Beberapa hal ini merupakan masalah kebijakan di balik kasus 3 - Minat SIMKES

  1. Kasus ini merupakan sebuah contoh Kebijakan Pendidikan Kedokteran yang mempunyai pertentangan antar stakeholder sejak mulai dari Penyusunan Agenda sampai ke pasca pengesahan UU.
  2. RUU Pendidikan Kedokteran merupakan inisiatif DPR. Dalam prosesnya terlihat sikap dan koordinasi berbagai lembaga pemerintah yang belum baik dalam menyusun UU.
  3. Kasus ini menunjukkan adanya taktik dan strategi kelompok interest yang tidak tepat, yang terkait erat dengan aspek kekuasaan dalam menentukan kebijakan

 

Comments  

# Nasruddin 2016-10-24 11:45
6. Jika melihat ke belakang saat munculnya inisiatif RUU pendidikan kedokteran ini yang merupakan produk murni DPR, timbul pertanyaan apakah ini sudah sesuai, mengapa inisiatif ini bukan dari instansi yang terkait, bukankah fungsi DPR adalah fungsi legislasi dan pengawasan. Sehingga hal ini kembali memunculkan opini bahwa RUU tentang pendidikan kedokteran ini sarat dengan taktik dan kepentingan kelompok interest. Jika melihat isi dari UU tersebut salah satunya terkait DLP, hal ini seolah-olah menyangsikan kualitas dari tenaga dokter yang ada pada layanan primer. Jika benar demikian bahwa keluaran tenaga dokter dari suatu perguruan tinggi kedokteran masih ada yang kurang kompeten, mengapa bukan sistem akreditasinya yang diperbaiki.
Reply
# Atina Husnayain 2016-10-24 12:04
Menurut saya, permasalahan kebijakan yang terdapat dalam kebijakan terkait dengan dokter layanan primer adalah tujuan dari kebijakan tersebut yang kurang efektif. Diterbitkannya kebijakan dokter layanan primer adalah untuk mengatasi permasalahan masih rendahnya kompetensi dokter. Namun hingga saat ini, standar pendidikan, standar kompetensi, kurikulum dan lama studi dari program studi dokter layanan primer belum dapat distandarkan. Oleh karena itu, akan sangat dimungkinkan output yang akan dikeluarkan oleh masing-masing penyelenggara program studi dokter layanan primer akan sangat heterogen. Sehingga, program studi dokter layanan primer yang awalnya bertujuan untuk menyeragamkan kompetensi dokter akan sulit untuk dicapai.
Reply
# Budi Prihantoro 2016-10-24 12:13
1. Dalam kasus ini terdapat pertentangan antar stakeholder. Hal ini merupakan isu lama bahwa koordinasi antar lembaga/kementerian di Indonesia masih lemah. Hal ini juga yang dimungkinkan presiden menghapus visi misi kementerian/lembaga menjadi visi misi presiden. Jadi setiap lembaga harus saling berkoordinasi dan bekerjasama dalam menuntaskan visi misi presiden.

2. Hal yang sedikit janggal adalah RUU ini merupakan inisiatif DPR, biasanya semua draft RUU merupakan usulan dari kementerian/lembaga. Perlu di teliti juga latar belakang dari awal mula adnya RUU tentang Pendidikan Kedokteran ini.

