Kemungkinan masalah dalam kebijakan kesehatan di kasus 2 - minat K3

  1. Proses penyusunan kebijakan Raperda di DIY ini tidak berjalan sesuai harapan karena pertentangan pelaku (aktor).
  2. Kelompok di masyarakat dan perusahaan swasta yang mempunyai kemampuan lobby canggih terlihat lebih berkuasa dalam menentukan kebijakan dibanding pemerintah yang terpilih secara demokratis.

 

Comments  

# AHMAD FAUZI K3 2016 2016-10-19 08:04
Dalam proses penyusunan kebijakan yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak seperti Raperda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) tentu saja mempunyai banyak kepentingan. Oleh sebab itu,sebaiknya memang setiap aktor atau setiap stakeholder yang terkait harus dilibatkan. Kasus yang terjadi di DIY dimana Raperda Kawasan Tanpa Rokok yang seharusnya berjalan mulus namun karena adanya pertentangan dari satu partai politik serta sekelompok masyarakat pecinta kretek dan petani tembakau menyebabkan Raperda tersebut akhirnya tidak berjalan sesuai harapan.
Selain itu, kemungkinan didalam tubuh legilatif sendiri banyak anggota yang tidak mendukung Raperda tersebut tetapi menolak dengan dalih atas nama rakyat sehingga pada saat ada kelompok masyarakat yang tidak mendukung dan merasa tidak dilibatkan dalam penyusunannya menjadi alasan yang tepat bahwa Raperda tersebut cacat hukum. Hal ini bisa dicegah seandainya dari awal aktor yang mengganggap dirinya tidak dilibatkan dalam hal ini masyarakat dan petani tembakau dilibatkan dalam dengar pendapat dengan anggota DPRD.
Tidak dapat dipungkiri masalah rokok adalah masalah yang kompleks.
Aspek perekonomian yang selalu menjadi alasan utama sehingga Kawasan Tanpa Rokok atau menutup pabrik rokok tidak pernah bisa diwujudkanMaka tidak dapat dinafikan pengusaha rokok akan melakukan berbagai cara termasuk melakukan lobby pihak-pihak yang berkuasa agar program penutupan pabrik rokok atau pemberlakuan Kawasan Tanpa Rokok dalam bentuk Raperda bisa tidak terwujud.
Karena itu menurut saya sanagat di perlukan sosialisasi terhadap masyarakat agar tembakau itu bisa di subtitusi kepada produk lain yang mana penghasialan petani tembakau tetap tidak berkurang meskipun raperda ini sudah di syahkan.
Reply
# Raden Seto Kaliurang 2016-10-19 08:39
sedikit komentar terkait kasus diminggu ini, seperti yang sudah kita ketahui bersama di indonesia masalah rokok ini bukanlah masalah yang baru melainkan sudah menjadi masalah yang bisa kita anggap sebagai warisan dari masyarakat terdahulu sebelum kita. banyaknya pro dan kontra terkait masalah rokok, seyogyanya masyarakat juga lebih peka dan sadar akan bahaya yang ditimbulkan oleh rokok. individu yang tidak merokok diharapkan dapat lebih menghargai individu yang merokok dan begitu juga sebaliknya. terkait masalah penyusunan kebijakan, saya rasa hal tersebut bukanlah hal yang sulit tetapi nyatanya di indonesia hal itu menjadi sesuatu yang sangat sulit bisa kita lihat disetiap sisi dan pojok baik fasilitas umum ataupun bukan pasti ada disponsori rokok. hal yang perlu di gali dan ditelusuri adalah aktor-aktor yang ada dibelakang yang mana mereka memiliki sebuah power untuk menyatakan suatu kebijakan itu penting atau tidak. namun diindonesia aktor-aktor seperti itu lebih banyak pro kepada produsen rokok hal ini mungkin saja dikarenakan banyak aktor yang tergolong digobloki oleh produsen rokok atau mereka sebagai penikmat dari rokok secara tidak langsung. diharpkan kedepanya aktor-aktor yang punya andil di sektor rokok adalah orang yang paham jelas baik dan buruknya rokok serta mereka yang bukan mafia di indonesia.
