Reportase Tantangan Strategic Health Purchasing TB Di Era Transformasi Kesehatan

Kamis, 24 Maret 2022

Shita Listyadewi, MPP perwakilan dari PKMK UGM melalui pengantarnya menyampaikan hari ini (24/3/2022) merupakan Hari Tuberculosis (TB) sedunia. Penyakit TB dilihat dari dampak ekonomi, dan sosial menjadi katastropik bagi keluarga walaupun pengobatannya sudah dibiayai oleh JKN. Pembiayaan TB masih ada kesenjangan antara yang bersumber dari pemerintah dan luar negeri serta sumber - sumber pendapatan lain. Dalam upaya menutup kesenjangan ini tidak hanya mencari sumber pembiayaan yang baru dan mengefisiensikan pembiayaan kesehatan.

 

Dalam perjalanan JKN, kita melihat bahwa revenue dan pooling harus dialokasikan secara efisien untuk memberikan layanan bermutu serta efektif. Negara didorong untuk pembelian yang lebih aktif dimana pemerintah sebagai pihak pembeli perlu memastikan proses dan keputusan yang berbasis bukti untuk mengalokasikan dana yang terbatas ini. Terdapat unsur mutu yang harus dipertimbangkan, siapa provider yang memenuhi standar mutu yang kita harapkan, dan metode pembayaran.

Aditia Nugroho dari USAID menyampaikan COVID-19 memberikan distrubsi pada layanan TB. Diagnosis dan pelaporan TB mengalami penurunan separuhnya dari estimasi yang diperkirakan pada 2020 - 2021. Layanan TB ini memberikan beban pembiayaan pada kasus TB sensitif obat dalam 1 rumah tangga terbebani hingga 3 juta. TB resistant obat terbebani sampai 40 juta. Pemerintah mengeluarkan Perpres Nomor 67 Tahun 2021 mengatur pendanaan individual pada pasien layanan TB dibebankan ke jaminan kesehatan. Pendanaan pelayanan kesehatan masyarakat masih dianggarkan dalam program nasional. Pemerintah juga berkomitmen dalam memberikan perlindungan dampak psikososial dan ekonomi pasien TB. Permasalahan layanan TB terkait di insentif. FKTP layanan TB dalam pembayarannya masih berdasarkan kapitasi dan tidak ada insentif tambahan. Di RS layanan TB dibayar dengan INA-CBGs.

Metode ini masih menyebabkan masalah. Permasalahan layanan TB yaitu tingkat pelaporan kasus TB yang rendah, rate pengobatan rendah di layanan primer terutama layanan primer swasta, rendahnya rujukan balik dari rumah sakit ke layanan primer, dan pemantauan serta kepatuhan pengobatan yang kurang memadai. Inisiasi belanja kesehatan strategis ini dijelaskan pemerintah memiliki kewajiban untuk mengembangkan sistem pembayaran nasional agar efektif dan efisien yang bertanggung jawab BPJS serta Kemenkes memberi masukan dan menyetujui. Indonesia memiliki technical working group yang lead adalah Kementerian Kesehatan khususnya PPJK. Model BKS TB yaitu 4 yaitu paket manfaat, penyesuaian pembayaran, penyesuaian kontrak, dan pemantauan.

dr. Riris Andono Ahmad, MPH, PhD dari Pusat Kedokteran Tropis UGM menjelaskan tentang biaya katastropik TB. Hal ini diperlukan untuk mengendalikan TB di Indonesia ketika biaya katastropik terjadi pasien TB cenderung tidak mencari pengobatan. Secara epidemiologis, hal tersebut tidak dapat dikendalikan. Sekitar 60% penderita adalah laki - laki dan kelompok umur produktif. Secara umum hampir 40% pasien TB mengalami katastropik. Faktor risikonya yaitu pasien TB resistant obat, rumah tangga yang miskin, treatment support, dan hospitalisasi. Estimasi biaya kastrostropik untuk TB pasien yaitu 15,5 juta. TB sensitif obat 14,6 juta, TB resistant obat sekitar 34 juta. Katastropik disebabkan karena pembelian suplemen nutrisi, income lost dan biaya follow-up. Dampak sosialnya adalah job loss, productivity loss, dan menjadi lebih miskin. Dari sektor swasta biaya katastropiknya sekitar 35%. Komponen - komponen yang menyebabkan katastropik sama yaitu income lost. Mekanisme coping lebih banyak menggunakan dari tabungan.

