Kemungkinan masalah dalam kebijakan kesehatan di kasus 2 - minat SIMKES

  1. Proses penyusunan kebijakan Raperda di DIY ini tidak berjalan sesuai harapan karena pertentangan pelaku (aktor).
  2. Kelompok di masyarakat dan perusahaan swasta yang mempunyai kemampuan lobby canggih terlihat lebih berkuasa dalam menentukan kebijakan dibanding pemerintah yang terpilih secara demokratis.

 

Comments  

# Prayudha Benni S 2016-10-17 07:21
Beberapa hal-hal yang perlu dipelajari bahwa pembuatan PERDA tentang kawasan tanpa rokok tidak lepas dari aktor-aktor penting dibalik goalnya sebuah kebijakan. ditelisik bahwa Industri rokok kretek di Yogyakarta menampung ribuan tenaga kerja dari kalangan miskin dan berpendidikan rendah. Saat ini ada empat pabrik rokok kretek Mitra Produksi Sigaret yang berada di Bantul, Sleman dan Kulon Progo. Rata-rata setiap pabrik mempekerjakan 1.500 tenaga kerja. Kemungkinan besar, yaitu aktor produsen rokok menjadi (keypoin) point penting dari sebuah kebijakan itu. dalam pembuatannya, ada beberapa aktor yang harus dilibatkan yaitu dukungan pemerintah, penegakan hukum (humkam), dukungan positif dari sektor pendidikan (selaku promosi dan sarana pendidikan), sektor pariwisata (sosialisasi di perhotelan ataupun mall-mall), serta peran aktif organisasi masyarakat.
Reply
# Arief Kurniawan 2016-10-17 07:28
Yups, memang betul pak .. kalau meilihat kondisi seperti ini, konteks "kondisi ekomoni" memiliki peranan yang cukup penting dalam pengambilan kebijakan terkait dengan rokok ... tetapi bagaimana dengan nasib orang yang tidak merokok ? apakah tidak ada perlindungan khusus, sehingga dalam melakukan aktivitas sehari hari tidak tergangu dengan asap rokok
Reply
# Felix F. Mailoa 2016-10-17 07:34
saya setuju pak. arif
ada hal yang menarik ketika pemerintah dianggap melanggar hak azasi manusia jika dilarang merokok namun sebenarnya para perokoklah yang malanggar hak azasi orang yang tidak merokok. ketika orang merokok disekitar orang-orang yang tidak merokok maka dia sebenarnya mencemari udara bersih yang dengan asap yang mengandung racun. dalam hal ini hak orang untuk menghirup udara bersih telah dilanggar oleh para perokok.
demikian pendapat saya
Reply
# Budi Prihantoro 2016-10-17 07:36
Apabila konteks hanya perlindungan dari asap, masih terlalu sempit menurut saya, karena tidak berbeda jauh dengan asap kendaraan bermotor yang jauh lebih banyak, terutama pada kota-kota besar dengan tingkat kemacetan tinggi (DIY menuju kearah tersebut)
Reply
# Felix F. Mailoa 2016-10-18 15:35
yang saya sampaikan diatas dalam konteks hak asasi yang selama ini dikatakan melanggar terhadap keberadaan perokok dan juga dalam lingkungan kecil seperti rumah dan ruang-ruang publik lainnya. kalau disamakan dengan asap kendaraan bermotor dan juga asap-asap pabrik itu sudah keluar dari konteks yang saya maksud. jd tidak dibahas kearah itu.
terima kasih
Reply
# Prayudha Benni S 2016-10-18 06:54
Betul pak Arief K, memang yang disebutkan dalam konteks "kondisi ekonomi". perlu beberapa key person untuk diikutkan dalam pembuatan perda tersebut selain "pemilik ekonomi rokok" tetapi dengan. selain itu tetap ada pihak pariwisata dan dirjen PU untuk memfasilitasi ruang merokok bagi yang merokok, sehingga apabila memang perda itu mau muncul, juga dibarengi infrastruktur yang memadai bagi perokok (ruang khusus merokok)
Reply
