- Agenda Setting: Evaluasi Kebijakan JKN
- Supply side Readiness : Apakah sumber dari masalah ketidak adilan JKN?
- Jalur Evaluasi: Apakah perlu Revisi Undang-Undang JKN dan BPJS?
- Bagaimana mengatasi Defisit BPJS: Jangka pendek dan Jangka Panjang
- Bagaimana peran pemerintah daerah dalam mengatasi miss-match program JKN?
- Kemampuan fiskal pemerintah Pusat
- Kebijakan Kompensasi di BPJS
- Problem Equity dan Independensi Evaluasi Kebijakan
Agenda Setting: Evaluasi Kebijakan JKN
1. Agenda Setting: Mengapa Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional perlu di Evaluasi ?
Pembicara : Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., PhD
Pembahas: Prof. Drs. Purwo Santoso, MA, Ph.D
Moderator : Christyana Sandra, S.KM., M.Kes
Tujuan:
- Mendiskusikan tantangan-tantangan dalam pencapaian tujuan kebijakan JKN setelah 4 tahun pelaksanaan;
- Mendiskusikan proyeksi Pencapaian Indikator JKN di tahun 2019
- Mendiskusikan agenda perbaikan kebijakan JKN
Pengantar
Kebijakan JKN perlu dievaluasi karena memang secara alamiah diperlukan. Mengapa? Pertama, tidak ada kebijakan yang disusun secara sempurna. Kedua, ada berbagai masalah dalam pelaksanaan kebijakan antara lain: pembiayaan yang kurang; perkembangan supply-side yang tidak merata; melebarnya jurang pemisah antar daerah di Indonesia; problem rasio klaim PBPU yang diatas 100% . Dalam situasi seperti ini, menjadi pertanyaan besar:
Apakah sasaran 2019 seperti yang tertulis dalam Peta Jalan menuju JKN 2012-2019 yang disusun DJSN dapat tercapai?
Sebuah penilaian subyektif untuk pencapaian telah dilakukan oleh tim Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM di akhir tahun 2017, sebagai berikut:
- Sasaran 1: BPJS Kesehatan beroperasi dengan baik. Prediksi: Sulit tercapai.
- Sasaran 2: Seluruh penduduk Indonesia mendapat jaminan kesehatan melalui BPJS Kesehatan. Prediksi: Sulit tercapai.
- Sasaran 3. Paket Manfaat medis dan non-medis sudah sama , tidak ada perbedaan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Prediksi: Tidak mungkin tercapai.
- Sasaran 4. Jumlah dan sebaran fasilitas pelayanan kesehatan (termasuk tenaga dan alat-alat) sudah memadai untuk menjamin seluruh penduduk memenuhi kebutuhan medis mereka. Prediksi: Tidak mungkin tercapai
- Sasaran 5. Semua peraturan pelaksanaan telah disesuaikan secara berkala untuk menjamin kualitas yang memadai dengan harga keekonomian yang layak. Prediksi: Sulit tercapai
- Sasaran 6. Paling sedikit 85% peserta menyatakan puas, baik dalam layanan di BPJS maupun dalam layanan di fasilitas kesehatan yang dikontrak BPJS. Prediksi: Mungkin dapat tercapai.
- Sasaran 7. Paling sedikit 80% tenaga dan fasilitas pelayanan kesehatan menyatakan puas atau mendapat pembayaran yang layak dari BPJS. Prediksi: Sulit tercapai
- Sasaran 8. BPJS dikelola secara terbuka efisien dan akuntabel. Prediksi: Sulit tercapai
Terlihat bahwa sasaran-sasaran yang tidak mungkin akan tercapai (Sasaran 3 dan Sasaran 4) terkait dengan indikator pemerataan yang sebenarnya merupakan tujuan kebijakan JKN. Oleh karena itu di tahun 2018 (tahun ke 5) sebaiknya dilakukan Evaluasi Kebijakan JKN. Risiko yang dihadapi bangsa Indonesia apabila tidak dilakukan Evaluasi Kebijakan adalah:
- BPJS kekurangan dana terus menerus. Kekurangan dana ini terjadi karena Benefit Package sangat luas dan tidak ada batas untuk benefit. Sementara penetapan tarif dilakukan secara politis, dan tarif Premi PBPU terlalu rendah yang berlaku sama untuk semua daerah di Indonesia.
- Dana pemerintah untuk masyarakat tidak mampu (Dana PBI) akan terus dipergunakan oleh PBPU (sebagian adalah masyarakat mampu). Dalam hal ini “dukungan dana pemerintah” untuk masyarakat tidak mampu terus menjadi salah sasaran.
- Potensi dana di masyarakat (dengan GDP yang semakin besar) semakin tidak dimanfaatkan oleh sektor kesehatan karena tarif PBBU rendah dan cost sharing sulit dilakukan.
- Pemburukan in-equity antar daerah terus terjadi karena tarif PBI daerah sama, faskes dan SDM jauh berbeda. Daerah terpencil tidak secepat perkembangan di daerah maju.
- Inefisiensi pengeluaran BPJS yang tidak terkendali akan menurunkan mutu pelayanan dan budaya profesionalisme tenaga kesehatan.
- Governance system Jaminan Kesehatan menjadi semakin tidak transparan dan tidak terjadi keselarasan antara unit di pemerintah dalam pelaksanaan kebijakan.
Secara lebih praktis, pertanyaan kebijakannya antara lain:
- Bagaimana menjamin Pemerataan Sistem Kesehatan? JKN mengacu ke UUD 1945 yang menyatakan di Pasal 34:
- Ayat 1: Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.
- Ayat 2: Negara mengembangkan jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
- Bagaimana meningkatkan pendanaan untuk sektor kesehatan? Apakah mungkin melakukan tambahan pendanaan dari Pemerintah Daerah yang daerahnya mengalami overshot? Apakah mungkin melakukan cost-sharing untuk pasien non-PBI? Apakan mungkin meningkatkan dana dari filantropisme? Bagaimana peluang Public-Private-Partnership untuk memperluas infrastruktur pelayanan kesehatan? Dan sebagainya.
- Bagaimana menjamin efisiensi dan mutu pelayanan kesehatan? Apakah pelayanan medik yang dilakukan sudah tepat dan terbebas dari fraud?
- Apakah pencapaian UHC harus melalui BPJS semua? Apakah tidak lebih baik masyarakat menengah atas (yang mampu) dipisahkan dari BPJS agar tidak menggunakan dana yang diperuntukkam bagi yang tidak mampu (PBI)?
Kebijakan/Regulasi apa yang perlu di ubah? Apa perlu Agenda Setting baru?
Dalam hal evaluasi kebijakan, diperlukan diperlukan analisis mendalam. Apakah perlu perubahan di level UU (UU SJSN dan UU BPJS), atau/dan di Peraturan Pemerintah, atau/dan di Peraturan Presiden, atau/dan di Peraturan Menteri, atau/dan di Peraturan BPJS. Perubahan ini tentu menyangkut perubahan jangka pendek untuk di tahun 2018-2019, atau di jangka menengah (tahun 2020 dan seterusnya) setelah pemilihan Presiden dan DPR.
Dalam konteks proses kebijakan, pertemuan Forum Nasional ini akan membahas Agenda Setting yang baru untuk bangsa Indonesia dalam hal Jaminan Kesehatan Nasional. Proses ini mungkin dapat terus berputar sesuai dengan teori proses kebijakan (Lihat Diagram di bawah ini).
Siapa Evaluator Kebijakan JKN?
Revisi UU merupakan proses yang masuk ke Ranah Politik. Berbagai interest pasti terjadi. Oleh karena itu diperlukan adanya sifat independensi di pihak evaluator. Pertanyaan yang juga akan dibahas dalam Fornas JKKI ini adalah:
- Siapakah evaluator kebijakan JKN? Apakah pihak DJSN, Kemenkes, Donor Asing seperti GIZ, USAID. Apakah mereka cukup independen?
- Ataukah perguruan tinggi, ataukah pihak-pihak yang dianggap lebih independen
Pertanyaan-pertanyaan ini akan dibahas pada Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia yang akan diselenggarakan pada hari Rabu dan Kamis, 25 dan 26 Oktober 2017 di Yogyakarta dan dipancarkan langsung (relay) ke 10 kota di Indonesia.
Supply side Readiness : Apakah sumber dari masalah ketidak adilan JKN?
2. Supply side Readiness : Apakah sumber dari masalah ketidak adilan JKN?
Pembahas : Ketua PERSI, Dirjen Yankes Kemenkes, Ka Badan PPSDM, Co-Host
Moderator : Dr. dr. Andreasta Meliala, DPH, M.Kes, MAS
Tujuan :
- Mendiskusikan berbagai fakta ketersediaan supply side di Indonesia: RS dan SDM
- Mendiskusikan ketersediaan SDM dan Fasilitas Kesehatan tahun 2019 mengacu pada Road Map
- Mendiskusikan apakah kebijakan SDM kesehatan (dokter spesialis) dan pengembangan RS diproyeksikan bisa mendukung tercapainya UHC?
Perkembangan Rumah Sakit dan Dokter Spesialis:
Apakah sudah berada di jalur pemerataan yang benar menuju UHC 2019?
