Beberapa hal ini merupakan masalah kebijakan di balik kasus 3 - Minat KPMAK

  1. Kasus ini merupakan sebuah contoh Kebijakan Pendidikan Kedokteran yang mempunyai pertentangan antar stakeholder sejak mulai dari Penyusunan Agenda sampai ke pasca pengesahan UU.
  2. RUU Pendidikan Kedokteran merupakan inisiatif DPR. Dalam prosesnya terlihat sikap dan koordinasi berbagai lembaga pemerintah yang belum baik dalam menyusun UU.
  3. Kasus ini menunjukkan adanya taktik dan strategi kelompok interest yang tidak tepat, yang terkait erat dengan aspek kekuasaan dalam menentukan kebijakan

 

Comments  

# Artha Kusuma KP-MAK 2016-10-27 14:40
Selamat malam teman-teman. Mohon ijin untuk berpendapat, dan terbuka untuk didiskusikan bersama-sama

Jika kita lihat penyusunan undang-undang pendidikan kedokteran No. 20 tahun 2013 melalui proses yang cukup panjang. Pertentangan dari berbagai stakeholder yang terlibat juga sudah dimulai dari penyusunan agenda. Hal yang menjadi kontroversi adalah pada Pasal 1 butir 9 yang menyatakan bahwa Dokter adalah dokter, dokter layanan primer, dokter spesialis, subspesialis, lulusan pendidikan dokter, baik didalam maupun di luar negeri, yang diakui oleh Pemerintah. UU pendidikan kedokteran diinisasi oleh DPR dengan tujuan yang baik yakni untuk memperkuat peran negara dalam pendidikan kedokteran dan memperketat syarat pendirian pendidikan kedokteran, meningkatkan subsidi pemerintah untuk pendidikan kedokteran, mengatur beasiswa yang dikaitkkan dengan penempatan, serta perbaikan sistem pendidikan residen sebagai tenaga kerja. Akan tetapi dalam penyusunan sampai akhirnya UU ini diterbitkan banyak pertentangan yang terjadi. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) sebagai organisasi yang berpengaruh dalam profesi kedokteran di Indonesia secara tegas menolak. IDI dalam siaran pers nya menyatakan bahwa akan ada tumpang tindih empat UU yang akan terjadi jika UU pendidikan kedokteran disahkan yakni UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, UU No. 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi, UU No 20 Tahun 2013 Pendidikan Kedokfteran, dan UU No. 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan. IDI juga berpandangan bahwa UU ini akan memicu konflik horizontal sesama dokter yang dampaknya akan merugikan masyarakat. IDI juga aktif melakukan gugatan ke MK setelah UU ini disahkan namun hakim MK menolak gugatan tersebut. Dalam perjalanannya IDI di tahun 2016 awal, proses internal berlangsung di IDI, terjadi perubahan sikap. Kabar terakhir pada bulan April 2016 disebutkan bahwa PB IDI menerima hasil dari MK dengan berbagai catatan dan berusaha aktif kembali dalam penyusunan RPP dan berbagai regulasi terkait UU Pendidikan Kedokteran. Dengan melakukan perubahan sikap ini, IDI sebagai perhimpunan profesi masuk kembali dalam proses penentuan kebijakan pendidikan kedokteran. Akan tetap pada bulan september tahun 2016 yang lalu, IDI kembali menyatakan sikap tegasnya dengan mengeluarkan Siaran Pers agar DPR segera mengubah pasal terkait DLP dalam UU pendidikan kedokteran yang menjadi prioritas untuk masuk ke Prolegnas 2016.

