Beberapa hal ini merupakan masalah kebijakan di balik kasus 3 - Minat K3

  1. Kasus ini merupakan sebuah contoh Kebijakan Pendidikan Kedokteran yang mempunyai pertentangan antar stakeholder sejak mulai dari Penyusunan Agenda sampai ke pasca pengesahan UU.
  2. RUU Pendidikan Kedokteran merupakan inisiatif DPR. Dalam prosesnya terlihat sikap dan koordinasi berbagai lembaga pemerintah yang belum baik dalam menyusun UU.
  3. Kasus ini menunjukkan adanya taktik dan strategi kelompok interest yang tidak tepat, yang terkait erat dengan aspek kekuasaan dalam menentukan kebijakan

 

Comments  

# Yessy Trisnaningsih 2016-10-26 08:28
UU ini menyebabkan tumpang tindih peran dab kewenangan kelembagaan antara Kementerian Ristek Dikti, Kementerian Kesehatan, Organisasi Profesi yaitu IDI termasuk Kolegium dan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Dampak lain yang bisa ditimbulkan dengan adanya profesi dokter layanan primer yaitu dapat menimbulkan konflik horizontal antar dokter di pelayanan primer. Selain bisa menimbulkan konflik itu tadi, ini juga bepotensi mengkriminalisasi dokter umum yang menangani pasien. Adapun aktor-aktor yang diprediksi akan menolak RPP antara lain:
1. IDI (Ikatan Dokter Indonesia)
2. KKI (Konsil Kedokteran Indonesia)
3. Pihak Universitas yang akan mendirikan fakultas kedokteran
4. Seluruh Dokter di Indonesia
5. Pengurus Dokter Umum Indonesia (PDUI)
Aktor yang akan mendukung adanya program DLP adalah BPJS, karena di era JKN ini sangat dibuthkan dokter yang sangat kompeten dalam menanani kasus di lini primer. Sehingga BPJS akan merasa diuntungkan dengan adanya program DLP.

Namun hal yang harus ditekan dalam hal ini adalah (1) Melibatkan seluruh aktor yang terkait dalam pembuatan RUU, agar tujuan yang sebenarnya benar-benar tercapai serta meminimalisir terjadinya pro dan kontra.(2) Adanya kejelasan perbedaan kompetensi DLP dengan dokter umum di layanan primer dan dokter keluarga. (2) Adanya sosialisasi tentang peraturan UU yang telah di rilis
Reply
# Zahra Kumala Rachma 2016-10-26 11:17
Pembentukan Dokter Layanan Primer (DLP) merupakan salah satu isu yang menjadi pertentangan dalam penyusunan UU Pendidikan Kedokteran. Pembentukan DLP ini sedikit mengindikasikan bahwasanya pelaksaan pendidikan di Indonesia saat ini mulai dijadikan sebagai fasilitas kepentingan politik. Awalnya ide pembentukan DLP diprakasai oleh DPR yang merupakan upaya pembenahan pemberian pelayanan kesehatan di tingkat primer yang sebelumnya dilakukan oleh dokter umum (asumsi kebutuhan akan dokter keluarga di era BPJS)

Belum maksimalnya efektifitas pelayanan oleh dokter umum ini membuat DPR merasa Dokter Layanan Primer perlu dibentuk. Bagi saya ini tentu akan menjadi masalah baru, mulai dari fungsi DLP yang tumpang tindih dengan fungsi dokter umum, fasilitas kesehatan di daerah yang belum cukup memadai, hingga pada kebutuhan anggaran akan meningkat. Dan yang menjadi pertanyaan bagi saya adalah mengapa jika ingin membenahi pelayanan kesehatan yang sudah ada, mengapa harus membentuk sesuatu yang baru (DLP), mengapa tidak membenahi ataupun membuat kebijakan agar dokter-dokter umum yang sudah ada di Indonesia ini, kembali bekerja sesuai dengan aturan prosedur kerjanya, karena menurut saya jika ingin memperbaiki pelayanan kesehatan, tentu saja pelayanan yg buruk (dari segi dokter) harus dibenahi bukan dibiarkan dan mengganti dengan sesuatu yang baru.

