Di akhir pembahasan ada pernyataan mengenai masalah kebijakan. Masalah-masalah kebijakan yang ada dalam kasus ini dapat dikelompokkan menjadi:

  1. Pelaksanaan Kebijakan mempunyai kemungkinan menghasilkan keadaan yang tidak sesuai dengan tujuan kebijakan ditetapkan.
  2. Penelitian monitoring kebijakan merupakan hal yang tidak mudah dilakukan.

Silahkan anda memberi komentar, atau tambahan untuk masalah kebijakan yang ada di balik Kasus tersebut.

 

Comments  

# Muhammad Padlianor 2016-11-01 18:33
Mohon ijin komentar,
Saya sangat sependapat dengan strategi hanya masyarakat yang kurang mampu saja yang di tanggung BPJS, selanjutnya masyarakat mampu menggunakan asuransi kesehatan komersial
sehingga manfaat JKN benar-benar dirasakan masyarakat kurang mampu, bukan dinikmati masyarakat mampu. Selanjutnya seyogyanya ada aturan yang bisa membuat dana subsidi silang hanya berlaku dalam wilayah setempat saja, bukan berpindah ketempat lain. Mungkin semacam dibentuk regional tertentu guna pengelolaan dana tersebut sehingga dana yang tidak bisa diserap sebuah daerah , tetap ditempat dan bisa dinimati oleh peserta asuransi setempat.
Terlepas dari monitoring yang dilaksanakan Perguruan Tinggi , termasuk UGM. BPJS sebagai penyenggara jaminan kesehatan, belum bisa dikatakan melakukan monitoring karena mereka hanya datang ke puskesmas apabila terjadi pergantian pimpinan cabang. Mereka datang guna bersilaturrahmi dan memperkenalkan diri. Pemerintah dalam hal ini dinas kesehatan, juga belum maksimal melakukan monitoring secara berkala guna perbaikan pelaksanaan JKN. Menuju Universal coverage tahun 2019, seyogyanya BPJS dan pemerintah lebih berbenah memperbaiki kekurangan yang ada.
Sebagai evaluasi pelaksanaan JKN , didaerah-daerah yang jauh dari kota-kota besar, masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan, diantaranya :
Segi Kepesertaan, Terjadi tunggakan iuran BPJS, seringkali masyarakat menjadi peserta BPJS hanya saat masuk dan dirawat di rumah sakit. Selanjutnya ketika telah sembuh, mereka lalai menunaikan kewajiban bayar iurannya. Masih belum akuratnya data peserta, contoh sederhana orang yang belum meninggal dunia, data BPJS sudah meninggal, dst.
Segi Ketersediaan Obat, Pada era BPJS, ada lembar rujuk balik dari rumah sakit ke puskesmas, guna menindak lanjuti pengobatan di rumah sakit. Diharapkan puskesmas mampu melakukan pengobatan lanjutan. namun seringkali obat tidak tersedia dipuskesmas, sehingga pengambilan obat harus kembali ke rumah sakit. Otomatis ini sangat merugikan pasien yang bersangkutan, dari segi waktu dan biaya.
Segi Alat-alat Kesehatan dan Sumber daya manusia, Tuntutan masyarakat terhadap pelayanan yang makin baik seyogyanya dibarengi dengan penambahan tenaga medis yang memungkinkan pelayanan yang optimal, masih banyak alat-alat kesehatan belum tersedia dipuskesmas sehingga mengalami kesulitan melakukan diagnosa penyakit.
Reply
# Nurlienda Hasanah 2016-11-03 15:31
Izin berkomentar pernyataan "seyogyanya ada aturan yang bisa membuat dana subsidi silang hanya berlaku dalam wilayah setempat saja, bukan berpindah ketempat lain".