Andreasta Meliala, Elisabeth Listyani, Haryo Bismantara
1. Latar belakang
a. UHC sebagai komitmen pemerintah
Sejak WHO mempublikasikan World Health Report 2010 (Health System Financing: path to Universal Health Coverage), Indonesia turut berpartisipasi dalam upaya menerapkan Jaminan Kesehatan Nasional dengan target mencapai Universal Health Coverage pada tahun 2019. Komitmen ini dilandasi oleh kesadaran untuk mewujudkan pasal 25 ayat 1 Declaration of Human Right (1948) dan merealisasikan Resolusi WHA ke 58 (2005), dimana setiap negara perlu mengembangkan UHC melalui mekanisme asuransi kesehatan sosial untuk menjamin pembiayaan kesehatan ygberkelanjutan
b. JKN dan Penerapannya di Indonesia
Jaminan Kesehatan Nasional adalah bentuk nyata penerapan Universal Health Coverage (UHC) di Indonesia. Pemerintah telah mencanangkan untuk mencapai target UHC pada tahun 2019, dimana seluruh rakyat Indonesia diharapkan telah memiliki jaminan pembiayaan kesehatan. Rencana strategis menuju Universal Health Coverage 2019 telah ditetapkan dalam Peraturan Presiden no 74/2014.
Salah satu aspek yang ditekankan dalam peta jalan tersebut adalah aspek pelayanan kesehatan. Aspek ini menjadi kunci dalam penerapan UHC oleh karena tanpa pelayanan kesehatan maka jaminan pembiayaan menjadi tidak berarti. Masyarakat yang telah mendapatkan jaminan berhak untuk mengakses pelayanan kesehatan manakala menderita sakit dan mendapatkan pelayanan promotif dan preventif ketika sehat.
Cakupan pelayanan kesehatan dalam UHC sangat komprehensif. Cakupan pelayanan yang dimaksudkan dalam UHC dikaitkan dengan Millenium Development Goals (MDG) dan Sustainable Development Goals (SDG), yang meliputi continuum of care (dari kuratif sampai dengan promotif dan rehabilitative) dengan focus pada kesehatan ibu dan anak, HIV/AIDS, malaria, dan berbagai penyakit lainnya.
Melihat luasnya cakupan ini dan mengingat konteks geografis Indonesia yang sangat luas, maka diperlukan upaya untuk menilai sejauh mana pencapaian Indonesia menuju UHC 2019 berdasarkan peta jalan tersebut, terutama pada aspek pelayanan kesehatan.
c. Isu SDM dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Dalam aspek pelayanan kesehatan, fasilitas pelayanan kesehatan dan Sumber Daya Manusia Kesehatan (SDMK) adalah 2 obyek yang menjadi pokok bahasan utama. Suatu Negara dikatakan telah mencapai Universal Health Coverage tidak saja berdasarkan aspek kepesertaan saja, tetapi juga dilihat dari aspek ketersediaan pelayanan kesehatan (fasilitas pelayanan kesehatan/fasyankes dan SDMK)
Gambar 1. Framework untuk menilai ketersediaan SDMK dalam upaya mencapai UHC
Tersedianya fasilitas pelayanan kesehatan pada berbagai tingkatan dan SDM Kesehatan yang melayani para peserta, merupakan ciri penting pencapaian UHC. Peta jalan telah mencantumkan bahwa pada tahun 2019, terdapat situasi sebagai berikut:
“Jumlah dan sebaran fasilitas pelayanan kesehatan (termasuk tenaga dan alat-alat) sudah memadai untuk menjamin seluruh penduduk memenuhi kebutuhan medis mereka”.
Mengacu pada statement tersebut, maka dapat diartikan bahwa pada tahun 2019:
- Jumlah fasilitas pelayanan kesehatan mencukupi
- Jumlah SDM Kesehatan yang berada dalam fasilitas tersebut memadai
- Fasilitas pelayanan kesehatan dan SDMK terdistribusi merata
Fasilitas kesehatan yang penting untuk disediakan adalah Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP). FKTP yang dimaksud dalam peta jalan UHC di Indonesia adalah fasilitas milik pemerintah (Puskesmas) dan fasilitas milik swasta. Fungsi pelayanan di FKTP tidak hanya pada aspek kuratif, melainkan juga pada aspek promotif dan rehabilitatif. Kesiapan Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama/Primer merupakan faktor penting yang perlu diidentifikasi dalam penerapan UHC. Indonesia masih menghadapi banyak tantangan dalam menyiapkan FKTP untuk mencapai UHC 2019. Selain kesiapan SDM, ketersediaan peralatan dasar
juga masih menjadi isu. Di Jepang, dampak dari keberadaan serta kesiapan FKTP adalah peningkatan status kesehatan masyarakat dan pasien yang dirawat pertama kali di FKTP akan mendapatkan pelayanan yang lebih baik di pelayanan tingkat selanjutnya. FKTP juga diasosiasikan dengan promosi kesehatan (better health), artinya sebelum jatuh sakit, masyarakat akan menggunakan layanan FKTP untuk menjaga kesehatannya. Rasio ideal jumlah FKTP dengan jumlah penduduk adalah 1 FKTP melayani 5000 penduduk.
Rumah sakit juga menjalankan peran yang penting dalam UHC, terutama dalam pelayanan kuratif. Ketersediaan rumah sakit dengan peralatan yang memadai serta SDM Kesehatan yang professional menjadi keniscayaan dalam penerapan UHC. Untuk mengukur kecukupan jumlah rumah sakit, maka dihitung rasio antara jumlah bed yang tersedia dengan populasi yang menjadi target UHC. Rasio ideal jumlah bed dengan jumlah penduduk adalah 2,5 bed untuk melayani 1000 penduduk.
Jumlah dokter dan dokter spesialis merupakan isu kunci dalam Universal Health Coverage. Jika tidak tersedia dokter dan dokter spesialis dengan jumlah yang cukup, maka akan terjadi antrian pasien di fasilitas pelayanan kesehatan. Selain itu, paket pelayanan menjadi tidak lengkap oleh karena dokter yang melayani tidak tersedia. Rasio dokter umum yang disarankan adalah 1 dokter umum untuk 5000 penduduk. Rasio dokter spesialis yang ideal adalah 12,5 dokter spesialis untuk 100.000 penduduk.
Integrasi pelayanan FKTP dengan rumah sakit adalah dalam sistem rujukan. FKTP menjadi gate keeper dan rumah sakit menjadi tempat layanan lanjutan. Gate keeping system adalah fungsi utama FKTP untuk mengendalikan kualitas pelayanan dan biaya pelayanan kesehatan. Kontak pertama pasien dengan sistem pelayanan kesehatan dilakukan di FKTP, dengan demikian seluruh perjalanan pelayanan pasien ditentukan oleh pelayanan di FKTP. Oleh sebab itu, konsep kendali mutu dan kendali biaya dalam UHC dimulai di FKTP. Ketersediaan FKTP juga menjadi indikator utama equity dalam penerapan UHC. Semakin banyak FKTP yang tersedia, hingga rasionya seimbang dengan jumlah penduduk, maka semakin kecil terjadinya inequity dalam pelayanan kesehatan. Sistem rujukan yang lengkap terdiri dari konfigurasi berbagai tingkat pelayanan kesehatan yang dapat diakses oleh masyakarat sesuai dengan kondisi penyakit yang diderita. Sistem rujukan di Indonesia melibatkan rumah sakit kelas A sebagai rujukan paling atas diikuti rumah sakit kelas B, C, dan D. Sistem rujukan di suatu wilayah dikatakan lengkap jika
seluruh kelas pelayanan ditambah fasilitas pelayanan kesehatan primer tersedia untuk melayani masyarakat.
d. Rumah Sakit dan Dokter Spesialis
Dalam konteks geografis Indonesia, keberadaan rumah sakit dan dokter spesialis menjadi salah satu kendala dalam mencapai UHC 2019. Ketersediaan rumah sakit di daerah remote, terutama rumah sakit tipe A dan B, masih sangat terbatas. Sedikitnya rumah sakit tipe A dan B di daerah remote diiringi dengan sedikitnya jumlah dokter spesialis yang tersedia. Sementara itu, pada sisi lain, beban penyakit masyarakat hampir tidak jauh berbeda antara daerah remote dengan daerah biasa. Pada sisi yang lain lagi, kewajiban untuk membayar premi tidak ada perbedaan antara masyarakat di daerah remote dengan daerah biasa. Fenomena ini menyebabkan akses pelayanan kesehatan bagi masyarakat menjadi berkurang, terutama bagi penderita penyakit yang perlu dirawat di rumah sakit tipe A dan B, dan menjadi sumber ketidakadilan dalam pelaksanaan JKN di Indonesia.
Background paper ini berupaya mengangkat isu ketersediaan pelayanan rumah sakit dan dokter spesialis di Indonesia dalam kaitannya dengan upaya mencapai UHC pada tahun 2019. Dalam roadmap JKN, diharapkan pada tahun 2019, selain seluruh penduduk Indonesia telah memiliki jaminan pembiayaan kesehatan, juga tersedia pelayanan kesehatan (pada semua tingkatan) yang bisa diakses oleh masyarakat.
Menurut Kementerian Kesehatan, Indonesia dapat dibagi menjadi 5 wilayah regional. Data yang disajikan dalam tulisan ini mengacu pada ketersediaan rumah sakit dan dokter spesialis di 5 wilayah regional tersebut. Berikut adalah daftar provinsi yang termasuk dalam 5 regional:
- Regional 1: DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Jogjakarta, Jawa Timur, Banten
- Regional 2: Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, Lampung, Bali, NusaTenggara Barat
- Regional 3: NAD, Sumatera Utara, Jambi, Bengkulu, Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Sulawesi Barat
- Regional 4: Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Kalimantan Tengah
- Regional 5: Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat, Papua
Data diambil dari: http://sirs.yankes.kemkes.go.id/rsonline/report/ yang diolah dan data dari BPPSDM 2016-2017. Website yang menjadi sumber data adalah website yang terverifikasi.
e. Kerangka konsep
Gambar 2. Kerangka Konsep: Apakah pada tengah tahun pelaksanaan JKN untuk mencapai UHC 2019, jumlah fasyankes dan SDMK telah berada di titik yang tepat?
