Kemungkinan masalah dalam kebijakan kesehatan di kasus 2 - minat PPK

  1. Proses penyusunan kebijakan Raperda di DIY ini tidak berjalan sesuai harapan karena pertentangan pelaku (aktor).
  2. Kelompok di masyarakat dan perusahaan swasta yang mempunyai kemampuan lobby canggih terlihat lebih berkuasa dalam menentukan kebijakan dibanding pemerintah yang terpilih secara demokratis.

 

Comments  

# Luqman Afifudin 2016-10-18 03:44
Tidak bisa dipungkiri juga bahwa permasalahan serupa terkait gagalnya pengesahan kebijakan Perda KTR di beberapa daerah juga mengalami hal yang sama, sepertinya perusahaan rokok memainkan skenario tersembunyi agar produk hukum ini gagal dikeluarkan. Namun apabila kita cermati sesuai dengan kacamata kita sebagai seorang MPH bahwa proses ini belum final, toh apabila sudah keluarpun permasalahan atau tantangan dalam implementasi kebijakan Perda KTR bisa menjadi lebih kompleks karena ada beberapa titik kelemahan yang bisa menjadi blunder bagi pemerintah daerah setempat apabila tidak diantisipasi dengan menyiapkan lebih matang produk Peraturan Bupati yang menjelaskan secara teknis segala hal dalam penegakan atau pelaksanaan Perda KTR tersebut seperti halnya masalah denda atau sangsi hukum bagi pelanggarnya, karena hal ini belum begitu tersirat secara eksplisit dalam undang - undang atau peraturan menteri sebagai dasar kebijakan yang ada dibawahnya.
Terdapat beberapa permasalahan konsep pada proses pembuatan kebijakan Perda KTR di Yogyakarta :
1. Konsep aktor :
ada beberapa fraksi di DPR mengundurkan diri tidak menandatangani pengesahan kebijakan KTR dan ada elemen "Masyarakat Kretek dan Petani Tembakau" yang merasa tidak diajak dalam proses pembuatan kebijakan.
2. Konsep konten/isi
Masyarakat Kretek dan Petani Tembakau merasa tidak diajak dalam proses pembuatan Raperda KTR sehingga mereka beranggapan isi dari produk hukum ini tidak mencerminkan aspirasi masyarakat khususnya yang tergabung di "Masyarakat Kretek dan Petani Tembakau"
3. Konsep proses
Raperda KTR sudah masuk di Prolegda dan sudah dibahas di DPR namun akhirnya bermasalah pada saat menjelang disahkan (proses finalisasi) ditandai dengan beberapa fraksi tidak mau menanda tangani
4. Konsep konteks
Apakah pengajuan Raperda KTR juga dibarengi dengan kajian situasi kondisi politik yang terjadi di Jogja?karena pada awalnya tidak terjadi permasalahan namun menjadi gagal ketika akan disahkan.
Kesimpulan saya atas permasalahan kebijakan tersebut :
1. Esensi kebijakan KTR adalah melindungi kesehatan perokok pasif atau kelompok berisiko dari paparan asap rokok, ada Hak Asasi didalamnya, sudah semestinya harus diperjuangkan
2. Kebijakan KTR tidak dibuat untuk melarang orang merokok tetapi menempatkan perokok untuk lebih bijak dalam melakukan aktifitas merokok, tidak melarang orang merokok tetapi merokoklah pada tempatnya "Jadilah perokok yang memiliki Etika"
3. Proses politik menjadi hal yang wajib untuk diperhatikan dalam rangkaian proses pembuatan kebijakan, bukan tidak mungkin hanya tinggal tanda tangan namun menjadi gagal semuanya karena proses atau situasi politik ini tidak dikawal sepenuhnya
4. Perusahaan telah memainkan politik peran yaitu lobying kepentingan kepada DPR dan kelompok masyarakat dengan begitu canggihnya, kita sebagai MPH bisa belajar dari hal ini karena kuadran negatif mengandung titik positif yang apabila kita cermat dalam melihatnya maka terdapat peluang untuk melakukan hal yang luar biasa.