Dinamika yang terjadi baik dari proses penyusunan dan ketika kebijakan ini sudah disahkan memang kental dengan kepentingan politik. Tarik ulur IDI sebagai organisasi profesi dalam praktir kedokteran di Indonesia menjadi hal yang menarik untuk diamati dalam proses terbentuknya sebuah kebijakan. Tujuan dari UU ini salah satunya adalah untuk memperketat syarat pendidikan kedokteran, akan tetapi kenyataan dilapangan pemerintah bahkan memberikan izin 8 Prodi Kedokteran baru pada Maret 2016 dengan standar yang rendah. Secara tidak langsung banyak pihak yang meragukan integritas dari IDI dan beranggapan tarik ulur UU pendidikan kedokteran ini adalah produk politik yang sarat akan kepentingan. Selain itu kebijakan ini tidak melalui kajian yang cukup mendalam tentang apa sebenarnya urgensi masalah yang terjadi dilapangan. Dalam era JKN hal yang paling penting adalah bagaimana pemerataan infrastruktur pelayanan kesehatan, termasuk pemerataan tenaga kesehatan. Bisa dibayangkan ketika semua dokter umum yang sudah tersebar di seluruh Indonesia diwajibkan untuk menempuh pendidikan kembali selama 3 tahun, kekosongan tenaga dokter akan terjadi dan masyarakatlah yang akan mengalami kerugian yang paling besar.

Terima kasih
Reply
# Ranik Diastuti 2016-10-30 14:23
Benar mas Artha, menurut saya Pemerintah perlu mengkaji kembali mengenai keurgensian Undang-Undang Pendidikan Kedokteran ini terutama dalam hal meningkatkan subsidi pemerintah untuk pendidikan kedokteran, mengatur beasiswa yang dikaitakan dengan penempatan. Selain dapat menyebabkan kekosongan tenaga dokter di beberapa wilayah Indonesia yang notabene memang hanya memiliki sedikit tenaga dokter, kebijakan tersebut akan menyita anggaran negara untuk pembiayaan ini. Saat ini saja, negara sudah mengalami defisit anggaran untuk membiayai jaminan kesehatan. Sementara itu target pemerintah pada tahun 2019 adalah untuk mencapai Universal Health Coverage. Jadi mengapa tidak memprioritaskan untuk pencapaian UHC terlebih dulu saja?
Reply
# Sri Guntari KP-MAK 2016-10-27 15:33
Polemik Dokter Layanan Primer (DLP) memang sedang hangat dibicarakan dan diperdebatkan saat ini. Campur tangan politik terhadap profesi kedokteran kini terlihat semakin dalam, dikhawatirkan akan menambah kekacauan bagi dunia kedokteran.
Perdebatan muncul antara pemerintah, tokoh/praktisi kedokteran dan mahasiswa. Terdapat beberapa hal yang diperdebatkan diantaranya konsep DLP sendiri merupakan spesialis atau bukan. Apabila disetarakan dengan spesialis maka akan menambah kerancuan dalam pendidikan dokter di Indonesia. Selain itu tentang wajib atau tidakya seluruh dokter umum menjadi DLP, lama pendidikan yang harus ditempuh, bagaimana pembiayaan pendidikannya, institusi atau lembaga yang menyelenggarakan serta standar kompetensinya.
Apabila dikaitkan dengan unsur politik dan kekuasaan stakeholder, memang tidak dapat dipungkiri bahwa DLP merupakan salah satu produk politik, yang lahir dari keputusan politik antara pemerintah dengan DPR. Dimana aktor-aktor tersebut memiliki kekuasaan yang besar dalam penyusunan kebijakan.
Pelaksanaan program dokter DLP dimaksudkan pemerintah untuk menghasilkan dokter yang ditempatkan pada lini terdepan yang mampu menyelesaiakan masalah kesehatan di masyarakat di tingkat primer. Dalam sebuah berita disebutkan bahwa dalam era JKN, dokter pratama yang praktik di pelayanan primer haruslah dokter layanan primer, apabila tidak menjadi DLP maka tidak dapat bergabung dalam sistem JKN. Namun, untuk menjadi dokter DLP harus menempuh pendidikan selama 2 tahun. Lalu timbul sebuah pertanyaan, selama 2 tahun pendidikan dokter siapakah yang nantinya akan melayani peserta JKN ? tentu ini perlu dipikirkan demi kelancaran pelayanan kepada pasien.
Dan juga dari segi pembiayaan, siapa yang akan mengcover pendidikan tersebut ? Saya sempat membaca ulasan yang menyatakan bahwa estimasi biaya yang diperlukan adalah 300 juta per orang per tahun dengan menggunakan pembiayaan APBN. Apabila dikalikan dengan jumlah dokter umum yang ada di Indonesia tentu akan menghasilkan nominal yang besar. Padahal disisi lain, Indonesia masih menghadapi masalah lain yang lebih “urgent” seperti masalah infrastruktur dan pemerataan akses pelayanan kesehatan di daerah terpencil yang masih sangat kurang. Menurut saya masalah tersebut sebaiknya lebih menjadi prioritas dalam penyusunan kebijakan saat ini, mengingat visi pembangunan kesehatan Indonesia untuk mencapai universal health coverage pada tahun 2019 yang semakin dekat.