# Nasruddin 2016-10-17 07:26
4. Kalau membahas tentang rokok tidak hanya berbicara tentang pabrik rokok dan konsumen/perokok itu sendiri, melainkan terkait dengan aspek yang sangat luas. Tidak dapat dipungkiri bahwa rokok merupakan penyumbang pajak yang sangat besar bagi negara. Selain sektor pajak, perusahaan/pabrik rokok yang ada di Indonesia juga menyerap tenaga kerja yang cukup tinggi. Di sisi lain, kebutuhan bahan baku dari pabrik rokok baik itu berupa tembakau dan kertas rokok juga juga membuka peluang usaha bagi masyarakat sebagai penyedia bahan baku, yaitu petani tembakau, maupun pabrik kertas rokok. Selain itu, masih banyak lagi sektor-sektor industri yang mendapatkan penghasilan dari rokok misalnya industri periklanan, perusahaan rokok merupakan konsumen iklan yang terbesar. Industri hiburan dan olah raga, kebanyakan even-even mereka disponsori oleh perusahaan rokok. Hal ini cukup meringankan beban negara baik itu dalam kebutuhan anggaran negara, maupun penyediaan lapangan pekerjaan bagi kurang lebih 6 juta penduduk. Namun jika ada kebijakan tentang pembatasan rokok, maka secara otomatis akan berdampak pada unsur-unsur tersebut di atas. Negara harus mempersiapkan sumber anggaran sebagai pengganti income dari cukai rokok yang jumlahnya tidak sedikit, negara harus bisa mengantisipasi lonjakan pengangguran dari perusahaan-perusahaan pabrik rokok dan dari pihak petani bahan baku rokok. Apakah negara sudah siap dengan hal ini ?
Jadi mungkin inilah yang kerap menghambat dalam penyusunan kebijakan tentang Pembatasan Rokok/Merokok. Termasuk yang terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta, dalam penyusunan Raperda di DIY tentang Rokok mengalami hambatan dan sampai saat ini belum rampung, termasuk kemungkinan adanya pihak stakeholder yang memiliki kepentingan dari perusahaan rokok.
Reply
# Budi Prihantoro 2016-10-17 07:26
Pada penyusunan perda KTR ini menurut saya gagal dikarenakan adanya perbedaan pandangan dari pemerintah daerah dengan DPRD. DPRD menolak dengan alasan sebagai wakil dari masyarakat, pemerintah daerah saat membahas peraturan tidak melibatkan dari masyarakat petani tembakau. Selain itu juga masih terdapat perbedaan pandangan mengenai apa yang diatur, apakah rokok atau asap rokoknya.
Regulasi kawasan tanpa rokok seharusnya dibuat bukan untuk memusuhi perokok, sehingga perlu diatur ruang khusus bagi perokok, peraturan dibuat harus berkeadilan dan tidak menyudutkan secara sosial. Hal ini dikarenakan juga banyak masyarakat yang hidup dari usaha rokok ini, seperti pekerja pabrik rokok, penjual rokok, bahkan mahasiswa yang berkuliah dengan beasiswa dari produsen rokok.
Reply
# Felix F. Mailoa 2016-10-17 07:29
Menurut saya ada berbagai kepentingan dibelakang terhentinya pengesahan raperda larangan merokok di DIY. Aktor dibalik batalnya pengesahan raperda ini adalah para pengusaha yang ada dalam bidang rokok termasuk taipan-taipan perusahaan rokok yang multinasional. Keberadaan mereka semata-mata bukan sebagai pihak terkait tetapi pengendali menggunakan kekuatan modalnya. Kekuatan modal yang ada merupakan dasar advokasi terhadap para pengambil kebijakan di tingkat eksekutif maupun legislatif. Keberadaan petani tembakau dan pengusaha-pengusaha yang menolak adanya raperda ini sesungguhnya merupakan representasi dari kepentingan pemilik modal untuk berkontribusi dalam isi raperda yang sesungguhnya ingin diarahkan untuk mengakomodir keingingan para perusahan rokok tadi. Dengan gagalnya raperda maka dapat dipasatikan kepentingan mereka masih dapat terlindungi.
Reply
# Prayudha Benni S 2016-10-20 02:33
Benar Pendapat Pak Felix F. Mailoa, Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan kebijakan, yaitu interest group, dimana group ini berusaha mempengaruhi proses kebijakan untuk mencapai kepentingan/tujuan tertentu. tetapi ada social movement, dimana kelompok individual lepas yang memiliki pandangan dan usaha untuk mempengaruhi yang tdk memiliki struktur organisasi formal. tetapi memang, kekuatan modal memiliki kekuatan tinggi dalam mempengaruhi kebijakan
Reply