Kepesertaan JKN ini memuat berbagai elemen masyarakat. Adapun pembiayaannya menggunakan pooling yang berbeda, bersubsidi dan mandiri. Jika yang dimaksud tidak bisa berpindah tempat penggunaan subsidi silang, kebijakan ini bisa membuat sebagian peserta mundur perlahan... Karena akses dan kemudahan pengguna menjadi kunci dalam kepuasan...
Mungkin mekanisme 'wilayah' yang perlu mendapat perhatian, apakah dalam 1 kota, provinsi atau 1 pulau :)

Selebihnya, saya sepakat dengan pendapat Pak Fadli mengenai JKN ini.
Reply
# Lily Sulistyawati 2016-11-02 03:12
Implementasi kebijakan dengan pendekatan top-down terlihat pada kebijakan BPJS dimana urutan kegiatan yang jelas antara formulasi kebijakan dengan implementasi kebijakan. Pada pendekatan buttom up manajer sebagai pelaksana kegiatan berperan aktif dalam pelaksanaan kegiatan. Jika dilihat dari pendekatan ini maka terlihat dalam pelaksanaan kebijakan ini manajer kegiatan terbagi 2 yaitu manajer pelayanan kesehatan dan manajer keuangan, dimana manajer keuangan mendominasi kegiatan keseluruhan dan menganggap manajer pelayanan kesehatan sebagai bawahannya. Jika dilihat dari principple agent seharusnya para pembuat kebijakan melakukan monitoring pelaksanaan kegiatan baik dari sektor pelayanan maupun keuangan dan mencakup seluruh wilayah tapi dalam pelaksanaannya walaupun kantor BPJS ada di daerah mereka hanya fokus dalam pemabayaran saja tapi untuk peningkatan pelayanan tidak ada tindak lanjutnya sehingga pemerataan pelayanan BPJS belum terlaksana dan artinya tujuan BPJS untuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia belum terwujud. Penelitian mengenai pelaksanaan kebijakn terlah dilakukan dengan kesimpulan: pemerataan pelayanan kesehatan di seluruh wilayah belum terlaksana, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia akan sulit terwujud jika JKN masih tersentralisasi, dana sisa dari wilayah dengan klaim rendah dikhawatirkan dimanfaatkan oleh wilayah dengan klaim baik untuk peningkatan pelayanan sehingga kesenjangan pelayanan semakin tinggi. Analisa kebijakan secara prospektif adalah sebaiknya dibuatkan lagi kebijakan yang lebih detail mengenai pemerataan pelayanan kesehatan sehingga pelaksanaan kebijakan merata diseluruh wilayah atau dengan kebijakan bahwa JKN dilaksanakan pada wilayah yang memang siap untuk melaksanakannya untuk wilayah yang belum siap maka dilakukan perbaruan infrastruktur yang memadai sehingga mampu melaksanakan JKN dengan optimal. Analisa kebijakan secara retrospektif dengan memikirkan kembali kebijakan yang ada apakah sudah dapat dilaksanakan di seluruh wilayah apa belum, hasil dari evaluasi yang dilaksanakan sebaiknya dipikirkan untuk perbaikan kebijakan dengan membuat agenda baru. Para pengambil kebijakan dan peneliti kebijakan sebaiknya duduk bersama dan mempertimbangkan hasil penelitian agar terlihat kelemahan dari kegiatan dan dapat diperbaiki.
Reply
