Kemungkinan masalah dalam kebijakan kesehatan di kasus 2 - minat FETP

  1. Proses penyusunan kebijakan Raperda di DIY ini tidak berjalan sesuai harapan karena pertentangan pelaku (aktor).
  2. Kelompok di masyarakat dan perusahaan swasta yang mempunyai kemampuan lobby canggih terlihat lebih berkuasa dalam menentukan kebijakan dibanding pemerintah yang terpilih secara demokratis.

 

Comments  

# Ahmad M FETP 2016 2016-10-17 08:16
Aktor di balik penyusunan Raperda KTR adalalah DPRD provinsi dan 3 kabupaten lain sejak tahun 2012-2013 dengan mengembangkan naskah akademik. Naskah akademik ini telah didiskusikan dan disetujui sehingga Raperda telah dimasukkan dalam Prolegda. Tahap-tahap pembahasan dari Raperda dan public hearing telah dilakukan sampai tahap akhir, namun pada saat penandatangan akan dilakukan di tahun 2013, ada satu aktor yang seharusnya di ikut sertakan dalam penyusunan Raperda tersebut. komponen itu adalah masyarakat yang bernama "Masyarakat Kretek dan Petani Tembakau", sehingga masyarakat tersebut menyatakan protes dan tidak menyetujui Raperda tersebut dan menuntut Raperda tidak ditandatangani. hingga ahirnya satu per satu fraksi di DPRD mengundurkan diri, dan menuntut Raperda raperda cacat hukum dan akan merugikan petani tembakau.

hal ini dapat menunjukkan bahwa kebijakar tersebut di serahkan ke pasar yang adalam hal ini adalah Petani Tembakau. dimana penentu kebijakan bukanlah dari pihak pemerintah, namun dari pihak masyarakat petani tembakau. karena masyarakat petani tembakau mempunyai peran yang cukup besar dalam menyumbang pendapatan daerah salah satunya adalah Cukai rokok, disamping itu juga akan berdampak kepada buruh, seandainya kebijakan tersebut tidak berpihak kepada petani tembakau.
pada tahun 2013 juga mendekati masa masa pemilu, dimana partai akan berlomba-lomba untuk mencari simpati masyarakat. Para pemimpin partai menilai bahwa komponen petani tembakau ini mempunyai massa yang cukup besar untuk menyumbang suara pada pemilu di tahun 2014.
Reply
# ningrum FETP 2016-10-17 08:19
Dalam proses pembuatan suatu kebijakan salah satu faktor terpenting yang harus ada yaitu actornya. Dalam contoh kasus diatas seharusnya sebelum rancangan Perda dibahas harus melihat efek lain yang dirugikan dari Perda tersebut yaitu para petani tembakau dan industri yang menaungi para pekerjanya. Hal ini akan sangat berpengaruh pada perekonomian mereka. Jadi seharusnya dalam membahas rancangan Perdanya mereka juga harus dilibatkan untuk didengar aspirasinya. Akhirnya hal ini berimbas pada terhambatnya raperda tersebut.
Reply
# vivin 2016-10-17 08:20
proses penyusunan kebijakan ini tidak berjalan sesuai dengan keinginan, kemungkinan dalam menentukan kebijakan tidak melibatkan masyarakat terutama petani tembakau. sehingga petani menjadi lebih mudah untuk menangkap bahwa kebijakan yang sedang disusun akan memberikan dampak kerugian bagi mereka. Selain itu, lobby pemerintah terhadap pihak industri kemungkinan belum menemukan titik temu yang sama sehingga menimbulkan perlawanan.
Reply
# Ade Kartikasari Sebb 2016-10-17 08:22
Dalam proses pengambilan kebijakan haruslah bersifat Rasionalisme yang artinya bahwa keputusan dibuat dengan mempertimbangkan semua kemungkinan beserta konsekuensi yang akan terjadi jika kebijakan ini di implementasikan. Dalam Proses penyusunan kebijakan tidak terlepas dari yang namanya aktor. Aktor dalam artian pelaku atau orang-orang yang terlibat dalam proses pembuatan kebijakan. Oleh karena itu, dalam kasus Raperda KTR ini harusnya harusnya melibatkan semua elemen yang punya kepentingan sehingga masalahnya bisa dibicarakan dengan baik dan para aktor bisa mencari solusi yang tepat. Seperti misalnya dalam kasus ini harusnya pabrik rokok dan petani tembakau ikut terlibat dalam proses penyusunan karena mereka termasuk kelompok yang punya kepentingan sehingga tidak terjadi aksi protes dalam proses penyusunan Raperda KTR ini. Mengapa akhirnya penyusunan Raperda ini macet dan DPR akhirnya mundur satu per satu, menurut saya karena adanya kepentingan politik. Pabrik rokok ini merupakan kelompok yang memiliki kekuasan sehingga mempengaruhi dalam pemutusan suatu kebijakan. Andai kata di dalamnya tidak mementingkan kepentingan pribadi/politik dan proses advokasi eksekutif dan legistlatif terus dilakukan, besar kemungkinan Raperda ini tidak akan mengalami kemacetan.
Reply
# Andari, Fovil, Melia 2016-10-17 08:27
Masalah dalam kasus di atas adalah terletak di poin no.2, yaitu:

Kelompok di masyarakat dan perusahaan swasta yang mempunyai kemampuan lobby canggih terlihat lebih berkuasa dalam menentukan kebijakan dibanding pemerintah yang terpilih secara demokratis.

