Beberapa hal ini merupakan masalah kebijakan di balik kasus 3 - Minat K3
- Kasus ini merupakan sebuah contoh Kebijakan Pendidikan Kedokteran yang mempunyai pertentangan antar stakeholder sejak mulai dari Penyusunan Agenda sampai ke pasca pengesahan UU.
- RUU Pendidikan Kedokteran merupakan inisiatif DPR. Dalam prosesnya terlihat sikap dan koordinasi berbagai lembaga pemerintah yang belum baik dalam menyusun UU.
- Kasus ini menunjukkan adanya taktik dan strategi kelompok interest yang tidak tepat, yang terkait erat dengan aspek kekuasaan dalam menentukan kebijakan
Comments
1. IDI (Ikatan Dokter Indonesia)
2. KKI (Konsil Kedokteran Indonesia)
3. Pihak Universitas yang akan mendirikan fakultas kedokteran
4. Seluruh Dokter di Indonesia
5. Pengurus Dokter Umum Indonesia (PDUI)
Aktor yang akan mendukung adanya program DLP adalah BPJS, karena di era JKN ini sangat dibuthkan dokter yang sangat kompeten dalam menanani kasus di lini primer. Sehingga BPJS akan merasa diuntungkan dengan adanya program DLP.
Namun hal yang harus ditekan dalam hal ini adalah (1) Melibatkan seluruh aktor yang terkait dalam pembuatan RUU, agar tujuan yang sebenarnya benar-benar tercapai serta meminimalisir terjadinya pro dan kontra.(2) Adanya kejelasan perbedaan kompetensi DLP dengan dokter umum di layanan primer dan dokter keluarga. (2) Adanya sosialisasi tentang peraturan UU yang telah di rilis
Belum maksimalnya efektifitas pelayanan oleh dokter umum ini membuat DPR merasa Dokter Layanan Primer perlu dibentuk. Bagi saya ini tentu akan menjadi masalah baru, mulai dari fungsi DLP yang tumpang tindih dengan fungsi dokter umum, fasilitas kesehatan di daerah yang belum cukup memadai, hingga pada kebutuhan anggaran akan meningkat. Dan yang menjadi pertanyaan bagi saya adalah mengapa jika ingin membenahi pelayanan kesehatan yang sudah ada, mengapa harus membentuk sesuatu yang baru (DLP), mengapa tidak membenahi ataupun membuat kebijakan agar dokter-dokter umum yang sudah ada di Indonesia ini, kembali bekerja sesuai dengan aturan prosedur kerjanya, karena menurut saya jika ingin memperbaiki pelayanan kesehatan, tentu saja pelayanan yg buruk (dari segi dokter) harus dibenahi bukan dibiarkan dan mengganti dengan sesuatu yang baru.
Harapan pembentukan DLP ini pada dasarnya adalah meningkatkan upaya promotif dan preventif di tingkat primer, yang juga merupakan salah satu tujuan pembentukan BPJS. Namun pada dasarnya kemampuan ini tentu sudah dimiliki oleh para dokter umum. Bagi saya, jika ingin menargetkan efektifitas dan efisiensi pelayanan promotif dan preventif pembentukan DLP bukanlah langkah yang sesuai, karena dokter umum seharusnya sudah memiliki akan keahliaan ini selain itu kompetensi manajemen kesehatan, promotif, preventif di masyarakat seharusnya bisa dikendalikan dan dikolaborasikan dengan tenaga kesehatan masyarakat.
Namun, UU pendidikan kedokteran saat ini telah disahkan sehingga mau tidak mau harus tetap dijalankan, sehingga solusi yang mungkin bisa diambil adalah perlu diatur kurikulum yang baik dan menjelaskan batasan-batasan kinerja yang bisa dilakukan oleh DLP agar tidak terjadi tumpang tindih kinerja antara DLP dengan tenaga kesehatan lainnya.
