Pelatihan Internal untuk Para Peneliti-Konsultan PKMK FK-KMK UGM
UU Kesehatan dan Penyusunan Penulisan Aturan Turunan

Tahap 1: tanggal 8 Agustus 2023 – 26 Agustus 2023
tahap 2: tanggal 28 Agustus 2023 – 8 Oktober 2023

 

PENDAHULUAN

 Pendahuluan

Undang-Undang Kesehatan yang dibentuk berdasarkan metode Omnibus Law baru saja disahkan pada tanggal 11 Juli 2023 lalu, dan saat ini telah mendapatkan penomoran sehingga penyebutannya adalah Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Dengan menggunakan pendekatan OBL. Ada berbagai UU yang kini dicabut dengan adanya Undang-Undang No, 17 Tahun 2023, seperti:

  1. UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular
  2. UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
  3. UU No. 36 Tahun 2009 Kesehatan
  4. UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
  5. UU No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran
  6. UU No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa
  7. UU No. 36 Tahun 2014 tentang Keperawatan
  8. UU No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan
  9. UU No. 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan

Karakteristik peraturan yang dibentuk berdasarkan metode ini adalah memiliki banyak muatan, sesuai dengan namanya Omnibus yang berarti satu bus yang memiliki banyak muatan (Calage dalam Christiawan, 2021). Berdasarkan isinya yang bermacam-macam maka umum disebut sebagai aturan payung untuk merujuk pada perubahan-perubahan yang terjadi pada peraturan yang kekuatan hukumnya di bawah Undang-Undang, seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Kementerian dan peraturan lain sesuai dengan hirarki yang terdapat di Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Metode ini lazim dilaksanakan pada negara yang memiliki sistem hukum common law, yang mana sempat menimbulkan reaksi publik yang cukup kuat terutama pada proses pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja pada tahun 2019. Kemudian terdapat cacat formil di dalamnya karena unsur partisipasi masyarakat yang minim. Oleh karena itu pada saat Undang-Undang Kesehatan disusun dengan metode OBL, kesempatan partisipasi publik dibuka lebih banyak dibanding Undang-Undang Cipta Kerja. Jejak partisipasi masyarakat dapat ditelusuri dari rekaman-rekaman rapat dengar pendapat dan sosialisasi yang diumumkan melalui bantuan teknologi sehingga bisa diakses kapan saja.

Reformasi Kesehatan

Isu penting dalam UU Kesehatan ini adalah mengenai fungsi sebagai landasan hukum untuk reformasi Kesehatan. Reformasi kesehatan secara luas didefinisikan sebagai sebuah perubahan berkelanjutan dan terarah untuk meningkatkan efisiensi, pemerataan, dan efektivitas sektor kesehatan. Ditinjau dari metafora klasik mengenai Health System Control Knobs, reformasi kesehatan yang sejati terjadi jika lebih dari satu knobs dikelola secara bersamaan melalui siklus reformasi (Roberts et al. 2004). Gambar di bawah ini menunjukkan metafora reformasi.

knobMetafora ini menyatakan bahwa system Kesehatan dapat direformasi dengan mengubah berbagai tombol secara bersaman Tidak hanya 1 tombol tapi diharapkan semua tombol. Dengan merubah semua tombol tersebut diharapkan ada peningkatan status Kesehatan masyrakat, peningkatan kepuasan, dan melindung risiko terhadap penyakit katastropik.

Di Indonesia, belum pernah ada Reformasi Kesehatan secara menyeluruh sebelum pandemi Covid-19. Berbagai UU terkait kesehatan (sekitar 10) disusun dalam kerangka waktu lebih dari 15 tahun. Dengan demikian ada kemungkinan terjadi tumpang-tindih dan ketidak sinkronan kebijakan di sector Kesehatan. Sebagai catatan 2 UU terkait Kesehatan tidak masuk dalam OBL ini yaitu UU mengenai SJSN di tahun 2004, dan UU mengenai BPJS di tahun 2011.

Pada tahun 2019 sebelum terjadi Covid19 pernah ada wacana untuk melakukan Reformasi Kesehatan, namun tidak sampai dalam tahap merubah seluruh berbagai UU dengan metode OBL. Ketika terjadi Covid19, dirasakan bahwa memang diperlukan perubahan menyeluruh. Dengan pengalaman Covid-19, Transformasi Sistem Kesehatan dicanangkan sebagai langkah awal percepatan Reformasi Sistem Kesehatan di Indonesia. Gambar di bawah ini menunjukkan komitmen Kementerian Kesehatan dalam Transformasi Kesehatan.