Reply
# Wiradianto Putro 2016-10-18 15:46
Sebagaimana telah dibahas dan dipahami bersama di dalam kelompok diskusi tutorial, ada beberapa aktor yang terlibat di dalam proses penyusunan Raperda di DIY diantaranya pihak legislatif di DPR yang notabene merupakan pihak yang menyalurkan aspirasi rakyat yang terbagi menjadi fraksi dengan kepentingan politik yang berbeda beda sehingga jika ada kebijakan yang berpengaruh terhadap kepentingan politik fraksi yang mendominasi, akan sulit sekali mengesahkan kebijakan tersebut, sebagaimana dalam kasus ini terdapat “Masyarakat kretek dan Petani Tembakau” yang tidak menutup kemungkinan disponsori oleh pihak pihak tertentu yang mengambil keuntungan dari penjualan rokok mempunyai hubungan kontrak politik dengan fraksi tertentu atau oknum oknum tertentu di legislatif sebelum mereka terpilih , sehingga jika “Masyarakat kretek dan Petani Tembakau” ini dirugikan dengan terbitnya Perda KTR maka akan berimplikasi pada hubungan yang tidak harmonis dengan pihak pihak yang melakukan kontrak politik tersebut. Isu tidak dilibatkannya Masyarakat kretek dan petani tembakau ini sendiri menurut saya hanya isue yang di blow up sebagai alibi dari apa yang sebenarnya terjadi. Terpilihnya pejabat pemerintah secara demokratis menurut saya hanya sebatas kepada mekanisme atau aturan main dari pemilihan suara saja, bukan esensi sebenarnya,karena jumlah suara dalam pemilihan suara dipengaruhi oleh jumlah dukungan masyarakat, yang dalam kasus ini perusahaan swasta bermodal besar yang memberikan lahan pekerjaan pada kelompok masyarakat tertentu mempunyai power dalam mempengaruhi masyarakat tersebut untuk kepentingan mereka. Dengan kata lain pada kasus ini, perusahaan swasta secara tidak langsung dapat mempengaruhi kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah.
Reply
# Ridwan Syukri 2016-10-18 22:39
Kasus ini telah dibahas pada diskusi tutorial, sehingga ada beberapa point yang menjadi perhatian saya, yaitu:
1. Telah nyata bahwa kepentingan publik dapat dikalahkan oleh kepentingan individu/kelompok. Dalam hal ini bahwa Raperda KTR yang hanya tinggal pengesahan, secara mendadak bisa dibatalkan penandatanganannya ketika para pengusaha turun tangan. Sehingga masing2 partai politik di DPRD DIY mengambil sikap balik badan. Padahal sudah banyak energi, waktu dan sumber daya yang dikeluarkan oleh akademisi, praktisi, kelompok anti tembakau, pemerintah dan legislatif di Prop. DIY dalam mengusung draft Raperda KTR tersebut yang pada akhirnya harus masuk laci.
2. Bahwa pertentangan/konflik pelaku (aktor) yaitu pengusung dan penolak Raperda KTR memang terjadi. Hasilnya bisa kita lihat sendiri dimenangkan oleh kelompok penentang Raperda KTR yang meliputi pengusaha rokok dan kelompok petani tembakau melalui "lobi cerdik" yang tidak menutup kemungkinan berbau gratifikasi.
3. Bahwa pengambil kebijakan tertinggi dalam pengesahan Perda KTR tersebut (Bupati dan anggota DPRD Prop. DIY) diisi oleh orang yang tidak "concern" terhadap dunia "publik health". Hal ini bisa diakibatkan bahwa latar belakang pendidikkan mereka yang bukan dari Kesmas, sehingga merasa tidak terlalu vital untuk segera menetapkan Perda KTR.
Reply
# Ridwan Syukri 2016-10-18 22:39
Kasus ini telah dibahas pada diskusi tutorial, sehingga ada beberapa point yang menjadi perhatian saya, yaitu:
1. Telah nyata bahwa kepentingan publik dapat dikalahkan oleh kepentingan individu/kelompok. Dalam hal ini bahwa Raperda KTR yang hanya tinggal pengesahan, secara mendadak bisa dibatalkan penandatanganannya ketika para pengusaha turun tangan. Sehingga masing2 partai politik di DPRD DIY mengambil sikap balik badan. Padahal sudah banyak energi, waktu dan sumber daya yang dikeluarkan oleh akademisi, praktisi, kelompok anti tembakau, pemerintah dan legislatif di Prop. DIY dalam mengusung draft Raperda KTR tersebut yang pada akhirnya harus masuk laci.
2. Bahwa pertentangan/konflik pelaku (aktor) yaitu pengusung dan penolak Raperda KTR memang terjadi. Hasilnya bisa kita lihat sendiri dimenangkan oleh kelompok penentang Raperda KTR yang meliputi pengusaha rokok dan kelompok petani tembakau melalui "lobi cerdik" yang tidak menutup kemungkinan berbau gratifikasi.
3. Bahwa pengambil kebijakan tertinggi dalam pengesahan Perda KTR tersebut (Bupati dan anggota DPRD Prop. DIY) diisi oleh orang yang tidak "concern" terhadap dunia "publik health". Hal ini bisa diakibatkan bahwa latar belakang pendidikkan mereka yang bukan dari Kesmas, sehingga merasa tidak terlalu vital untuk segera menetapkan Perda KTR.