Terimakasih
Reply
# Ranik Diastuti 2016-10-30 14:37
Saya setuju, menurut saya Pemerintah memang perlu mengkaji kembali prioritas pembangunan yang manakah yang harus didahulukan, dengan pertimbangan keterbatasan anggaran negara yang ada saat ini, dan tentunya harus selaras dengan visi pembangunan kesehatan Indonesia untuk mencapai UHC yang estimasinya 100% pada tahun 2019.
Reply
# sri wusono,KPMAK 2016-10-27 16:12
AS WR WB
selamat malam .

1. Perumusan UU pendidikan kedokteran seyogyanya aspirasi IDI ,KKI dan organisasi dapat di dengar oleh karena sangat jelas pelaku utama sasaranya adalah tenaga dokter bagaimana mau merumuskan kebijakan tepat manakala suara tersebut tidak reperesentatatif tenaga dokter.
2.Perumusan kembali sistem pendidikan kedokteran berbasis kompentasi dan pemberdayaan tenaga dokter yang sudah ada
3.sepertinya semua elemen punya kepentingan hanya perlunya kembali penguatan kembali merujuk UUD 1945 mengutamakan kepetingan orang banyak daripada sekelompok orang / individu realisasinya menaati melaksanakan sumpah jabatan bidang masing - masing seperti sumpah dokter ,angoggota dewan , pejabat apapun setidaknya menjalankan norma hukum yang sudah di sepakati .
3.Dokter layanan primer harus menempuh pendidikan tambahan 2 tahun menurut saya belum efektif cenderung tidak tepat sasasaran dalam jangka pendek lebih rasional dengan dilaksanakan peningkatan kompetensi dengan pelatihan terstruktur di bawah koordinasi Kemenkes RI kemudian ditribusi tenaga merata pemebrian insentif sesuai , perbaikan peningkatan fasilitas kesehatan bersatandar sering dengan jumah lulusan dokter berkompeten.
4.. Aspek hukum dirumuskannya RUU TenagaKesehatan adalah memberikan pelindunganhukum kepada masyarakat dalam menerimapenyelenggaraan upaya kesehatan dan memberikankepastian hukum kepada tenaga kesehatan.Pelindungan hukum menjadi hak tenagakesehatan dalam menjalankan praktik sepanjang
melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi,standar pelayanan profesi dan standar operasional
prosedur. Dalam RUU Tenaga Kesehatan
Reply
# EKA PUSPASARI KP-MAK 2016-10-27 17:02
Kebijakan Pendidikan Kedokteran yang mempunyai pertentangan antar stakeholder sejak mulai dari Penyusunan Agenda sampai ke pasca pengesahan UU, belakangan ini menjadi agenda yang masih bergulir di Pemerintah Indonesia. UU No.29 th2004 ttg PRAKTIK KEDOKTERAN Pasal 1 butir 2:
Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun diluar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan dalam
UU No.20 th2013 ttg PENDIDIKAN KEDOKTERAN Pasal 1 butir 9:
Dokter adalah dokter, dokter layanan primer, dokter spesialis sub spesialis lulusan pendidikan dokter, baik di dalam maupun di luar negeri, yang diakui oleh Pemerintah. dari sini muncul 3 kelompok dokter yang bekerja di pelayanan primer yaitu Dokter (umum), Dokter keluarga dan Dokter Layanan Primer (DLP) yang sangat berpotensi dapat terjadinya konflik horizontal yang dapat mengganggu terwujudnya peningkatan mutu pelayanan kesehatan rakyat Indonesia. nuansa politik dari kebijakan ini juga terlihat Pada saat pembahasan RUU Dikdokà IDI terlibat, namun pada prosesnya, terbentuk DLP dengan konsepnya yang belum matang memperbaiki kualitas dokter dengan pendidikan yang seragam2-3 tahun tidak menyelesaikan masalah karena variasi masalah kesehatan di berbagai daerah bervariasi. jika hal seperti ini masih berlangsung, negara ini akan dirugikan. kerena yang namanya orang sakit itu tidak bisa ditunda, jika nanti dilapangan dokternya tidak ada karena sekolah lagi lalu bagaimana dengan masyarakat. pelayanan kesehatan saja sudah tidak adil ditambah tidak ada dokter praktek. Tidak bisa dibayangkan.
Reply
# Eldo KP-MAK 2016-10-28 03:02
inilah fenomena ketika sebuah kebijakan bukan dari kelompok pembuat kebijakan bukan dari objek kebijakannya... sehingga peraturan bukan berdasar atas issue namun berdasar kepentingan dari pembuat kebijakan saja yang belum tentu ada Evidence dari lapangan