Harapan pembentukan DLP ini pada dasarnya adalah meningkatkan upaya promotif dan preventif di tingkat primer, yang juga merupakan salah satu tujuan pembentukan BPJS. Namun pada dasarnya kemampuan ini tentu sudah dimiliki oleh para dokter umum. Bagi saya, jika ingin menargetkan efektifitas dan efisiensi pelayanan promotif dan preventif pembentukan DLP bukanlah langkah yang sesuai, karena dokter umum seharusnya sudah memiliki akan keahliaan ini selain itu kompetensi manajemen kesehatan, promotif, preventif di masyarakat seharusnya bisa dikendalikan dan dikolaborasikan dengan tenaga kesehatan masyarakat.

Namun, UU pendidikan kedokteran saat ini telah disahkan sehingga mau tidak mau harus tetap dijalankan, sehingga solusi yang mungkin bisa diambil adalah perlu diatur kurikulum yang baik dan menjelaskan batasan-batasan kinerja yang bisa dilakukan oleh DLP agar tidak terjadi tumpang tindih kinerja antara DLP dengan tenaga kesehatan lainnya.
Reply
# Hesti Diana K32016 2016-10-26 11:49
Dari penjabaran mengenai masalah yang sedang hangat dibicarakan yakni BPJS serta JKN yang merambat pada persoalan Dokter Layanan Primer membuahkan sebuah issue yang menurut pengamatan saya terhadap UU Pendidikan kedokteran yang telah disahkan pada tahun 2013 yakni, dapat kami paparkan beberapa hal sebagai berikut:
Adapun aktor-aktor yang diprediksi akan menolak RPP antara lain:
1. IDI (Ikatan Dokter Indonesia)
2. KKI (Konsil Kedokteran Indonesia)
3. Pihak Universitas yang akan mendirikan fakultas kedokteran
4. Seluruh Dokter di Indonesia
5. Pengurus Dokter Umum Indonesia (PDUI)
Sebagaimana yang disampaikan oleh PDUI bahwa sebenarnya mereka telah mempersoalkan sekitar 15 pasal dalam UU terkait uji kompetensi, sertifikat dan dokter layanan primer (DLP). Pasal-pasal yang termaksud di dalam UU tersebut dinilai melanggar/menghambat akses pelayanan dokter atas pelayanan kesehatan masyarakat. Sebab hanya DLP yang berhak berpraktek di masyarakat yang diwajibkan mengikuti pendidikan uji kompetensi lagi dengan biaya yang mahal dan memakan waktu yang cukup lama. Meskipun dalam UU tersebut bertujuan antara lain menghasilkan lulusan dokter yang bermutu dan untuk pemenuhan kebutuhan dokter di seluruh wilayah tanah air. Namun akan cukup banyak hambatan dalam perumusan penyusunan RPP nantinya. Menurut analisa kami perlu dipertimbangkan kebijakan-kebijakan untuk mengantisipasi kemungkinan penolakan yang akan terjadi melalui pendekatan-pendekatan sebagai berikut, antara lain yaitu:
1. Perlunya sosialisasi tentang rumusan UU yang akan disahkan
2. Mengeluarkan peraturan tentang adanya insentif bagi para dokter yang nantinya akan mengikuti pendidikan DLP, baik dari pusat ataupun pemda tempat dokter tersebut mengabdi
3. Usulan agar pendidikan DLP disubsidi oleh Pusat maupun daerah tempat dimana mereka bekerja
4. Melibatkan semua pihak dalam perumusan akhir RPP
5. Penegasan batasan kompetensi dan kewenangan antara dokter yang telah mengikuti DLP dengan yang tidak
Issue yang disinyalir menjadi tren antara lain :
1. DLP adalah produk politik
2. Apakah akan ada strata baru dalam profesi dokter?
3. Apakah RUU ini akan menjadi sah suatu saat nanti, dan IDI akan berubah pikiran?
4.Terdapatkah hal positif untuk masyarakat pada program DLP ini ?