3. Setelah disahkan menjadi UU, muncul dinamika terkait Dokter Layanan Primer (DLP). Berdasarkan data dari Konsul Kedokteran Indonesia (KKI) jumlah dokter umum di Indonesa mencapai 114.588 (dengan jumlah penduduk Indonesia diperkirakan 250 juta) maka di dapat rasio 45 dokter umum per 100.000 penduduk. Secara jumlah mungkin sudah mencukupi, tetapi permasalahan yang lain adalah bagaimana pemerataan dan kualitas dari dokter tersebut. Saat ini permasalahan kesehatan salah satunya adalah tingginya angka kematian ibu dan bayi yang dapat dicegah dengan perbaikan layanan kesehatan komunitas di faskes primer. Oleh karena itu peran DLP menjadi sangat penting
Reply
# Katrina Feby Lestari 2016-10-24 17:15
Masalah kebijakan yang terjadi pada kasus ini adalah penyusunan RUU pendidikan kedokteran yang malah merupakan inisiatif dari DPR/ pihak yang sebenarnya tidak begitu paham dengan pendidikan kedokteran. Terlihat ada campur tangan politik terhadap profesi. Yang seharusnya berperan seperti IDI malah memilih untuk walk out terhadap penyusunan RUU. Dari UU Pendidikan Kedokteran No. 20 Tahun 2013 juga muncul isu DLP. Pro dan kontra masih terjadi sampai saat ini. DLP muncul disebabkan karena dokter umum yang berada di pelayanan kesehatan primer belum memiliki kompetensi yang cukup untuk menangani berbagai penyakit pasien sehingga banyak pasien yang akhirnya dirujuk ke dokter spesialis. Kalau dipikirkan secara matang, apa jadinya jika DLP yang mengambil alih pada pelayanan kesehatan primer. Bagaimana kelanjutan nasib para dokter umum. Secara tidak langsung dokter-dokter umum yang sudah dicetak oleh berbagai perguruan tinggi kedokteran seperti tidak ada gunanya sama sekali. Bukankah seharusnya mutu dari perguruan tinggi yang diperbaiki sehingga benar-benar lulusan yang terbentuk adalah lulusan yang berkualitas dari segi pengetahuan dan skill yang kompeten. Masyarakat awam hanya ingin dilayani oleh tenaga medis dengan mutu yang terbaik, biaya yang tidak mahal, serta akses ke pelayanan kesehatan juga terjangkau.
Reply
# Prayudha Benni S 2016-10-25 03:10
Pada poin 1. Dalam kasus ini terdapat pertentangan antar stakeholder. merupakan kelemahan dari sistem organisasi yang ada di indonesia. pertentangan antar lembaga masih sangat sering terjadi. beberapa pasal menyebutkan bahwa menyebutkan seorang dokter sebelum diangkat sumpah harus memiliki sertifikat uji kompetensi yang dikeluarkan perguruan tinggi kedokteran atau kedokteran gigi bekerja sama dengan asosiasi institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi dan berkoordinasi dengan organisasi profesi. hal ini menjadikan dualisme lembaga yang menyelenggarakan uji apakah memakai wewenang kolegium atau lembaga pendidikan.
Reply
# Meiyana Dianning R 2016-10-25 03:20
Adanya UU Pendidikan Kedokteran No 20 tahun 2013 yang menitikberatkan pada Dokter Layanan Primer, masih banyak menimbulkan pro dan kontra bukan hanya diantara kalangan dokter saja, namun juga meluas ke tenaga kesehatan lainnya. Dokter umum di Puskesmas sebenarnya sudah mampu untuk melayani masyarakat di area kerja puskesmas ataupun faskes dasar primer lainnya. Latar belakang dari adanya pendidikan Dokter Layanan Primer ini dikarenakan dari penilaian BPJS, kasus rujukan dari faskes primer yang tinggi. Hal ini dianggap dokter di layanan primer seperti di puskesmas ataupun di fasyankes primer lain dianggap gagal untuk menjalankan kegiatan preventif dan promotif nya, sehingga sampai pada tahap kuratif dan berindikasi untuk dirujuk. Namun disini, kegagalan dari segi promotif dan preventif sebenarnya bukan hanya dilihat dari kegagalan dokter yang menangani/menjalankan proses itu, melainkan dari tim (yang terdiri dari dokter, penyuluh, perawat, bidan) yang bertugas di fasyankes tersebut. Jadi jika ingin meningkatkan outcome dari kegiatan promotif/preventif, yang perlu diintervensi adalah perbaikan tim itu tadi. Karena derajad kesehatan masyarakat akan terjaga (dan meningkat) oleh karena tim tenaga kesehatannya yang profesional. DLP dianggap nantinya memiliki kompetensi menangani berbagai penyakit yang selama ini tidak mampu ditangani oleh dokter umum di pelayanan kesehatan primer. DLP merupakan dokter yang diberikan kompetensi melebihi dokter umum, setara dokter spesialis. Jika kompetensi dokter umum mampu menangani 144 penyakit, maka dokter DLP mempunyai kompetensi menangani 155 penyakit. Sehingga masyarakat diharapkan cukup ditangani oleh dokter DLP di unit pelayanan kesehatan primer, tanpa harus dirujuk ke faskes diatasnya. Dokter DLP diharapkan mumpuni menangani berbagai penyakit dan masalah kesehatan di garis depan. Kompetensi dari DLP sebenarnya dapat di tekankan pada saat mahasiswa kedokteran menjadi KOAS, diterapkan pada saat stase kedokteran keluarga dan kedokteran komunitas ataupun saat stase ilmu kesehatan masyarakat. Beberapa Fakultas Kedokteran di beberapa perguruan tinggi sudah membuka prodi DLP. Hal yang harus dipikirkan adalah kompetensi apa saja yang dalam pendidikan DLP ini, bagaimana pembiayaannya, kemudian bagaimana penerbitan Surat tanda Registrasi Dokter setelah selesai di program DLP ini. Dan yang paling penting adalah bagaimana nanti kontribusinya didalam masyarakat. Terkait dengan kebijakan pembentukan RUU Pendidikan Dokter yang memuat adanya DLP, pemerintah sebagai penentu dan pengambil kebijakan nasional seharusnya mengutamakan organisasi profesi (IDI) untuk ikut andil dalam penyusunan RUU ini.
Reply
# Mochammad Kurniawan 2016-10-25 03:21
menurut saya, karena RUU No 20 Tahun 2013 yang membidani dari inisiatif dari DPR dan keaktifan Kementerian Dikbud, sementara dari Kemenkes tidak berdiskusi karena tidak berhubungan dengan kesehatan.