# yeniar alifa 2016-11-03 13:14
Jaminan kesehataan nasional sebenarnya diciptakan tujuan yang baik, memberikan kepastian kesejahteraan sosial bagi rakyat indonesia. Namun kembali lagi pada minggu 1, penyusunan kebijakan ini memang kurang sempurna, dari segi aktor, proses,dll.. penyusunan rancangan undang-undang juga menganut sistem “top-down”, dalam artian kebijakan ini dibuat oleh pihak yang berada di tingkat tinggi dan tingkat bawah adalah pihak yang harus menerima dan melaksanakan dengan lancar, namun pada kenyataannya di lapangan tidak beres. Untuk dilakukan monitoring sepertinya juga akan menemui kesulitan, minimnya sarana prasarana, kurangnya pemerataan fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan serta banyaknya masyarakat yg belum merasakan manfaat JKN ini akan menjadi hambatan .
Reply
# Martha Puspita Sari 2016-11-03 13:16
Menambahkan komentar, kebijakan JKN merupakan kebijakan yang bersifat top-down karena merupakan program dari pemerintah pusat. Dalam implementasinya masih terdapat ketidakadilan (in equity) di daerah seperti distribusi fasilitas kesehatan dan SDM kesehatan belum merata serta pembiayaan (financing) untuk pelaksanaan JKN baik untuk pelayanan JKN, promotif maupun preventif, model pembayaran yang diberikan dari BPJS Kesehatan kepada PPK belum sesuai dengan asas manfaatnya. Sesuai dengan hasil monitoring dan evaluasi pelaksanaan program JKN oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) sebagai pengawas eksternal menemukan bahwa masih banyak kendala terkait pelaksanaan JKN. Karena pada dasarnya penerapan JKN berprinsip pada adequacy dan equity yaitu kecukupan dan kesetaraan, JKN diharapkan dapat menjadikan penduduk Indonesia mendapat pelayanan kesehatan secara menyeluruh, tanpa membedakan golongan apapun. Oleh karena itu perbaikan infrastruktur dan peningkatan jumlah tenaga kesehatan merupakan kunci penting pendukung kebijakan untuk mengatasi ketimpangan JKN di daerah.
Reply
# Masfufah 2016-11-03 13:25
Berdasarkan pada hasil implementasi pelaksanaan JKN dapat simpulkan belum efektif karena masih ditemukan kessenjangan-kesenjagan antara daerah maju dan daerah belum maju. Dapat dilihat dari program BPJS kesehatan yang menyelenggarakan jaminan kesehatan berdasarkan asas kemanusiaan, asas manfaat dan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Namun pada kenyataannya masih banyak celah yang mengakibatkan manfaat dan keadilan dari penyelenggaran pelayanan jaminan kesehatan belum dapat dirasakan seutuhnya oleh masyarakat. Untuk memperbaiki ini maka perlu adanya monitoring pada program tersebut sehingga dapat diupayakan agar mengedepankan pelayanan primer dimana adanya kendala pada ketersediaan fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan (SDM yang memadai) masih sangat kurang (adanya ketimpangan di kota dan di daerah). Oleh karena itu terjadi keterserapan dana PBI menjadi tidak maksimal sehingga dana PBI yang tidak terpakai ini bisa saja dialokasikan untuk menutupi kekurangan pembiayaan kesehatan masyarakat yang berada di daerah lain.