Reply
# muhammad hamdani sil 2016-10-19 09:43
terkait masalah rokok ini masalah yang sangat lama dan selama ini sangat susah untuk memberhentikan para perokok untuk tidak merokok lagi komentar saya jangan terlalu memikirkan pengusaha rokok(dia) banyak uang tutup pabrik rokok usaha yang lain ada, tapi kenapa pemerintah memikirkan pengusaha rokok tidak memikirkan kesehatan masyarakat 250 juta jiwa terpapar rokok dimana-mana ini akan menjadi masalah serius dan kerugian banyak ketimbang mengkayakan pengusaha rokok yang hanya dinikmati oleh pengusaha. negara kita perlu pemimpin yang sangat tegas untuk masalah ini Thailand, filipina hanya negara kecil bisa mengurangi angka perokok artinya dengan negara yang kecil perekonomian negara mereka tidak terlalu terpengaruh dengan tidak adanya rokok, lalu kenapa indonesia yang begitu luas mempertimbangkan petani tembakau, karyawan pabrik rokok. Tembakau selain rokok bisa di fungsikan untuk lain, pabrik rokok banyak di kemas oleh mesin tidak banyak memerlukan tenaga manusia(karyawan), tetapi diantara 250juta penduduk indonesia menderita penyakit yang hanya disebabkan oleh rokok . (Menurut saya you jual penyakit silahkan bangkrut dan miskin tetapi kalo you jual kesehatan di negeri ini silahkan bangkit dan kaya).
Reply
# Pertiwi 2016-10-19 10:04
Menurut saya, penetapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang sesuai dengan peraturan pemerintah no. 36 tahun 2009 Pasal 115 ayat 2, tidak berjalan sesuai harapan karena pertentangan pelaku (aktor), dimana aktor tersebut mungkin punya kepentingan lain terkait dengan undang-undang KTR. Dalam hal ini pihak masyarakat yang statusnya adalah petani tembakau juga dikerahkan oleh perusahaan swasta untuk ikut campur dalam menentang peraturan daerah tentang KTR. Para aktor kebijakan (dalam hal ini anggota DPRD) yang memiliki kekuasaan juga sangat berpengaruh dalam membatalkan untuk mensahkan Perda KTR, padahal proses penyusunan Perda tersebut sudah melibatkan berbagai elit kebijakan seperti JSTT dan QTI, namun kenyataannya koneksi yang sangat kuat yang dimiliki oleh perusahaan swasta sangat mampu mempengaruhi para anggota DPRD
Reply
# Hesti Diana K32016 2016-10-19 10:32
Menurut saya, efek rokok untuk memberikan pemasukan negara yang banyak itu tidak benar, karena untuk penyembuhan masyarakat yang mengalami akibat rokok juga banyak. Dengan konflik petani tembakau yang mengalami protes akibat dilakukannya kawasan tanpa rokok sebenarnya bisa dihalau dengan menggantikan hasil tani tembakau menjadi hasil tani lain dengan bantuan pemerintah apabila pemerintah benar-benar ingin untuk mengurangi konsumsi rokok, namun terdapat banyak faktor dari luar protes masyarakat, yakni indepedensi dari pabrik rokok, steakolder pun mengkonsumsi rokok.
Aktor yang bertentangan, terdapat pro terhadap kebijakan yakni aktivis, QTI,
dan yang kontra adalah, masyarakat kretek dan petani tembakau. Dalam kasus ini tidak berjalan sesuai harapan karena dalam proses pembuatan peraturan ini tidak dilibatkanya petani tembakau juga pabrik-pabrik rokok serta menurut anggota DPRD yang satu per satu mengundurkan diri merasabkarena menurut mereka Raperda adalah cacat hukum dan akan merugikan petani tembakau.