Rekomendasi kebijakannya yaitu pemerintah perlu memberikan jaminan sosial kepada semua pasien TB terutama pasien TB yang mengalami pengobatan pada fasilitas kesehatan publik, proteksi sosial yang perlu diberikan bagi pasien TB di faskes swasta yang memiliki beban finansial, perlu peningkatan voucher jaminan sosial untuk pasien TB RO, dan pemerintah perlu untuk menjamin keamanan kerja bagi pasien TB.

dr. Mokhamad Cucu Zakaria dari BPJS memaparkan integrasi atau masalah dengan JKN perlu dioptimalisasi agar kasus TB ini dapat tertangani secara baik. Dana DJS surplus dan COVID-19 masih berdampak pada BPJS. Pada Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan menyebutkan pelayanan kesehatan yang tidak dijamin sudah ditanggung program lainnya sehingga bagaimana mengoptimalisasinya. Peran daerah sangat dikedepankan dalam layanan TB. Dalam proses terapi TB dan pemantauan lebih baik di FKTP. Ketika RS mendapatkan TB maka harus melaporkan ke Pusat Rujukan TB Resisten Obat. Hal yang sama juga berlaku untuk FKTP. Pasalnya biaya yang dikeluarkan untuk TB sangat besar. Jawa Barat peringkat TB paling tinggi. Pasien TB rata - rata 3x belum terkelola dengan baik. Sebaran TB terbanyak yaitu laki – laki di pulau Jawa. Keberhasilan penanganan TB ada 3 yaitu (1) integrasi, fokus pasien, dan pencegahan. (2) bold policies and supportive systems (3) intensified research and innovation.

dr. Lana Unwanah dari Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta memaparkan tren penanganan TB sejak pandemi COVID-19 menyusut cukup tajam. Target keberhasilan pengobatan TB masih di bawah 90%. Kasus TB RO jumlahnya mengalami peningkatan setiap tahun. Jogja memiliki 13 RS yang memberikan pelayanan TB tapi belum ada RS yang memberikan layanan medi RO di Yogyakarta. Jenis Kelamin TB paling banyak laki-laki. Permasalahan pembiayaan TB yaitu perlu ditingkatkan koordinasi lintas sektor di Kota Yogyakarta. Selama pandemi ini, TB agak tersingkirkan atau tidak mendapatkan prioritas. Terkait pemberian makanan tambahan setiap puskesmas bagi penderita TB tapi selama pandemi mengalami refocusing anggaran maka puskesmas tidak dapat memberikan anggaran. Terkait skrining TB dalam promotif dan preventif, kita dibantu mitra Zero TB kita melakukan kegiatan mobile rontsen. Padahal kontrak akan habis bulan Mei tahun ini. Pembiayaan pasien TB RO Dinkes Kota Yogyakarta belum mempunyai RS yang bisa melayani TB RO. Namun, RS belum siap terkait ruangan. Pembiayaan pasien TB RO memerlukan pemeriksaan lengkap masih belum dicover oleh JKN. Kemudian, pembiayaan pengiriman transport specimen belum ada.

Dr. drh. Didik Budijanto, MPH memaparkan TB masih menjadi permasalahan kesehatan. Di Global COVID19 memberikan dampaik negatif pada layanan TB. Biaya katastropik ini karena kehilangan pekerjaan. Analisis budaya dapat dipertimbangkan penelitian TB. Stigma TB juga masih ada. Penggunaan DHA dapat bermanfaat jika dilakukan oleh daerah. TB perlu melibatkan dari seluruh Kementerian. Kemenkes berupaya mewujudkan masyarakat yang sehat, produktif, mandiri, dan berkeadilan melalui 6 pilar.

Salah satunya adalah transformasi sistem pembiayaan guna meningkatkan ketersediaan pembiayaan kesehatan yang merata dan terus menerus. Pilar ini untuk menata ulang pembiayaan dan manfaat jaminan kesehatan Nasional dan meningkat pembiayaan promotif, preventif melalui peningkatan skrining. Selain itu, perlu penguatan sistem pendanaan TB dimana pendanaan pasien TB perseorangan ini dibebankan pada pendanaan jaminan kesehatan dan pelaksanaan penanggulangan TB. Pemerintah pusat bertanggung jawab melakukan mitigasi dampak psikososial dan ekonomi yang dihadapi pasien TB dan keluarganya. Kebutuhan pendanaan TB semakin meningkat.

Pada saat bersamaan, terdapat keterbatasan anggaran pemerintah dan penurunan dana dari hibah mendorong penggunaan dana yang lebih optimal lagi. Dalam upaya untuk mengoptimalkan dana, perlu dilakukan integrasi dan mobilisasi pendanaan. Untuk mencapai efisiensi dan efektifitas pembiayaan, salah satu upaya yaitu melakukan pengaturan pembiayaan dengan strategic health purchasing TB di tingkat faskes. Dengan modifikasi pembiayaan layanan dapat mendukung tercipta layanan TB yang efektif dan efisien. Sinkronisasi data maupun sistem informasi program nasional dan data JKN dapat terwujud menyelaraskan pembayaran berbasis kinerja. Digitalisasi sistem kesehatan yang lain. Dukungan dari berbagai pihak diperlukan. Di bidang pendidikan mendorong peserta didik agar memahami urgensi penyakit TB sebagai salah satu masalah kesehatan kemudian melakukan upaya adanya kolaborasi pembelajaran. Pada organisasi profesi mendorong anggota profesi untuk berperan sebagai fasilitator dalam meningkatkan kapasitas kesehatan. Dalam institusi dan layanan kesehatan mendorong anggota profesinya untuk motivator, fasilitator, pelaksanaan layanan kesehatan terbentuknya jejaring internal TBC yang sinergis. Untuk BPJS mendukung tersedianya pendanaan pasien TBC ini .

Reporter: Ardhina N (PKMK UGM)