Reply
# Wulandari I.H KP-MAK 2016-10-28 05:50
betul Mas Eldo, dan kebijakan yang tidak konsisten dengan Tujuan Utama yang sebenarnya adalah untuk menguatkan pelayanan dokter di tingkat primer. Evidence sudah ada sebenarnya, namun di luar negeri yaitu di Belanda, juga Australia tentang GP, namun apa ya mau betul2 diterapkan di Indonesia..yang jelas-jelas berbeda dalam banyak sisi.
Reply
# Wulandari I.H KP-MAK 2016-10-28 05:47
UU Dik Dok menyatakan adanya istilah DLP yang sebenarnya tidak menspesifikan adanya pembentukan prodi atau harus ditempuh dari jalur pendidikan. DLP ada karena memang kebutuhan akan kualitas Dokter di Pelayanan Primer yang harus dipastikan. Dimana Dokter di Pelayanan Primer sudah harus memberikan pelayanan kedokteran dengan komprehensif, mengutamakan promotif dan preventif. Dan saya kira memang begitulah seharusnya profesi Dokter, yang kenyataan di lapangan memang belum seperti yang diharapkan, sehingga angka rujukan FKTP ke RS tinggi, dan permasalahan kesehatan di suatu wilayah yang seharusnya Dokter Umum FKTP yang berada di wilayah tersebut menjadi leader dalam pengelolaan masalah kesehatan belum menjalankan tugasnya dengan baik. Awalnya peningkatan kompetensi dengan memberikan pelatihan DLP bagi Dokter-dokter di Puskesmas atau di FKTP terutama yang bekerjasama dengan BPJS. Di perjalanan terjadi perubahan agenda menjadi diharuskan DLP ? Sebenarnya teman-teman, kurikulum Prodi DLP itu dapat diberikan pada saat Pendidikan Dokter, hanya memang perlu perubahan dan penekanan dalam hal tertentu yang memang disyaratkan dalam kompetensi DLP tersebut. Artinya memang perlu reformasi pendidikan kedokteran di Indonesia, sehingga kompetensi DLP tidak perlu lagi didapat dengan harus mengambil bersekolah lagi. Di sisi lain, para akademisi dari beberapa Universitas memperjuangkan berdirinya Prodi DLP itu untuk tujuan yang sebenarnya juga sama, yaitu meningkatkan kompetensi Dokter Umum yang ada di FKTP. Namun saya pribadi sebagai Dokter Umum, keduanya punya tujuan yang sama baiknya, namun lebih setuju untuk dilakukan reformasi kurikulum di pendidikan Dokter saja..dan bagi Dokter2 yang sudah bekerja semua dilatih untuk merefresh dan menambah kompetensi ttg ke DLP-an. Itu akan jauh lebih efektif. Dalam menyusun UU DPR juga belum merangkul semua stake holder, sehingga UU yang tersusun pun menjadi bermasalah ketika akan dilaksanakan
Reply
# La Ode Nur R Sy.MAK 2016-10-28 07:43
Izin berpartisipasi,
Menurut saya pada saat penyusunan agenda RUU DLP ini tidak memiliki evidence base yang jelas di Indonesia. Tidak berdasarkan kenyataan yang terjadi di masyarakat dan sebenarnya belum dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia saat ini. Untuk meningkatan kualitas pendidikan kedokteran di Indonesia sendiri seperti yang menjadi dasar inisiasi terbitnya RUU ini oleh legislatif, hanya perlu dilakukan evaluasi secara komphrensif mengenai pelaksanaan pendidikan kedokteran yang telah berjalan mulai dari level yang paling bawah sebab masalah yang ada tentunya akan berbeda di setiap levelnya. Tidak perlu harus mendirikan program studi DLP lagi jika kompetensi DLP sendiri dapat ditambahkan pada kurikulum pendidikan dokter umum sebelumnya hal tersebut mungkin akan lebih efektif efisien. Sebenarnya pun tidak ada perbedaan yang bisa dikatakan cukup signifikan antara kompetensi dokter umum dan DLP. Apalagi jika aktor-aktor di dalam proses penetapan kebijakan ini mempunyai pertentangan yang tentunya memiliki kepentingan yang berbeda-beda yang nantinya malah merugikan bagi masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan. Pemerintah juga seharusnya terlibat aktif dalam hal ini dan memperhatikan banyaknya Undang-undang / kebijakan yang saling tumpang tindih dengan adanya kebijakan DLP ini.