kesimpulan dari issue ini adalah, belum jelas kedepanya bagaimana nasib kebijakan ini di kemudian hari sehingga rancangan undang-undang mengenai DLP ini perlu untuk ditindaklanjuti sehingga dapat mencapai kata mufakat.
Reply
# AHMAD FAUZI K3 2016 2016-10-26 11:50
. Latar belakang dari adanya pendidikan Dokter Layanan Primer ini dikarenakan dari penilaian BPJS, kasus rujukan dari faskes primer yang tinggi. Hal ini dianggap dokter di layanan primer seperti di puskesmas ataupun di fasyankes primer lain dianggap gagal untuk menjalankan kegiatan preventif dan promotif nya, sehingga sampai pada tahap kuratif dan berindikasi untuk dirujuk.
Pro dan kontra masih terjadi sampai saat ini. DLP muncul disebabkan karena dokter umum yang berada di pelayanan kesehatan primer belum memiliki kompetensi yang cukup untuk menangani berbagai penyakit pasien sehingga banyak pasien yang akhirnya dirujuk ke dokter spesialis. Kalau dipikirkan secara matang, apa jadinya jika DLP yang mengambil alih pada pelayanan kesehatan primer. Bagaimana kelanjutan nasib para dokter umum. Secara tidak langsung dokter-dokter umum yang sudah dicetak oleh berbagai perguruan tinggi kedokteran seperti tidak ada gunanya sama sekali
DLP merupakan dokter yang diberikan kompetensi melebihi dokter umum, setara dokter spesialis. Jika kompetensi dokter umum mampu menangani 144 penyakit, maka dokter DLP mempunyai kompetensi menangani 155 penyakit. Sehingga masyarakat diharapkan cukup ditangani oleh dokter DLP di unit pelayanan kesehatan primer, tanpa harus dirujuk ke faskes diatasnya
Sebenarnya permasalahan pendidikan kedokteran ini cukup diatur dalam peraturan dibawah undang-undang karena dengan diaturnya masalah ini dalam undang-undang akan memunculkan banyak peraturan turunan yang lama-kelamaan pendidikan kedokteran ini akan semakin sulit diperbaiki. Sedangkan dalam sudut pandang pemerintah selam ini pendidikan kedokteran terlalu gampang dibuka walaupun tanpa dukungan sarana dan prasaran serta SDM yang baik.

Kesimpulannya :
1. Pendididkan dokter S1 5,5 Tahun di tambah intenship sudah bisa bekerja
2. Layanan Primer kurang perhatian karena bayak nya okter yang mau pindah ke struktural jadi Kepala Dinas, kepala Rumah Sakit.
3. Di Negara maju sebenarnya sudah ada yang menerapkan spesialis di layanan primer seperti di Malysia
4. Program DLP ini sebenarnya Baik tapi masih ada pihak yang tidak senang dengan berbagai Alasan.
Reply
# Raden Seto Kaliurang 2016-10-27 02:51
sedikit koment, dari kajian yang telah dibahas dari kasus antara IDI (ikatan dokter indonesia) dengan DLP (dokter layanan primer), jelas terlihat ada kebijakan yang tumpang tindih dan jelas juga terlihat bahwa IDI merasa keberatan dengan adanya DLP.

saya secara pribadi sangat mendukung dengan adanya DLP dikarenakan semakin kesini peran dari dokter terasa sangat one liner artinya dokter terlihat hanya melihat suatu penyakit sebatas sebagai penyakit dan memberikan pengobatan tanpa tahu sevara lebih rinci masalah atau npenyebab dari kenapa penyakit tersebut dapat terjadi.