2. Temuan
a. Perkembangan Rumah Sakit di Setiap Regional 2013-2016
Pertumbuhan rumah sakit dan pertambahan dokter spesialis terjadi dengan cepat di regional 1 dan regional 3. Sementara regional 5 cenderung stagnan sejak 4 tahun terakhir.
b. Pertumbuhan rumah sakit per kelas di masing-masing regional dari tahun 2013-2016
Pertumbuhan rumah sakit di regional 1 cenderung merata untuk semua kelas selama tahun 2012-2014. Sedangkan regional 3 terjadi pertumbuhan untuk rumah sakit kelas C dan non kelas. Wilayah regional 2 banyak menambah rumah sakit kelas C. Rumah sakit kelas C, D, dan Non kelas banyak terdapat di wilayah regional 5.
c. Jumlah Tempat Tidur Rumah Sakit per 1000 penduduk di setiap regional
Jika mengacu pada pembagian daerah regional, maka ditemukan seluruh wilayah regional belum memiliki jumlah tempat tidur sesuai dengan rekomendasi WHO (2,5 bed untuk 1000 penduduk). Berikut adalah data rasio bed rumah sakit untuk 1000 penduduk di 5 wilayah regional.
d. Jumlah Dokter Spesialis
Standar WHO menyebutkan, bahwa jumlah dokter spesialis untuk 100 ribu penduduk setidaknya sejumlah 12,5 dokter spesialis (12,5 dokter spesialis untuk 100.000 penduduk). Data menunjukkan bahwa jumlah dokter spesialis di wilayah regional 1, 2, dan 3 telah melebihi standar. Sedangkan regional 4 menunjukkan pertambahan dokter spesialis yang signifikan. Namun demikian, pertumbuhan dokter spesialis di regional 5 cenderung stagnan dan rasionya masih di bawah standar WHO.
3. Ulasan
Gambaran temuan dalam tulisan ini menunjukkan bahwa telah terlihat upaya untuk menambah jumlah fasilitas pelayanan kesehatan agar dapat melayani seluruh masyarakat Indonesia. Upaya tersebut tampak dari pertumbuhan rumah sakit dan dokter spesialis di berbagai wilayah di Indonesia.
Tetapi jika dilihat secara lebih mikro, maka ditemukan bahwa pertumbuhan rumah sakit kelas A dan B cenderung terjadi di regional tertentu. Data juga menunjukkan bahwa perkembangan rumah sakit vertikal terjadi di regional 1 dan tidak ditemukan rumah sakit vertikal kelas A di regional 5.
Pertumbuhan rumah sakit di regional 4 dan 5 digerakkan oleh upaya pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Namun demikian, kelas rumah sakit yang dibangun bukanlah kelas rumah sakit top referral, melainkan yang terbanyak adalah kelas C dan D.
Dari sisi rasio tempat tidur dengan jumlah penduduk, tampaknya semua regional belum dapat memenuhinya. Bahkan di regional 1 yang sangat cepat pertumbuhan rumah sakitnya, jika diratarata, maka rasio bed yang ada masih belum memenuhi standar WHO. Rasio bed di tahun 2016 cenderung menurun, situasi ini kemungkinan terjadi karena ada pemutakhiran jumlah penduduk di setiap provinsi. Jika diasumsikan pada tahun 2019 seluruh penduduk Indonesia telah mendapatkan jaminan pembiayaan, maka dipastikan dengan trend pertumbuhan yang negatif akan semakin melebarkan kesenjangan jumlah bed yang tersedia dengan jumlah penduduk.
Jumlah dokter spesialis juga cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan regional 1, 2, dan 3 telah memenuhi standar WHO sejak 2014. Namun kejadian yang sama tidak ditemukan di wilayah regional 4 dan 5. Jumlah dokter spesialis di wilayah regional 4 cenderung cepat meningkat dan telah memenuhi standar WHO pada tahun 2015. Sedangkan wilayah regional 5 tampak tidak terjadi penambahan dokter spesialis yang memadai. Sampai tahun 2016, rasio dokter spesialis dengan jumlah penduduk masih di bawah standar ideal. Akses masyarakat untuk pelayanan spesialis tampak mudah untuk regional 1, 2, 3, dan 4, tetapi tidak untuk wilayah regional 5. Ditambah lagi dengan situasi geografis yang kompleks, terdiri dari pegunungan, kepulauan, dan hutan belantara, tentu semakin menyulitkan masyarakat untuk mengakses pelayanan spesialistik.
Kebijakan pemerintah untuk mengembangkan sistem rujukan adalah upaya untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kuratif, terutama pada tingkat sekunder dan tersier. Upaya untuk membuat sistem rujukan regional bertujuan untuk membangun sistem rujukan yang mewadahi berbagai tipe rumah sakit untuk melayani berbagai severity penyakit yang diderita masyarakat. Oleh karena itu, semua kelas rumah sakit seharusnya ada dalam sistem rujukan tersebut. Namun dengan melihat kenyataan yang ada, maka sistem rujukan di wilayah regional 5 tampaknya tidak akan dilengkapi dengan rumah sakit kelas A dan hanya sedikit rumah sakit kelas B yang tersedia. Implikasinya adalah terjadi terhambatnya akses masyarakat untuk pelayanan spesialistik kelas A dan B.
Kebijakan pemerintah untuk mengadakan program Wajib Kerja Dokter Spesialis, yang dimulai pada tahun 2017, juga merupakan upaya untuk memeratakan pelayanan spesialistik di Indonesia. Dokter spesialis yang baru lulus pada Januari 2017 akan menjalani program wajib kerja selama setahun di daerah tertentu, dengan biaya (gaji dan penempatan) dari pemerintah pusat. Namun demikian, perlu dievaluasi apakah penempatan dokter spesialis baru ini telah diprioritaskan untuk daerah dengan rasio dokter spesialis per penduduk yang masih di bawah standar. Jika melihat fakta, bahwa di regional 5, jumlah dokter spesialis masih kurang, maka seharusnya penempatan dokter spesialis di wilayah ini menjadi prioritas. Tetapi juga perlu diingat, bahwa penempatan dokter spesialis di satu wilayah, juga harus melihat pada ketersediaan rumah sakit di wilayah tersebut. Apakah rumah sakit yang ada memiliki fasilitas yang memadai, yang dapat mendukung pekerjaan professional dokter spesialis. Jika melihat pertumbuhan rumah sakit di wilayah regional 4 dan 5 kebanyakan adalah rumah sakit kelas C, maka dapat dipastikan fasilitas pendukung kinerja profesional dokter spesialis juga masih pada tingkat spesialistik dasar.
4. Pertanyaan untuk para pembahas
- Percepatan pertumbuhan fasilitas pelayanan dan pemerataan dokter spesialis
- Apakah sudah dilakukan evaluasi kebijakan yang berkaitan dengan pemerataan fasilitas pelayanan kesehatan untuk mendukung tercapainya UHC 2019?
- Bagaimana upaya untuk membangun konfigurasi lengkap sistem rujukan di wilayah yang kekurangan rumah sakit kelas A dan B?
- Apakah ada terobosan untuk mempercepat pertumbuhan rumah sakit dan dokter spesialis, terutama di regional 4 dan 5?
- Bagaimana dengan kekurangan bed yang terjadi di semua wilayah regional?
- Implikasi terhadap pelayanan kepada masyarakat
- Jika diasumsikan burden of disease di masing-masing wilayah regional adalah sama, sedangkan jumlah dan jenis fasilitas di masing-masing wilayah regional berbeda, maka dapat diprediksi akses masyarakat akan berbeda menurut wilayah regional masing-masing. Apakah fenomena ini tidak dianggap sebagai sumber ketidakadilan?
- Adakah international experience untuk mengatasi isu ini?
- Apakah akan ada program kesehatan esensial yang terganggu dengan situasi yang terjadi saat ini?
Jalur Evaluasi: Apakah perlu Revisi Undang-Undang JKN dan BPJS?
3. Jalur Evaluasi: Apakah perlu Revisi Undang-Undang JKN dan BPJS?
Pembahas : Ketua Dewan JSN, Dirut BPJS, Biro Hukum Kemenkes, Co-Host
Moderator : Rimawati, SH, M.Hum
Tujuan:
- Mendiskusikan berbagai regulasi-regulasi yang ada saat ini dalam Kebijakan JKN
- Mendiskusikan kemungkinan secara teknis perubahan kebijakan: mulai dari Permenkes sampau UU.
- Membahas jalan dan mekanisme untuk perubahan kebijakan di level UU.
Fakta
Sejak Indonesia mereformasi sistem pembiayaan kesehatannya dengan mengimplementasikan program jaminan kesehatan nasional masih banyak masalah yang dihadapi dalam mencapai Universal Health Coverage (UHC), antara lain masalah pada sumber pendanaan (revenue collection), pooling, kontrol mutu pelayanan kesehatan (kredensialing), kepuasan peserta, akses pelayanan kesehatan yang masih belum merata dan kontrol biaya kesehatan yang belum maksimal mendorong efisiensi, serta diindikasikan adanya praktik fraud. Permasalahan yang muncul disebabkan karena multi interpretasi pada UU SJSN sampai kepada aturan pelaksananya. Berbagai masalah yang muncul dalam penyelenggaraan JKN inilah yang menyebabkan beberapa pihak menginginkan payung hukum JKN direvisi. Sebagaimana dirilis Kompas edisi Kamis, 22 Desember 2016, DJSN mengusulkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial untuk direvisi. Hal itu karena aturan ini memicu persepsi beragam sehingga menghambat warga mengakses layanan kesehatan (Kompas, 2016). Dalam penyelenggaraan JKN dalam payung hukum pelaksanaan UU SJSN dan UU BPJS ditemukan adanya tumpang tindih. Tumpang tindih yang dimaksud pada regulasi meliputi adanya multi interpretasi, duplikasi dan kekosongan hukum.