Koordinasi antara stakeholder yaitu Kementerian Dikbud dan Kementerian Kesehatan yang tidak sejalan, menyebabkan RUU tidak berpihak kepada dokter umum di Indonesia.

Peran IDI saat proses pembuatan RUU menolak hingga walk out membuat UU sudah terbit, sedangkan pasal tentang DLP yang ditolak sudah masuk ke dalam UU. Yang kemudian dilakukan JR oleh IDI ke MK pun juga ditolak. IDI selanjutnya harus pro aktif dalam menyusun RPP turunan dari UU Pendidikan Kedokteran agar ke depan anggotanya yaitu dokter umum di Indonesia tidak dirugikan lagi.
Reply
# Tri Adi Nugroho 2016-10-25 03:31
Benar pak Iwan.

Sesuai dengan Tujuan Pembelajaran bagian Peran badan legislative dan eksekutif dalam penentuan kebijakan dalam hal ini adalah Anggota Legislatif dari Partai Politik dalam Proses Kebijakan. Menjadi sebuah catatan, apakah para Anggota legislatif tersebut memang sudah benar-benar mampu menjadi aktor yang menentukan kebijakan?
Reply
# Bayu Kusuma 2016-10-25 03:35
Dokter Layanan Primer yang merupakan produk dari UU Pendidikan Kedokteran no 20 tahun 2013, terasa cukup dipaksakan untuk bisa berjalan. Pemaksaan ini dimulai dari penyusunan UU yang sampai membuat Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) walkout, yang artinya ada masalah yang cukup krusial sehingga kedua organisasi tersebut tidak lagi mengikuti penyusunan UU. Terbukti setelah disyahkan, banyak protes bermunculan dari kalangan dokter.
Hal yang perlu lebih menjadi prioritas yaitu :
1. Mempersiapkan layanan untuk Universal Coverage 2019
2. Memperbaiki Maldistribusi Tenaga Kesehatan Inter dan Antar Wilayah
3. Mengendalikan Biaya Pelayanan (mengendalikan rujukan FKTP)
Biaya akan cukup besar jika harus diterapkan, semua dokter harus sekolah lagi dan akan membutuhkan banyak biaya kalau seluruh dokter umum harus mengikuti DLP. Di luar negeri, pedidikan dokter yang dianggap setara dengan DLP ini adalah sama dengan pendidikan dokter umum yang ada di Indonesia, artinya tidak ada perbedaan antara dokter umum dan DLP.
Artinya ada pemborosan anggaran apabila diterapkan DLP ini dengan pembiayaan pemerintah. Melihat hal ini, DLP seharusnya tidak menjadi prioritas hingga tahun 2019 dimana universal coverage diasumsikan sudah 100%.
Reply
# Felix Mailoa-Simkes 2016-10-25 04:07
Permasalah dalam pembentukan dan pengesahan UU no 20 tahun 2013 ini memang akan memakan waktu dan energi yang cukup panjang dalam proses implementasi dilapangan. Baik antara pemerintah maupun organisasi profesi dan kolegium memiliki pandangan yang berbeda dalam merespon UU ini. Dari sisi organisasi profesi dalam hal ini IDI (Ikatan Dokter Indonesia), keberadaan Dokter Layanan Primer (DLP) dianggap bertentangan dengan UU no 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran. Keberadaan dokter umum yang tidak memiliki sertifikat DLP tidak bisa melakukan praktik dan dapat memberikan dampak umum jika dipaksakan. Selain itu dengan adanya penerapan tambahan waktu untuk menempuh pendidikan DLP akan memberikan dampak kekosongan tenaga dokter di daerah kahususnya daerah-daerah yang kekurangan tenaga dokter karena tidak meratanya penyebaran tenaga dokter yang pada akhirnya dapat membuka celah bagi masuknya dokter asing ke Indonesia. Sebenarnya permasalahan pendidikan kedokteran ini cukup diatur dalam peraturan dibawah undang-undang karena dengan diaturnya masalah ini dalam undang-undang