dengan adanya DLP, penyakit dipandang dan di telusuri dari awal mulainya terpapar sehingga penyakit dapt di temukan soslusi yang tepat. peran dari DPL pun lebih luas yakni 80% kuratif dan 20% preventif. sehingga penanganan penyakit pun dirasa akan lebih tepat, cepat dan efisien.
Reply
# WM Harry 2016-10-27 03:08
Di satu sisi, Kementerian Kesehatan Menolak Tuntutan Dokter mengenai DLP.
Di sisi lain, IDI jalan terus dengan target revisi UU Pendidikan Kedokteran yang pro-rakyat.
Jika muaranya kebaikan rakyat sebaiknya usulan IDI sebagai sektor kesehatan harus didengarkan dan menjadi bahan pertimbangan?
Apa sebenarnya yang membuat proses yang dikhawatirkan bisa menyebabkan terjadinya pemborosan anggaran di layanan kesehatan primer ini menjadi begitu terburu-buru? harus diprbaiki oleh pemerintah itu bukannya tenaga medisnya tetapi sarana dan pra sarana medisnya..
pikir walaupun dokternya didatangkan dari negara maju sekalipun kalau sudah masuk kepuskesmas puskesmas disini pasti dokter juga cma bsa diem dan garuk garuk kepala karena sarana dan prasarana nya kurang memadai
Apalagi yg tempatnya sangat terpencil dan susah di jangkau
Reply
# Anisful Lailil M. 2016-10-27 04:43
Berdasarkan pengarah dan jendela kebijakan oleh Kingdon menyatakan bahwa :
• Membahas mengapa beberapa persoalan muncul sebagai agenda pemerintah, sedangkan yang lain tidak. DLP dirasa menjadi agenda pemerintahan dikarenakan pandangan pemerataan kesehatan yang adil bagi seluruh masyarakat.
• Membahas tentang siapa saja yang mempengaruhi agenda pemerintah, dan mengapa mereka melakukan itu. Yang menjadi aktor sudah di sebutkan oleh pendapat yessy di atas yang menjadi kontra dan pro adalah pemerintah serta pihak BPJS.
• Aliran proses yang memungkinkan hal itu terjadi :
1. Problems stream (persoalan)
2. Policies stream (kebijakan)
3. Politics stream (politik)
• Dalam setiap aliran proses, keterlibatan para partisipan sama kuatnya.
Problems Stream :
• Suatu permasalahan diperhatikan oleh pemerintah, karena :
a. Alat dan cara yg digunakan utk mendefinisikan kondisi sebagai masalah;
b. Merupakan kejadian khusus.
c. Aktor pemerintah memahami kondisi melalui feed-back dari program yang pernah ada.
• Kondisi sesuatu yang berlangsung setiap hari. Kondisi menjadi masalah, jika :
a. Merasa harus merubah
b. Merusak nilai-nilai penting
Coupling (perangkaian) dan Policy Windows :
• Tiga aliran tersebut sangat berbeda satu dengan yang lain, tapi suatu ketika akan bergabung menjadi satu yang ideal.
• Tapi seringkali, penggabungan hanya terjadi sebagian, Misal : Solusi dan masalah sama, tapi tidak didukung iklim politik.
• Problem/proposal dan politik, tapi tidak ada kesadaran untuk menyelesaikan masalah/solusi
Policy Windows :
• Suatu peluang, dimana ketiga aliran (problems, policies dan politics) bisa bertemu bersamaan, sehingga issue-issue bisa menjadi agenda.
• Proses policy windows jendela dibuka oleh kejadian-kejadian, baik dalam aliran masalah atau dalam aliran politik.
• Policy entrepreneur begitu ada kesempatan yang muncul (policy windows), maka issue dapat diangkat menjadi agenda, jika ada pihak-pihak yang mampu mempertemukan ketiga aliran tersebut ini yang oleh Kingdon disebut sbg policy entrepreneurs.
• Policy Entrepreneurs :
Policy entrepreneurs terdiri dari pejabat pemerintah, PNS karir, pelobi, akademisi atau wartawan
Arah dan tujuan dari policy entrepreneurs adalah :
1. Mendesakkan masalah tertentu ke agenda yang lebih tinggi.
2. Mendesakkan masalah seiring dengan proses memperlunak sistem.
3. Membuat penggabungan

