Kemungkinan masalah dalam kebijakan kesehatan di kasus 2 - minat KPMAK

  1. Proses penyusunan kebijakan Raperda di DIY ini tidak berjalan sesuai harapan karena pertentangan pelaku (aktor).
  2. Kelompok di masyarakat dan perusahaan swasta yang mempunyai kemampuan lobby canggih terlihat lebih berkuasa dalam menentukan kebijakan dibanding pemerintah yang terpilih secara demokratis.

 

Comments  

# Sri Fadhillah KPMAK 2016-10-18 16:31
Selamat malam,

Dalam proses penyusunan kebijakan yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak seperti Raperda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) tentu saja mempunyai banyak kepentingan. Oleh sebab itu,sebaiknya memang setiap aktor atau setiap stakeholder yang terkait harus dilibatkan. Kasus yang terjadi di DIY dimana Raperda Kawasan Tanpa Rokok yang seharusnya berjalan mulus namun karena adanya pertentangan dari satu partai politik serta sekelompok masyarakat pecinta kretek dan petani tembakau menyebabkan Raperda tersebut akhirnya tidak berjalan sesuai harapan. Hal ini bisa dicegah seandainya dari awal aktor yang mengganggap dirinya tidak dilibatkan dalam hal ini masyarakat dan petani tembakau dilibatkan dalam dengar pendapat dengan anggota DPRD.
Tidak dapat dipungkiri masalah rokok adalah masalah yang kompleks. Aspek perekonomian yang selalu menjadi alasan utama sehingga Kawasan Tanpa Rokok atau menutup pabrik rokok tidak pernah bisa diwujudkan. Padahal tidak dapat dipungkiri bersama bahwa rokok sangat berbahaya bagi kesehatan. Buruh dan petani tembakau misalnya akan merasakan kehilangan mata pencaharian atau berkurangnya penghasilan bilamana hal tersebut direalisasikan. Belum lagi pengusaha rokok yang akan mendapat kerugian besar bila hal tersebut terjadi. Maka tidak dapat dinafikan pengusaha rokok akan melakukan berbagai cara termasuk melakukan lobby pihak-pihak yang berkuasa agar program penutupan pabrik rokok atau pemberlakuan Kawasan Tanpa Rokok dalam bentuk Raperda bisa tidak terwujud. Penghasilkan negara melalui cukai rokok pun menjadi senjata utama agar kegiatan tersebut tidak terealisasi. Karena walaupun pemerintah yang terpilih secara demokrasi pasti segan untuk mengambil kebijakan ini karena adanya beberapa alasan yang saya kemukan di atas. Perlu ada kesadaran bersama semua pihak serta alternatif pilihan bagi para pekerja yang akan kehilangan penghasilan bila kebijakan ini tersealisasi.

Terima Kasih
Reply
# Wulandari Indri H 2016-10-20 16:19
Balas Mbak Dilla,
Mbak Dilla..saya sangat setuju, sepertinya sudah jadi kebiasaan di negara kita, kalau menyusun kebijakan, selalu ada kepentingan atau tujuan lain yang ditumpangkan dalam tujuan utama kebijakan itu sendiri. Para aktor utama penyusun kebijakan juga terkesan " merasa sudah cukup" dibahas oleh intern saja..yang di luar kalau butuh ya bisa titip pesan saja..tdk betul-betul melibatkan seluruh sektor yang berkaitan dengan implementasi kebijakan tersebut, yang justru merekalah subyek penting untuk eksekusi pelaksanaannya, sehingga kebijakan yang dihasilkan hanya berada di atas kertas saja, "mandeg" tdk bisa dijalankan.
Belum lagi, masing-masing pihak yang berkepentingan dengan kebijakan selalu perpegang pada tujuan pribadi atau kelompok sendiri sendiri, belum mau fokus pd tujuan utama, tujuan bersama mengapa kebijakan itu ada. Sehingga setiap pihak akan kesulitan mendapatkan kata SEPAKAT. Terimakasih.
Reply
# Sri Guntari KP-MAK 2016-10-19 15:25
Selamat malam,