Reply
# Zainab Hikmawati 2016-10-18 23:40
Seperti yang kita ketahui bahwa masalah rokok ini ibarat 2 sisi mata uang yang saling tarik menarik. Disatu sisi ingin melindungi para perokok pasif. Namun, disisi lain ada yang takut kehilangan sumner mata uang. Masalah Raperda KTR di DIY yang macet ini karena tidak melibatkan masyarakat khususnya para petani tembakau sehingga terjadi kesalahan pemahaman. Mereka khawatir tembakau yang menjadi Sumber penghasilannya akan hilang jika Raperda KTR ini disahkan. Padahal tidak demikian, Raperda KTR ini tidak melarang merokok. Namun, merokok ada aturannya yaitu merokok hanya pada tempatnya. Melihat masalah ini, para produsen rokok mengambil peluang untuk menentang Raperda KTR ini. Mereka merasa rugi kemungkinan karena telah mengeluarkan dana yang cukup banyak untuk menyokong para oknum partai politik yang pro rokok jika Raperda KTR ini disahkan.
Reply
# WARTONO_PPK 2016-10-19 00:03
Bismillah..
1. Proses penyusunan kebijakan Raperda di DIY ini tidak berjalan sesuai harapan karena pertentangan pelaku (aktor).
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa dalam konsep segitiga kebijakan, ada beberapa unsur/ faktor yang mempengaruhi sebuah kebijakan yaitu Aktor, Proses, Konteks dan Konten. Keempat faktor ini harus benar-benar terpenuhi dan bersinergi dengan baik agar suatu kebijakan bisa dihasilkan, sebaliknya jika keempat faktor tersebut tidak bisa saling mendukung maka mustahil untuk dihasilkan suatu kebijakan. Begitu pula dengan kasus Raperda KTR di DIY, ada pertentangan antara aktor yang terlibat dan berkepentingan dengan adanya kebijakan tersebut. Yaitu adanya penolakan dari “Masyarakat kretek dan Petani Tembakau”. Pertentangan ini kemungkinan besar adalah karena belum adanya kesepakatan terkait KONTEN dari perda tersebut.
Dari kasus tersebut menurut saya ini adalah sebuah bukti nyata bahwa dalam penyusunan suatu kebijakan, keempat faktor tersebut (Aktor, Proses, Konten dan Konteks) sangat berpengaruh dan saling terkait. Ketika Aktor yang terkait tidak sepemahaman, apalagi kalau sampai tidak dilibatkan kemudian kontek yang tidak melihat situasi dan kondisi ditambah lagi konten dari kebijakan tersebut pun dipertentangkan maka proses nya pun pasti akan terganjal.
2. Kelompok di masyarakat dan perusahaan swasta yang mempunyai kemampuan lobby canggih terlihat lebih berkuasa dalam menentukan kebijakan dibanding pemerintah yang terpilih secara demokratis.
Kalau kita bicara suatu kebijakan, baik itu sebelum atau sesudah kebijakan itu disahkan, pasti akan ada konflik kepentingan didalamnya, ada pro dan kontra. Sebelum kebijakan disahkan, semua pihak yang berkepentingan pasti akan melakukan upaya-upaya untuk menggagalkan atau men”goal”kan kebijakan tersebut. Sehingga endingnya akan sangat tergantung pada pihak mana yang memiliki “kekuatan” lebih dalam melakukan lobby-lobby nya. Rendahnya integritas anggota dewan, kurangnya pengawasan, dan leluasanyan pihak perusahaan dalam melakukan lobby-lobby sangat menentukan disetujui atau tidak disetujui nya suatu kebijakan.
Reply
# Ida Susanti 2016-10-19 00:27
Penerapan kawasan tanpa rokok (KTR) merupakan kewajiban setiap pemerintah daerah, seperti yang tertera pada UU Kesehatan no. 36 tahun 2009. Permasalahan merokok merupakan permasalahan kesehatan masyarakat. Aturan tentang rokok sangat lemah di Indonesia, sehingga jumlah perokok terutama perokok muda semakin tinggi.
saat ini, masalah rokok masih menjadi perdebatan dari berbagai pihak. Hal ini menjadi serius mengingat semakin gencarnya iklan rokok yang menjadi pintu gerbang untuk membidik kalangan muda, terutama anak-anak. Sebuah Peraturan saja itu tidaklah cukup untuk mengontrol para perokok aktif yang notabene telah mengakar di tengah-tengah masyarakat. Pada permasalahan yang terjadi tersebut, apa bila di tinjau dari segitiga kebijakan kesehatan. Ada beberapa konsep atau pun aspek yang belum sesuai dengan segitiga kebijakan :
Di lihat dari dari konsep Aktor : yang terdiri dari pemerintah yogyakarta, DPRD Yogyakarta, Badan legislatif yogyakarta, masyarakat kretek dan petani tembakau yogyakarta. Pada masyarakat terjadi ketidak persetujuan terhadap perda KTR.