Dari permasalah DLP saya rasa kurang menjadi solusi dari permasalahan bahkan akan menambah masalah karena unsur politik dan menguntungkan dari sedikit pihak dan tidak memihak pada rakyat, selain adanya ketumpang tindihan peran dokter dan DLP, terdapat keirian antara dokter spesialis dan DLP, pendidikan dokter yang semakin mahal dan lama. Daripada membuat DLP yang membuang anggaran negara, lebih baik memperbaiki system kesehatan yang efektif dan merata.
Reply
# Alim Renjana 2016-10-27 05:20
Apa perbedaan Dokter Layanan Primer dengan dokter Umum ?
sedangkan dikantor kami (Bapelkes) juga ada diklat Dokter Layanan Primer bagi dokter umum yang nantinya akan memperoleh sertifikat Dokter Layanan Primer..
Kalau tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan tingkat primer di Puskesmas, Mungkin dokter umum masih dapat memenuhi kompetensi tersebut. Tapi mengapa setelah ada banyak dokter umum ternyata kebutuhan akan alasan itu tidak bisa atau sulit terpenuhi?
Alasannya saya rasa sederhana, yaitu kurangnya sumber daya manusia – dalam hal ini dokter di layanan primer. Di lapangan untuk mengatasi masalah preventif dan promotif sudah ada tenaga teknis lainnya yang mengurusi, misalnya sanitarian, gizi dll. Jadi tidak diperlukan lagi DLP yang mangurusi masalah propomif dan preventif jikalau naninya akan berselisih dengan SKM, Kesling, Gizi dll edangkan dengan dokter umum akan mengalami kerancuan dalam melaksanakan tugasnya
Reply
# muhammad hamdani sil 2016-10-27 05:56
Menurut saya menganai DLP pemerintah harus mempertimbangkan bahwa lama pendidikan kemudian semakin lama pendidikan berjalan maka semakin banyak biaya yang diperlukan. dan ini akan ada dampak negatif karena semakin lama belajar di universitas berarti secara otomatis memperlambat perkembangan tenaga kesehatan untuk negara ini maka ini akan menjadi maslah serius kesehatan di negara kita
Reply
# Muhammad Andriadi Ka 2016-10-27 06:18
Mengenai pro kontra UU Pendidikan kedokteran, kalau kita tinjau kembali yang sangat kontra terhadap kebijakan ini adalah IDI, ini juga tidak terlepas dari salah satu poin yang berada dalam UU tersebut yaitu kebijakan dokter layanan primer. IDI beranggapan bahwa ketika DLP hanya akan memberatkan dokter dan merendahkan serta meragukan kompetensi dokter yang saat ini melayani masyarakat di layanan primer. Selain itu jika konsep DLP tersebut dijalankan maka 100 ribu dokter umum yang saat ini sedang bekerja di layanan primer harus di sekolahkan lagi. Tentunya ini membutuhkan biaya yang sangat besar, mengorbankan waktu dan terbengkalainya layanan ditingkat primer.
Pada dasarnya penerapan UU pendidikan kedokteran pada 2013 tidak terlepas dari belakunya sistem JKN 2014 yang mana peran dokter layanan primer akan semakin dibutuhkan. Dokter layanan primer ditekankan agar tidak hanya bergerak di bidang curative, tapi juga bergerak di bidang preventive, sehingga mendukung terciptanya paradigma sehat di Indonesia. Sehingga pemerinta yang mendukung kebijakan ini yakin dengan adanya DPL nantinya akan dapat bertindak sebagai gate keeper yang akan menangani sebagian besar kasus di masyarakat sendiri hingga tuntas. DLP juga diharapkan dapat memberikan pelayanan yang bersifat holistik, preventif dan promotif dibandingkan kuratif. Di lain pihak, DLP juga harus berorientasi pada kedokteran keluarga, okupasi, komunitas, manajerial, dan kepemimpinan.