Apabila berbicara soal rokok, terkesan seakan-akan tidak akan pernah ada jalan keluar untuk mengatasi berbagai persoalan yang disebabkannya. Berbagai pro dan kontra selalu terjadi saat beberapa pihak (khususnya orang yang menyadari pentingnya kesehatan) mulai mengupayakan dan menciptakan wilayah bebas asap rokok. Pihak yang pertama menentang diberlakukannya peraturan terkait pengendalian rokok adalah perusahaan rokok itu sendiri dan petani tembakau yang merasa terancam dan dirugikan. Kita tahu bahwa perusahaan rokok merupakan perusahaan yang kuat baik dari segi finansial, marketing maupun dalam hal me-lobby dengan pihak-pihak yang memiliki power dalam mempengaruhi penyusunan kebijakan.
Penetapan peraturan Kawasan Tanpa Rokok pada prinsipnya bukan melarang seseorang untuk merokok, tetapi mengatur dan menetapkan tempat-tempat dimana saja seseorang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan merokok. Pada Perda Provinsi DIY No.5 Tahun 2007 pasal 11 sudah jelas tercantum bahwa setiap orang dilarang merokok di kawasan dilarang merokok. Hal tersebut bertujuan untuk menghargai hak orang lain untuk menghirup udara segar tanpa asap rokok.
Penyusunan kebijakan Raperda yang saat ini masih belum berjalan sesuai harapan memang sangat disayangkan. Sangat terlihat jelas bahwa aktor yang memperjuangkan Raperda tersebut tidak memiliki power sebesar kelompok oposisi dalam mempengaruhi proses pengambilan kebijakan.
Apabila memungkinkan, sebaiknya penyusunan Raperda ditinjau kembali dengan melibatkan aktor-aktor terkait termasuk petani tembakau dan pabrik rokok untuk sama-sama menyampaikan gagasan dan aspirasi sehingga ditemukan kesepakatan dalam penetapan perda tersebut.

