Regulasi JKN soal Kompensasi Perlu Direvisi

Peneliti dari Universitas Gajah Mada, M Faozi Kurniawan mendesak pemerintah merevisi seluruh regulasi terkait Jaminan Kesehatan Masyarakat (JKN). Undang-undang beserta peraturan turunan yang ada saat ini dinilai sudah usang dan perlu perbaikan di sejumlah pasal, terutama terkait kebijakan kompensasi.

“Posisinya saat ini urgent karena sesuai amanat undang-undang. Banyak daerah kita masih termasuk wilayah miskin dan tertinggal. Masih banyak pula rakyat miskin yang perlu mendapat prioritas dari JKN,” ujar Faozi saat diwawancarai Info Tempo, Selasa,4 Mei 2021.

Kebijakan kompensasi tertuang dalam UU Nomor 40 Tahun 2002 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) Pasal 23 Ayat 3. Disebutkan, jika suatu daerah belum tersedia fasilitas kesehatan yang memenuhi syarat guna memenuhi kebutuhan medik sejumlah peserta, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) wajib memberikan kompensasi.

Faozi yang tergabung dalam Pusat Kebijakan Manajemen Kesehatan (PKMK) UGM menemukan bahwa kebijakan kompensasi belum terealisasi dengan baik di berbagai daerah, terutama wilayah yang minim terhadap fasilitas kesehatan, peralatan medik, dan tenaga kesehatan.

Peserta JKN yang membayar iuran BPJS dan tinggal di wilayah terpencil kesulitan mengakses berbagai produk layanan kesehatan yang dibutuhkan. Penderita penyakit jantung di Pulau Nias tidak dapat dilayani oleh rumah sakit dengan peralatan memadai. Bagi peserta BPJS dari golongan mampu bisa berobat ke Medan. Namun, akan sulit bagi rakyat miskin kendati terdaftar sebagai peserta JKN.

“Dari data-data sampel BPJS, ketersediaan faskes, hingga distribusi,ternyata faskes yang lengkap ada di perkotaan, terutama di Pulau Jawa.Dari bukti data-data tersebut, masyarakat miskin tidak akan mendapatkan produk yang ditawarkan JKN. Di Pulau Jawa semua paket manfaat JKN bisa diterima, mungkin 100 persen. Berbeda dengan daerah terpencil, JKN tidak bisa dimanfaatkan oleh masyarakat,” kata Faozi. Padahal UU mengamanatkan penerima manfaat JKN seharusnya rakyat miskin.

Menurutnya, tujuan JKN sesuai amanat UU dapat dicapai jika terjadi kesetaraan, dan implementasi kebijakan kompensasi yang tepat sasaran. Artinya, berhasil memberi layanan kesehatan kepada rakyat miskin dan meratanya pelayanan kesehatan.

Agar kebijakan kompensasi yang tepat sasaran, kata Faozi, revisi regulasi merupakan keniscayaan. Regulasi antara lain harus memuat pemetaan, pembagian peran, tanggung jawab, mekanisme, sumber dana, dan jenis kompensasi. Dengan regulasi pula setiap pemerintah derah dan stakeholder terkait memiliki rambu-rambu yang jelas dalam mengelola dana JKN, serta penyediaan layanan kesehatan di daerahnya.

Saat ini Kementerian Kesehatan sudah merevisi Peraturan Menkes. Namun peraturan tersebut belum juga diluncurkan sedangkan Perpres 64 Tahun 2020 sudah berlaku. Permenkes terbaru telah memuat petunjuk tenkis (juknis) yang detail terkait implementasi kebijakan kompensasi.

Untuk mempercepat munculnya permenkes yang baru, PKMK UGM akan melakukan edukasi di berbagai platform. “Kami angkat kebijakan kompensasi dalam seminar dan webinar. Kita juga menulis artike tentang equity bersama 13 provinsi mitra yang melakukan penelitian. Ditulis di masing –masing provinsi lalu diunggah di internet agar masyarakat dapat mengetahui,” ujar Faozi. Sejumlah akademisi juga telah mengunjungi DPR demi mendorong kebijakan baru tersebut. (*)

sumber: https://nasional.tempo.co/read/1459957/regulasi-jkn-soal-kompensasi-perlu-direvisi/full&view=ok