Sehingga DLP memiliki kelebihan yaitu menyediakan langkah preventif di mana dokter dituntut untuk dapat menjaga kesehatan masyarakat sehingga nantinya angka kesakitan dimasyarakat dapat menurun dan meningkatkan kualitas hidup mereka. Sementara itu terdapat Kekurangan yaitu pada sosialisasi dan publikasi oleh pemerintah. Jika ditinjau dari urgensinya mungkin DLP cukup penting, namun dari segi mindset masyarakat juga belum siap karena masyarakat masih banyak yang langsung berobat ke dokter spesialis.
Sebenarnya tujuan DLP ini cukup baik bagi masyarakat. Selain dengan JKN akan dapat memberikan surplus bagi pendapatan negara, DLP juga nantinya tidak hanya mengobati masyarakat yang sakit tetapi juga diharuskan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat. Jika program ini dapat berjalan dengan baik maka taraf kesehatan di Indonesia juga pasti akan meningkat. Namun, sebelum penerapanya pemerintah menerapkanya sebaiknya meninjau kembali infrasturuktur dan geografis Indonesia yang belum memadai. Banyak daerah di Indonesia yang tidak memiliki pelayanan kesehatan yang memadai bahkan banyak yang belum tersentuh oleh listrik.
Reply
# arie prayudhi 2016-10-27 12:28
Pada proses rancangan undang-undang pendidikan kedokteran secara gamblang di pertontonkan pertentangan antara “interest group” dalam hal ini IDI dengan kekuasaan dalam hal ini adalah pemerintah dan DPR, mari kita bedah peran dan alasan dari sudut pandang yang berbeda.
1. IDI ( interest group )
Interest group atau biasa di sebut dengan pressure group biasanya di definisikan sebagai sebuah kelompok yang mendukung atau mewakili sebagian masyarakat tertentu (dalam masalah ini mewakili para dokter) dan mewakili isu tertentu (menyuarakan kepentingan mereka dalam proses pembuatan UU pendidikan dokter).
IDI sebagai interest group yang termasuk insider group yang berarti bahwa mereka terlibat erat dalam pengujian gagasan kebijakan walaupun bukan bagian dari kekuasaan tetapi pemerintah secara periodik meminta saran dan pendapat mereka dalam pembuatan kebijakan yang berhubungan dengan kesehatan.
Dalam masalah ini IDI sebagai Interest group berpendapat bahwa isi di dalam rancangan UU pendidikan kedokteran bertentangan dan tidak mengakomodasi dari keinginan atau mungkin mengancam para dokter yang di wakilinya oleh karena itu mereka berupaya untuk memasukan pegaruhnya pada RUU pendidikan tersebut.
2. DPR dan Pemerintah (kekuasaan)
Kekuasaan di artikan sebagai kemampuan untuk mencapai hasil yang diharapkan dalam masalah ini DPR dan pemerintah merasa mempunyai kekuasaan yang di gunakan untuk mencapai hasil yaitu meningkatnya pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
Hal tersebut menurut buse mengklasifikasikan kekuasaan sebagai pengambil keputusan yaitu kekuasaan dalam pengambilan keputusan yang menekankan tindakan kelompok atau individu yang mempengaruhi pemutusan kebijakandalam hal ini yaitu secara sepihak langsung mensahkan RUU pendidikan kedokteran menjadi UU pendidikan kedokteran walau tanpa kehadiran IDI sebagai interest group yang Insider group yang biasanya mereka mintai pertimbangan
Pertentangan antara interest group dan kekuasaan terjadi karena masing masing bertahan dengan segala argumentasinya IDI sebagai interest group berpendapat UU ini bertentangan dengan argumen mereka sehingga harus dibatalkan sedangkan pemerintah dan DPR sebagai pemegang kekuasaan berpendapat dengan UU ini mereka bisa menjamin pelayanan kesehatan terhadap masyarakat yang secara notabene adalah pemilih mereka.