Konsep isi/content : adanya protes dari komunitas masyarakat yaitu"Masyarakat Kretek dan Petani Tembakau" menyatakan protes dan tidak menyetujui Raperda tersebut dan menuntut Raperda tidak ditandatangani. Alasan yang mereka kemukakan adalah tidak dilibatkannya petani tembakau dan pabrik rokok dalam pengembangan Raperda. Sementara itu juga, adanya beberapa fraksi di DPRD mengundurkan diri, karena menurut mereka Raperda adalah cacat hukum dan akan merugikan petani tembakau. Sehingga, Sampai sekarang Raperda KTR di Provinsi DIY tidak ditandatangani, walaupun terdapat dua kabupaten di DIY telah memiliki Perda KTR pada saat ini yaitu Kulon Progo dan Gunung Kidul. Hasil ini terjadi dikarenakan advokasi terus-menerus dari lembaga eksekutif ke lembaga legislatif.
Konsep proses : pada proses pelaksanaan dari pengesahan perda KTR tersebut masih banyak terjadinya ketimpangan-ketimpangan antara anggota politik dengan anggota pemerintah, anggota pemerintah atau anggota politik dengan masyarakat kretek (petani tembakau). Hal inilah yang membuat perumusan dari kebijakan perda KTR belum dapat di sahkan. Tentunya tujuan dari beberapa oknum yang diharapkan mengenai pengesahan perda KTR tersebut belum dapat terlaksana sesuai dengan tujuan yang telah di tetapkan.
Konsep konteks : adanya faktor-faktor yang berpengaruh terhadap permasalahan yang sedang terjadi hal ini di warnai dari berbagai banyak hal. Salah satu diantaranya adanya peraturan yang sudah dibuat namun kurang adanya ketegasan atau masih lemahnya peraturan tersebut.
KESIMPULAN :
Pemerintah Kota Yogyakarta yang tengah menyiapkan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang aturan merokok di tempat-tempat umum untuk memberikan perlindungan pada perokok pasif. Raperda tersebut tidak melarang masyarakat untuk merokok. Tetapi memberikan aturan-aturan tertentu dalam merokok sehingga tetap bisa memberikan perlindungan kepada perokok pasif. Aturan merokok ini tidak hanya akan diberlakukan di kantor-kantor lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta. Tapi juga gedung legislatif, tempat ibadah, sekolah, sarana pelayanan kesehatan, tempat bermain anak, dan tempat perbelanjaan. Hal ini dapat di lihat pada Instruksi Menteri Kesehatan Nomor 84/Menkes/Inst/II/2002 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Tempat Kerja dan Sarana Kesehatan, Instruksi Menteri Pedidikan dan Kebudayaan RI Nomor 4/U/1997 tentang Lingkungan Sekolah Bebas Rokok, Instruksi Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 161/Menkes/Inst/III/ 1990 tentang Lingkungan Kerja Bebas Asap Rokok.
Yogyakarta, secara mandiri, mulai pada tahun 2012 memiliki 20 rukun warga (RW) yang telah mendeklarasikan sebagai kawasan bebas asap rokok. Yaitu melarang perokok merokok di dalam rumah, saat pertemuan warga, di depan balita dan anak-anak, serta di depan perempuan. Dari uraian diatas, Pemerintah sudah mengupayakan untuk terselenggaranya kawasan tanpa rokok di Indonesia. Tinggal bagaimana masyarakat ikut berperan serta untuk mewujudkan Indonesia yang lebih sehat tanpa asap rokok beserta elemen elemen dari pemerintah.
Reply
# Bernike sofia zega 2016-10-19 21:30
Beberapa hal menurut pendapat saya terkait kasus diatas :
1. Sebuah kebijakan akan selalu terkait dengan kepentingan pihak pihak tertentu, baik internal maupun eksternal dari pihak yang mermuskan kebijakan itu sendiri. Implementasi RAPERDA DIY tentang Kawasan Tanpa Rokok pasti memliki potensi terhadap berbagai aspek, seperti ekonomi, kesehatan, lingkungan, maupun budaya. Banyak input yang bisa mengubah keputusan pelaku pengesahan dalam waktu singkat. Para aktor yang akan mengesahkan kebijakan KTR tersebut akan mendapatkan intervensi secara langsung maupun tidak langsung. Pihak- pihak yang mengesahkan RAPERDA DIY tentang KTR, notabenenya memliki hubungan pluralis dengan berbagai komunitas, tentunya akan memikirkan kerugian dan benefit yang mereka terima terkait kebijakan yang dibuat. Potensi kerugian kepada pelaku pengesahan itu sendiri akan menjadi bahan pertimbangan dan peninjauan ulang kebijakan tersebut, secara langsung pelaku akan menentang kebijakan itu, melihat pengaruh terhadap kestabilan organisasi internal mereka.