akan memunculkan banyak peraturan turunan yang lama-kelamaan pendidikan kedokteran ini akan semakin sulit diperbaiki. Sedangkan dalam sudut pandang pemerintah selam ini pendidikan kedokteran terlalu gampang dibuka walaupun tanpa dukungan sarana dan prasaran serta SDM yang baik. Selain itu pemerintah ingin berada pada posisi mengawasi jalannya pendidikan kedokteran ini untuk menjamin ketersediaan tenaga dokter yang kompatibel. Pertentangan antara ikatan profesi dan pemerintah dalam pembentukan UU ini sungguh menarik karena menurut saya pemerintah sedikit memaksakan dengan menginisasi lahirnya UU ini. Adanya inisiatif ini kemudian menunjukan bahawa ada “sesuatu” kepentingan lain diluar dari apa yang disampaikan. Akibatnya berisiko pada banyak kepentingan kedokteran yang belum terakomodir secara baik.
Reply
# RANNI MURTININGRUM 2016-10-25 05:42
Proses sebuah masalah kesehatan apakah akan menjadi sebuah agenda kebijakan sangat dipengaruhi oleh banyak faktor. Masalah kesehatan bisa masuk dalam agenda kebijakan apabila masalah tersebut di anggap serius dan memerlukan tindak lanjut dari pemerintah. Setiap kebijakan yang telah dan akan dibuat tentunya telah dipertimbangkan dengan sangat matang dan melibatkan banyak pihak yang kompeten di bidangnya masing-msaing dengan tujuan untuk kebaikan di masyarakat. Dalam kasus UU nomor 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran, belum diketahui apa yang menjadi faktor penyebab masuknya ide DLP dalam UU tersebut. Namun dapat saya asumsikan bahwa ide DLP dibuat bertujuan untuk meningkatkan kualitas dokter umum.

Teori penentuan kebijakan menurut model Kingdon menggambarkan bahwa pemunculan kebijakan melalui tiga alur. Kebijakan hanya akan dianggap serius oleh pemerintah ketika ketiga alur tersebut berjalan bersamaan (Buse, hal 95). Alur penentuan agenda menurut Kingdon yaitu :
1. Alur Masalah
Alur masalah mengacu pada persepsi yang menganggap masalah sebagai urusan publik yang memerlukan tindakan pemerintah dimana dalam kasus ini peningkatan kualitsa SDMK dokter umum dianggap sebagai suatu hal yang cukup serius.
2. Alur Kebijakan
Alur kebijakan terdiri dari analisis yang berkesinambungan terhadap masalah dan solusi-solusi yang ditawarkan bersama-sama dengan perdebatan yang mengelilingi masalah tersebut dan kemungkinan tanggapan terhadapnya (Buse, hal 96). Jika dilihat pada kasus ini, DLP mungkin bukan satu-satunya solusi yang ditawarkan untuk memecahkan masalah peningkatan kualitas layanan dokter umum, dalam prosesnya kemungkinan ada pilihan-pilihan lain yang pada akhirnya tidak masuk dalam penentuan agenda kebijakan. Perdebatan ketika pembahasan kebijakan juga cukup alot sampai-sampai IDI sebagai OP yang menaungi para dokter melakukan walk out.
3. Alur Politik
Alur politik berjalan cukup terpisah dari kedua alur yang lain dan terdiri dari kejadian-kejadian seperti perubahan dalam pemerintahan dan kampanye-kampanye yang dilakukan oleh kelompok kepentingan tertentu (Buse, hal 97). Pada kasus UU nomor 20 tahun 2013 hal yang perlu diperhatikan yaitu ide pembahasan RUU yang berasal dari DPR. Dalam proses penentuan kebijakan biasanya aka nada naskah akademik yang akan dibahas sebagai dasar penentuan kebijakan, namun dalam kasus ini anggota DPR yang mempunyai ide untuk membahas RUU, meskipun RUU tersebut sudah merupakan produk dari anggota DPR terdahulu.