# Meiyana Dianning R 2016-10-17 07:34
Dalam proses penyusunan kebijakan Raperda DIY yang tidak berjalan sesuai harapan ini memperlihatkan kekuasaan dalam pengambilan keputusan menekankan pada tindakan individu atau kelompok yang mempengaruhi pemutusan kebijakan. Disini terlihat pada perkumpulan Masyarakat Kretek dan Petani Tembakau yang mampu mempengaruhi DPRD untuk tidak melanjutkan Raperda KTR. Kelompok tersebut "menekan kepada sistem politik dan menguasai para pembuat keputusan sesuai dengan keinginan mereka, yaitu agar Perda KTR tidak jadi diberlakukan. Mungkin mereka dibawah naungan dari sebuah perusahaan rokok besar, dimana apabila perda KTR diberlakukan bisa jadi perusahaan rokok menjadi gulung tikar. namun bisa juga karena petani ini benar-benar murni sebagai petani tembakau yang menggantungkan ekonominya dari bertani tembakau, sehingga jika Perda KTR ini diberlakukan secara otomatis mereka kehilangan mata pencaharian.
Reply
# Felix F. Mailoa 2016-10-17 07:38
kalau begitu menurut mbak mei bagaimana dengan kekuatan melobby?? apakah sebenarnya para pemangku kebijakan ini tidak membuka diri dan membuka peluang pada pemilik modal? ibaratnya tamu tidak akan masuk kalau tuan rumah tidak membuka pintu???
Reply
# Tri Adi Nugroho 2016-10-20 02:45
Kekuatan melobby jelas pasti akan dilakukan oleh pihak yang pro dengan rokok/tembakau. Pihak yang pro tembakau ini melobby para legislatif dan pemerintah.
Reply
# Katrina Feby Lestari 2016-10-17 07:38
Adapun yang menjadi salah satu penyebab pembuatan Perda tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan disebabkan dominasi dari kelompok masyarakat kretek dan petani tembakau yang mempengaruhi keputusan DPRD. Tapi kalau hanya melihat kekuatan dari Masyarakat Kretek dan Petani Tembakau, sepertinya sangat mustahil sehingga ada kemungkinan perusahan-perusahaan besar yang paling berperan dalamnya. Dengan kata lain masyarakat tembakau dan petani kretek hanya sebagai tameng.
Reply
# Astria Lolo 2016-10-17 07:52
Jadi menurut mbak katrina bahwa anggota DPRD dipengaruhi oleh perusahaan swasta. menurut mbak katrina apa yang menyebabkan anggota DPRD terprovokasi untuk membatalkan menandatangani kebijakan KTR tersebut?
Reply
# Katrina Feby Lestari 2016-10-17 15:46
menurut saya, bisa sj para anggota DPRD tersebut diiming-imingi sesuatu oleh para perusahaan swasta sehingga DPRD rela untuk membatalkan menandatangi kebijakan KTR yang sudah direncanakan sebelumnya..
Reply
# Atina Husnayain 2016-10-17 07:40
Pertentangan antar aktor yang terjadi dalam penyusunan perda KTR di DIY dimungkinkan karena adanya aktor yang tidak dilibatkan dalam proses pengambilan kebijakan tersebut. Aktor tersebut adalah industri rokok daerah yang tentunya memiliki power dari segi finansial maupun loby politik. Dalam kasus ini, masyarakat kretek dan petani tembakau yang menolak kebijakan KTR tersebut bisa jadi mendapat dukungan finansial dan politik dari perusahaan rokok daerah. Meskipun jumlah petani rokok di DIY pada tahun 2013 mencapai 12500 orang namun suatu tindakan loby kebijakan tentunya membutuhkan dukungan dana dan kekuatan politik sehingga kemungkinan masyarakat kretek dan petani tembakau ini tidak berdiri sendiri.
Reply
# RANNI MURTININGRUM 2016-10-17 07:43
Hampir di seluruh propinsi di Indonesia penerapan perda KTR menuai pro dan kontra dari masyarakat berbagai elemen. Pada kasus di DIY dimensi kekuasaan yang dominan adalah kekuasaan untuk tidak membuat keputusan, dimana partai-partai politik ramai-ramai mengundurkan diri dari penandatangan perda tersebut.
Terlihat bahwa pemegang kekuasaan yang dominan adalah para elitisme yang diwakili oleh "masyarakat kretek dan petani tembakau". bisa jadi dalam pelaksanaannya komponen masyarakat ini "ditunggangi" oleh pemilik perusahaan rokok yang takut perusahaannya terancam gulung tikar, sehingga stake holder yang berperan pada gagalnya perda KTR di DIY adalah masyarakat kretek dan petani tembakau yang diwakili suaranya oleh anggota DPRD dimana mereka melakukan somasi ke forum JSTT atas kegiatan-kegiatan yang dianggap mematikan petani tembakau. Kemampuan advokasi dan lobby dari kelompok masyarakat ini sangat kuat ke anggota DPRD sampai-sampai bisa mempengaruhi partai politik di DPRD dalam memberikan suara pada pembahasan raperda.