2. Tembakau merupakan sumber daya yang memiliki potensi terhadap berbagai aspek. Salah satunya ialah aspek ekonomi, Rokok yang merupakan produk jadi tembakau memiliki distribusi yang besar. Seperti yang kita tahu, pajak rokok juga menjadi salah satu devisa Negara terbesar kita saat ini. Kelompok masyarakat seperti petani tembakau dan juga perusahaan pengolahan rokok pasti menjadi elemen penting terhadap kondisi yang saya sebutkan diatas. Secara implisit petani tembakau dan perusahaan pengolahan rokok berpengaruh terhadap penacapaian angka perkapita negara, selain itu juga mencakup skala ketersediaan lapangan pekerjaan yang luas. Kebijakan KTR tentu akan berdampak langsung terhadap animo masyarakat untuk rokok, daya beli masyarakat yang jatuh akan berdampak terhadap turunnya angka produksi petani tembakau dan perusahaan pengolahan rokok. Tentunya ini menjadi sebuah ancaman untuk kelompok masyarakat seperti petani rokok dan juga perusahaan rokok. Atas dasar itu kelompok masyarakat dan juga perusahaan rokok maupun perusahaan lain yang terkait produksi dan distribusinya, pasti akan berupaya memberikan advokasi dengan berbagai cara dan dari segala sektor terhadap pihak yang merumuskkan kebijakan KTR tersebut. Kondisi ini memberikan kesan bahwa kelompok masyarakat dan perusahaan perusahaan terkait memiliki dominasi yang kuat terhadap sebuah kebijakan yang dirumuskan pemerintah, melihat sebab akibat yang diterima terkait kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.
Reply
# Apriliana Dany Susan 2016-10-19 23:31
Menurut saya, memang susah sekali menjadikan raperda yang sangat sensitif seperti raperda kawasan tanpa rokok terealisasi menjadi perda kecuali memang ada lobi yang sangat canggih dari pihak dinas kesehatanvataupun kelompok - kelompok anti rokok kepada pembuat kebijakan baik kepala daerah atau DPRD, tanpa lobi saya pikir akan mustahil menjadikannya perda, apalagi mengingat banyak sekali kepentingan politik yang menolak perda ini, terutama pabrik rokok yang mempunyai cara - cara yang “unpredictable” untuk tetap bisa menjual rokok dengan bebas tanpa dibatasi peraturan apapun. Kepedulian dari para pemangku kebijakan atau background pendidikan dari pejabat daerah juga sangat berpengaruh dalam pembuatan perda tersebut, jika kepala daerah atau anggota DPRD mempunyai background pendidikan dari medis akan lebih mudah untuk merealisasikan perda tersebut. Semua kembali lagi kepada lobi canggih dari masing - masing pihak baik yang menginginkan perda tersebut atau bahkan menggagalkan perda tersebut.
Ada juga kepentingan dari anggota DPRD pada kasus ini, para anggota DPRD ini mempunyai ketakutan untuk menandatangani sesuatu yang tidak pro rakyat dalam hal ini pro kepada para perokok di kota Jogjakarta, mengingat bahwa jumlah perokok sangat banyak, para anggota DPRD ini tidak mendapatkan dukungan dalam pencalonan nya kemabali periode yang akan datang atau bagi yang tidak mencalonkan kembali timbul ketakutan apabila partai yang dinaunginya di kecam oleh masyarakat yang pro rokok dan kemungkinan tidak akan dipilih lagi dalam pencalonan apapun baik anggota dewan atau bahkan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Tapi kita tidak boleh menyerah begitu saja sebagai pihak yang memang ingin masyarakat ada dalam lingkungan yang selalu sehat, toh perda tersebut tidak melarang para perokok untuk berhenti merokok, tapi dari perda tersebut diharapkan perokok dapat merokok dengaan bijak, tidak juga merampas hak orang lain untuk bisa menikmati udara yang segar tanpa asap rokok. Dalam meyakinkan anggota DPRD kita harus mempunyai data - data yang valid berapa jumlah perokok saat ini yang mungkin sebagian besar adalah remaja, kerugian apa saja yang diderita apabila seseorang yang sehat terpapar asap rokok terus menerus dan untuk perokok itu sendiri. Dan kembali lagi kemampuan untuk mempengaruhi para anggota DPRD pastinya.
Reply
# Irma Alya Safira 2016-10-20 00:07
Pendapat saya mengenai hal ini yaitu:
1. Peraturan yang dibuat untuk kepentingan bersama dapat dikalahkan karena kepentingan kelompok tertentu. Hal ini dapat terjadi setiap saat karena terdapat unsur politik, bahwa yang akan menang adalah pihak yang memiliki kekuasaan. Penyusunan perda tentunya telah menghabiskan waktu dan biaya yang tidak sedikit, yang seharusnya dapat disahkan dan berjalan demi kepentingan bersama, khusunya perda kawasan tanpa rokok. Dilihat dari pandangan sebagai pemerhati kesehatan masyarakat, tentunya sangat mendukung demi kebijakan ini berjalan dengan baik. Perda ini tidak mengurangi hak orang untuk merokok, hanya membatasi kawasan untuk diperbolehkan atau tidaknya merokok karena perilkau tersebut menimbulkan dampak bagi orang disekitarnya, yaitu perokok pasif yang memiliki resiko akan kesehatannya.