Analisis
Kebijakan dibuat dan dilaksanakan melalui tahap agenda setting, formulasi dan adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan evaluasi kebijakan yang pada kenyataannya tidak linear bahkan 'muddling through'. Ada kemungkinan terjadi situasi seperti ini:
- Kebijakan benar, pelaksanaan baik.
- Kebijakan keliru, pelaksanaan baik
- Kebijakan benar, pelaksanaan tidak baik
- Kebijakan keliru, pelaksanaan tidak baik
Kebijakan | |||
Pelaksanaan |
Benar | Keliru | |
Baik |
A |
B |
|
Tidak Baik |
C |
D |
Diharapkan perbaikan di masa depan untuk menuju ke Kotak A.
Idealnya, dalam implementasi JKN setidaknya harus ada tiga kondisi yang perlu disiapkan, baik sebelum atau pada saat program JKN diterapkan. Pertama, program JKN mutlak didukung oleh ketersediaan infrastruktur layanan kesehatan yang memadai, seperti rumah sakit, klinik, dokter, paramedis, dan lain-lain. Infrastruktur layanan kesehatan ini harus dipastikan tersedia dalam jumlah memadai dan proporsional dengan jumlah peserta yang akan dilayani. Kedua, dalam program JKN, negara memikul tanggung jawab untuk memberi subsidi dan proteksi kepada masyarakat yang miskin dan tidak mampu. Untuk itu dibutuhkan ketersediaan anggaran yang cukup dan berkelanjutan. Ketiga, program JKN membutuhkan administrasi kependudukan yang rapi, tunggal, dan terintegrasi agar layanannya menjadi lebih tepat sasaran (Yusuf, 2016).
Untuk memastikan bahwa ketiga kunci sukses tersebut bisa segera dieksekusi, aspek lain yang sebaiknya dilakukan agar peran dan komitmen pemerintah menjadi lebih solid dan kuat terhadap keberlanjutan program jaminan sosial adalah dengan mengadopsi dua prinsip penting jaminan sosial lainnya, seperti yang pernah direkomendasikan Organisasi Buruh Internasional (ILO, Extending Social Security to All 2010). Sembilan prinsip SJSN sebagaimana termaktub dalam UU No 40/2004 harus direvisi dan ditambahkan, karena belum merepresentasikan komitmen dan kemauan politik (political will) yang kuat dari pemerintah atas sustainabilitas program jaminan sosial di Indonesia. Kedua prinsip tersebut adalah universalitas (universality) dan progresivitas (progresisiveness). Kedua prinsip ini perlu segera diadopsi dengan merevisi UU 40/2004 tentang SJSN, karena kedua prinsip tersebut akan menjadi basis konstitusional untuk mengawal implementasi JKN dalam jangka panjang (Yusuf, 2016).
Ditinjau dari aspek hukum kesehatan, proses kebijakan dari monev JKN dapat berada di 2 level. Jalur level 1 adalah perubahan UU melalui proses Yudisial Review atau Legislatif Review dengan memasukkan pada Prolegnas. Jalur level 1 hanya bisa dilakukan jika terbukti klausul yang ada pada UU SJSN bertentangan dengan amanat pada UUD 1945 (konstitusi Negara Republik Indonesia). Level 2 adalah monev yang berdampak pada perubahan jangka pendek pada PP, Perpres, dan berbagai peraturan lain sebagai turunan UU SJSN (Rimawati, 2017). Menurut Sabatier & Jenkins Smith (1993) dan Buse (2004) bahwa kebijakan dibuat dan dilaksanakan melalui tahap agenda setting, formulasi dan adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan evaluasi kebijakan. Proses ini terlihat linear, tetapi dalam kenyataannya tidak linear bahkan 'muddling through' (Lindblom, 1959). Lembaga peradilan yang melakukan judicial review hanya bertindak sebagai negative legislator. Artinya, lembaga peradilan hanya bisa menyatakan isi norma atau keseluruhan norma dalam peraturan perundang-undangan itu tidak memiliki kekuatan hukum mengikat bila bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi. Mereka tidak boleh menambah norma baru ke dalam peraturan perundangan yang di-judicial review.
Implikasi kebijakan
Berdasarkan gambaran tersebut, timbul pertanyaan, produk hukum apa saja yang perlu direvisi dalam kebijakan JKN? Apakah perlu dilakukan revisi UU SJSN dan BPJS? Sejauh mana peran pemerintah, asosiasi fasilitas kesehatan dan perhimpunan profesi akan dilibatkan?
- Apakah Pelaksanaan Kebijakan JKN sudah menyimpang dari tujuan UU SJSN dan UUD 1945, khususnya dalam pemerataan pelayanan kesehatan?
- Apakah sebaiknya revisi UU? Atau perlu review eksekutif berupa berbagai perbaikan di PP, Perpres, dan Permen?
- Saat inu ada perbaikan di level Perpres...apa yang sekarang ini dijalankan?
- Bagaimana proses Revisi UU kalau dibutuhkan?
Bagaimana mengatasi Defisit BPJS: Jangka pendek dan Jangka Panjang
4. Bagaimana mengatasi Defisit BPJS: Jangka pendek dan Jangka Panjang
Pembahas : P2JK, BPJS Kesehatan, PAMJAKI, Kemenkeu, co-host (USU)
Moderator : Budi Eko Siswoyo, SKM, MPH
Tujuan :
- Mendiskusikan situasi terkini defisit BPJS Kesehatan
- Mendiskusikan opsi-opsi kebijakan untuk mengatasi defisit BPJSK dalam jangka pendek dan jangka panjang
- Mendiskusikan proses perubahan kebijakan dan keterlibatan stakeholder.
Fakta: Pemanfaatan layanan dan rasio klaim
Dibandingkan dengan UHC di negara lain, cakupan peserta JKN mencapai 180,29 juta jiwa selama 3,5 tahun atau lebih dari 70% penduduk di Indonesia. Akses peserta JKN juga meningkat seiring penambahan fasilitas kesehatan. Jika ditelusuri lebih dalam, ternyata walaupun PBI mendominasi kepesertaan namun tingkat pemanfaatan PBI ternyata paling rendah dibandingkan PPU dan PBPU. Tingginya pemanfaatan layanan oleh peserta mandiri (PBPU) juga tercermin dari tingginya rasio klaim sejak akhir tahun 2014.
Rasio Klaim Per Segmen Peserta Tahun 2015
Sumber: Data Menteri Kesehatan pada Konas IAKMI, 2016
Di akhir tahun 2014, rasio klaim PBPU terhadap total premi peserta mandiri mencapai lebih dari 1.000 % sedangkan rata-rata kurang dari 100% untuk PPU dan PBI. Berkat serangkaian pendekatan, rasio klaim PBPU berubah di kisaran 200% walaupun di lain sisi rasio klaim PBI tetap kurang dari 100%.
Dampak dari adverse selection dan resiko moral hazard semakin besar di saat tingginya biaya katastrofik yang mencapai kisaran 24 - 37% dari total biaya layanan kesehatan rujukan. Hal ini turut berkontribusi terjadinya defisit (mismatch) BPJS Kesehatan. Mismatch tahun 2014 mencapai Rp 3,3 T dan menjadi Rp 5,85 T (tahun 2015). Ada penyertaan modal negara sekitar Rp 5T (2015) dan Rp 6,8 T (2016) tapi belum dapat mengatasi mismatch sekitar Rp 3,1 T (unaudited, 2016). Kondisi ini bahkan telah diprediksi mencapai Rp 6,23 T (2017); Rp 10,05 T (2018); dan Rp 12,7 T (2019).
Tantangan di revenue collection yang juga terjadi yaitu masih 50% dari target 80% - 95% yang aktif melakukan kewajiban membayar iuran. Sebagai contoh studi kasus, di Medan pernah tercatat 90% PBPU yang sakit (pre-existing condition), sedangkan PBPU yang menunggak di Pekanbaru pernah mencapai 50-an%.
Diskusi dan Analisis
Kelompok mandiri (PBPU) lebih punya akses informasi dan cenderung mendaftar saat membutuhkan. Kelompok ini juga lebih banyak mengakses layanan berbiaya tinggi (Ardyanto, 2016) Keberlangsungan program JKN bukan hanya tergantung pada efisiensi biaya, tetapi juga kesadaran dan komitmen pesertanya dalam membayar iuran. Sebagian dari kelompok PBPU sudah tidak membayar lagi (iuran menunggak). Dalam hal ini ada suatu pertanyaan kritis: bagaimana peserta berkomitmen jika tidak ada jaminan ketersediaan fasilitas kesehatan yang memadai. Seperti diketahui tarif PBPU di semua daerah di Indonesia sama besarnya dengan kuantitas dan kapasits fasilitas kesehatan yang justru belum sama.
Mismatch JKN terjadi karena jumlah dana yang diterima (revenue) lebih kecil dibandingkan total dana yang telah dikeluarkan (expenditure). Diperkirakan kondisi ini akan terus berlanjut jika tidak didukung dengan kebijakan dan upaya yang memadai. Salah satu penyebab fundamental adalah besaran iuran yang dinilai belum sesuai dengan perhitungan aktuaria hasil rekomendasi Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN).