Sistem pemerintahan sebuah Negara yang mempengaruhi perumusan kebijakan publik berkaitan dengan hubungan antara badan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Badan legislatif adalah badan yang mewakili rakyat, dalam hal ini DPR. Badan eksekutif adalah pimpinan Negara dalam hal ini presiden dan para menteri. Pada kasus ini eksekutif dirasa sangat kurang berperan dalam proses agenda kebijakan terutama kementerian kesehatan. Dalam prosesnya tidak tampak koordinasi antara Kemenristekdikti sebagai penyelenggara pendidikan kedokteran dengan kemenkes sebagai institusi yang akan menerima produk dari pendidikan dokter layanan primer. Legislator dalam kasus ini berperan sebagai whistle blower yang berinisiatif membahas RUU pendidikan dokter.

Dalam kasus ini partai politik tidak memiliki pengaruh langsung terhadap kebijakan, namun partai politik memiliki pengaruh yang lebih besar dalam mempengaruhi anggota lembaga-lembaga legislatif dan yudikatif dalam proses kebijakan.

Interest group dalam kasus ini adalah IDI sebagai organisasi profesi dokter. Dalam kasus ini taktik dan strategi kelompok interest dirasa kurang tepat dengan melakukan walk out. Adanya walk out menyebabkan tidak adanya aspirasi dokter dalam proses penentuan kebijakan sehingga legislatif berjalan sendiri tanpa adanya masukan dari pihak-pihak yang kompeten dan berhubungan langsung dengan kebijakan. Padahal jika saja IDI tidak melakukan walk out tentu masalah-masalah kebijakan yang menjadi perbedaan dapat dicari solusinya.