2. Sistem pemerintahan tidak terlepas dari sisi politik, sehingga orang-orang yang terpilih tentunya memiliki kepentingan tersendiri akan jabatan yang sedang dilakonkan sebagai aktor. Sangat disayangkan karena sebagai manusia terkadang memiliki ego yang tinggi akan kepentingan dirinya dan kelompoknya. Maka, sebaiknya orang-orang pemerhati kesehatan lebih banyak terlibat sebagai aktor pembuat kebijakan sehingga kebijakan yang terwujud memiliki unsur kepentingan tersendiri bagi pemerhati lingkungan.
Reply
# Dita Anugrah Pratiwi 2016-10-20 00:49
Kembali lagi pada konsep segitiga kebijakan, adanya peran aktor, kemudian konteks, proses dan isi sangat menentukan kebijakan itu sendiri. Jika membahas masalah rokok, seperti tidak akan ada habisnya, rokok menjadi salah satu penyebab berbagai masalah kesehatan masyarakat. Sehingga, dibutuhkan aturan-aturan yang dapat mengendalikan dan menyelesaikan masalah tersebut. Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR), Perlindungan Asap Rokok Orang Lain (AROL) dan Pengurangan Kebiasaan Merokok di Yogyakarta ini, sudah dianggap tepat bagi beberapa pihak seperti pemerintah dan Forum Jogja Sehat Tanpa Tembakau (JSTT). Namun, disisi lain terdapat banyak pertentangan yang terjadi pada aktor yang terlibat, yaitu adanya penolakan terhadap kebijakan tersebut dari “Masyarakat kretek dan Petani Tembakau” yang menyebabkan tidak jadi ditandatanganinya kebijakan tersebut dengan alasan yang mereka kemukakan adalah tidak dilibatkan dalam pengembangan Raperda tersebut. Adanya pengaruh politik dalam hal ini. Selain itu, dari segi konteks dalam penyusunan kebijakan tersebut tidak melibatkan aktor yang berkepentingan seperti pabrik rokok dan masyarakat. Hal ini yang menyebabkan pemerintah hanya melihat dari satu pihak, tanpa mempertimbangkan pihak yang lainnya.
Reply
# Cati Martiyana 2016-10-20 01:23
Penyusunan Perda KTR menunjukkan bahwa proses kebijakan dapat berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Hal ini dipengaruhi oleh “posisi komoditas rokok” yang memberikan banyak manfaat/ kontribusi penting terhadap beberapa pihak. Sehingga tidak mengherankan jika substansi perda berupa “merokok” menjadi sarat politis dan dan pada akhirnya tidak terselesaikan. Perda merokok tentu saja dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap pendapatan perusahaan rokok, sehingga kebijakan menjadi tarik ulur pada tataran pemerintahan. Ada negosiasi-negosiasi politik yang terjadi antara swasta “perusahaan rokok” dan elit politik. Disinyalir banyak dana-dana politis yang berasal dari perusahaan rokok. Hal ini menunjukkan bahwa ada keuntungan yang bersifat “simbiosis mutualisme” antara elit politik dan perusahaan swasta. Konten kebijakan menguntungkan pemegang modal dan elit politik jika tidak diberlakukan.Dalam penyusunan kebijakan pada umumnya melibatkan berbagai aktor yang dapt menjadi perwakilan dari setiap elemen, diantaranya pemerintah, akademisi, swasta dan organisasi sosial kemasyarakatan. Dalam penyusunan Perda KTR ini, komunitas masyarakat dan petani tembakau merasa tidak dilibatkan dalam proses penyusunan kebijakan tersebut. Ada dua kemungkinan, yaitu apakah komunitas tersebut memang sengaja tidak dilibatkan dalam penyusunan kebijakan tersebut? Atau ada delegasi, tetapi tidak keberadaan mereka mencerminkan kebutuhan dan aspirasi dari masyarakat tersebut. Artinya hal tersebut menjadi bagian dari skenario politik dalam rangka tidak menyukseskan Kebijakan Perda pada akhirnya tidak terselesaikan. Berdasarkan kasus ini pula menunjukkan bahwa, dari aspek aktor, kolaborasi antara elit politik dan kelompok pemegang modal menjadi penentu sebuah kebijakan bisa gol atau tidak. Selain itu dari aspek proses kebijakan, jalannnya proses kebijakan yang berlangsung relatif bisa diatur/ dikendalikan sedemikian rupa oleh mereka yang berkuasa.