Di samping penyesuaian kembali iuran JKN agar sesuai dengan perhitungan aktuaria, perlu juga dilakukan langkah- langkah lain yang tidak terlalu membebani APBN. Hal ini sesuai Peraturan Pemerintah bahwa langkah-langkah yang diambil untuk menjaga keberlangsungan program dapat dilakukan dengan cara, diantaranya :
- Mengurangi manfaat,
- Menyesuaikan iuran,
- Mengalokasikan dana tambahan dari APBN (BPJS Kesehatan, 2016).
Untuk itu perlu mengantisipasi kebutuhan minimal dua tahun ke depan. Selain itu, untuk menjamin sustainabilitas program JKN adalah dengan merasionalisasi tarif layanan. Untuk mengakomodir usulan merasionalisasi tarif dengan tetap menjaga kesinambungan pendanaan JKN harus disertai dengan pembenahan besaran iuran peserta, baru setelah itu bisa didiskusikan lagi dengan fasilitas kesehatan mengenai besaran tarif. Hal lain yang harus dilakukan adalah Cost-containment dan efisiensi Program JKN, termasuk pencegahan fraud. Upaya ini harus menjadi agenda utama BPJS Kesehatan. Harus diawasi benar atau tidaknya rumah sakit melakukan klaim sesuai dengan diagnosa penyakit dan harus dipastikan sistem rujukan berjenjang berjalan dengan baik.
Hal ini semakin menarik karena salah satu diskusi masyarakat praktisi menunjukkan bahwa masih ada alternatif solusi lain untuk membiayai JKN dan meminimalisir/ mengatasi mismatch BPJS Kesehatan dengan menaikkan pajak penghasilan secara progresif. Kebijakan ini berlaku bagi orang yang mampu secara finansial karena sejauh ini yang paling diuntungkan dalam pelayanan JKN yaitu kalangan menengah ke atas yang cenderung lebih banyak mengakses fasilitas kesehatan.
Implikasi Kebijakan
Ada pertanyaan yang kemudian muncul, apakah kebijakan penyesuaian iuran untuk keberlangsungan program JKN sudah tepat? Apakah opsi dengan mengalokasikan dana tambahan APBN juga sudah tepat? Jika menaikkan PBI tanpa menaikkan besaran iuran PBPU, ada kemungkinan dana PBI justru akan lebih banyak terpakai lagi oleh peserta non PBI (terutama PBPU) karena sifat single pool yang tidak ada mekanisme kompartemenisasi.
Demi meningkatkan kemampuan untuk mewujudkan mix and match antara total iuran terhadap biaya yang dikeluarkan serta kriteria pemerataan, maka penting untuk mendiskusikan ini bersama-sama. Strategi-strategi dalam menjaga keberlangsungan JKN dapat berupa strategi jangka pendek dan strategi jangka panjang.
Kebijakan apakah yang akan diambil dalam waktu dekat?
- Menaikkan Premi:
- Menaikkan Premi PBI
- Menaikkan batas atas PPU
- Menaikkan Premi PBPU
- Mengurangi atau membatasi Benefit Package tertentu
- Meningkatkan efisiensi pelaksanaan BPJS, termasuk pencegahan fraud.
- Mengembangkan kebijakan baru: Kelas Standar bagi peserta JKN dan tidak mengikutsertakan masyarakat yang kaya dalam program JKN
- Pemberlakuan batas atas (Caps) di rumah sakit, caps dari klaim PBPU, Pemerintah Daerah diberi Caps
- Rasionalisasi besaran pembayaran atau tarif fasilitas kesehatan
Lantas bagaimana strategi untuk jangka panjangnya? Apakah ada yang di antara strategis di atas, atau ada tambahan yang lainnya?
Bagaimana peran pemerintah daerah dalam mengatasi miss-match program JKN?
5. Bagaimana peran pemerintah daerah dalam mengatasi miss-match program JKN?
Pembahas :
- Kementerian Keuangan RI
- Kementerian Dalam Negeri RI
-
Kementerian Kesehatan RI
- Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan RI
-
Akademisi dan Pemerhati Kesehatan Masyarakat Indonesia
Moderator : Deni Harbianto, SE, M.Ec (c)
Ringkasan Eksekutif
Tiga tahun perjalanan implementasi JKN, masih menyisakan satu pekerjaan rumah yang sangat penting yaitu masalah keberlangsungan dan keberlanjutan. Sustainabilitas JKN menjadi isu strategis yang memerlukan perhatian khusus. Apabila dibiarkan, kondisi miss-match akan mengganggu keberlangsungan program JKN. Salah satu alternatif yang potensial dilakukan adalah melibatkan peran serta pemerintah daerah. Defisit (miss-match) BPJS Kesehatan diprediksi mencapai 6,2 Triliun rupiah pada tahun 2017 ini, dan kemungkinan akan tetap membesar pada tahun-tahun selanjutnya. Data menunjukkan bahwa di beberapa Pemda terjadi overshoot (kelebihan beban keuangan). Ketidaktegasan dalam pembagian kewenangan pemerintah (Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota) serta peran BPJS Kesehatan dalam lingkaran kebijakan pembiayaan kesehatan nasional, menjadi penyebab utama ketidakseimbangan keuangan ini. Sistem kesehatan nasional di Indonesia justru terarah kepada paradigma sakit dan bukan paradigma sehat. Promotif dan preventif dalam konteks kesehatan masayarakat semakin terpinggirkan.Kemampuan daerah secara keuangan juga belum dikelola scara optimal untuk mendukung pelaksanaan JKN, terutama melalui peran pendanaan daerah untuk bidang kesehatan. Agenda setting kebijakan kedepan adalah adanya suatu sistem yang didukung oleh perundangan yang mengatur kewenangan dan peran pemerintah daerah untuk mengatasi miss-match pendanaan JKN ini sesuai dengan kemampuan dan kapasitas fiskal daerah, serta dengan tidak meninggalkan asas menjaga masyarakat untuk tetap sehat, bukan mengobati yang sakit.
Pendahuluan
Semangat gotong royong antara pemerintah pusat dan daerah dalam hal pembagian peran dan tanggung jawab merupakan isu yang perlu diperhatikan saat ini. Banyak faktor yang patut dipertimbangkan dalam menemukan formulasi yang tepat mengenai pembagian tugas antara Pemda dengan pusat. Sistem desentralisasi sekarang diharapkan turut mengawal dan mendukung penyelenggaraan JKN di daerah.
Tiga tahun pelaksanaan JKN masih menimbulkan banyak pekerjaan rumah bagi pengambil kebijakan, khususnya pembiayaan kesehatan nasional. Peran dari pemangku kepentingan masih belum terlihat dalam rangka penyeimbangan keuangan pemerintah. Beban pembiayaan untuk kuratif kesehatan masih sangat tinggi, berbanding terbalik dengan pembiayaan promotif dan preventif kesehatan. Ketidakseimbangan ini akan berimbas langsung kepada beban keuangan pemerintah. Lembaran kebijakan ini bertujuan untuk memaparkan fenomena penting yang terjadi saat ini terkait dengan peran dan fungsi pemerintah daerah dalam membantu mengatasi mis-match pendanaan program JKN.
Metodologi:
Metode yang digunakan dalam penulisan lembaran kebijakan ini adalah deskriptif-analitik dengan model pendekatan pengamatan perubahan fenomena yang telah terjadi (observasi). Analisisnya adalah kebijakan JKN selama 3 tahun terakhir (2014-2016) dengan dukungan fakta dan data yang diperoleh dari Kementerian Kesehatan dan Badan Jaminan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS-K). Sistematika Policy Brief ini disusun sebagai berikut:
- Hasil Fakta-takta hubungan Pemda dengan BPJS saat ini
- Analisis Kebijakan keuangan di daerah yang dibutuhkan sebagai upaya pemerintah daerah dalam menjaga keberlangsungan JKN
- Implikasi kebijakan dan strategi daerah yang perlu diambil Pemda dan BPJS untuk mengatasi miss-match dalam program JKN
Hasil, Kesimpulan, dan Fakta-fakta hubungan pemerintah daerah dengan BPJS saat ini:
Defisit (miss-match) BPJS Kesehatan dimulai sebesar Rp 3,3 triliun pada 2014. Pada tahun 2016, ada penyertaan modal negara sekitar 6,8 . Selanjutnya kondisi missmatch diprediksi mencapai 6,2 T (2017); 11 T (2018); dan 13 T (2019). Hasil temuan dengan data di lapangan menunjukkan bahwa overshoot di tingkat daerah, provinsi, kabupaten/kota disebabkan karena sebagian besar peserta mandiri baru mendaftar ketika sakit, moral hazard, bahkan banyak yang nunggak bayar iuran.
Dalam kasus di Jawa Tengah, kapasitas fiskal daerah untuk Jawa Tengah dan DIY adalah sedang, sehingga beban layanan ini seharus bisa ditekan apabila pemda mau mengalokasikan dana lebih banyak untuk kegiatan yang bersifat pencegahan masalah kesehatan. Data BPJS Kesehatan Regional VI Jawa Tengah dan DIY menunjukkan sejak tahun pertama dilaksanakannya program JKN ini, telah terjadi mis-match antara pendapatan dengan beban layanan, yang ditampilkan dalam grafik berikut ini:
Sumber: Data laporan BPJS Kesehatan Divisi Regional VI Jateng-DIY 2014-2015*,
Harian Merdeka Online, 2016 (data perkiraan)**
Analisis Kebijakan keuangan di daerah yang dibutuhkan sebagai upaya pemerintah daerah dalam menjaga keberlangsungan JKN
Kondisi saat ini menimbulkan pertanyaan penting: Apakah Pemda tidak mau berbagi beban atas kekurangan ini. Dalam hal ini ada kemungkinan pendapatan kapitasi di FKTP pemerintah, dan klaim INA-CBG di RSD menjadi pendapatan asli daerah. Pemerintah daerah melihat hal ini sebagai sumber anggaran baru, karena BPJS dianggap sebagai lembaga pemerintah pusat. Denagn demikian ada moral hazard untuk ekspansi kegiatan pelayanan kesehatan dalam rangka mendapatkan dana BPJS. Pemda tidak mempunyai insentif untuk pengendalian. Oleh karena itu perlu untuk memberlakukan batas atas untuk suatu daerah, dimana kalau batas atas dilewati maka Pemda yang terkait harus membayarnya.