Reply
# Indah Rahmawati 2016-10-27 12:57
pertentangan antara berbagai pihak terkait UU pendidikan dokter dan adanya dokter layanan primer seharusnya menjadi pertimbangan bagi dewan-dewan yang berwenang untuk mengkaji dimana letak permasalahan dan langkah yang seharusnya diambil.
Perlu adanya perbedaan yang jelas antara dokter umum yang sekarang dengan dokter layanan primer, karena untuk bersekolah kembali tentunya memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit.
Reply
# Pertiwi 2016-10-27 13:47
Dokter layanan primer atau DLP lahir dari keputusan politik antara pemerintah dan DPR, dimana DLP merupakan produk politik. Dimana pendidikan dokter digiring masuk ke dalam ranah politik, sangat jelas dimana UU merupakan produk politik. Konsep DLP ini sudah dilaksanakan di Negara maju tetapi dalam penerapannya berbeda dengan Indonesia, Misalnya : Di Amerika, dokter layanan primer terdiri dari beberapa spesialis seperti : Spesialis Anak, Penyakit dalam, dokter keluarga dan dokter kandungan. Pasien ditangani oleh dokter sesuai dengan kompetensinya. Sedangkan di Indonesia pelayanan Primer hanya dilakukan oleh Dokter layanan Primer. Toh, sebenarnya DLP itu wajib atau tidak, bagi saya itu tidak penting, DLP maupun Dokter Umum memiliki tujuan yang sama yaitu untuk menyehatkan kehidupan bangsa dan tanah air.
Reply
# Dedi Tri Wibowo 2016-10-27 15:51
Pendidikan dokter layanan primer merusak sistem hukum praktik kedokteran, dan menghambat peran dokter layanan umum dalam pelayanan kesehatan masyarakat,Pasal itu memunculkan dualisme lembaga yang menyelenggarakan uji kompetensi dokter sebab uji kompetensi dokter dan sertifikat kompetensi dokter sebenarnya wewenang Ikatan Dokter Indonesia.
Reply
# selfiana sakka 2016-10-27 16:24
permasalahan di atas terkait dengan pertentangan antara beberapa stakeholder yang memilih pandangan yang berbede. Pada saat ini masih terdapat ketimpangan penyebaran dokter, karena sebagian besar berada di kota besar, khususnya di Pulau Jawa. Hampir 30 persen Puskesmas mengalami kekurangan dokter, terutama di daerah sulit. Hal ini disebabkan tidak ada peraturan perundang-undangan tentang wajib kerja bagi dokter dan dokter spesialis. Tetapi yang menjadi masalah adalah Kementerian Kesehatan justru kurang atau malah tidak ikut andil dalam perumusan RUU pendidikan kedokteran ini karena penyusunan RUU dianggap bukan merupakan ranah Kemenkes, Padahal secara langsung hal tersebut juga merupakan bagian dari urusan Kemenkes, RUU dikdok sendiri diinisiasi oleh komisi X DPR yang menyatakan keprihatinannya akan pendidikan kedokteran di Indonesia. Seharusnya Dalam pembuatan RUU pendidikan kedokteran harus melibatkan DPR, IDI, pihak Universitas dan lain-lain.
Reply