Reply
# #Laode Reskiaddin 2016-10-20 02:02
Pendapat saya bahwa dalam proses pembatalan pengesahan KTR tersebut adalah lagi-lagi karena adanya kepentingan tertentu yang dilakukan oleh actor kebijakan . Salah satu kepentingannya kemungkinan ialah mencari perhatian dari masyarakat terutama masyarakat petani tembakau dalam hal mendapatkan dukungan politik kedepannya. Kalau kita melihat perspektif dampak, tentunya masyarakat kretek dan petani tembakau merasa dengan adanya kebijakan KTR ini akan membawa kerugian yang besar karena merurutkku mereka berasumsi bahwa kebijakan KTR ini bertujuan untuk melarang masyarakat untuk merokok, hal tersebut tentu berdampak pada pendapatan mereka kelar. Olehnya itu mereka berusaha keras untuk membatalkan kebijkan tersebut dengan memprotes ke DPRD, mereka mengganggap bahwa seharusnya mereka dilibatkan dalam pembuatan tersebut . Padahal kalau dicermati, Kebijakan ini ialah bukan untuk melarang masyarakat untuk merokok tetapi masayarakat kalau merokok itu secara bijaksana (di daerah-daerah tertentu). Olehnya itu perlu adanya sosialisasi terlebih dahulu kepada masyarakat tentang pemahaman mengenai Kawasan Tanpa Rokok ini.
Reply
# luthfiatul makhmudah 2016-10-20 03:10
1 ). Pertentangan aktor dalam penyusunan Raperta KTR di Provinsi DIY memang terjadi, hal itu terlihat dalam finalisasi Perda yang seharusnya sudah ditanda tangani mendadak di tunda setelah adanya protes dari kelompok masyarakat/petani tembakau. Hal ini dimungkinkan terjadi karena ada pertentangan dua kelompok masyarakat yang mendukung Perda dan yang menolak Perda.
2). Kelompok masyarakat yang menentang Perda yang terdiri dari petani dan pengusaha tembakau memiliki kemampuan modal yang lebih kuat dibandingkan kelompok pendukung Perda. Dengan demikian tidak menutup kemungkinan dalam upaya lobby penundaan Perda mereka menggunakan transaksi politik yang menggunakan materi (Uang). Sehingga maksud dan tujuan mereka dapat tercapai dan terkesan sanggat dominan sehingga mampu mempengaruhi para pengambil kebijakan (Pemerintah & Legislatif) uuntuk menunda ataupun membatalkan Perda KTR di Provinsi DIY.
Reply
# Windri Lesmana R 2016-10-20 07:46
Dapat kita sadari, penegakan kebijakan tersebut tidak dibarengi dengan kerjasama dari aktor utama seperti pabrik rokok, Masyarakat Kretek dan Petani Tembakau, memunculkan ketimpangan dan perbedaan persepsi yang kemungkinan besar terjadi akibat adanya kepentingan pribadi (conflict of interest) antar instansi, sehingga tidak terbentuk komitmen yang solid untuk menjalankan peraturan tersebut. Petani tembakau menyadari hal ini sebagai ancaman bagi mata pencaharian utama mereka, termasuk juga pabrik rokok yang kita ketahui bersama di Jawa Tengah ini cukup banyak keberadaannya, ditambah lagi masyarakat kretek yang sangat menentang karena menjadi ancaman bagi kepentingan mereka. Padahal bila kita mau cermati bersama, penerapan aturan Kawasan Tanpa rokok sebetulnya bukan serta merta melarang untuk seseorang merokok, namun lebih kepada memberikan batasan bagi mereka perokok untuk tidak merokok disembarang tempat, seperti di tempat umum ataupun di dalam ruang pertemuan, juga tempat-tempat yang berada individu berisiko seperti bayi, anak-anak, ibu hamil dan lansia, sehingga sebetulnya mereka perokok aktif tetap diberikan ruang. Namun bukan berarti, hal ini dijadikan alasan pembenaran bahwa merokok bukanlah masalah. Sudah sepatutnya bahaya rokok disadari oleh setiap orang sehingga mereka akan menghindari atau bagi mereka perokok aktif akan mulai mengurangi. Disamping menanti peraturan tersebut dapat benar-benar disahkan dan diaplikasikan, maka yang paling mampu kita lakukan adalah upaya sosialisasi atau promosi kesehatan secara masiv kepada masyarakat tentang bahaya rokok agar masyarakat lebih menyadari terutama bagi anak usia sekolah yang mana saat ini menjadi fenomena sendiri bahwa usia inisiasi merokok semakin muda. Demi alasan kesehatan, kampanye behaya rokok harus terus disuarakan.