Adapun aktor-aktor yang diprediksi akan menolak RPP antara lain:
1. IDI (Ikatan Dokter Indonesia)
2. KKI (Konsil Kedokteran Indonesia)
3. Pihak Universitas yang akan mendirikan fakultas kedokteran
4. Seluruh Dokter di Indonesia
5. Pengurus Dokter Umum Indonesia (PDUI)
Sebagaimana yang disampaikan oleh PDUI bahwa sebenarnya mereka telah mempersoalkan sekitar 15 pasal dalam UU terkait uji kompetensi, sertifikat dan dokter layanan primer (DLP). Pasal-pasal yang termaksud di dalam UU tersebut dinilai melanggar/menghambat akses pelayanan dokter atas pelayanan kesehatan masyarakat. Sebab hanya DLP yang berhak berpraktek di masyarakat yang diwajibkan mengikuti pendidikan uji kompetensi lagi dengan biaya yang mahal dan memakan waktu yang cukup lama. Meskipun dalam UU tersebut bertujuan antara lain menghasilkan lulusan dokter yang bermutu dan untuk pemenuhan kebutuhan dokter di seluruh wilayah tanah air. Namun akan cukup banyak hambatan dalam perumusan penyusunan RPP nantinya. Menurut analisa kami perlu dipertimbangkan kebijakan-kebijakan untuk mengantisipasi kemungkinan penolakan yang akan terjadi melalui pendekatan-pendekatan sebagai berikut, antara lain yaitu:
1. Perlunya sosialisasi tentang rumusan UU yang akan disahkan
2. Mengeluarkan peraturan tentang adanya insentif bagi para dokter yang nantinya akan mengikuti pendidikan DLP, baik dari pusat ataupun pemda tempat dokter tersebut mengabdi
3. Usulan agar pendidikan DLP disubsidi oleh Pusat maupun daerah tempat dimana mereka bekerja
4. Melibatkan semua pihak dalam perumusan akhir RPP
5. Penegasan batasan kompetensi dan kewenangan antara dokter yang telah mengikuti DLP dengan yang tidak
Issue yang disinyalir menjadi tren antara lain :
1. DLP adalah produk politik
2. Apakah akan ada strata baru dalam profesi dokter?
3. Apakah RUU ini akan menjadi sah suatu saat nanti, dan IDI akan berubah pikiran?
4.Terdapatkah hal positif untuk masyarakat pada program DLP ini ?
kesimpulan dari issue ini adalah, belum jelas kedepanya bagaimana nasib kebijakan ini di kemudian hari sehingga rancangan undang-undang mengenai DLP ini perlu untuk ditindaklanjuti sehingga dapat mencapai kata mufakat.
Pro dan kontra masih terjadi sampai saat ini. DLP muncul disebabkan karena dokter umum yang berada di pelayanan kesehatan primer belum memiliki kompetensi yang cukup untuk menangani berbagai penyakit pasien sehingga banyak pasien yang akhirnya dirujuk ke dokter spesialis. Kalau dipikirkan secara matang, apa jadinya jika DLP yang mengambil alih pada pelayanan kesehatan primer. Bagaimana kelanjutan nasib para dokter umum. Secara tidak langsung dokter-dokter umum yang sudah dicetak oleh berbagai perguruan tinggi kedokteran seperti tidak ada gunanya sama sekali
DLP merupakan dokter yang diberikan kompetensi melebihi dokter umum, setara dokter spesialis. Jika kompetensi dokter umum mampu menangani 144 penyakit, maka dokter DLP mempunyai kompetensi menangani 155 penyakit. Sehingga masyarakat diharapkan cukup ditangani oleh dokter DLP di unit pelayanan kesehatan primer, tanpa harus dirujuk ke faskes diatasnya
Sebenarnya permasalahan pendidikan kedokteran ini cukup diatur dalam peraturan dibawah undang-undang karena dengan diaturnya masalah ini dalam undang-undang akan memunculkan banyak peraturan turunan yang lama-kelamaan pendidikan kedokteran ini akan semakin sulit diperbaiki. Sedangkan dalam sudut pandang pemerintah selam ini pendidikan kedokteran terlalu gampang dibuka walaupun tanpa dukungan sarana dan prasaran serta SDM yang baik.