Terimakasih
Reply
# EKA PUSPASARI KP-MAK 2016-10-20 03:25
Berbicara soal rokok, sepertinya ini adalah jalan yang panjang dari kebijakan pemerintah terkait dilema merokok.
mengapa ini menjadi begitu dilema, karena berbagai isu yang muncul dari merokok ini sangat mengancam. saya bisa sebutkan terkait isu dari merokok ini, bagaimana kita harus mengurangi produksi merokok tanpa harus membahayakan perekonomian. dan saat ini tidak hanya DIY, Indonesia sedang terjadi pertempuran ataupun persaingan antara kelompok yang pro mengurangi kebiasaan merokok dan yang berkeinginan agar semakin banyak orang yang merokok. Kelompok yang kedua ini tentunya didukung oleh industri tembakau dan para petani tembakau.
dalam membahas dilema ini sangat terkait dengan isu politik pemerintah, apalagi ini ada masalah dengan perekonomian. Dan sangat terlihat bahwa pemerintah pusat lebih cenderung mengakomodasi kepentingan pihak akomodasi.
hal ini menjadi perhatian khusus, dapat dibayangkan kedepannya bahwa bangsa Indonesia ini akan terbebani oleh biaya pengobatan yang diakibatkan dari kebiasaan merokok ini, belum lagi dalam jangka pendeknya sekarang saja kita sudah dikhawatirkan dengan kondiri udara yang sudah tidak nyaman lagi, sudah tidak segar lagi karena kebiasaan merokok yang tidak ada aturannya. pariwisata di indonesiapun akan menjadi sorotan karena warga asing merasa tidak nyaman berada di kota kita ini, melihat tatanan merokok warganya yang tidak diatur, bagi warga yang sensitif mereka akan sangat terganggu
apa yang seharusnya bisa kita lakukan, salah satunya adalah kita harus mampu mengkritisi pemerintah daerah ini dengan memberikan gambaran bahwa produk tembakau akan membebani pelayanan kesehatan yang didanai oleh pemerintah daerah di masa yang akan datang, harus ada penyadaran bahwa pemerintah daerah perlu melakukan tindakan tegas dan nyata. kebijakan ini harus disusun, masyarakat tidak dilarang untuk merokok, hanya saja ketika merokok itu ada ruangan khusus yang memang disediakan untuk perokok, kemudian menaikkan harga rokok, karena diluar negeri saja harga rokok dari Indonesia itu berkisar sampai Rp 90.000,- per bungkusnya. kenapa negara kita tidak bisa berbuat seperti itu.
Reply
# Anggi Ardhiasti 2016-10-20 04:56
Berdasar ilustrasi kasus mengenai Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR), AROL, dan Pengurangan Kebiasaan Merokok di DIY kemungkinan masalah dalam kebijakan kesehatan pada kebijakan ini adalah pertentangan aktor selama proses penyusunan kebijakan, kemudian adanya suatu kelompok yang menyebut “petani tembakau” dan perusahaan swasta yang memiliki kemampuan lobby sedemikian rupa sehingga dapat membuat para pelaku/aktor yang awalnya menyetujui menjadi mengundurkan diri karena “tekanan” tertentu. Dapat dikatakan bahwa dalam proses penyusunan kebijakan tidak mudah, tidak semerta-merta proses penyusunannya berjalan rasional maka akan didapat suatu kebijakan, akan tetapi hasil kebijakan ini lebih merupakan produk hasil perjuangan kelompok-kelompok pelaku yang saling bersaing. Ada kemungkinan bahwa pemerintah daerah belum melakukan lobbying tertentu terhadap perusahaan swasta (industri rokok) sehingga mereka menamakan diri sebagai “petani tembakau” dan melakukan perlawanan terhadap proses pembuatan kebijakan ini.
Reply
# La Ode Nur R Syadzri 2016-10-20 05:42
Selamat siang
Saya melihat ada aktor penting yang terlibat dalam pesoalan ini, saya pikir sektor swasta rupanya memiliki kekuatan yang lebih besar dalam mempengaruhi aktor-aktor yang lainnya (pemerintah,legislatif,LSM), sehingga kebijakan tersebut mengalami kegagalan. Hal ini berarti ada ketidakseimbangan diantara aktor yang terlibat. Sektor swasta telah melakukan segala cara dengan powernya agar kebijakan tersebut dibatalkan. Tetapi seharusya pemerintah dan LSM yg mendukung tidak serta merta membiarkan hal ini terjadi. Pemerintah sebaiknya melakukan evaluasi dengan mengajak serta para aktor yang awalnya tidak terlibat dalam rancangan PERDA tersebut.
terimakasih
Reply
# sri wusono,KPMAK 2016-10-20 05:51
Kebijakan perlu pengkajian lebih mendalam apalagi merokok sudah menjadi budaya , persendian ekonomi perlu komunikasi ,koordinasi dan pertipasi masyarakat secara menyluruh karena masing elemen memiliki pengaruh tersendiri seperti :
a. Pemerintah executif ; melaui UU Kesehatan No 36 /2009 Bahwa salah satu Kebijakan yang wajib diselengarakan seluruh daerah di Indonesia menetapkan kawasan tampa rokok dimulai dari institusi pendidikan ,Kesehatan dan tempat – tempat umum.
b. Peruhasaan Rokok ; Genjar Iklan rokok berbagai media agar penjualan meningkat meningkatkan pendapapatan perusahaan
c. Petani tembakau ; Mendapatkan kehidupan dari hasil penjualan tembakau
d. Masyrakat ; pro rokok dan anti rokok
e. DPRD ; pro rokok dan anti rokok
Kebijakan pengendalian anti rokok kontroversi di Negara kita sehingga hal ini membawa kontraproduktif dalam menyusun Raperda anti rokok menurut saya kebikan tersebut akan efektif dengan :
1. Aktif sosialisasi dari Rt rw desa kecamatan anti rokok dengan pendekatan menarik visual media pentingnya tidak merokok yang merugikan kesehatan kemudian difasilitasi wadah rehabilitasi utuk membatu para pencadu rokok.
2. Perusahaan Rokkok melakukan inovaasi budi daya tembakau yang bagi kesehatan masyarakat dan tetap menolong petani tembaku seperti Lepas dari masalah pro-kontra, kabarnya tembakau bisa diolah menjadi etanol. Etanol sendiri seringkali dijadikan bahan tambahan bensin sehingga menjadi biofuel. Menurut Julian Bobe dari perusahaan Tyton Bio Energy Systems, “Di Amerika, kita menghasilkan sekitar 52,5 miliar liter etanol sebagian besar dihasilkan dari jagung.” Tyton Bio Energy sendiri mulai membuat etanol dari tembakau, kandungan gula dari tembakau difermentasi
3. Petani rokok secara subtitusi tidak kehilangan pekerjaan denagan adanya budi daya tembaku menjadi bioful.
4. Pemerintah dan DPRD memiliki komitmen bersama realisasi penngendalain asap rokok dengan menfasilitasi budidaya tembakuau menjadibuat sumber daya energy demi tercapainya kemaslahatan orang banyak .
Reply
# Eldo KP-MAK 2016-10-20 06:23
Selamat siang...

