Meniru Gaya Belanda, Indonesia Mesti Menuju Era `Dokter Keluarga`

Bercermin dari sistem jaminan kesehatan masyarakat Belanda yang kuat dalam pelayanan primer seperti dokter keluarga, Kementerian Kesehatan RI menilai ini masih jadi masalah besar di Indonesia.

Seperti diungkapkan Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan, Prof. Dr. dr. Akmal Taher, Sp.U (K). Baginya, masalah kesehatan di Indonesia begitu kompleks. Mulai dari penyakit menular seperti AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome), Tuberkulosis atau Malaria, hingga penyakit lainnya yang sulit dikendalikan seperti penyakit kardiovaskular. Belum lagi, fasilitas kesehatan primer seperti puskesmas atau klinik masih lemah, tenaga medis belum merata sehingga dokter keluarga masih sulit.

"Maka itu kami sedang mengupayakan memperkuat dulu layanan kesehatan primer dengan cara penyebaran dokter PTT (Pegawai Tidak Tetap), internship (penguatan faskes primer oleh dokter baru lulus) dan penggunaan kapitasi yang bisa langsung diterapkan puskesmas," kata Akmal di sela-sela acara 'Health Care in Urban Setting' di Aula Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Senin (14/4/2014).

Meski begitu, menurut Akmal, sistem JKN yang baru dilaksanakan hampir empat bulan ini direspons cukup positif oleh banyak kalangan. Terbukti dengan peningkatan jumlah peserta BPJS Kesehatan yang hingga 4 April 2014 mengalami kenaikan 6 persen atau dari 112 juta jiwa menjadi 119.404.294 jiwa. Disamping itu penurunan jumlah pasien di rumah sakit juga terhitung signifikan hingga 100 pasien sampai Maret 2014.

Di sisi lain, peneliti senior di NIVEL (Netherlands Institute for Health Service Research) dr. Wienke Boerma, PhD mengungkapkan, kekuatan sistem kesehatan di Belanda terletak pada pelayanan kesehatan primer seperti dokter keluarga.

"Di Belanda penguatan dokter keluarga sangat penting. Perbandingannya, 1 dokter melayani 2.500 pasien. Selain itu, 95 persen perawatan kesehatan dilakukan di rumah. Mereka sangat jarang ke spesialis. Selain mahal, lebih baik konsultasi dengan dokter keluarga. Kalau harus ke spesialis pun harus melalui rujukan dokter keluarga. Tapi kasusnya jarang," kata Wienke.

sumber: health.liputan6.com