Sebenarnya dari pemerintah setuju dengan adanya peraturan ini, namun terdapatnya protes dari pentani rokok serta pabrik yang membuat pemerintah menjadi enggan memberikan persetujuan mereka, serta menurut saya sendiri pemerintah tidak terlalu serius menghadapi masalah ini serta tidak begitu tegas dalam mengambil keputusan, karena apabila pemerintah serius untuk mengurangi dampak asap rokok di masyarakat pemerintah pasti memiliki solusi-solusi terhadap keluhan yang diutarakan oleh masyarakat petani, pengonsumsi rokok juga pabrik rokok sendiri. Perusahaan swasta memiliki andil yang lebih dari pada pemerintah yang dipilih secara demokratis bisa jadi pihak swasta tersebut yang memberikan sumbangan dana pada para calon DPRD yang akan melakukan kampanye oleh karenanya pihak swasta melakukan perjanjian dengan pemerintah untuk mendukung program/produk yang dimiliki oleh pihak swasta tersebut. Dapat pula dari pihak pemerintah sendiri menuruti apa yang petani dan masyarakat kretek lakukan karena pemerintah sendiri terlalu takut untuk kehilangan dukungan dari mereka.
Bisa juga para swasta memberikan pengendalian pikiran pada masyarakat kretek dan petani tembakau sehingga mereka dengan mudah dapat memengaruhi pola pikir dari masyarakat tersebut.
Reply
# indah ade prianti 2016-10-19 10:50
Terkait masalah penyusunan kebijakan raperda di DIY menurut saya mungkin sebagian dari para pelaku kebijakan kurang setuju adanya kebijakan ini, maka aktor tersebut menolak dengan mengatas namakan masyarakat. Selain itukelompok masyarakat dan perusahan swasta lebih mempunyai kemampuan lobby canggih di banding pemerintah karena pihak pengusaha ini banyak memberikan bantuan-bantuan kepada pihak yang berkepentingan penyusunan kebijakan ini. Sehingga penyusunan kebijakan tersebut tidak berjalan dengan semestinya.
Reply
# Zahra Kumala Rachma 2016-10-19 12:48
Penerapan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) merupakan salah satu implementasi dari amanat UU Kesehatan No 36 Tahun 2009 yang mewajibkan pemerintah daerah untuk membentuk KTR. Begitupun yang dilakukan oleh DPRD di Yogyakarta, sebagai upaya pengendalian dan perlindungan terhadap perokok pasif dari perokok aktif, DPRD Yogyakarta memprakarsai untuk mencetuskan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang KTR. Namun sayangnya, saat itu Raperda ini belum bisa disahkan karena pada saat proses persetujuan mengalami kendala dari berbagai pihak yang kontra serta adaya kepentingan politik yang menyebabkan partai-partai yang tadinya menyetujui pembentukan Raperda ini menjadi mengundurkan diri. Berbagai pihak yang kontra terhadap Raperda KTR ini adalah petani tembakau serta masyarakat kretek, mereka menyerukan suara untuk tidak mengesahkan Raperda karena mereka merasa tidak diikutsertakan pada proses pembentukan Raperda ini.
Menurut saya, sebagai bentuk pengawalan KTR alasan utama mengapa saat itu Raperda belum bisa disahkan adalah kurangnya sosialisasi dari pembentuk kebijakan, dalam hal ini mungkin saja terjadi kesalahpahaman sehingga mereka yang kontra terhadap kebijakan KTR merasa dirugikan. Padahal secara tertulis KTR berupaya untuk melindungi para perokok pasif khususnya mereka yang rentan terhadap asap rokok seperti ibu hamil dan anak-anak dengan menyediakan kawasan yang bebas asap rokok dan memberikan ruang khusus bagi mereka yang ingin merokok. Sehingga yang perlu menjadi bahan sosialisasi adalah bahwa yang dikendalikan dalam kebijakan KTR ini adalah asap rokok nya bukan rokoknya. Akan tetapi, meskipun demikian sosialisasi harus dimasifkan ketika KTR sudah berjalan hingga pada akhirnya bukan hanya asap rokok saja yang bisa dikendalikan tetapi juga rokoknya.