# Pratami Janery 2016-10-28 01:37
IDI yang awalnya setuju dengan program DLP ini kembali menarik diri karena hanya dianggap sebagai pemborosan anggaran, dan hanya memperpanjang masa studi pendidikan dokter. Alasannya yang lainnya juga IDI merasa dokter umum sudah siap menjadi dokter di fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) primer.tetapi apakah memang benar dokter umum saja sudah siap?? sebenarnya DLP ini sangat baik untk menambah kinerja dokter umum yang sampai sekarang masih bervariasi, disini tidak dapatdikatakan bahwa kinerja dokter uum seluruhnya tidak baik tetapi ada banyak dokter umum yang tidak dapat menunjukan kinerjanya sebagai dokter misalnya saja dokter umum ang berhasil meraih gelar dokter dengan modal bayaran semata . DLP ini sebenarnya akan sangat membantu kinerja dokter dalam hal pemerataan kesehatan, tetapi masalahnya kembali ke dokternya yang sudah mengeluarkan biaya besar pada saat pendidikan dokter kemudian DLP dalam jangka waktu yang tidak lama , maukah dokter- dokter iini di kirim ke seluruh wilayah indonesia yanng masih membutuhkan banyak bantuan tenaga kesehatan ?
Reply
# Suwandi N 2016-10-28 01:50
dalam proses perancangan UU pendidikan kedokteran terdapat pertentangan antara kelompok kepentingan dalam hal ini IDI yang mewakili dokter dengan kekuasaan dalam hal ini adalah pemerintah dan DPR. pertentangan ini terjadi karena pada proses perancangannya pihak IDI tidak di ikutsertakan.
Awalnya ide pembentukan DLP diprakasai oleh DPR yang merupakan upaya pembenahan pemberian pelayanan kesehatan di tingkat primer yang sebelumnya dilakukan oleh dokter umum kemudian belum maksimalnya efektifitas pelayanan oleh dokter umum di layanan primer. namun menurut saya dengan di bentuknya DLP maka akan menimbulkan masalah baru. Jika memang pemerintah ingin meningkatkan layanan kesehatan primer bagi masyarakat, maka mungkin pemerintah bisa menerapakan seperti yang diterapkan oleh pemerintah di luar negeri seperti amerika, yang menjadi DLP adalah dokter spesialis, jadi masyarakat yang berkunjung ke pusat pelayanan primer langsung ditangani oleh dokter sesuai keluhannya.
Reply
# taufik abdullah 2016-10-28 03:19
menurut saya Dokter Layanan Primer (DLP) adalah produk politik. DLP lahir dari keputusan politik antara pemerintah dengan DPR.kelihatan bahwa pemerintah ingin menciptakan dokter yang lebih berkompetensi selain dokternya yang berkompetensi pemerintah juga harus memperbaiki fasilitas kesehatan dan fasilitas pendukung kesehatan agar masayarakat bisa merasakan kebijakan baru yang di buat oleh pemerintah,dan semoga pengambilan kebijakan ini tidak ada unsur politik yang masuk semua bertujuan untuk meningkatkan derajad kesehatan masyarakat indonesia
Reply
# Ahmad Imanuddin 2016-10-28 06:07
Menurut saya DLP adalah sebuah program yang lahir dari kepentingan politik, tanpa adanya pertimbangan akan pendidikan dokter yang sudah ada sebelumnya, sehingga menjadi pertentangan antara IDI dan Pemerintah khususnya DPR yang mengeluarkan kebijakan progra tersebut. Ini juga termasuk program yang menjadi sebuah keuntungan baru bagi pembuat kebijakan, karena UU sudah di buat tetapi pada pelaksanaannya di lapangan terjadi pertentangan di dalam IDI sendiri, semakin banyak kebijakan yang di buat maka akan semiakin besar juga anggaran yang di keluarkan pemerintah kepada oknum politik yang hanya mencari keuntungan di balik kursi kekuasaan. Ujung-ujungnya program hanya akan menjadi sebuah polemik yang hilang begitu saja tanpa adanya solusi, dan meninggalkan masalah baru.
Reply
# indah ade prianti 2016-10-30 01:45
menurut saya kebijakan Dokter Layanan Primer ini sebenarnya bagus karena memberikan banyak manfaat terhadap kesehatan. akan tetapi masih perlu dilibatkan semua pihak agar tidak terjadi pertentangan. sehingga kebijakn dapat berjalan dengan sememstinya.
Reply

Add comment

Security code
Refresh