melihat kasus tersebut, saya sebagai mantan Mahasiswa yang mempelajari permasalahan politik dan pemerintahan di Indonesia, mencoba untuk melihat bahwa memang ada banyakkemungkinan tidak berjalannya perwujudan perda tersebut..
jika merujuk hal tersebut ada kemungkinan
1. Eksekutif dan Legislatif di DIY, hanya memberikan kesempatan pada stakeholder yang anti rokok untuk memasukan isu ke publik dengan mendorong adanya Raperda, "hanya" sampai Raperda.
2. Pemerintah hanya mempertemukan kelompok kepentingan tersebut petani tembakau dan kelompok anti rokok tadi untuk "berseteru" , nanti pemerintah melihat, siapa yang kuat dalam perseturuan, dialah isu yang akan diangkat.
3. ada kelompok kepentingan yang memiliki "The Power of Pressure" pada pemegang kekuasaan dan pembuat kebijakan.

silahkan hal-hal yang mungkin teman-teman kira terjadi yang mana.
Reply
# Wulandari Indri H 2016-10-20 16:26
Malam Mas Eldo...kemungkinan besar yang no 3..buktinya di Kulonprogo dan Gunungkidul bisa disyahkan, setelah eksekutif bolak balik advokasi ke legislative..
Reply
# Artha Kusuma KP-MAK 2016-10-20 12:59
Selamat malam teman-teman. Mohon ijin untuk berpendapat, dan terbuka untuk didiskusikan bersama-sama

Jika kita lihat kebelakang memang beberapa kebijakan terkait dengan rokok ataupun tembakau memang banyak menuai kontroversi. Para pegiat kesehatan secara mati-matian melakukan kampanye untuk mengedukasi masyarakat untuk berhenti merokok sekaligus melakukan advokasi kepada pemerintah agar membuat sebuah peraturan yang melindungi masyarakat dari bahaya asap rokok. Disisi lain, industri rokok melakukan “perlawanan” dengan berbagai macam cara, salah satunya adalah dengan masuk ke area penentu kebijakan. Contoh nyata adalah ketika salah satu ayat yang mengatur tentang tembakau “hilang” secara misterius dalam rancangan undang-undang kesehatan pada tahun 2009. Hal ini merupakan salah satu contoh bagaimana intervensi industri rokok begitu kuat sampai menyentuh level tertinggi penentu kebijakan di Indonesia.

Jika kita kaitkan dengan kasus di DIY memang hampir serupa. Bagaimana kebijakan yang sudah hampir disahkan namun dengan sedikit intrik politik, masyarakat yang mengatasnamakan petani tembakau yang tentu saja dibaliknya ada support dari industri rokok melakukan protes dan pada akhirnya kebijakan tersebut belum disahkan sampai sekarang. Kuatnya intervensi industri rokok membuktikan bahwa industri ini mempunyai kekuatan yang sangat besar dan orang-orang yang mampu mempengaruhi dan melobi pihak eksekutif dan legislatif. Hal ini sangat mungkin terjadi karena rendahnya integritas dari para penentu kebijakan dan kurangnya komitmen untuk melindungi masyarakat dari bahaya asap rokok.