Hal lain yang perlu menjadi perhatian adalah persepsi yang beredar dikalangan kaum elit ataupun masyarakat umum mengenai perusahaan rokok yang berdampak pada penambahan ekonomi negara harus diluruskan. Mengapa? Karena meskipun perusahaan rokok membayar pajak yang cukup besar pada negara kita, namun pada kenyataannya negara juga mengeluarkan dana yang lebih besar untuk mengobati mereka yang sakit akibat dari rokok. Dalam artian kita mengalami kerugian akibat dari rokok ini, sehingga tidak ada alasan lagi bagi negara ini untuk bisa mengendalikan serta mengurangi produksi rokok, apalagi saat ini mulai banyak penelitian yang bisa digunakan mengenai pemanfaatan tembakau selain sebagai bahan baku rokok. Dalam hal ini tentu saja pemerintah harus mampu bekerja ekstra keras dan melakukan kerjasama lintas sektoral dimulai dari sektor kesehatan, pendidikan, ekonomi, politik, ketenagakerjaan, lembaga aktivis atau organisasi-organisasi di masyarakat yang memiliki kepentingan dalam hal pengendalian tembakau serta melibatkan melibatkan pekerja/masyarakat yang memiliki andil dalam pembuatan rokok.
Reply
# Yessy Trisnaningsih 2016-10-19 14:17
dikeluarkannya kebijakan tentang kawasan bebas rokok sebenarnya merupakan sesuatu hal baru dan cukup bagus, akan tetpai pada kenyataannya kebijakan ini menuai pro dan kontra dari kalangan masyarakat kretek dan petani tembakau.Hal ini kemungkinan terjadi karena adanya kesalahpaham tentang informasi yang diterima oleh masyarakat kretek dan petani tembakau. Sebenarnya terbitnya kebijakan ini belum mengarah terlalu jauh pada ditutupnya industri rokok, tetapi hanya mengendalikan asap rokok saja.Dalam pembuatan kebijakan masyarakat kretek dan petani tembakau tidak dilibatkan sebagai aktor dalam perumusan kebijakan.Hal penting kain yang perlu diperhatikan adalah persepsi masyarakat tentang keuntungan adanya industri rokok. Memang tidak dipungkiri bahwa peran industri rokok sangat kuat hubungannya dengan pemberian beasiswa, sponsor berbagai event baik olahraga maupun kesenian, ataupun penghasilan lainnya yang dikira dapat menguntungkan negara. sehingga private sector dianggap lebih berpengaruh dalam menentang kebijakan kawasan bebas asap rokok. Tetapi perlu ditelaah lagi bahwa negara mengeluarkan uang lebih besar untuk membiayai penyakit-penyakit yang disebabkan oleh rokok. Hal ini merupakan salah satu faktor kenapa BPJS mengalami defisit, yaitu karena oenyakit yang diakibatkan karena life-style. Sehingga diperlukan adanya lobbying kepada private sektor dan masyarakat dengan menjelaskan duduk permasalahan yang terjadi, dan pemerintah memiliki kekuasaan untuk membuat kebijakan, dengan mempertimbangkan bebrapa hal yang dianggap crusial.
Reply
# arie prayudhi 2016-10-19 23:03
Dalam teori segitiga kebijakan kesehatan aktor atau pelaku dapat di gunakan untuk menunjuk individu, organisasi, perusahaan atau bahkan pemerintah, para pelaku/aktor ini berusaha untuk mempengaruhi proses politik sesuai dengan kepentingannya masing masing dengan menggunakan kekuasaanya masing masing . Dalam kasus kebijakan yang mengatur tentang Kawasan Dilarang Merokok (KDM) sudah ada yaitu Peraturan Gubernur No. 42 Tahun 2009 dan merupakan amanah dari Perda nomor 5 Tahun 2007 tentang Pengendalian Pencemaran Udara khususnya Pasal 11, aktor/pelaku nya yang berasal dari masyarakat adalah Quit Tobacco Indonesia dan Forum JSTT yang setuju dengan pemberlakuan perda tersebut berpendapat bahwa perda tersebut mendesak untuk di sahkan karena amanah dari UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 Pasal 115 tersebut, Perda KTR yang mempunyai kekuatan hukum dianggap perlu untuk melindungi masyarakat dari dampak buruk asap rokok dan Masyarakat Kretek dan Petani Tembakau yang tidak setuju dengan pemberlakuan perda tersebut mereka beranggapan tidak dilibatkannya petani tembakau dan pabrik rokok dalam pengembangan Raperda, pemerintah sebagai inisiator perda dan DPRD sebagai legislator harusnya bertindak sebagai penengah tetapi para fraksi dengan menggunakan kekuasaanya memilih mundur dari raperda tersebut karena beranggapan raperda tersebut cacat hukum. Disini bisa dilihat masing-masing pelaku/aktor berusaha mempengaruhi proses pembuatan kebijakan agar sesuai dengan kepentingannya masing-masing ada juga pelaku/aktor yang dengan sengaja menggunakan kekuasaannya untuk mendukung salah satu pihak, di sini letak dinamisnya sebuah proses pembuatan kebijakan di mana semua pelaku/aktor yang terlibat berusaha mempengaruhi pelaku lainnya denan mengunakan segala aspek termasuk kekuasaanya untuk memastikan kepentingannya terakomodasi dalam pemngambilan kebijakan.