Saya rasa media kurang berperan dalam penyebarluasan raperda dalam mendukung pembuatan kebijakan KTR.
Negara kurang berperan dalam peraturan KTR karena sampai saat ini belum ada aturan yang lebih tinggi dari Presiden (negara) tentang KTR. di DIY peran ormas dan perusahaan swasta sangat mempengaruhi gagalnya perda KTR
Reply
# Astria Lolo 2016-10-17 07:45
Alasan yang menjadi penyebab Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) belum berjalan maksimal adalah karena Perda tersebut belum sah dan belum ditanda tangani oleh para aktor kebijakan padahal penyusunan kebijakan ini sudah melibatkan berbagai elit kebijakan seperti JSTT dan QTI. Salah satu hal yang mendasari adalah karena kuatnya pengaruh perusahaan swasta dalam mempengaruhi masyarakat yang bekerja sebagai petani tembakau untuk memprotes keras kebijakan KTR tersebut dengan alasan akan menghilangkan mata pencarian mereka. Untuk itu upaya yang dilakukan oleh perusahaan swasta dan para petani tembakau adalah melobi para anggota DPR untuk membatalkan kebijakan KTR dan terbukti bahwa dengan kekuasaan yang dimiliki oleh anggota DPR maka kebijakan tersebut tidak berlanjut. Ini menunjukkan bahwa kekuatan politik sangat mempengaruhi dalam penyusuanan kebijakan, dimana para aktor kebijakan seharusnya bisa mengambil keputusan yang menguntungkan bagi masyarakat dalam hal ini kesehatan, namun nyatanya justru dengan power yang mereka miliki bisa menghambat kebijakan yang sebenarnya bisa berdampak baik bagi masyarakat.
Reply
# Beny Binarto 2016-10-17 07:46
Dikarenakan jasa dari penjualan rokok tersebut sangat tinggi. Data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan melaporkan capaian kinerjanya di tahun 2015. 96,4 persen dari penerimaan cukai disumbangkan dari cukai rokok, sebesar Rp 139,5 triliun. "Khusus cukai rokok melebihi target APBNP 2015, yaitu 100,3 persen," ujarnya. Peningkatan ini dipengaruhi oleh program extra effort dalam bentuk peningkatan pengawasan rokok dan minuman keras ilegal. Heru menjelaskan 96,4 persen dari penerimaan cukai disumbangkan dari cukai rokok, sebesar Rp 139,5 triliun. "Khusus cukai rokok melebihi target APBNP 2015, yaitu 100,3 persen," ujarnya. Peningkatan ini dipengaruhi oleh program extra effort dalam bentuk peningkatan pengawasan rokok dan minuman keras ilegal.
Kontek wacana diatas bisa kita menarik kesimpulan bahwa rokok termasuk penyumbang pendapatan Negara yang sangat besar, kalau kita merujuk kembali ke kota DIY Raperda banyak yang tidak berjalan dikarenakan bisa berdampak mengurangi pendapatan asli daerah (PAD). Dan berdampak buruk bagi kemajuan daerah tersebut dari segi pendapatan.
Kelompok di masyarakat dan perusahaan swasta yang mempunyai kemampuan lobby yang sangat besar dikarenakan berkaitan dengan financial yang tinggi di bidang rokok tersebut. Para pengusaha baik itu pribadi ataupun masyarakat dapat melukukan pengaruh-pengaruh yang besar kepada anggota DPRD.
Merujuk kembali Kawasan Tanpa Rokok (KTR) jika diberlakukan diDIY banyak masyarakat yang menggantungkan kehidupan dijasa rokok tersebut. Ini berarti dapat mengurangi sumber pendapatan petani tersebut.
Reply
# Felix F. Mailoa 2016-10-18 15:47
Saya sepakat dengan data yang pak beny uraikan. Menurut majalah Forbes dalam rilis 10 besar orang terkaya di Indonesia tahun 2015, 2 besarnya merupakan pemilik perusahaan rokok. artinya disini bahwa level kekuatan perusahaan rokok tidak main-main, maka dengan demikian kekuatan finansial yang ada dan pengalaman "meredam" isu-isu publik terhadap rokok sejak dahulu merupakan modal penting untuk memainkan perannya di Indonesia apalagi hanya yang levelnya propinsi atau kabupaten/kota. Namun bagi saya, rokok adalah salah satu penyumbang devisa negara tapi dilain pihak juga berkontribusi terhadap pembiayaan penyakit-penyakit akibat rokok.
Reply
# Tri Adi Nugroho 2016-10-20 02:22
Saya juga sependapat dengan pak Felix.