Jika kita analisis dari proses kebijakan ini dibentuk, konflik sudah terjadi ketika banyak pro dan kontra dari aktor-aktor yang terlibat. Masyarakat, legislatif, pemerintah, swasta, masing-masing punya pemikiran yang berbeda terkait dengan kebijakan antirokok. Pihak pro menganggap bahwa perlu dibuat sebuah payung hukum untuk melindungi masyarakat agar terhindar dari bahaya asap rokok, karena sudah banyak penelitian dan studi yang menunjukan bahwa perilaku merokok sangat terkait dengan beberapa penyakit tidak menular misalnya kanker, penyakit jantung, gangguan pernafasan dll. Sementara yang kontra beranggapan bahwa kebijakan antirokok akan membuat petani tembakau akan kehilangan pekerjaan dan membuat industri rokok mati. Konflik kepentingan ini membuat proses pembentukan kebijakan khususnya kebijakan yang terkait rokok akan sangat rumit dan susah diwujudkan diberbagai wilayah di Indonesia.

Menurut saya konflik yang terjadi dapat dikurangi dengan melakukan berbagai upaya. Salah satunya adalah melibatkan semua aktor yang terlibat dari berbagai elemen baik yang pro maupun kontra dalam proses penyusunan kebijakan. Kurangnya komunikasi antar stakeholder menimbulkan perbedaan pemahaman yang cukup mendasar sehingga konflik yang terjadi justru membuat kebijakan ini semakin susah untuk diwujudkan. Pada dasarnya kebijakan kawasan tanpa rokok adalah mengatur daerah-daerah/kawasan mana saja yang tidak boleh dan boleh untuk merokok, bukan melarang untuk merokok. Hal yang cukup esensi ini tidak banyak diketahui oleh pihak yang kontra sehingga konflik dan intervensi yang dilakukan begitu masif. Padahal jika semua pihak berkumpul berdiskui tentang poin-poin apa saja yang diatur dalam peraturan tersebut pada saat proses penyusunan kebijakan maka konflik bisa dihindari dan kebijakan kawasan tanpa rokok dapat lebih mudah untuk diwujudkan.