Mundurnya fraksi-fraksi di DPRD dalam proses raperda KDM tidak lepas dari proses”lobby” dari pihak swasta pertanyaannya apa yang membuat pihak swasta kuat menjadi pelaku kuat dalam pembuatan kebijakan dan bagaimana mereka melakukannya. Orientasi pihak swasta dalam hal ini pihak industri rokok adalah keuntungan mereka beranggapan bahwa mereka berperan serta dan memiliki pengaruh yang kuat dalam pendanaan proses pembangunan melalui pajak yang mereka bayarkan, mereka melakukannya dengan cara “mempengaruhi” proses penentuan agenda dengan cara” merasuki “ dengan menyediakan dana untuk keperluan kampanye-kampanye partai politik dengan harapan jika partai dan plitisi yang didukungnya berhasil merka dapat dengan mudah menyelusup dalam proses pembuatan agenda sehingga secara tidak langsung pihak swasta dapat terlibat langsung dan secara tidak langsung mempengaruhi sebuah proses penentuan kebijakan.dalam hal ini mundurnya fraksi-fraksi di DPRD dalam proses pengsahan raperda dapat menjadi bukti masuknya pihak swasta dalam sebuah proses pembuatan kebijakan mereka pihak swasta akan berusaha membatalkan kebijakan yang diperkirakan akan mempunyai dampak pada usaha yang mereka lakukan dalam hal ini perusahaan rokok akan berusaha untuk menggagalkan pengesahan raperda KDM karena akan berdapak pada penurunan keuntungan pada perusahaan rokok .
Reply
# Dwi Lassmy Samaritan 2016-10-20 01:29
Perlu dilakukan penyelidikan lebih lanjut siapa pihak yg menghambat kebijakan tersebut, temukan alasan mereka secara cermat. Lakukan negosiasi dan sosialisasi kepada petani tembakau. Pemerintah dapat membuka peluang usaha baru untuk petani tembakau yang khawatir jika konsumsi rokok turun dapat berdampak kepada mereka dengan mengalihkan tembakau menjadi produk bioetanol, obat, dll.
Reply
# Dwi Lassmy Samaritan 2016-10-20 01:38
Jika memang ada oknum tertentu yang dengan sengaja dan berniat tidak baik mengambil keuntungan dari petani tembakau hal tersebut dapat dilakukan penegakan hukum dengan Pasal 160 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”):

“Barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasar ketentuan undang-undang, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

Tentu hal ini harus dilakukan dengan hati-hati dan cermat.
Reply
# Anisful Lailil M. 2016-10-20 03:06
Penerapan kawasan tanpa rokok di Indonesia masih jauh dari harapan susah untuk diterapkan dengan baik. Untuk engatasi kebijakan ini perlu usaha semua pihak baik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, lembaga swadaya masyarakat bersama sama melaksanakan peraturan kawasan tanpa rokok oleh pemerintah daerah melalui Undang-Undang Republik Indonesia no.36 tahun 2009 tentang kesehatan pada bagian ketujuh belas pasal 115 telah enam tahun diberlakukan,namun tidak menunjukkan hasil yang signifikan. Solusi yang diperlukan untuk penerapan kawasan tanpa rokok antara lain perencanaan dan implementasi kebijakan secara desentralisasi setiap pemerintah daerah dengan advokasi ke lembaga legislatif. Kolaborasi dengan berbagai sektor terkait untuk membangun dukungan lingkungan masyarakat, kepatuhan terhadap peraturan peraturan sebagai upaya penegak hukum. Pemantauan dengan evaluasi yang terus menerus dengan menggandeng pihak akademik dalam perkembangan bukti ilmiah dan pengalaman berdasarkan studi.