Berdasarkan peta kapasitas fiskal provinsi, data menunjukkan bahwa Indeks Kapasitas Fiskal tertinggi yaitu Provinsi DKI Jakarta yaitu sebesar 6,36 (sangat tinggi) sedangkan untuk IKF terendah yaitu provinsi Nusa Tenggara Timur sebesar 0,16 (rendah). Berikut diagram proporsi provinsi menurut kemampuan fiskal berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37/ PMK.07/ 2016 tentang Peta Kapasitas Fiskal Daerah (Kementerian Keuangan RI, 2016)
Sumber: Data Sekunder Kementerian Keuangan, 2016
Fakta di atas menunjukkan bahwa sebagian besar provinsi berada pada kategori rendah yaitu sebesar 47% sedangkan kategori sangat tinggi hanya sebesar 9%, hal ini menunjukkan kesenjangan antar provinsi di seluruh Indonesia. Perbedaan kemampuan fiskal di setiap daerah dapat menciptakan kesenjangan dalam pemberian layanan kesehatan baik dari segi cakupan, kualitas, maupun kepuasan peserta. Tentu ini perlu menjadi perhatian khusus bagi pemerintah pusat dalam penentuan besaran dana Pemda untuk menopang defisit kebijakan penyelenggaraan program JKN.
Implikasi kebijakan serta strategi yang perlu diambil Pemerintah daerah dan BPJS untuk mengatasi miss-match dalam program JKN
Berdasarkan peta kapasitas fiskal tersebut, sebagai bagian dari agenda setting dirasa penting untuk melakukan monitoring dan evaluasi kebijakan untuk pemerintah daerah dalam mendukung pelaksanaan kebijakan JKN. Beberapa pertanyaan yang muncul antara lain apakah:
- Sejauh ini, apa saja tanggung jawab Pemda yang telah terlaksana dalam mendukung keberlanjutan program JKN?
- Apakah mungkin ada kebijakan untuk membebankan overshot BPJS ke Pemerintah Daerah?
- Apakah daerah dengan fiskal tinggi/ daerah kaya bisa memberi dukungan untuk menutup kelebihan klaim/ overshot
- Bagaimana pertanggungan jawab Pemda dalam bentuk Pencegahan Penyakit?
- Kriteria Pemda mana yang mampu dan mau? Adakah indikator lainnya selain kapasitas fiskal?
Rekomendasi:
Sebagai salah satu tulang punggung JKN, Pemda diharapkan dapat mengoptimalkan perannya demi mewujudkan cita-cita UHC. Tetapi disisi yang lain perubahan serta perbaikan regulasi perundangan juga perlu dilakukan. Undang-undang tahun 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan, perlu dilengkapi dengan peraturan teknisnya. Karena sampai saat ini pemerintah belum bisa bekerja secara optimal dalam membagi perannya sebagai bentuk implikasi UU tersebut. Undang-undang tersebut menyatakan bahwa daerah wajib membantu pemerintah pusat untuk mendukung program strategis nasional. JKN adalah salah satu program strategis nasional yang merupakan mandat dari UUD 1945, tetapi tidak dijelaskan lebih lanjut peran dan dukungan pemerintah daerah. Negara wajib memberikan jaminan kesehatan bagi warga negaranya dalam arti menjamin rakyat untuk tetap sehat, bukan mengobati yag sakit untuk kemudian sehat.
Rekomendasi untuk Pemerintah Pusat
- Kementerian Keuangan
- Kementerian Dalam Negeri
- Kementerian Kesehatan
Rekomendasi untuk Pemerintah Daerah
Rekomendasi untuk BPJS Kesehatan
*catatan: Highlight warna merah ini yang akan dijawab selama diskusi dalam Fornas KKI
Kemampuan fiskal pemerintah Pusat
6. Kemampuan fiskal pemerintah Pusat
Pembahas :
- Kantor Presiden,
- Direktorat Jenderal Pajak,
- Perusahaan Asuransi Kesehatan Komersial
Moderator : Giovanni van Empel, MSc
Tujuan :
- Memahami kenaikan GDP dan penerimaan Pajak serta Non-Pajak pemerintah pusat;
- Memahami situasi RAPBN 2018 dan proyeksi di tahun 2019-2010
- Memahami kemampuan dan kemauan pemerintah pusat untuk meningkatkan dana BPJS;
- Memahami potensi dana di GDP yang dapat diserap oleh sektor kesehatan.
Konteks
Meski dalam beberapa tahun terakhir perekonomian dunia mengalami perlambatan pasca krisis finansial tahun 2008 serta fenomena di Yunani dan UK beberapa tahun belakangan, Indonesia tetap melaju dengan rerata pertumbuhan Ekonomi 4-5 persen per tahun. Data dari World Bank menunjukkan peningkatan yang relative konsisten terkait Produksi Domestik Bruto (PDB), sebagai contoh rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5 %. Tahun 2016 sendiri PDB Indonesia tembus lebih dari 10 ribu trilyun. Meski demikian, pertumbuhan itu tidak diiringi oleh besarnya ruang fiscal pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari tax revenue to GDP ratio (dalam persen) yang menurun sejak tahun 2013 sebesar 11 persen menjadi 10,3 persen di tahun 2015 (%).
Situasi ini menyebabkan kesulitan dalam ruang fiscal untuk mendanai program-program publik. Oleh karena itu perluasan ruang fiscal ini penting dalam konteks mendanai program publik, dari pendidikan hingga pertahanan termasuk kesehatan. Komitmen untuk memberikan 5% dari APBN untuk pendanaan kesehatan telah dicapai pada tahun 2016 setelah sebelumnya berkutat di seputaran 3,5-4 persen dari APBN, dan pada tahun yang sama proporsi belanja negara untuk kesehatan mencapai 7 % dari total belanja negara. Estimasi tim peneliti LPEM FEB UI adanya BPJS Kesehatan memiliki dampak multiplier ke sektor lain secara positif melalui pengadaan peluang kerja sebanyak 2,5 juta pekerjaan. Dari sisi ekspektasi hidup (life expectancy) jika 100 % populasi terlindungi, maka life expectancy (efek jangka panjang) akan bertambah sebanyak 2,9 tahun.
Pemerintahan Joko Widodo merespon hal ini dengan kebijakan Tax Amnesty (Pengampunan Pajak) dimulai pada pertengahan tahun 2016 namun hasilnya belum dapat memperluas ruang fiscal sebab dari penerimaan pajak hanya sebesar 135 trilyun (82%) dari target sebesar 163 trilyun.
Dalam suasana kemampuan fiscal yang relative kecil BPJS Kesehatan dari sejak tahun 2014 terus mengalami kesulitan untuk menutup defisit dana yang harus dibayarkan kepada penyedia (provider) layanan kesehatan : klinik/fasilitas kesehatan tingkat primer dan rumah sakit. Tahun 2016 kemarin defisit mencapai 7 trilyun sementara untuk tahun 2017 diperkirakan aka nada defisit anggaran sebesar 9 trilyun dan per Juli 2017 antara iuran dan yang dibayarkan ada defisit 5,8 Trilyun. Hal ini berpotensi mengancam keberlangsungan program JKN. Salah satu penyebab defisit adalah pemakaian kelompok Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) yang tinggi sementara hal itu tidak diimbangi dengan perhitungan premi yang tepat.
Dorongan untuk meningkatkan alokasi dana kesehatan pun tidak terelakkan dalam konteks ini, termasuk dalam konteks regional Asia Pasifik maupun perbandingan antar negara ASEAN. Thailand misalnya hampir mencapai 7 % dari PDB untuk belanja kesehatan, Malaysia diatas 4 % dari PDB, dan Filipina 4,6% dari PDB di tahun 2014. Hanya saja, komposisi belanja kesehatan di Indonesia masih dominan dari out-of-pocket (sebesar 45% dari belanja atau 1,6% dari PDB), sementara rerata di negara maju untuk belanja out-of-pocket sebaiknya dibawah 20-30 persen, Thailand sendiri hanya 7,9% dari belanja kesehatannya yang bersumber dari out-of-pocket. Argumen lain dan didukung oleh banyak studi empiris atas berbagai model development yaitu kesehatan berkontribusi positif terhadap produktifitas individu yang kemudian mendorong perekonomian secara makro. Namun pertanyaan kritis yang selalu menjadi penting dalam kacamata anggaran adalah, apakah setiap rupiah yang digelontorkan mampu menciptakan return yang sepadan. Dalam konteks ruang fiscal disinilah isu efisiensi muncul dan efektifitas program kesehatan perlu diteliti dan diperdebatkan. Selain itu isu seperti apakah pembiayaan kesehatan sebaiknya single payer ataukah multiple-payer penting untuk didiskusikan.
