hendaknya dilakukan berdasarkan tingkat urgensi dan esensi kebijakan, juga keterlibatan stakeholder. Sebuah kebijakan tidak boleh mengaburkan tingkat urgensi, esensi, dan keterlibatan stakeholder.

Di sini, terlihat peran media dalam proses penyusunan kebijakan belum diberdayakan secara maksimal. Padahal, menurut Glen Snyder bahwa pembuat keputusan bertindak sebagai respons terhadap kondisi dan faktor-faktor yang terjadi di luar lingkungan internal pemerintah tempat mereka yang terlibat. Setting internal dideskripsikan sebagai lingkungan manusia yang terdiri dari kultur budaya dan populasi, yang secara otomatis di dalarnnya termasuk opini publik.

Dalam hal ini, media bisa dikategorikan sebagai komponen terbesar dari lingkungan internal kebijakan. Media dapat digambarkan sebagai alat yang menunjukkan interpretasi dan ekspektasi aktor non –pemerintah dari berbagai kelompok masyarakat, sebagaimana dapat pula digunakan sebagai alat untuk menyosialisasikan kebijakan dan agenda oleh pemerintah.

Makasih.
Reply
# Arda Dinata 2016-10-20 18:15
Salam sehat..!

Berdasarkan narasi kasus di atas, menurut saya ada beberapa hal yang dapat diambil pelajaran dan bisa didiskusikan lebih lanjut, diantaranya:

3. Konsep Proses.
Secara konsep proses kebijakan, sebenarnya Raperda KTR sudah masuk di Prolegda dan sudah dibahas di DPR namun akhirnya bermasalah pada saat menjelang disahkan (proses finalisasi) ditandai dengan beberapa fraksi tidak mau menanda tangani.

Di sini, apabila kita gabungkan pernyataan mengenai kebijakan publik dan partisipasi sebagai salah satu bentuk peran serta masyarakat maka kita dapat menyimpulkan bahwa pemerintah dalam perumusan kebijakan publik, maka dalam membuat suatu peraturan perundang-undangan pemerintah harus mengikutsertakan masyarakat untuk turut berpartisipasi karena pembuatan kebijakan publik ini.

Dalam UU Nomor 22 tahun 1999 yang telah mengalami perubahan pada UU No 32 tahun 2004 telah memuat tentang asas desentralisasi dimana UU ini menjalankan amanat UUD RI 1945 amandemen ke IV pasal 18 yaitu dengan cara menjalankan otonomi daerah dimana setiap daerah diberi kebebasan untuk mengurus Rumah Tangga Daerahnya sendiri.
Sesuai dengan ketentuan pasal 69 Undang-Undang No 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian diganti dengan Undang-Undang No 32 tahun 2004 menyaakan bahwa “Kepala Daerah menetapkan Peraturan Daerah atas persetujuan DPRD dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan juga penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tingggi”.

Dalam pasal 18 menyatakan bahwa DPRD mempunyai tugas dan wewenang antara lain, “Bersama dengan Gubernur, Bupati dan Walikota membentuk Peraturan Daerah”. Dalam pasal 19 ayat (1) huruf d, DPRD mempunyai hak mengadakan perubahan atas rancangan Peraturan Daerah”. Dari ketiga peraturan tersebut menunjukan bahwa Pemerintah Daerah (Eksekutif) berperan dalam membentuk Peraturan Daerah, sedangkan DPRD mempunyai hak memberi persetujuan dan mempunyai hak mengadakan perubahan terhadap materi Peraturan Daerah.

Sedangkan dalam pasal 19 ayat (1) huruf f menyatakan bahwa DPRD (legislatif) juga mempunyai hak “mengajukan Rancangan Peraturan Daerah” atau yang lebih dikenal dengan hak inisiatif DPRD. Hak inisiatif ini hanya terkadang dan sewaktu-waktu dipergunakan DPRD. Terkait dengan itu dalam penyelenggaraa pemerintahan yang demokratis, penyusunan Peraturan Daerah perlu mengikutsertakan masyarakat (berupa dengar pendapat) dengan tujuan agar dapat mengakomodir kepentingan masyarakat luas untuk dituangkan dalam Peraturan Daerah. Peran serta dari masyarakat itu tentu akan mempermudah sosialisasi dari penerapan substansi apabila Peraturan Daerah itu ditetapkan dan diundangkan.

Keterlibatan publik dalam Perda, diantaranya adalah:

(1) Publik berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan khususnya Peraturan Daerah, mulai dari Proglegda sampai penetapan Perda.

(2) Masukan secara lisan dan/atau tertulis dapat dilakukan melalui: rapat dengar pendapat umum; kunjungan kerja; sosialisasi; dan/atau seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.

(3) Untuk memudahkan publik dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis, setiap Rancangan Peraturan Peraturan Daerah harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.

Makasih.
Reply
# Arda Dinata 2016-10-20 18:16
Salam sehat..!

Berdasarkan narasi kasus di atas, menurut saya ada beberapa hal yang dapat diambil pelajaran dan bisa didiskusikan lebih lanjut, diantaranya:

4. Konsep Konteks.
Secara konsep konteks kebjakan dalam proses pengajuan Raperda KTR, hendaknya dibarengi dengan kajian situasi kondisi politik yang terjadi. Dalam kasus ini, bukankah pada awalnya tidak terjadi permasalahan, namun akhirnya menjadi gagal ketika akan disahkan?

Ada hikmah dari proses pembahasan Raperda yang sudah masuk pada Prolegda atau Program Legislasi Daerah, dimana public hearing sudah dilakukan sampai tahap akhir. Namun pada saat akan ditandatangani pada Januari 2013, salah satu partai menyatakan mengundurkan diri (diikuti dengan partai-partai lainnya) karena adanya protes dari masyarakat kretek (petani tembakau). Sampai sekarang Perda tersebut tidak pernah ditandatangani dan anggota DPR sudah berganti.

Berdasarkan hal itu, ada hal yang kurang diperhatikan betul kondisi politik yang ada, yaitu terkait mekanisme penyusunan Perda. Kita tahu, mekanisme penyusunan Perda terbagi menjadi 4 bagian, yaitu: perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, penetapan dan pengundangan.

Dalam UU RI Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dalam Pasal 20 disebutkan bahwa:

(1) Penyusunan Prolegnas dilaksanakan oleh DPR dan Pemerintah.

(2) Prolegnas ditetapkan untuk jangka menengah dan tahunan berdasarkan skala prioritas pembentukan Rancangan Undang-Undang.

(3) Penyusunan dan penetapan Prolegnas jangka menengah dilakukan pada awal masa keanggotaan DPR sebagai Prolegnas untuk jangka waktu 5 (lima) tahun.

(4) Prolegnas jangka menengah dapat dievaluasi setiap akhir tahun bersamaan dengan penyusunan dan penetapan Prolegnas prioritas tahunan.

(5) Penyusunan dan penetapan Prolegnas prioritas tahunan sebagai pelaksanaan Prolegnas jangka menengah dilakukan setiap tahun sebelum penetapan Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Makasih.
Reply

Add comment

Security code
Refresh