Aktor berperan dalam pelaksanaan kawasan tanpa rokok meliputi Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, Pemerintah Provinsi, PemerintahKabupaten/Kota, lembaga legislatif, petugas kesehatan, polisi pamong praja, fasilitas layanan umum (rumahsakit, sekolah, tempatbermain, perkantoran, tempatibadah, angkutanumum), organisasi (profesi kesehatan PPNI IDI IBI IAKMI dll, LSM), akademik (universitas). Pernyataan tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh penelitian Yayi suryo (2013) menjelaskan aktor yang berperan adalah kepala daerah sebagai pengambil kebijakan, lembaga legislatif, sosial masyarakat dan pihak akademisi yang memberikan advokasi kebijakan tersebut. Pelaksanaan peraturan daerah tersebut perlu. Perencanaan tidak cukup dalam pemberlakuan kawasan tanpa asap rokok, diperlukan pengembangan staf dan pengontrolan di dalamnya dan yang lebih penting yaitu di sosialisasikan dengan baik dan memberi alternatif lain terhadap petani tembakau untuk menjadi bahan baku yang lebih bermanfaat seperti di buat obat penyakit-penyakit, insektisida dll.
Reply
# Ahmad Imanuddin 2016-10-20 04:08
Menurut saya adanya KTR itu sangat bagus terlebih banyaknya perokok yang merokok di tempat umum. Namun peraturan ini tentunya harus memilki solusi untuk menanggulangi KTR dengan di buatnya semoking area. Peraturan ini memiliki kekurrangan dimana aktor di dalamnya banyak yang mengundurkan diri seiring berjalanya waktu, ini mengindikasikan bahwa masih banyaknya aktor yang memiliki kepentingan d balik peraturan yang dibuat, baik itu kepentingan politik maupun kepentingan individu.
Perusahaan swasta lebih bisa mengambil hati masyarakat karena mereka memiliki program yang mudah di terima oleh masyarakat, program yang sesuai kebutuhan masyarakat di lapangan, seperti program beasiswa, program hiburan, dll, sehingga mereka lebih dapat di terima oleh masyarakat walaupun dibalik itu masyarakat juga di rugikan.
Reply
# Indah Rahmawati 2016-10-20 05:44
dilihat secara umum penerapan KTR seperti makan buah simalakama, ada dampak positif dan negatifnya. Akan tetapi dampak positifnya tentu jauh lebih besar, hal inilah yang harus terus didorong oleh pemerintah dan masyarakat. Adapun untuk dampak negatif khususnya bagi petani tembakau yang mungkin mata pencahariannya hanya terbatas sebagai petani tembakau dapat dicarikan dan dikembangkan alternatif-alternaif lain untuk pengolahan tembakau selain menjadi rokok.
Hal tersebut tidak mudah tentunya, karena pasti ada aktor-aktor yang terus menetang demi kepentingan pribadi. selain itu kelompok swasta dan masyarakat yang pro terhadap rokok mempunyai pengaruh yang besar dan kreatifitas yang tinggi sehingga dapat menarik dan dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat, contohnya seperti tayangan iklan-iklan ditelevisi yang menarik sehingga mendorong orang untuk mengikutinya.