Analisis:
Keterbatasan ruang fiskal untuk mendanai sektor kesehatan secara penuh mendorong hadirnya tantangan berat. Dalam konteks defisit BPJS, pertanyaan kritisnya adalah apakah defisit adalah gejala dari pendanaan yang tidak adekuat dan dengan otomatis membutuhkan lebih banyak suntikan dana dari APBN ataukah ini menunjukkan inefisiensi dari kedua sisi (supply dan demand side) dalam semisal skema pembiayaan, mekanisme purchasing, penalti terhadap peserta yang tidak membayar secara kontinu ataukah bahkan ada kedua elemen dari problem ini? Belum lagi persoalan inefisiensi dari sudut pandang ilmu ekonomi kesehatan Pertanyaan ini penting untuk dieksplorasi sebab alternatif kebijakan untuk menanganinya pun akan berbeda.
Sebagai contoh bagaimana sektor kesehatan akan merespon jika penerimaan pajak sulit untuk dinaikkan? Bagaimana asuransi kesehatan komersial akan merespon di dalam era BPJS? Apakah akan tersedia skema asuransi yang terjangkau oleh banyak lapisan masyarakat Indonesia, tidak hanya yang sangat mampu? Hal lainnya Apakah misalnya perlu untuk meningkatkan porsi pendanaan mandiri via asuransi kesehatan komersial bagi masyarakat yang relatif lebih mampu?
Pengamatan Ernst & Young mengenai GDP dan potensi dana untuk kesehatan menarik dikaji. Sebelum tahun 2014: Indonesia menggunakan sekitar 3.1% PDB untuk Kesehatan. Filipina sekitar 4.4% dan Thailand sekitar 4.6%. Jika skema pendanaan mandiri dapat ditingkatkan sehingga proporsi belanja kesehatan dengan PDB mendekati dengan kedua negara tersebut, maka dengan asumsi PDB Indonesia tahun 2015 sebesar Rp11.540,8 triliun dengan demikian tambahan 1.5% dari PDB adalah sebesar Rp 173 Triliun. Nominal ini hampir 3 kali lipat dari apa yang dibelanjakan BPJS Kesehatan di tahun 2015 (52,7 Trilyun), hanya saja output dari skema seperti ini tidak berarti besar return terhadap kesehatannya. Amerika Serikat misalnya 17% dari PDB (tahun 2014) dibelanjakan total untuk sektor kesehatan, namun dengan 28 juta penduduknya masih belum bisa mendapatkan asuransi, sementara itu negara maju lainnya seperti Inggris Raya belanja hanya 9.1% dari PDB dengan 100 persen penduduknya terlindungi serta dengan outcome kesehatan yang lebih baik dibandingkan Amerika Serikat.
Meski PDB bukanlah satu-satunya ukuran, yang tidak kalah penting adalah bagaimana skema pendanaan dikelola. Beberapa negara Eropa seperti Jerman memberlakukan skema hybrid pendanaan, 85 persen populasi dilindungi pendanaan publik, sementara 15 persen sisanya dengan asuransi privat. Jerman menggunakan pendapatan untuk menentukan besaran premi yang wajib dibayarkan dengan benefit package yang relatif uniform. Asuransi kesehatan privat dapat bersifat suplementasi dari polis asuransi publik dan juga bisa bersifat substitusi, namun jika invidivu memilih keluar dari skema asuransi publik, Jerman tidak memberikan izin untuk kembali ikut menjadi peserta. Skema-skema ini menarik untuk dikaji, terlebih dengan ruang fiskal tiap negara yang unik.
Implikasi Kebijakan:
Pertanyaan untuk dibahas pada Forum Nasional:
- Apakah etis dan sesuai dengan UUD kalau masyarakat kaya yang menjadi anggota BPJS mendapatkan manfaat yang “unlimited” dengan pembayaran premi relative sedikit (PBPU tarifnya rendah).
- Apakah ada kemampuan fiscal pemerintah untuk meningkatkan dana ke BPJS dari APBN. Secara praktis adalah peningkatan jumlah PBI dan kenaikan PBI.
- Bagaimana kemampuan penerimaan pajak dan non-pajak oleh pemerintah pusat? Apakah di masa mendatang, akan ada peningkatan penerimaan negara?
- Apakah mungkin ada agenda kebijakan untuk meningkatkan/memaksa masyarakat kaya menggunakan dananya untuk kesehatan di luar BPJS Dipandang dari pengurangan beban BPJS masyarakat kaya dapat diarahkan membayar sendiri melalui askes komersial atau “out of pocket”. Dana PBI dapat dipakai penuh untuk masyarakat miskin. Kebijakan ini juga dapat memberikan dana tambahan untuk sektor RS.
- Apa instrument kebijakan untuk mendorong masyarakat kaya membayar lebih? Apakah menaikkan premi PBPU, apakah memberlakukan cost-sharing (yang mungkin berlawanan dengan UU SJSN); Apakah meningkatkan pajak secara progressif sehingga tersedia dana pajak yang berasal dari masyarakat kaya?
Catatan:
Sebagai moderator harus mulai memilah-milah, pertanyaan mana yang akan ditujukan ke siapa. Kemudian juga siap untuk melakukan cross-fire.
Kebijakan Kompensasi di BPJS
7. Kebijakan Kompensasi di BPJS
Pembahas :
- Drs. Ismiwanto Cahyono, MARS
- dr. Dwi Martiningsih, MKes, AAK
- dr. Fachrurrazi, MM, AAK
Moderator : M. Faozi Kurniawan, SE. Ak, MPH
Tujuan :
- Mendiskusikan tantangan daerah terpencil, perbatasan dan kepulauan dalam pembangunan fasilitas kesehatan dan distribusi tenaga kesehatan
- Mendiskusikan tahapan dan proses yang dilakukan Kementerian Kesehatan dalam memenuhi fasilitas kesehatan dan distribusi tenaga kesehatanMendiskusikan konsep kebijakan pemberian kompensasi dalam program JKN
- Mendiskusikan sejauh mana tahapan implementasi kebijakan pemberian kompensasi
- Mendiskusikan peran dan tantangan pemberian kompensasi dalam JKN
Fakta
Kabupaten Malaka merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur, sebuah kabupaten pemekaran di perbatasan dengan Timor Leste. Sesuai UU Nomor 3 Tahun 2013 Kabupaten Malaka memiliki 12 Kecamatan, 127 desa dengan luas wilayah 1.160,63 Km2. Proyeksi jumlah penduduk Kabupaten Malaka adalah 183.387 jiwa (BPS Prov. NTT, 2016). Data Fasilitas Kesehatan yaitu satu RS kelas D dengan satu Spesialis Anak dan kurang lebih 7 dokter umum. Data-data terkait JKN sebagai berikut:
Tabel di atas menggambarkan perhitungan iuran dan biaya yang telah dikeluarkan BPJS Kesehatan untuk pelayanan kesehatan peserta JKN di Kabupaten Malaka. Total iuran tahun 2015 mencapai Rp. 30 Milyar (perlu konfirmasi ulang ke BPJS-K) dan total biaya yang telah dikeluarkan oleh BPJS-K adalah Rp. 17 Milyar. Pada tahun 2016 tercatat khusus untuk klaim di RSPP Betun sebesar 2,3 milyar rupiah (Pemda Malaka, 2017). Dengan demikian diperkirakan masih ada dana sekitar Rp 13 milyar (Rp 30 milyar – 17 milyar) yang berada di BPJS tahun 2015. Pada tahun 2016 dengan menggunakan asumsi kenaikan PBI sebesar 6% dari tahun 2015 maka diperkirakan ada dana sekitar Rp 17,4 milyar (Rp. 35,5 milyar – Rp. 18,1 milyar) di BPJS-K. Gambar berikut mengilustrasikan posisi dana iuran yang dibandingkan kan dengan serapan/ belanja BPJS-K di Kabupaten Malaka.
Analisis:
Kabupaten Malaka dengan fasilitas kesehatan nya menunjukkan penyerapan rendah pada biaya pelayanan. Ada 2 hal yang dapat menjadi penyebab rendahnya biaya pelayanan di daerah. Pertama, Keterbatasan akses ke Puskesmas/ FKTP. Sesuai data dari Pemda Kabupaten Malaka, sarana dan prasarana mencukupi meskipun belum lengkap, dokter umum rata-rata 1 dokter, dan dokter gigi masih kurang, apoteker masih kurang, perawat dan bidan jumlahnya memenuhi, namun kondisi geografis dan akses ke fasilitas kesehatan menyebabkan pelayanan yang diberikan kepada peserta JKN tidak optimal. Kedua, akses ke fasilitas kesehatan tingkat lanjut yang terbatas. Hal ini karena FKRTL tidak banyak jumlahnya hanya ada 1 RS tipe D sebagai RS Penyangga Perbatasan dan dengan sarana dan prasarana yang terbatas beserta tenaga kesehatannya, tidak dimungkinkan dapat memberikan semua pelayanan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat.
Dari perhitungan jumlah iuran JKN yang lebih besar dari belanja BPJS K/ serapan dana JKN di Kabupaten Malaka, maka agenda kebijakan yang paling tepat adalah pemberian kompensasi kepada daerah yang memang masih kesulitan dalam akses pelayanan kesehatan dan kurangnya sarana dan prasarana kesehatannya. Memang tidak semua daerah di Kabupaten Malaka diberikan kompensasi, namun demikian pemerintah daerah yang memiliki kewenangan dalam penyediaan sarana dan prasarana dituntut memenuhi ketersediaannya dalam jangka waktu tertentu. Akhirnya pemberian kompensasi bersifat sementara dan harus koordinasi dengan pemerintah daerah untuk memenuhi sarana dan prasarana kesehatan di daerah.
Pemberian kompensasi harus dikomunikasikan dengan semua pihak, baik itu Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Meskipun BPJS Kesehatan yang diberi mandat untuk melaksanakan pemberian kompensasi, namun sesuai UU No 23 2014 Pasal 11 dan Pasal 12, Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya, kesehatan merupakan urusan wajib yang harus dilaksanakan. Sehingga kerjasama antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan BPJS Kesehatan mutlak dilakukan dalam pemberian kompensasi.