Kesimpulannya :
1. Pendididkan dokter S1 5,5 Tahun di tambah intenship sudah bisa bekerja
2. Layanan Primer kurang perhatian karena bayak nya okter yang mau pindah ke struktural jadi Kepala Dinas, kepala Rumah Sakit.
3. Di Negara maju sebenarnya sudah ada yang menerapkan spesialis di layanan primer seperti di Malysia
4. Program DLP ini sebenarnya Baik tapi masih ada pihak yang tidak senang dengan berbagai Alasan.
saya secara pribadi sangat mendukung dengan adanya DLP dikarenakan semakin kesini peran dari dokter terasa sangat one liner artinya dokter terlihat hanya melihat suatu penyakit sebatas sebagai penyakit dan memberikan pengobatan tanpa tahu sevara lebih rinci masalah atau npenyebab dari kenapa penyakit tersebut dapat terjadi.
dengan adanya DLP, penyakit dipandang dan di telusuri dari awal mulainya terpapar sehingga penyakit dapt di temukan soslusi yang tepat. peran dari DPL pun lebih luas yakni 80% kuratif dan 20% preventif. sehingga penanganan penyakit pun dirasa akan lebih tepat, cepat dan efisien.
Di sisi lain, IDI jalan terus dengan target revisi UU Pendidikan Kedokteran yang pro-rakyat.
Jika muaranya kebaikan rakyat sebaiknya usulan IDI sebagai sektor kesehatan harus didengarkan dan menjadi bahan pertimbangan?
Apa sebenarnya yang membuat proses yang dikhawatirkan bisa menyebabkan terjadinya pemborosan anggaran di layanan kesehatan primer ini menjadi begitu terburu-buru? harus diprbaiki oleh pemerintah itu bukannya tenaga medisnya tetapi sarana dan pra sarana medisnya..
pikir walaupun dokternya didatangkan dari negara maju sekalipun kalau sudah masuk kepuskesmas puskesmas disini pasti dokter juga cma bsa diem dan garuk garuk kepala karena sarana dan prasarana nya kurang memadai
Apalagi yg tempatnya sangat terpencil dan susah di jangkau
• Membahas mengapa beberapa persoalan muncul sebagai agenda pemerintah, sedangkan yang lain tidak. DLP dirasa menjadi agenda pemerintahan dikarenakan pandangan pemerataan kesehatan yang adil bagi seluruh masyarakat.
• Membahas tentang siapa saja yang mempengaruhi agenda pemerintah, dan mengapa mereka melakukan itu. Yang menjadi aktor sudah di sebutkan oleh pendapat yessy di atas yang menjadi kontra dan pro adalah pemerintah serta pihak BPJS.
• Aliran proses yang memungkinkan hal itu terjadi :
1. Problems stream (persoalan)
2. Policies stream (kebijakan)
3. Politics stream (politik)
• Dalam setiap aliran proses, keterlibatan para partisipan sama kuatnya.
Problems Stream :
• Suatu permasalahan diperhatikan oleh pemerintah, karena :
a. Alat dan cara yg digunakan utk mendefinisikan kondisi sebagai masalah;
b. Merupakan kejadian khusus.
c. Aktor pemerintah memahami kondisi melalui feed-back dari program yang pernah ada.
• Kondisi sesuatu yang berlangsung setiap hari. Kondisi menjadi masalah, jika :
a. Merasa harus merubah
b. Merusak nilai-nilai penting
Coupling (perangkaian) dan Policy Windows :
• Tiga aliran tersebut sangat berbeda satu dengan yang lain, tapi suatu ketika akan bergabung menjadi satu yang ideal.
• Tapi seringkali, penggabungan hanya terjadi sebagian, Misal : Solusi dan masalah sama, tapi tidak didukung iklim politik.