Hal ini menunjukkan bahwa "shadow economy" di Indonesia mengendalikan kebijakan yang terjadi di negara kita. Salah satu contoh kasusnya seperti yang sekarang sedang kita bahas. Kekuasaan golongan tertentu karena "kekayaan" yang dimiliki mampu menjadi "pengendali pikiran" dengan cara apapun yang akan dilakukan. => Teori 3 Dimensi Kekuasaan
Reply
# Mochammad Kurniawan 2016-10-17 09:34
Beberapa hal yang menyebabkan Raperda KTR di DIY sampai saat ini belum ditandatangani karena banyak kepentingan dan lobi-lobi yang sangat canggih dari pihak yang mempunyai bisnis besar di tembakau. Dengan mengatasnamakan petani tembakau, meskipun lahan tembakau tidaklah sebanyak di Jateng dan Jatim, mereka berusaha melobi pihak legislatif dengan canggih agar RAPERDA KDM tersebut tidak sampai dikeluarkan menjadi perda.

Untuk Pergub sendiri tidaklah terlalu kuat karena di sana tidak adanya sanksi yang tegas untuk tempat-tempat KTR.
Reply
# Erdiana Retnowulan P 2016-10-18 01:55
Pada prinsipnya Raperda KTR bertujuan baik yaitu untuk melindungi masyarakat terhadap risiko ancaman gangguan kesehatan lingkungan akibat tercemar asap rokok.

Dasar hukum ditetapkannya KTR pun sudah sangat jelas yaitu :
1. UU No. 36 Tahun 2009 Pasal 115 ayat 2 “Pemerintah Daerah wajib menetapkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di wilayahnya”.
2. UU No. 44 Tahun 2009 tentang RS Pasal 29 hurup t “Memberlakukan seluruh lingkungan RS sebagai Kawasan Tanpa Rokok).
3. PP No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan Pasal 49 “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mewujudkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR)”.
4. Peraturan Bersama Menkes dan Mendagri No. 188/MENKES/PB/I/2011 tentang Pedoman Pelaksanaan KTR.

Konsep KTR bukan melarang orang untuk merokok, tetapi mengatur dimana seseorang boleh merokok dan tidak boleh merokok, seperti yang ditetapkan berdasarkan UU No. 36 Tahun 2009 Pasal 115 ayat 1 yaitu Kawasan Tanpa Rokok antara lain :
1. Fasilitas pelayanan kesehatan
2. Tempat proses belajar mengajar
3. Tempat bermain anak
4. Tempat ibadah
5. Angkutan umum
6. Tempat kerja
7. Tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan

Jadi melihat dari kawasan yang ditetapkan sebagai KTR tersebut hanya ditempat itulah yang dilarang merokok, diluar dari tempat yang ditetapkan tidak ada larangan orang untuk merokok. Sehingga kekhawatiran dari sebagian pihak menjadi tidak beralasan, seperti contoh kasus pembahasan Raperda KTR Provinsi DI Yogyakarta yang menimbulkan reaksi dari komponen masyarakat bernama “Masyarakat Kretek dan Petani Tembakau” yang menyatakan protes dan tidak menyetujui Raperda KTR DIY sehingga sampai saat ini pembahasan Raperda KTR yang sudah dibahas dan beberapa kali dilakukan hearing di rapat DPRD tersebut kemudian pada akhirnya ditangguhkan akibat dari satu persatu fraksi DPRD DIY mengundurkan diri dalam pembahasan Raperda KTR DIY. Berkaca dari hal tersebut, tampak pengaruh-pengaruh luar eksekutif dan legislatif yang cukup kuat dan besar sehingga mampu mempengaruhi proses pembahasan dan pengesahan Raperda KTR Provinsi DI Yogyakarta.
Reply

Add comment

Security code
Refresh