Setelah UU terbit IDI melaksanakan YR, hal ini tentu saja membutuhkan resources yang lebih besar. Jika dari awal IDI tidak melakukan walk out maka tidak perlu lagi adanya YR dan protes-protes terkait kebijakan dimaksud karena dari awal prosesnya sudah dikawal oleh IDI sebagai organisasi profesi dokter.
Reply
# Beny Binarto 2016-10-25 15:32
Saat ini lebih dari 80 persen masalah kesehatan ternyata dijumpai di tingkat primer. Hal ini menunjukkan, masih banyak masyarakat yang memiliki penyakit telah masuk stadium lanjut dan tak bisa diatasi di faskes primer. DLP akan dibekali kemampuan lebih dan dokter umum tidak perlu khawatir karena mereka akan saling melengkapi. Kita ingin mengembalikan Indonesia sehat dengan menguatkan akses pelayanan kesehatan primer. Dokter yang bakal menjalani pendidikan layanan primer harus mengedepankan pencegahan penyakit dan memiliki kepiawaian tangguh dalam pengobatan klinis. Pengobatan harus selesai di primer. Meski program pendidikan ini perlu waktu, tapi harus mulai dari sekarang agar bisa jadi tulang punggung layanan kesehatan primer.Pemborosan dana rakyat untuk prodi DLP? Bukankah lebih baik dana digunakan untuk menambah jumlah lulusan dokter dan dokter spesialis karena di beberapa daerah, rasionya masih belum terpenuhi, Selain itu dengan adanya penerapan tambahan waktu untuk menempuh pendidikan DLP akan memberikan dampak kekosongan tenaga dokter di daerah kahususnya daerah-daerah yang kekurangan tenaga dokter karena tidak meratanya penyebaran.
Reply
# Erdiana Retnowulan P 2016-10-26 01:52
UU Pendidikan Kedokteran merupakan inisiatif DPR yang mempunyai agenda antara lain: untuk memperkuat peran negara dalam pendidikan kedokteran dan memperketat syarat pendirian pendidikan kedokteran, meningkatkan subsidi pemerintah untuk pendidikan kedokteran, mengatur beasiswa yang dikaitkkan dengan penempatan, serta perbaikan sistem pendidikan residen sebagai tenaga kerja.
Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menentang RUU Pendidikan Kedokteran. Dalam proses penyusunan ini IDI melakukan langkah Walk Out (WO) atau menolak ikut terlibat dalam penyusunan UU Pendidikan Kedokteran, akan tetapi proses penyusunan RUU Pendidikan Kedokteran tetap berjalan. Argumen yang diajukan, antara lain adalah sudah ada UU Praktek Kedokteran. Sementara itu perkumpulan penyelenggara pendidikan kedokteran, Asosiasi Ilmu Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI) yang awalnya menentang, kemudian berubah pendapat dan mendukung RUU Pendidikan Kedokteran.
Poin penting yang menjadi kontra bagi praktisi kedokteran adalah Dokter Layanan Primer (DLP). UU No 20 tahun 2013 memperkenalkan istilah Dokter Layanan Primer sebagai strata baru pendidikan kedokteran di Indonesia. Sebagai tambahan, hanya dokter layanan primer, dokter spesialis, dan dokter subspesialis yang bisa masuk dan berada di dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional. Kedepannya hanya dokter layanan primer dan dokter praktik umum yang telah mengikuti program yang dapat menjadi dokter-dokter penyedia pelayanan kesehatan primer.
Pasca disahkannya UU Pendidikan Kedokteran pada tahun 2013, IDI tetap menentang UU tersebut, melalui Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI) mereka mengajukan Yudisial Review (YR) ke Mahkamah Konstitusi (MK) walaupun hasilnya hakim-hakim MK menolak secara keseluruhan gugatan YR PDUI.
Namun seiring berjalannya waktu di awal tahun 2016, proses internal berlangsung di IDI, terjadi perubahan sikap. Kabar terakhir pada bulan April 2016 disebutkan bahwa PB IDI menerima hasil dari MK dengan berbagai catatan dan berusaha aktif kembali dalam penyusunan RPP dan berbagai regulasi terkait UU Pendidikan Kedokteran. Dengan melakukan perubahan sikap ini, IDI sebagai perhimpunan profesi masuk kembali dalam proses penentuan kebijakan pendidikan kedokteran. Meskipun demikian masih terjadi perbendaan pendapat di kalangan IDI sendiri, dibuktikan dengan adanya demonstrasi secara serentak yang dilakukan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) di seluruh Indonesia pada tanggal 24 Oktober 2016 bertepatan dengan hari dokter nasional.
Melihat hal tersebut diatas tampak bahwa dalam penyusunan UU Pendidikan Kedokteran Tahun 2013 peran stakeholder kurang terlibat dan kalaupun ada sempat terjadi aksi walk out tetapi penyusunan RUU terus berjalan sehingga merugikan pihak terkait itu sendiri, walaupun terakhir ini (2016) akhirnya IDI berubah sikap dan masuk kembali dalam proses penentuan kebijakan pendidikan kedokteran Indonesia.
Reply
# Astria Lolo 2016-10-26 02:52
melihat permsalahan diatas jelas terlihat bahwa ada kepentingan dari pihak lain yang lebih diutamakan disini. seharusnya dalam penyusunan RPP yang berkaitan dengan DLP lebih melibatkan dan mendengar pendapat dari pihak yang memang terkait didalamnya seperti IDI,padahal kalau dilihat IDI merupakan organisasi yang paham betul tentang apa yang menjadi kebutuhan mereka, namun dalam hal ini justru pendapat IDI tidak diperhitungkaan dalam pengambilan keputusan. Permasalahan ini kembali didominaasi oleh aktor kebijakan yang memegang kekuasaan dalam penyusunan dan pengesahan kebijakan.
Reply

Add comment

Security code
Refresh