Notulensi: Expanding UHC in The Presence of Informality in Indonesia: Challenges And Policy Implications

Seminar Ekonomi Kesehatan melalui webinar yang pertama dilaksanakan pada Kamis (8/12/2016). Kegiatan ini merupakan kerjasama antara Departemen Health Policy and Management (HPM) FK UGM, PKMK FK UGM dan sejumlah pakar di bidang ekonomi dan kesehatan yang terkait.

Diskusi pertama diisi oleh Teguh Dartanto, PhD (LPEM FE UI). Teguh memberikan sejumlah pandangan berbasis riset seputar perjalanan JKN 3 tahun ini. Fokus utama yang disorot salah satu penelitian LPEM FE UI ialah informal sector yang menggunakan banyak dana kapitasi (untuk pengobatan) namun banyak yang enggan rutin membayar premi. Sejak awal berlakunya JKN, ahli kesehatan masyarakat di Indonesia yakin roadmap universal health coverage akan tercapai pada 2019. Namun, para ahli kesmas ini belum memperhatikan bahwa terdapat faktor perilaku masyarakat (belum tentu mau bergabung menjadi peserta), tambah Teguh.

Perjalanan asuransi kesehatan Indonesia menarik, ide awal muncul di tahun 1957 dengan adanya proteksi pekerja sosial, kemudian tahun 1968 muncul asuransi kesehatan. Perkembangan kemudian, yaitu tahun 1992 terbentuk PT Askes. Tahun 1998 pemerintah mencanangkan jaring pengaman sosial (JPS). Lalu pada tahun 2008 lahirlah jaminan kesehatan masyarakat/jamkesmas. Terakhir, pada 2014 seluruh warga harus bergabung ke BPJS Kesehatan atau sistem JKN.

Sayangnya, kebijakan yang terakhir ini mewajibkan seluruh warga tergabung dalam JKN, bukan memiliki proteksi kesehatan Dalam meng-cover kesehatan warga, terdapat dua sistem, yaitu non contributory misalnya Thailand yang menanggung biaya kesehatan warganya melalui pajak namun ini terbatas dan sustainability-nya kurang baik. Kedua, contributory yang seperti diterapkan Filipina, dimana sistem ini lebih sustainable, dan meminta kontribusi dari seluruh warganya (membayar premi). Roadmap JKN terlihat baik, namun saya tidak yakin akan berjalan baik.

Proses JKN yang berjalan di Indonesia, masih terjadi deficit keuangan, menurut data tercatat bahwa 3,1 Trilyun (2014), 5,8 Trilyun (2015), 6,8 Trilyun (proyeksi 2016), dan 8,6 Trilyun (proyeksi 2017). Meskipun kepesertaan meningkat drastis yaitu 168 juta peserta per September 2016.

Tugas besar bersama ialah bagaimana meningkatkan kepesertaan JKN dan bagaimana mendorong peserta agar rutin membayar premi?

LPEM UI melakukan riset pada April 2014, 3 bulan pasca pelaksanaan JKN, sejumalh 400 responden di Deli Serdang, Pandeglang, Kupang diberi pemahaman terkait sistem yang baru yaitu JKN. Para responden ialah mereka dari sector informal yang kemungkinan bergabung menjadi peserta JKN. Ada dua poin yang menarik yaitu orang mau bergabung jika fasilitas kesehatan yang ada baik. Kemudian, masyarakat juga membutuhkan pengetahuan tentang asuransi kesehatan, masih ada pertanyaan jika tidak sakit apakah uang bisa kembali?. Faktanya, banyak sektor informal yang tidak menjadi peserta karena pendapatannya yang tidak rutin. Selain itu, banyak peserta yang mendaftar karena sakit (atau membutuhkan perawatan segera).

Kesimpulannya, Teguh menyarankan agar ada integrasi jamkesda ke JKN, untuk seluruh daerah, karena masih banyak daerah yang tidak bergabung karena merupakan janji politik di awal kepemimpinan. Kemudian, perlu dibangun kesadaran bersama tujuan akhir JKN ialah dapat meng-cover kesehatan seluruh warga. Maka, perlu dilakukan analisis bersama antara ahli kesmas, ekonom dan ahli keuangan agar hasilnya dapat diterima semua pihak. Perlu dipertimbangkan pula apakah Sin Tax (cukai rokok) akan digunakan dalam JKN atau tidak, faktanya idealnya cukai rokok akan semakin rendah karena program Tobbaco Control yang berhasil dilakukan (W).