Metafora yang digunakan dalam Transformasi Kesehatan berbeda dengan yang ada di reformasi Kesehatan. Akan tetapi prinsipnya sama dimana harus ada outcome yang terukur untuk sebuah transformasi. Dalam metafora rumah ini , di atas ada tujuan yang mewujudkan visi Presin Jokowo agar terjadi masyarakat yang sehat, produktif, mandiri, dan berkeadilan. Untuk mewudjudkannya terdapat 6 pilar tranformasi. Undang-Undang Kesehatan dirancang sebagai dasar hukum dari Transformasi Sistem Kesehatan yang terdiri dari 20 Bab dimana setiap bab dan pasalnya saling terkait sesuai dengan prinsip reformasi. Sebagai contoh, dengan masuk ke UU No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, kesehatan jiwa diharapkan dapat dikelola dengan lebih baik termasuk dalam hal pendanaan, SDM Kesehatan, teknologi, obat-obatan, dan berbagai pendukung lainnya yang tercantum dalam UU Omnibus Law (OBL) Kesehatan. Dengan demikian ada harapan dapat dikembangkan Kesehatan jiwa yang bertransformasi. Harapan ini bergantung pada kualitas penulisan regulasi turunan UU Kesehatan yang diharapkan dapat lebih aplikatif dan dapat meningkatkan status kesehatan masyarakat khususnya kesehatan jiwa.

Pasca Pengundangan

Setelah diundangkan dan kini memiliki kekuatan hukum, partisipasi masyarakat untuk mengawal Undang-Undang Kesehatan tidak berhenti begitu saja karena masih terdapat peraturan-peraturan turunan yang harus diselesaikan oleh Pemerintah. Tanpa ada aturan pelaksanaan yang baik, pelaksanaan UU OBL ini dapat gagal.
Oleh karena itu, peneliti di PKMK UGM perlu menguasai cara untuk memahami perubahan-perubahan yang terjadi dengan analisis dan evaluasi peraturan perundang-undangan. Analisis peraturan perundang-undangan dibutuhkan untuk melihat lebih dalam konten-konten yang terdapat di perundang-undangan. Masalah yang umumnya timbul dalam peraturan perundang-undangan antara lain adalah, tidak mampunya perundang-undangan berfungsi secara efektif sehingga tingkat kepercayaan masyarakat terhadap keandalan perundang-undangan menurun, tatanan hukum yang tidak berjalan dengan baik, daya guna peraturan perundang-undangan rendah dan kurang memberi kepastian hukum.

 

 

LAMPIRAN

A. Materi Dasar

1. Pedoman Analisis dan Evaluasi (ANEV)

Materi yang perlu diketahui oleh pelaku analisis dan evaluasi perundang-undangan akan diambilkan dari Pedoman Analisis dan Evaluasi (ANEV) yang telah dibuat oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) (Kemenkumham BPHN, 2019). Pada materi ANEV tersebut memuat setidaknya langkah-langkah yang perlu dilaksanakan untuk mendapatkan hasil ANEV yang baik:

1. Inventarisasi bahan

Bahan yang dimaksud antara lain adalah peraturan perundang-undangan yang akan dilakukan analisisi dan evaluasi, terutama yang berkaitan dengan isu yang akan diangkat. Ketentuan peraturan yang akan diinventaris tidak terikat pada Undang-Undang saja, tetapi juga bisa peraturan-peraturan turunannya. Kemudian, juga terdapat data pendukung seperti:

  1. Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai hasil pengujian Undang-Undang
  2. Putusan Mahkamah Agung mengenai hasil pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang
  3. perjanjian Internasional yang terkait
  4. Hasil penelitian hukum dan/atau non hukum
  5. Hasil kajian hukum dan/atau nonhukum
  6. Kebijakan Pemerintah
  7. Masukan masyarakat yang antara lain berasal dari hasil seminar, lokakarya, focus group discussion, diskusi publik, serta media massa baik cetak atau elektronik

2. Analisis

Proses analisis jika merujuk pada metode yang digunakan BPHN terdapat 6 Dimensi. Dimensi ini digunakan sebagai variabel penilaian, yang terdiri dari:

  1. Dimensi Pancasila, variabel Pancasila digunakan untuk menilai sejauh mana sebuah peraturan perundang-undangan menginternalisasi nilai-nilai Pancasila.
  2. Dimensi Ketepatan Jenis Peraturan Perundang-Undangan, berarti variabel yang melihat pada jenis dan hierarki. Perjenjangan berdasarkan hierarki perlu dicermati supaya tidak ada yang bertentangan dengan peraturan yang lain, berdasarkan asas hukum bahwa peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi
  3. Dimensi Potensi Disharmoni Pengaturan
  4. Dimensi Kejelasan Rumusan
  5. Kesesuaian Norma dengan Asas Materi Muatan
  6. Dimensi Efektivitas Pelaksanaan Peraturan Perundang-Undangan

 

2. Pasal-Pasal dalam Undang-Undang no 17 2023 tentang Kesehatan. klik pada link berikut
3. OBL dan Reformasi Kesehatan