Melakukan evaluasi atas sebuah kebijakan yang dapat memberikan masukan bagi pemerintah/ pembuat keputusan dengan hasil yang dapat dipertanggung-jawabkan tidaklah mudah. Sebagian karena kesulitan yang bersifat instrinktif (karena sifat dampak yang berdimensi luas dan dapat menyebar), juga karena beragam kebijakan juga menuntut beragam metode pengukuran yang sesuai; serta karena kurangnya usaha yang serius untuk itu. Untuk menghasilkan studi evaluasi yang benar-benar berguna, maka memahami kriteria evaluasi yang harus dipenuhi, memahami metoda penelitian evaluasi, serta memilih metoda pengukuran yang tepat adalah syaratnya. Evaluasi yang telah dilakukan pada kebijakan ini lebih cenderung ke jenis evaluasi sumatif, artinya evaluasi masih dilakukan sesudah program tersebut berjalan. Melihat cakupan JKN ini sangat luas evaluasi yang dilakukan harus bersifat formatif, sebelum kebijakan dimulai, pada tahap pengembangan dan implementasi kebijakan sehingga kebijakan JKN ini bisa lebih tepat sasaran.
Reply
# Resti Kurnia Triasta 2016-11-03 13:29
Saya ingin menambahkan, pelaksanaan kebijakan SJSN yang diimplentasikan pada sistem JKN memang memungkinkan menghasilkan keadaan yang tidak sesuai dengan tujuan kebijakan yaitu meningkatkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ysng tertera pada pasal 2 UU SJSN. Hal ini dimungkinkan karena dalam penyusunannya kebijakan ini bersifat top down, keputusan yang dihasilkan masih bersifat tepusat. Aturan atau kebijakan dibuat seragam disetiap daerah tanpa mempertimbangkan kebutuhan daerah dan kesiapan daerah dalam mengikuti JKN. Ketimpangan antara daerah maju yang mempunyai fasilitas dan tenaga kesehatan lengkap dengan daerah yang masih tertinggal akan semakin terasa. Sumberdaya di JKN terutama BPJS akan lebih tersedot ke daerah yang maju karena prinsip kapitasi BPJS dibayarkan berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar pada FKTP tersebut. Untuk daerah kurang maju dengan angka cakupan peserta yang rendah akan semakin sulit berkembang. Universal health coverage akan sulit dicapai.
Penelitian monitoring kebijakan merupakan memang bukan hal yang mudah dilakukan. Akan tetapi penelitian sebagai bentuk monitoring terhadap pelaksanan JKN dan evaluasinya perlu dilaksanakan karena walau dalam pelaksanaanya kita menghadapi bnayak kendala akan lebih baik apabila sistem yang sudah berjalan ini diperbaiki sehingga tujuan utamanya tercapai jangan sampai berhenti ditengah jalan. Dengan penelitian dapat diketahui permasalahn dan hambatan yang benar – benar dirasakan provider pelayanan serta masyarakat. Evaluasi yang bersifat bottom up perlu dlkuakan. Hambatan – hambatan yang ditemui dilapangan perlu diakomodir dan dicarikan solusinya. Perbaikan dilakuakn secra bertahap demi pemerataan pelayanan. Pihak pusat dan daerah bersinergi membawa JKN yang benar – benar adil dan dirasakan rakyat.
Reply
# rakhmawati agustina 2016-11-03 13:35
Awalnya JKN menjadi angin segar bagi masyarakat karena adanya pelayanan kesehatan gratis bagi masyarakat. Namun seiring berjalannya waktu, implementasinya tidak mewakili kebutuhan dari berbagai wilayah khususnya di daerah yang sulit atau jauh dari pusat kota. Ketersediaan tenaga kesehatan, prosedur yang sulit dipahami, menjadi hal yang selalu dikeluhkan masyarakat. Yang perlu menjadi perhatian juga adalah sasaran dari JKN. Disebutkan bahwa JKN menganut sistem gotong royong dan berpihak pada masyarakat yang kurang mampu namun kenyataannya masyarakat tersebut merasa tidak pernah menjadi sasaran dari JKN khususnya yang berada di daerah. Sosialisasi tentang JKN dirasa belum menyeluruh sehingga banyak hal yang masih membuat masyarakat bingung. Kejadian yang pernah saya temui adalah masyarakat di kabupaten sangihe sulawesi utara yang memiliki tingkat ekonomi ke bawah tidak terjangkau oleh JKN bahkan ketika mereka mendapatkan fasilitas tersebut juga tidak paham tentang prosedur dan mengeluhkan tentang SDM nya. Jika tidak ada SDM nakes yang tersedia maka mereka akan dirujuk ke kota manado dan harus menempuh perjalanan lewat laut semalam. Hal ini tentu juga akan menghabiskan dana bagi masyarakat yang kurang mampu. Apakah JKN memahami sejauh itu? saya rasa sentralisasi akan semakin mempersulit akses pelayanan kesehatan masyarakat di daerah sehingga perlu evaluasi kembali dengan melihat fakta di daerah2, tidak hanya di kota besar.