Kenapa? Sebenarnya, dalam dimensi kekuasaan, kelompok ini tidak mempunyai kekuasaan sebagai pengambil keputusan, yang dalam hal ini wewenang pengambilan keputusan terletak pada DPR. Kelompok ini memiliki dimensi kekuasaan atau power as non-decision making tetapi hebatnya mereka bisa mempengaruhi para pembuat keputusan (DPR) untuk membuat keputusan/ kebijakan sesuai dengan apa yang mereka inginkan.
Reply
# Febriasnyah FETP 2016-10-17 08:32
1. lemahnya integritas serta konsistensi para pelaku aktor dalam menentukan kebijakan ini (DPR Provinsi) yang tidak menutup kemungkinan ada isu politis didalamnya sehingga menolak menandatangani RPP ini. karena hanya dengan kekuatan beberapa kumpulan oknum masyarakat itu saja pihak DPR satu persatu mengundurkan diri.

2. Masyarakat yang pro RPP yang kurang memberikan "pressure" kepada DPR dalam mengawal rpp ini. pendekatan-pendekatan politis masih belum terlihat didalamnya.

3. isi dalam naskah akademik belum melibatkan seluruh komponen termasuk orang-orang yang anti pada rpp, karena begitupun juga kebijakan ini mengarah kepada pelaku perokok tersebut.
Reply
# Rieski 2016-10-17 08:56
Kekuasaan dalam pengambilan keputusan menekankan pada tindakan individu atau kelompok yang mempengaruhi pemutusan kebijakan. Diputuskannya suatu kebijakan salah satunya dipengaruhi oleh peranan aktor. Dalam pembuatan naskah akademik sampai dengan dijadikannya sebuah kebijakan harusnya melibatkan semua, aktor yang pro maupun aktor yang kontra, yang di dalam naskah akademik tersebut memberikan pertimbangan-pertimbangan yang tidak merugikan/menguntungkan satu pihak. Kemudian, dikatakan bahwa Kelompok di masyarakat dan perusahaan swasta yang mempunyai kemampuan lobby canggih. Dalam hal ini kelompok tersebut termasuk dalam kelompok yang memiliki kekuasaan, artinya mereka memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang lain sampai bisa mempengaruhi pembuat kebijakan dibanding pemerintah yang terpilih secara demokratis. Padahal, pemerintah selaku pihak yang memiliki kewenangan, yang berhak melakukan kekuasaan tersebut seolah tidak berdaya, tidak memiliki kekuasaan untuk membuat keputusan yang berujung pada sebuah kebijakan.
Reply
# Hary S, Agus S 2016-10-17 08:59
Penetapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) pada dasarnya adalah merupakan pelaksanaan dari amanat Amanat UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 Pasal 115 ayat 2 yang menyatakan Pemerintah Daerah wajib menetapkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di wilayahnya.
Sehingga seharusnya hal tersebut cukup menjadi dasar hukum bagi Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta dalam menyusun dan menetapkan KTR untuk melindungi masyarakat dari dampak buruk asap rokok, apalagi didukung dengan adanya Peraturan Gubernur No. 42 Tahun 2009 dalam pelaksanaan Perda Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pengendalian Pencemaran Udara khususnya Pasal 11, tetapi belum meberikan sanksi yang dianggap cukup bagi pelanggar dan kurangnya sosialisasi dari pemerintah daerah, sehingga perlu dibuat suatu Perda yang khusus tentang KTR.
Pada kasus Raperda DIY yang sampai saat ini tidak dapat disahkan adalah karena adanya beberapa actor dari komponen masyarakat bernama “Masyarakat Kretek dan Petani Tembakau” yang menyatakan protes dan tidak menyetujui Raperda tersebut. Sehingga satu persatu fraksi DPRD akhirnya mengundurkan diri.
Menurut pengalaman kami dalam menyusun Raperda KTR Kabupaten Kapuas, sempat terjadi pertentangan dari pihak DPRD, dimana pembahasan Raperda tersebut dibahas melalui rapat Panitia Khusus (Pansus) terdapat fraksi yang menentang pembahsan Raperda tersebut, tetapi dengan berbagai upaya dari pihak eksekutif dalam memberikan penjelasan tentang konsep KTR, bahwasanya KTR bukan melarang orang untuk merokok tetapi mengatur agar orang lain tidak terpapar oleh asap rokok orang lain (AROL).
Penyusunan Raperda KTR Kabupaten Kapuas juga cukup lama dimana pada awalnya Oktober 2014 diajukan Raperda KTR tetapi karena kurang dilengkapi dengan Naskah Akademik maka akhirnya ditunda di pembahasanan dan baru disahkan pada Bulan Juli 2016.