• Problem/proposal dan politik, tapi tidak ada kesadaran untuk menyelesaikan masalah/solusi
Policy Windows :
• Suatu peluang, dimana ketiga aliran (problems, policies dan politics) bisa bertemu bersamaan, sehingga issue-issue bisa menjadi agenda.
• Proses policy windows jendela dibuka oleh kejadian-kejadian, baik dalam aliran masalah atau dalam aliran politik.
• Policy entrepreneur begitu ada kesempatan yang muncul (policy windows), maka issue dapat diangkat menjadi agenda, jika ada pihak-pihak yang mampu mempertemukan ketiga aliran tersebut ini yang oleh Kingdon disebut sbg policy entrepreneurs.
• Policy Entrepreneurs :
Policy entrepreneurs terdiri dari pejabat pemerintah, PNS karir, pelobi, akademisi atau wartawan
Arah dan tujuan dari policy entrepreneurs adalah :
1. Mendesakkan masalah tertentu ke agenda yang lebih tinggi.
2. Mendesakkan masalah seiring dengan proses memperlunak sistem.
3. Membuat penggabungan
Dari permasalah DLP saya rasa kurang menjadi solusi dari permasalahan bahkan akan menambah masalah karena unsur politik dan menguntungkan dari sedikit pihak dan tidak memihak pada rakyat, selain adanya ketumpang tindihan peran dokter dan DLP, terdapat keirian antara dokter spesialis dan DLP, pendidikan dokter yang semakin mahal dan lama. Daripada membuat DLP yang membuang anggaran negara, lebih baik memperbaiki system kesehatan yang efektif dan merata.
sedangkan dikantor kami (Bapelkes) juga ada diklat Dokter Layanan Primer bagi dokter umum yang nantinya akan memperoleh sertifikat Dokter Layanan Primer..
Kalau tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan tingkat primer di Puskesmas, Mungkin dokter umum masih dapat memenuhi kompetensi tersebut. Tapi mengapa setelah ada banyak dokter umum ternyata kebutuhan akan alasan itu tidak bisa atau sulit terpenuhi?
Alasannya saya rasa sederhana, yaitu kurangnya sumber daya manusia – dalam hal ini dokter di layanan primer. Di lapangan untuk mengatasi masalah preventif dan promotif sudah ada tenaga teknis lainnya yang mengurusi, misalnya sanitarian, gizi dll. Jadi tidak diperlukan lagi DLP yang mangurusi masalah propomif dan preventif jikalau naninya akan berselisih dengan SKM, Kesling, Gizi dll edangkan dengan dokter umum akan mengalami kerancuan dalam melaksanakan tugasnya
Pada dasarnya penerapan UU pendidikan kedokteran pada 2013 tidak terlepas dari belakunya sistem JKN 2014 yang mana peran dokter layanan primer akan semakin dibutuhkan. Dokter layanan primer ditekankan agar tidak hanya bergerak di bidang curative, tapi juga bergerak di bidang preventive, sehingga mendukung terciptanya paradigma sehat di Indonesia. Sehingga pemerinta yang mendukung kebijakan ini yakin dengan adanya DPL nantinya akan dapat bertindak sebagai gate keeper yang akan menangani sebagian besar kasus di masyarakat sendiri hingga tuntas. DLP juga diharapkan dapat memberikan pelayanan yang bersifat holistik, preventif dan promotif dibandingkan kuratif. Di lain pihak, DLP juga harus berorientasi pada kedokteran keluarga, okupasi, komunitas, manajerial, dan kepemimpinan.
Sehingga DLP memiliki kelebihan yaitu menyediakan langkah preventif di mana dokter dituntut untuk dapat menjaga kesehatan masyarakat sehingga nantinya angka kesakitan dimasyarakat dapat menurun dan meningkatkan kualitas hidup mereka. Sementara itu terdapat Kekurangan yaitu pada sosialisasi dan publikasi oleh pemerintah. Jika ditinjau dari urgensinya mungkin DLP cukup penting, namun dari segi mindset masyarakat juga belum siap karena masyarakat masih banyak yang langsung berobat ke dokter spesialis.