Reply
# andi tenri kawareng 2016-11-03 15:11
Pada minggu pertama telah dibahas bagaimana proses pelaksanaan kebijakan ini. Pada dasarnya JKN memang telah menuai berbagai kendala dalam pelaksanaannya. Salah satu dintaranya adalah kurangnya sosialisasi yang dilakukan ke berbagai daerah sehingga menghasilkan beberapa daerah kurang siap untuk menjalankan kebijakan ini. Hal ini berimplikasi ke berbagai hal termasuk dalam implementasi dan evaluasinya. Beberapa daerah khususnya Indonesia bagian timur kurang mampu memanfaatkan kebijakan ini disebabkan oleh, jumlah tenaga kesehatan dalam hal ini sebagai tools untuk menjalankan JKN ini masih kurang dan fasilitas pelayanan yang kurang memadai. Sehingga asas keadilan yang ingin dicapai oleh kebijakan ini tidak tercapai.
Kebijakan ini sangatlah bermanfaat jika bisa dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Dibutuhkan sebuah regulasi dalam proses perbaikannya.dibutuhkan pemerataan fasilitas sarana dan prasarana di berbagai daerah serta pengawasan terhadap jalannya kebijakan dibutuhkan demi tercapainya asas dan tujuan yang diharapkan.
Reply
# Vidya Avianti Hadju 2016-11-03 17:20
Izin menanggapi, saya setuju dengan pendapat mba tenri. Tujuan dri JKN ini sebenarnya baik tetapi pada perjalanannya terdapat berbagai permasalahan-permasalahan berkaitan dengan kebijakan ini, dimana telah dibahas pada minggu pertama. Selain pemerataan fasilitas sarana dan prasarana di berbagai daerah serta pengawasan terhadap jalannya kebijakan, kita perlu mengevaluasi tentang pola penyakit di masyarakat yang berubah, animo masyarakat yang tinggi untuk berobat, sistem rujukan berjenjang,perhitungan iuran JKN dimana perlu diperhitungkan secara akurat mengenai iuran terhadap non PBI dan juga peserta yang berhak menjadi PBI, saya rasa jika ini dievaluasi dengan baik maka pelaksanaan JKN ini akan berjalan lebih baik kedepannya sehingga dapat mencapai tujuan yang dinginkan.
Reply
# Nurmina H 2016-11-04 01:03
Menambahkan pendapat saudari Tenri. Karena adanya daerah yang belum siap dengan pelaksanaan kebijakan ini, maka akan lebih baik untuk menerapkan kebijakan ini di daerah yang sudah siap. Sementara daerah yang belum siap dengan SJSN tetap menjalankan sistem pelayanan yang sesuai dengan kondisi dan keadaan daerah tersebut. Sembari tetap mempersiapkan untuk melaksanakan kebijakan SJSN ini. Karena pemerintah tidak bisa mengeneralkan setiap daerah sebab kemampuan daerah berbeda-beda hal yang sangat kontras tampak pada fasilitas dan tenaga kesehatan di perkotaan dan di desa.
Terima kasih
Reply
# Fahmi Tiara Sari 2016-11-03 16:32
Selamat malam, Izin berkomentar,
Penelitian multi-center di 12 provinsi dan dipusat yang dilakukan oleh FK UGM dan 10 perguruan tinggi lain pada tahun 2014 tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah penelitian kebijakan sebab penelitian tersebut dilakukan dalam rangka monitoring pelaksanaan suatu kebijakan yaitu terkait JKN. Penelitian ini juga dapat dimaksudkan ke dalam evaluasi kebijakan yang formatif yaitu evaluasi yang dirancang untuk menilai proses implementasi kebijakan dan berbagai pemikiran untuk memodifikasi dan mengembangkan program atau kebijakan sehingga membawa perbaikan signifikan.
Dalam penelitian tersebut juga dihasilkan beberapa saran perbaikan kebijakan dan menurut saya strategi terpenting ialah Perubahan kebijakan penanganan dana di BPJS dan APBN/APBD (Pooling the Risk) supaya tidak terjadi “salah sasaran” penggunaan dana BPJS; dan Perubahan Kebijakan di penyaluran dana BPJS terkait upaya peningkatan jumlah tenaga kesehatan di daerah dan perbaikan sarana dan prasarana kesehatan yang membutuhkan.
terima kasih.
Reply
# Nurlienda Hasanah 2016-11-03 16:50
JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) adalah program Pemerintah yang bertujuan untuk memberikan kepastian jaminan kesehatan yang menyeluruh bagi seluruh rakyat Indonesia agar dapat hidup sehat, produktif dan sejahtera.