Salam^^
Reply
# budi rodesta 2016-10-21 09:13
saya setuju bahwa penegakan kebijakan ini memang tidak dibarengi dengan kerjasama antara aktor utama dengan aktor lain diluar aktor utama. seperti yang kita ketahui bahwa pentingnya mempertimbangkan aktor diluar aktor utama sangat menentukan jalannya suatu kebijakan. oleh karena itu pembuat kebijakan hendaknya melakukan analisis terlebih dahulu dampak yang terjadi bila suatu rancangan kebijakan akan diberlakukan. perlu juga mempertimbangkan pendapat dari aktor diluar aktor utama yang terkadang diluar pertimbangan/pemikiran dari pembuat kebijakan sehingga suat kebijakan dapat berjalan lancar.
Reply
# Tika Amimah Hasibuan 2016-10-20 14:53
Menurut saya penyusunan Perda Kawasan Tanpa Rokok di Propinsi DIY mengalami kendala pada tahap akhir dan penyebabnya dikarenakan adanya konflik antar aktor yakni kelompok yang mendukung diberlakukannya Perda KTR dalam hal ini aktivis kelompok peduli pengendalian tembakau dan akademisi kemudian di sisi lainnya ada kelompok yan anti terhadap pemberlakuan Perda KTR yakni kelompok pengusaha dan masyarakat tembakau. Penundaan pengesahan Perda KTR ini menjadi bukti bahwa kelompok pengusaha tembakau lebih dominan melakukan "lobby" terhadap penentu kebijakan Perda (Legislatif). Kemampuan melakukan "transaksi politik" mereka dengan segenap daya upaya yg tidak menutup kemungkinan menggunakan gratifikasi sebagai alat tukarnya. Sehingga partai politik di DPRD DIY yang sudah didepan mata untuk melakukan pengesahan Perda KTR mendadak mundur satu per satu untuk menunda atau secara tidak langsung membatalkan Perda tersebut.
Reply
# Vina Yulia 2016-10-20 17:04
Mohon izin mengajukan pendapat. Menurut saya, melihat dari pembatalan Perda KTR tersebut dikarenakan adanya unsur kekuasaan oleh pihak tertentu yang tidak menginginkan terwujudnya peraturan tersebut. Raksasa besar penguasa yang memiliki kekuatan finansial lebih besar, terutama mereka sebagai pemilik industri rokok akan gencar menggunakan networking mereka untuk masuk ke pemerintahan sebagai "oknum" yang membantu memuluskan jalan si raksasa besar tersebut agar perda batal. Pemerintah pun sulit bergerak bebas dalam perwujudan perda ini dikarenakan pernah ada melakukan "hutang budi" kepada perusahaan industri rokok, misalnya mungkin seperti sponsorship dalam kampanye sebelum terpilih dan duduk di kursi pemerintahan. Pihak dari perusahaan juga meminta timbal balik kepada pemerintah karena sudah menyokong pundi-pundi uang untuk kampanye. Sehingga seperti politik dijadikan suatu bisnis. Terlihat sekali bahwa siapa yang paling punya kekuasaan akan mempengaruhi suatu kebijakan. Selain dengan jalan adanya keterlibatan "oknum" dalam penggagalan penandatangan perda, masyarakat kretek dan petani tembakau juga menolak perda tersebut karena dianggap tidak melibatkan mereka dalam penyusunan peraturan tersebut. Mereka merasa akan kehilangan pekerjaan dan pendapatan jika perda disahkan. Kemungkinan pula bahwa sebenarnya aksi kontra dari masyarakat kretek dan petani tembakau bukan berasal dari inisiatif mereka sendiri, namun hasil dari provokasi perusahaan industri rokok agar mereka menentang perda tersebut. Sebenarnya perda ini dilahirkan agar perokok lebih bijak dalam merokok, dalam artian merokok pada tempatnya.
Reply
# Sholikah 2016-10-20 17:06
Menurut saya, proses penyusunan Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) sudah sampai masuk ke agenda di prolegda namun pada saat pengesahan mengalami hambatan karena pertentangan dari aktor (pelaku). Penyusunan perda ini melibatkan banyak kepentingan dan kental dengan nuansa politik karena pada akhirnya perda ini tidak jadi disahkan karena ada fraksi di DPRD yang mengundurkan diri. Disini bisa dilihat unsur power/kekuasaan yang berperan. Masalah rokok merupakan masalah yang melibatkan banyak pihak karena memiliki dampak ekonomi terutama pihak masyarakat kretek dan para pengusaha rokok. Mereka kepentingan tersendiri terkait perda ini sehingga berusaha untuk menghambat pengesahan perda. Pihak-pihak yang memiliki kepentingan ini memiliki kekuatan lobi yang digunakan untuk mempengaruhi pengambil keputusan dalam hal ini DPRD Provinsi untuk tidak mengesahkan Perda KTR.
Reply

Add comment

Security code
Refresh