Melihat kasus Raperda DIY tersebut dapat dilihat bahwa tekanan dari masyarakat dan pihak swasta berperan besar menekan berbagai pihak termasuk aktifis dan fraksi DPRD sehingga pada akhirnya Raperda tersebut tidak dapat disepakati dan disahkan.
Reply
# Dahlan Napitupulu 2016-10-17 09:12
Aktor penyusunan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) adalalah DPRD provinsi dan 3 kabupaten. Pembahasan Raperda sudah masuk pada Prolegda atau Program Legislasi Daerah dimana public hearing sudah dilakukan sampai tahap akhir.Namun pada saat akan ditandatangani pada Januari 2013, salah satu partai menyatakan mengundurkan diri (diikuti dengan partai-partai lainnya) karena adanya protes dari masyarakat kretek (petani tembakau). Sampai sekarang Perda tersebut tidak pernah ditandatangani dan anggota DPR sudah berganti. Menurut Bachrach dan Barats (1962) kekuasaan itu dilakukan ketika A mengeluarkan tenaganya untuk menciptakan atau memberlakukan nilai-nilai sosial dan politik serta kegiatan-kegiatan kelembagaan yang dapat membatasi lingkup proses politik hanya pada pemikiran umum dari isu-isu tersebut yang tidak membahayakan A. Akibatnya kekuasaan sebagai latar belakang agenda menyoroti cara para kelompok berkuasa mengendalikan agenda tetap menjadi isu yang mengancam di bawah layar radar kebijakan. Diutarakan dengan cara berbeda, kekuasaan sebagai bukan pembuat keputusan mencakup kegiatan yang membatasi lingkup pembuatan keputusan untuk menyelelamatkan isu dengan merubah nilai-nilai masyarakat yang dominan, mitos lembaga serta prosedur politik. Masyarakat petani tembakau mempunyai peran yang cukup besar dalam menyumbang pendapatan daerah salah satunya adalah Cukai rokok, disamping itu juga akan berdampak kepada buruh, seandainya kebijakan tersebut tidak berpihak kepada petani tembakau. Para pemimpin partai menilai bahwa komponen petani tembakau ini mempunyai massa yang cukup besar untuk menyumbang suara pada pemilu di tahun 2014.
Reply
# Cahyadin 2016-10-17 09:35
Meskipun DIY telah memiliki kebijakan yang mengatur tentang Kawasan Dilarang Merokok (KDM) melaui Peraturan Gubernur No. 42 Tahun 2009 dan Perda nomor 5 Tahun 2007 tentang Pengendalian Pencemaran Udara khususnya Pasal 11. Peraturan ini dianggap lemah karena tidak dapat memberikan sangsi pada pelanggar. Sehingga dianggap perlu merancang Perda KTR yang mempunyai kekuatan hukum untuk melindungi masyarakat dari dampak buruk asap rokok.
Proses penyusunan kebijakan Raperda di DIY ini tidak berjalan sesuai harapan karena pertentangan pelaku (aktor) adalah memang benar. Jika dianalisis berdasarkan dimensi kekuasaan maka dapat dilihat perjalanan kebijakan tersebut mendapat hambatan karena;

1. Komitmen politik. Komitmen awal satu fraksi DPR yang menyetujui Raperda tersebut akhirnya mengundurkan diri, dan juga diikuti fraksi lain adalah bentuk tidak komitmen politik dari actor-aktor tersebut dalam sikap menetapkan Raperda KTR di DIY yang melindungi masyarakat banyak dan tentunya sudah berdasarakan evidence based. Fraksi sebagai Aktor mengambil posisi penting dalam menentukan langkah lanjutan dari suatu kebijakan, sehingga sikap komitmen mereka untuk melindungi masayarakat adalah hal utama dari kepentingan pihak lain yang merugikan masyarakat banyak.

2. Kekuatan lobyy. Kekuatan lobyying yang berasal dari pihak yang merasa dirugikan terlihat dalam penandatandangan Raperda KTR tersebut. Lobyy tersebut bisa berasal dari sekolompok orang atau swasta seperti industri-industri rokok. Kekuatan lobby bisa merugikan banyak pihak khususnya kelompok yang akan terpapar dengan asap rokok.

3. Kepada "Masyarakat Kretek dan Petani Tembakau" yang memprotes penandatandangan Raperda tersebut perlu didiskusikan lebih lanjut, sebab Raperda KTR tersebut tidak sepenuhnya mengambil sikap melarang merokok, tapi lebih kepada perlindungan asap rokok kepada orang lain (AROL) dan mengaturan kawasan bebas asap rokok atau mencegah kepada yang belum merokok.
Reply

Add comment

Security code
Refresh