Terima kasih
Reply
# Sri Fadhillah KPMAK 2016-10-29 01:05
Selamat pagi,,, saya mencoba berpendapat terakit UU Pendidikan Kedokteran

Pendidikan Kedokteran merupakan bentuk pendidikan tinggi yang bersifat khusus dimana pendidikan akademik dilaksanakan bersamaan dengan pendidikan keprofesian. Oleh karena itu, pemerintah merasa perlu untuk mengaturnya dalam UU tersendiri sebagai penjelas dari UU tentang Pendidikan Tinggi. RUU pendidikan kedokteran (RUU dikdok) ini digadang-gadang akan mengatur seluk beluk pendidikan kedokteran secara spesifik dan komprehensif. RUU dikdok sendiri diinisiasi oleh komisi X DPR yang menyatakan keprihatinannya akan pendidikan kedokteran di Indonesia. Beberapa hal yang mendasari diantaranya masih kentalnya nuansa kapitalisme pendidikan kedokteran yang berujung pada diskriminasi status ekonomi, belum tersebarnya dokter di seluruh wilayah Indonesia, mutu lulusan yang masih harus diperbaiki, dan masa depan pendidikan kedokteran yang berkaitan erat dengan tingkat kesejahteraan kesehatan bangsa. Namun, pada draft RUU dikdok yang dirilis, masih terdapat beberapa pasal yang kontradiktif dengan tujuan awal, sehingga perancangan RUU ini belum cukup mengakomodasi beberapa keadaan dalam pendidikan kedokteran. Dalam draft RUU dikdok bahkan ditemukan pertentangan dengan beberapa isi RUU Pendidikan Tinggi (RUU dikti). Padahal secara substansial, seharusnya RUU dikdok merupakan lex specialis dari RUU dikti. Hal ini dikesankan dengan beberapa pasal yang menempatkan fakultas kedokteran sebagai institusi independen dengan tidak menyinggung hubungan fakultas-universitas-kemendikbud. Poin penting dari implikasi pasal ini adalah fakultas akan mempunyai wewenang seluas-luasnya dalam penentuan biaya pendidikan kedokteran. Seperti yang kita ketahui bersama, jumlah dokter di Indonesia belum memadai jika dibandingkan dengan jumlah penduduknya. Maka, mematok menambah sistem untuk mendaat gelar DLP untuk pendidikan kedokteran bisa menjadi pilihan yang tidak bijaksana. Padahal pada era ini, dokter diharapkan melakukakn kerja nyata karena adanya permintaan penggunaan layanan yang melonjak sejak diterapkannya era JKN, dan tentu jika harus menambah masa studi 2-3 tahun dapat memakan banyak waktu dan biaya

Terima kasih
Reply

Add comment

Security code
Refresh