Sebenarnya tujuan DLP ini cukup baik bagi masyarakat. Selain dengan JKN akan dapat memberikan surplus bagi pendapatan negara, DLP juga nantinya tidak hanya mengobati masyarakat yang sakit tetapi juga diharuskan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat. Jika program ini dapat berjalan dengan baik maka taraf kesehatan di Indonesia juga pasti akan meningkat. Namun, sebelum penerapanya pemerintah menerapkanya sebaiknya meninjau kembali infrasturuktur dan geografis Indonesia yang belum memadai. Banyak daerah di Indonesia yang tidak memiliki pelayanan kesehatan yang memadai bahkan banyak yang belum tersentuh oleh listrik.
1. IDI ( interest group )
Interest group atau biasa di sebut dengan pressure group biasanya di definisikan sebagai sebuah kelompok yang mendukung atau mewakili sebagian masyarakat tertentu (dalam masalah ini mewakili para dokter) dan mewakili isu tertentu (menyuarakan kepentingan mereka dalam proses pembuatan UU pendidikan dokter).
IDI sebagai interest group yang termasuk insider group yang berarti bahwa mereka terlibat erat dalam pengujian gagasan kebijakan walaupun bukan bagian dari kekuasaan tetapi pemerintah secara periodik meminta saran dan pendapat mereka dalam pembuatan kebijakan yang berhubungan dengan kesehatan.
Dalam masalah ini IDI sebagai Interest group berpendapat bahwa isi di dalam rancangan UU pendidikan kedokteran bertentangan dan tidak mengakomodasi dari keinginan atau mungkin mengancam para dokter yang di wakilinya oleh karena itu mereka berupaya untuk memasukan pegaruhnya pada RUU pendidikan tersebut.
2. DPR dan Pemerintah (kekuasaan)
Kekuasaan di artikan sebagai kemampuan untuk mencapai hasil yang diharapkan dalam masalah ini DPR dan pemerintah merasa mempunyai kekuasaan yang di gunakan untuk mencapai hasil yaitu meningkatnya pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
Hal tersebut menurut buse mengklasifikasikan kekuasaan sebagai pengambil keputusan yaitu kekuasaan dalam pengambilan keputusan yang menekankan tindakan kelompok atau individu yang mempengaruhi pemutusan kebijakandalam hal ini yaitu secara sepihak langsung mensahkan RUU pendidikan kedokteran menjadi UU pendidikan kedokteran walau tanpa kehadiran IDI sebagai interest group yang Insider group yang biasanya mereka mintai pertimbangan
Pertentangan antara interest group dan kekuasaan terjadi karena masing masing bertahan dengan segala argumentasinya IDI sebagai interest group berpendapat UU ini bertentangan dengan argumen mereka sehingga harus dibatalkan sedangkan pemerintah dan DPR sebagai pemegang kekuasaan berpendapat dengan UU ini mereka bisa menjamin pelayanan kesehatan terhadap masyarakat yang secara notabene adalah pemilih mereka.
Perlu adanya perbedaan yang jelas antara dokter umum yang sekarang dengan dokter layanan primer, karena untuk bersekolah kembali tentunya memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit.
Awalnya ide pembentukan DLP diprakasai oleh DPR yang merupakan upaya pembenahan pemberian pelayanan kesehatan di tingkat primer yang sebelumnya dilakukan oleh dokter umum kemudian belum maksimalnya efektifitas pelayanan oleh dokter umum di layanan primer. namun menurut saya dengan di bentuknya DLP maka akan menimbulkan masalah baru. Jika memang pemerintah ingin meningkatkan layanan kesehatan primer bagi masyarakat, maka mungkin pemerintah bisa menerapakan seperti yang diterapkan oleh pemerintah di luar negeri seperti amerika, yang menjadi DLP adalah dokter spesialis, jadi masyarakat yang berkunjung ke pusat pelayanan primer langsung ditangani oleh dokter sesuai keluhannya.