Implikasi
Berdasarkan kondisi di atas, sebagai bagian dari agenda kebijakan JKN, melakukan evaluasi pelaksanaan JKN terutama di daerah terpencil, perbatasan dan kepulauan menjadi bagian penting yang harus dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan. Beberapa pertanyaan yang akan muncul antara lain:
- Kebijakan pemberian kompensasi telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2017 Pasal 23 ayat 3, kemudian diturunkan kembali pada Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013 Pasal 34, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2013 Pasal 30, berkaitan dengan peraturan pemberian kompensasi Kementerian Kesehatan sendiri telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2014 pada Bab IV, sebagai regulator bidang kesehatan, bagaimana kementerian kesehatan mensikapi belum dilakukannya pemberian kompensasi? (strategi jangka pendek) dan apakah dibutuhkan regulasi di tingkat Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota? (strategi jangka panjang) (Drs. Ismiwanto Cahyono, MARS)
- Kebijakan pemberian kompensasi sesuai amanat undang-undang belum dilaksanakan sampai sekarang meskipun berbagai regulasi telah ada untuk mendukung diberikannya kompensasi bagi daerah-daerah tertentu, kebijakan kompensasi ini tentunya juga menjadi pekerjaan rumah bagi BPJS Kesehatan agar secepatnya dilaksanakan. Dalam hal pemberian kompensasi BPJS Kesehatan sendiri mungkin telah memiliki konsep atau framework tersendiri? Apakah demikian? (strategi jangka pendek) dan Apabila BPJS Kesehatan tetap mengalami mismatch dalam beberapa tahun ke depan, apakah kebijakan pemberian kompensasi bisa dijalankan? (strategi jangka panjang) (dr Dwi Martiningsih, MKes, AAK)
- Berdasarkan fakta yang disajikan, daerah terpencil seperti di Kabupaten Malaka menunjukkan rendahnya pemanfaatan fasilitas kesehatan sehingga disinyalir menjadi penyebab rendahnya penyerapan dana BPJS Kesehatan di Kabupaten Malaka. Rendahnya klaim di rumah sakit dan jumlah dana kapitasi untuk FKTP apakah dapat menjadi dasar kebijakan bahwa daerah tersebut dapat diberi kompensasi? (strategi jangka pendek) dan apa feedback dari daerah yang diharapkan oleh BPJS Kesehatan apabila pemberian kompensasi dilaksanakan? (strategi jangka panjang) (dr. Fachrurrazi, MM, AAK)
Problem Equity dan Independensi Evaluasi Kebijakan
8. Penutup: Problem Equity dan Independensi Evaluasi Kebijakan
Pembahas :
- dr. Chairul Radjab Nasution, Sp. PD, KGEH, FINASIM, FACP, M. Kes
- Prof dr. Ascobat Gani MPH Dr.PH (FKM UI)
- Dr. Untung Sutardjo MKes (Sekjen Kemenkes RI)
- Yennike Tri Herawati SKM MKes (FKM Universitas Negeri Jember)
- Dr. Denas Symond (FK Univerisitas Andalas)
Moderator : Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., PhD
Tujuan :
- Mendiskusikan peran evaluasi kebijakan dan prinsip equity dalam agenda perbaikan kebijakan program JKN
-
Mendiskusikan metode dan tahap evaluasi kebijakan yang dapat diterapkan
dalam program JKN -
Mendiskusikan peran
perguruan tinggi dan elemen masyarakat dalam pelaksanaan JKN
Fakta-Fakta
Terjadinya faktor inequity dalam JKN ini disebabkan banyak hal diantaranya yaitu
- Single pool yang diterapkan dalam JKN menyebabkan dana PBI (kurang mampu) dapat digunakan oleh kelompok PBPU (mampu),
- Perkembangan supply side yang terhambat. Berdasarkan data kementerian kesehatan pertumbuhan RS didominasi di daerah Jawa dan kota-kota besar. Daerah terpencil tidak mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan.
- Berdasarkan data dari Menteri Kesehatan pada Konas IAKMI 2016, Rasio klaim untuk kelompok PBPU masih sangat tinggi yaitu berada diatas 200%. Rasio klaim kelompok PBI yang hanya berkisar 80%. Sementara itu Premi yang dibayarkan oleh PBPU relative sangat rendah. Akibatnya terjadi defisit di BPJS.
Mengingat data ini, Kubus WHO seharusnya bukan dilihat sebagai tunggal. Kubus WHO sebaiknya dilihat sebagai kumpulan dari berbagai kubus untuk Indonesia yang mewakili Region-Region BPJS atau propinsi-propinsi. Manfaat BPJS yang sangat baik dinikmati oleh sebagian penduduk, sementara yang lain belum. Perkembangan supply-side dan system klaim INA-CBG dapat meningkatkan disparitas antar regional.
Dalam konteks disparitas antar regional, Kubus WHO yang sangat popular perlu diubah menjadi Kubus yang berbeda? beda. Regional 1 (Jawa) sangat berbeda dengan yang lainnya Perkembangan BPJS selama 4 tahun masih belum meratakan supply? side antar geografis.
Tahun 2014 (besaran kubus tidak berskala riil)
Analisis
Pelaksanaan evaluasi kebijakan sepatutnya melihat kembali ideologi dari pelaksanaan JKN. Ideologi ini menjadi acuan ataukah cara pandang dalam
melakukan monev JKN. Menurut UUD pasal 34 ayat 1 mengatakan bahwa fakir miskin dan anak terlantar menjadi tanggung jawab negara serta pada ayat
kedua dijelaskan bahwa negara mengembangkan jaminan sosial dengan pemberdayaan kepada masyarakat lemah dan tidak mampu.
Akan tetapi realisasinya saat ini terjadi gotong royong terbalik. Dana BPJS yang terbatas justru dimanfaatkan lebih banyak oleh masyarakat menengah ke atas karena akses ke supply-side yang lebih baik, benefit-package yang lebar dan bersifat tidak terbatas, serta premi PBPU yang kecil sekali.
Implikasi Kebijakan
Berdasarkan kondisi tersebut, pencapaian UHC di Indonesia masih belum sesuai dengan target pada Peta Jalan JKN 2019 khususnya yang terkait dengan
pemerataan. Pertanyaannya adalah: Apa perlu untuk merubah kebijakan JKN di masa mendatang dalam bentuk Revisi UU dan Perbaikan Regulasi di bawahnya.
Contoh pertanyaan untuk Revisi UU SJSN dan UU BPJS:
Apakah untuk mencapai UHC perlu semuanya melalui BPJS?
Saat ini terbukti sistem BPJS belum mampu memperbaiki ketimpangan geografis fasilitas kesehatan, bahkan memperburuk karena sistem klaim,
Akibatnya dana BPJS akan semakin terpakai untuk masyarakat menengah ke atas yang mempunyai akses tinggi. BPJS kesulitan melakukan penagihan premi, dan menambah beban staf yang tidak terlatih melakukannya. Apakah masyarakat menengah atas lebih baik didorong untuk menggunakan asuransi
kesehatan komersial. BPJS fokus pada PBI, PPU, dan kelas standar PBPU yang tidak boleh naik kelas.
Pertanyaan ini merupakan satu hal yang perlu dibahas dalam Penetapan Agenda yang kemudian memicu fase Penetapan Agenda dalam proses revisi
kebijakan UU SJSN dan UU BPJS. Proses ini mungkin dapat terus berputar sesuai dengan teori proses kebijakan (Lihat Diagram di bawah ini).
Siapa Evaluator Kebijakan JKN?
Revisi UU merupakan proses yang masuk ke Ranah Politik. Berbagai interest pasti terjadi. Oleh karena itu diperlukan adanya sifat independensi di pihak
evaluator. Pertanyaan yang akan dibahas dalam penutupan ini adalah:
- Siapakah evaluator kebijakan JKN? Apakah pihak DJSN, Kemenkes, Donor Asing seperti GIZ, USAID. Apakah mereka cukup independen?
- Ataukah perguruan tinggi, ataukah pihak-pihak yang dianggap lebih independen
Berdasarkan kondisi tersebut, monitoring dan evaluasi oleh lembaga independen dan universitas menjadi bagian penting dalam pelaksanaan JKN
dengan tujuan meningkatkan kualitas pelayanan dan akses masyarakat .
Beberapa isu penting yaitu apakah:
- Lembaga independen dan universitas perlu diperkuat dengan regulasi atau cukup dengan kemitraan?
- Keterbukaan akses data dari BPJS Kesehatan dan Kementerian kesehatan untuk melakukan evaluasi apakah dapat dilakukan
- Dari mana dana untuk Evaluasi Kebijakan JKN?
- Apa model evaluasi kebijakan yang tepat agar pengambil kebijakan dan lembaga independen maupun universitas saling memberikan manfaat dalam pelaksanaan JKN.
Timing Evaluasi Kebijakan yang mungkin membutuhkan Revisi UU
Proses evaluasi kebijakan dan Penetapan Agenda perlu memperhatikan factor di tahun 2019 ada Pilihan Presiden dan Pilihan Anggota Legislatif.
Catatan:
Disamping Equity, ada isu-isu penting yang perlu diperhatikan dalam konteks
Revisi UU SJSN dan UU BPJS antara lain:
- Cost-sharing;
- Peran Kementerian Kesehatan dan Peran Pemerintah Daerah;
- Governance BPJS di pusat; sampai
- Ketersediaan Supply Side.
Para pembahas akan ditanya oleh moderator sesuai dengan wewenang tugasnya. Pembahas tidak perlu membuat makalah.
Terimakasih