Reply
# Taufik abdullah 2016-10-20 07:48
sepertinya harus ada dialog bersama antara pengusaha swasta dan pemerintah sehingga adanya pengambilan kesepakatan yg baik dan benar dari pemerintah dan pengusaha swasta yang bisa menguntungkan kedua pihak
Reply
# Michael Andrew 2016-10-20 08:04
what u say mas bro...??? you now or nothing about the topic of cigarate...because you coment is very boring (NATO)
Reply
# Dedi Tri Wibowo 2016-10-20 07:54
adanya tindakan yang cepat antara pemerintah untuk mencairkan suatu permasalahan di bidang rokok dan juga untuk mempromosikan tentang bahaya rokok itu sendiri,adanya kerjasa sama antara lembaga sosial dan juga media masa untuk mempermudah agenda tentang bahaya rokok,dan juga adanya reward dari pemerintah bagi masyarakat yang menghargai dan mempromosikan bahaya rokok di lingkunganya
Reply
# Muhammad Andriadi Ka 2016-10-20 14:22
Sepengetahuan saya kebijakan kawasan bebas asap rokok bukanlah merupakan hal baru lagi. Yang mana kebijakan ini bertujuan untuk melindungi masyarakat dari paparan asap rokok. Suatu hal yang wajar karena semua, termasuk industri rokok, sudah tahu bahwa asap rokok buruk bagi kesehatan, sehingga harus dijauhi. Tidak heran apabila banyak masyarakat yang mendukung kebikakan bebas asap rokok namun ada juga sebagian kecil yang bersuara lantang menentang kebijakan ini. Terkait kebijakan Raperda di DIY pada pelaksanaan dan penerapannya belum dilakukan secara maksimal. Halini terlihat dari banyaknya aktifitas-aktifitas yang terkait dengan merokok,jual beli rokok, iklan ataupu promosi rokok, dan mengkonsumsi rokok yang masih dilakukan ditempat yang sebenarnya menjadi kawasan tanpa rokok.
Menurut saya ada berbagai alasan penyebab kebijakan bebas asap rokok sering tidak bejalan maksaimal banyak orang yang beranggapan bahwa dapat merugikan petani tembakau karena menyebabkan pabrik tutup, Basis argumen ini karena kawasan tanpa rokok menyebabkan konsumsi rokok menurun sehingga produksi turun dan prabrik rokok bangkrut. Selain itu juaga paraperokok menganggap kawasan tanpa rokok melanggar kebebasan mereka untuk merokok. Jika kawasan tanpa rokok akan diberlakukan, sebagian perokok menuntut agar pemerintah terlebih dahulu menyediakan tempat khusus merokok. Dengan kata lain, perda kawasan tanpa rokok dipaksa untuk ditunda sampai tuntutan terpenuhi. Alasan ini egois dan tidak logis karena memaksakan hak merokok di atas menghirup udara bersih. Logika sehatnya, kawasan tanpa rokok diprioritaskan secara mutlak karena kesehatan adalah kebutuhan, sedangkan merokok bukan kebutuhan hidup. Oleh karena itu perlu dilakukan kembali koordinasi yang lebih baik antara pihak-pihak yang terkait, Kemudian lebih di tingkatkan lagi promosi kesehatan menganai bahaya penggunaan rokok dan memberikan alternatif lain kepada para petani tembakau.
Reply
# Pratami J Tamaka 2016-10-20 14:42
menurut saya, indonesia tidak akan mampu secara utuh menuntaskan masalah tentang rokok karena pemerintah indonesia mulai dari jejeran yang paling rendah hinga yang paling tinggi terlalu banyak bermain "kongkalingkong" dengan pengusaha yang notabene "MAU MELAKUKAN APA SAJA" selama usahanya tidak diganggu gugat, keterlibatan Pengusaha-pengusaha kaya dalam memenangkan kandidat pemimpin di Indonesia saya rasa menjadi salah satu alasan kenapa perusahaan swasta terlihat memiliki pengaruh yang lebih besar dalam penentuan keputusan di Indonesia, suatu hal yang impossible menurut saya untuk menghilangkan pengaruh pengusaha besar di negara seperti Indonesia yang kebanyakan pemerintahnya masih tergiur dengan semboyan "Asal Bapak Senang" selama ad pelicin dan pemulus usaha bapak tetap kami jaga .
Reply
# Semfri Watunwotuk 2016-10-20 15:52
Ada beberapa tempat yang masuk dalam kategori KTR. diantaranya Tempat kerja, Angkutan umum, dan tempat umum. Pemerintah harus lebih fokus pada 3 tempat ini. walaupun terbebas dari asap rokok tapi beresiko terpapar dengan gas CO dan CO2. pengesahan KTR menurut saya belum tepat sasaran, karna masih ada pihak yang dirugikan meskipun berada di lokasi KTR. contoh sederhana ASAP KNALPOT. Kawasan, Rumah sakit, KAMPUS yang menerapkan KTR pun masih beresiko terpapar langsung dengan CO maupun CO2.
selain itu, pemerintah tidak terlalu serius dalam membuat suatu kebijakan (menurut saya), karena terlalu banyak PR yang belum finish pelaksanaanya dan lanjut ke kebijakan yang baru. mereka tidak terlalu peduli tentang berhasil atau tidaknya suatu program, (yang penting sudah di jalankan) berbeda dengan perusahaan suasta yang lebih fokus kepada kepuasan pelanggan.