Terima kasih
Reply
# Wulandari Indri H 2016-10-20 16:31
Malam Mas Artha..
Ya, saya setuju..harus ada pembicaraan dengan semua pihak yang terlibat dengan pelaksanaan Perda ini. Karena bisa jadi sebenarnya Masyarakat yang menolak Perda ini tidak tahu persis apa isi dan tujuan perda ini dibuat, bentuk-bentuk implementasi apa saja dalam kebijakan ini. Sehingga tujuan utama dapat tercapai tanpa ada salah satu kelompok atau amsyarakat yang merasa dirugikan.
Reply
# Herlinda Dwi Ningrum 2016-10-20 13:40
Selamat Malam,
Berbicara permasalahan rokok, termasuk peraturan yang mengatur tentang rokok di indonesia memang bukan hal yang mudah di putuskan, banyak sekali kepentingan kepentingan yang merasa harus diutamakan, baik itu pihak yang pro akan kebijakan atau pihak yang menolak kebijakan. Rokok dianggap sumber pendapatan yang sangat besar di Indonesia, sebagian besar masyarakat dan pihak yang pro rokok menganggap berkurangnya jumlah produsen dan konsumen rokok akan berpengaruh pada pendapatan dan perekonomian negara, serta menambah angka kemiskinan di Indonesia. Hal tersebut sangat dimanfaatkan oleh sektor swasta serta pihak berkuasa yang pro terhadap rokok, selain itu mereka mempunyai kemampuan lobi yang sangat baik dengan pihak pemerintah selaku pemegang kebijakan, mereka mengatasnamakan kepentingan rakyat diatas kepentingan pribadi, sehingga raperda tersebut tidak dapat disahkan.
Terimakasih..
Reply
# Adhinda-KPMAK 2016-10-20 16:43
Permasalahan mengenai rokok di Indonesia memang masih sangat sulit dikendalikan. Meskipun urgensi untuk mengatur masalah rokok ini sudah sangat mendesak, namun untuk meng-goalkan sebuah peraturan mengenai KTR saja masih sangat sulit karena adanya pertentangan para aktor. Pada kasus di DIY dimana pembahasan Raperda KTR & public hearing sudah dilakukan sampai tahap akhir namun tiba-tiba ada kelompok kepentingan yang melakukan protes kemudian mempengaruhi fraksi-fraksi di DPRD yang kemudian mengundurkan diri dengan alasan raperda tersebut akan merugikan petani tembakau. Padahal Perda KTR sebenarnya juga tidak terlalu berdampak pada petani tembakau sebab Perda KTR hanya mengatur kawasan mana saja yang tidak diperbolehkan untuk memproduksi, mengkonsumsi, menjual, dan mengiklankan produk rokok. Masalah ekonomi memang biasanya menjadi isu utama yang ditampilkan untuk menolak adanya peraturan mengenai tembakau/ rokok ini, seperti masalah pendapatan para petani tembakau atau pendapatan Negara dari cukai rokok, meskipun sebenarnya masalah ekonomi yang ditimbulkan oleh rokok jauh lebih besar. Dan yang sangat disayangkan adalah saat ini issu mengenai Raperda KTR tersebut seperti terbengkalai sejak tahun 2013. Untuk itu saat ini sebaiknya para akademisi, aktivis & LSM kembali melakukan advokasi yang lebih kuat dan masiv pembuat kebijakan tersebut mengingat dampak akibat rokok semakin dapat dirasakan khusunya pada aspek perekonomian negara. Jika isu mengenai KTR ini kembali diangkat, dan di blow up oleh media massa, maka akan semakin banyak masyarakat yang aware dan jika sudah banyak tekanan dari rakyat maka ada kemungkinan pemerintah segera mengambil tindakan (memperjuangkan) masalah Raperda KTR ini.
Reply
# Ranik Diastuti 2016-10-20 16:52
Melihat dari Kasus Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR), Perlindungan Asap Rokok Orang Lain (AROL) dan Pengurangan Kebiasaan Merokok di DIY yang macet, kemungkinan masalah dalam proses kebijakan ini adalah adanya pertentangan para aktor yang terlibat di dalamnya. Pihak eksekutif bersama dengan Quit Tobacco Indonesia (QTI) dan Forum Jogja Sehat Tanpa Tembakau (FJSTT) berusaha memperjuangkan perlindungan masyarakat terhadap asap rokok dengan berbagai upaya. Termasuk salah satunya dengan mendorong Raperda KTR untuk menjadi agenda kebijakan pemerintah legislatif. Sedangkan pemerintah legislatif, dalam hal ini DPRD cenderung sebatas menjalankan tugasnya dalam proses pembuatan kebijakan, tanpa melihat secara lebih dalam mengenai tobacco control. Masih banyak dari anggotanya yang cenderung mengedepankan kepentingan partai daripada melihat isu kebijakan secara objektif. Terlihat dari mundurnya satu persatu fraksi-fraksi di DPRD pada tahap akhir pembahasan Raperda ini, karena adanya protes dari “masyarakat kretek”. Kelompok ini merupakan petani tembakau yang merasa dirugikan dengan adanya peraturan tersebut. Namun tidak tertutup kemungkinan bahwa kelompok ini juga dibackingi oleh kelompok pengusaha rokok yang merasa juga akan dirugikan dengan adanya peraturan tersebut. Kelompok “masyarakat kretek” dan perusahaan swasta ini terlihat mempunyai kemampuan lobby canggih dan terlihat lebih berkuasa dalam menentukan kebijakan dibanding pemerintah yang terpilih secara demokratis.
Reply

Add comment

Security code
Refresh