Reply
# jemson hayer 2016-10-24 05:28
what u say mas bro...??? you now or nothing about the topic of cigarate...because you coment is very boring (NATO)
Reply
Reply
# Alim Renjana 2016-10-21 01:29
Banyak kepentingan berperan dalam penuntasan Raperda DIY tentang Kawasan Tanpa Rokok, Legislator yang mundur untuk menyetujui Raperda tersebut karena juga seorang perokok. Jika Kulonprogo dan Gunung kidul saja bisa membuat UU tersebut, mengapa daerah lain terutama dalam cakupan DIY tidak bisa ? secara awam, kedepan dari awal kita harus memilih wakil wakil yang memang tidak pro rokok.. terutama pemimpin daerah yang tidak pro rokok seperti di Kulon Progo.
Sebenarnay DIY bukan daerah penghasil tembakau, masih banyak komoditi lain yang bisa ditanam di DIY selain tembakau, jadi jika beralasan kasihan pada para petani tembakau adalah kalimat yang kurang masuk akal, masih bayak komoditi lain yang bisa ditanam di DIY selain tembakau
Reply
# Deslani K.N 2016-10-21 18:33
Menanggapi permasalahan penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di DIY, benar adanya bahwa ditemukannya aktor-aktor penyusun kebijakan yang saling berbenturan disini, yakni pihak swasta & parpol dan pemerintah.
Menurut saya, alangkah lebih baik sebelum kebijakan ini diancang, diadakan survei lapangan terlebih dahulu untuk melihat bagaimana kondisi sebenarnya dilapangan, terutama kondisi petani tembakau (karena dilihat dari kasus, permasalahan timbul dari pihak ini). Pengadaan diskusi terbuka dengan masyarakat, petani tembakau, pedagang rokok, perokok, pemuka adat dan agama (tokoh masyarakat), sebelum peraturan ini resmi diancang dan dilegalkan, tentu akan sangat membantu dalam menyamakan persepsi dan tujuan, serta menghindari konflik dikemudian hari yang berakibat fatal (seperti di kasus).
Reply
# selfiana sakka 2016-10-24 10:56
Menurut saya mengenai Kawasan tanpa rokok (KTR) sudah bukan barang baru di negara maju, tetapi di tanah air khususnya di DIY Perda KTR baru mulai bermunculan beberapa tahun belakangan. Aturan ini bertujuan untuk melindungi masyarakat dari paparan asap rokok. Suatu hal yang wajar karena, termasuk industri rokok (makanya ada label/gambar peringatan), sudah tahu bahwa asap rokok buruk bagi kesehatan, sehingga harus dijauhi. Tidak heran bila aturan ini didukung luas oleh masyarakat, tetapi ada juga sebagian yang bersuara lantang menentang KTR. Selain itu, Masyarakat atau para petani tembakau apabila produksi rokok di berhentikan maka mata pencaharian mereka akan berkurang terlebih lagi adanya permainan antara pihak pemerintah dengan pengusaha swasta tersebut sehingga sangat susah untuk memberhentikan produksi rokok karena pendapatan terbesar Negara di peroleh dari perusahan rokok.
Reply
# WM Harry 2016-10-25 04:06
Industri tembakau menyukai konsep kebijakan yang bersifat kesukarelaan tanpa sanksi hukum daripada Undang Undang (PERDA) karena hal tersebut bisa menjadi alasan tidak perlu tindakan hukum bagi pelanggaran. Skema pilihan bebas yang mengakomodir keinginan perokok dan bukan perokok dengan mempertahankan ”smoking area” dan ”non smoking area” dalam ruang yang sama adalah konsep yang diinginkan industri rokok. Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok semakin populer di banyak negara, karena semakin banyak orang menyadari haknya untuk menghirup udara bersih dan sehat.
Reply

Add comment

Security code
Refresh