Pelaksanaan kebijakan JKN bersifat Top-down karena berperan sentral dalam pelaksanaannya. Penerapan top-down diambil karena menyangkut dengan hajat hidup orang banyak dan juga agar mudah melakukan evaluasi terhadap jalannya implementasi di lapangan termasuk kegagalan-kegagalannya. Elemen-elemen terkait yakni stakeholder, pengguna, maupun maupun provider menjadi perhatian dalam JKN ini.

Dalam penetapan kebijakan JKN ini diperlukan suatu pemahaman dan kesepakatan atas tujuan bersama semua pihak terkait, mengenai tugas maupun langkah operasional pelaksanaan JKN yang telah dispesifikasikan secara utuh. Akantetapi, jika diamati proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan JKN ini belum terlihat adanya beberapa upaya tersebut. Hal ini terjadi karena dianggap sangat sulit dilakukan dan butuh waktu yang lama sehingga jika JKN dianggap kebijakan politis semata, ya sah-sah saja.

Hingga 2 tahun berjalannya JKN, lebih dari 50% penduduk Indonesia, yakni lebih dari 164 juta jiwa terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan. JKN yang berprinsip pada adequacy dan equity yaitu kecukupan dan kesetaraan belum mampu melayani secara merata (pemerataan pelayanan kesehatan) padahal JKN diharapkan dapat menjadikan penduduk Indonesia mendapat pelayanan kesehatan secara menyeluruh, tanpa membedakan golongan apapun. Evaluasi formatif perlu dilakukan sesegera mungkin agar asas pemerataan kebermanfaatan dapat dilakukan. Selain itu evaluasi sumatif perlu dikaji agar menjembatani antara biaya dan keuntungan yang bisa diperoleh baik itu oleh pengguna dalam hal ini masyarakat, stakeholder dan juga providernya.. Sehingga win-win solution dan keberlanjutan JKN ini dapat terlaksana.

Jika menganalisa kebijakan JKN secara retrospektif, trend pembangunan RS pemerintah dan swasta yang menjamur dalam 4 tahun terakhir tidak mendukung tujuan kebijakan JKN dalam hal pemerataan. Selain itu perkembangan tempat pendidikan dokter spesialis dan subspesialis menjadi salah satu faktor penghambat kebijakan JKN.
Sedangkan dari aspek prospektif, JKN ini bisa menghasilkan ending yang berbeda, tergantung skenario yang dibuat, ideal, tidak baik atau bahkan terburuk. Skenario ini tergantung dari komponen pembangunan fisik & RS baik/buruk, jumlah, distribusi dan mutu spesialis/subspesialis sesuai harapan atau sebaliknya. Namun melihat kondisi saat ini, ada baiknya kita menganalisis kebijakan menggunakan skenario terburuk agar dapat mengatasi permasalahan JKN.

Oleh karenanya untuk hadapi skenario terburuk, hubungan Peneliti Kebijakan (Peneliti, Perguruan tinggi, LSM) dengan Pengambil Kebijakan perlu dipupuk dan tumbuh beriringan.

Lalu, Strategi Perubahan Kebijakan apa yang perlu dilakukan ?
Caranya dengan penambahan RS dan fasilitas kesehatan yang terstandar (penguatan sisitem rujukan dan kebijakan kompensasi BPJS), reformasi tempat pendidikan untuk perbaiki jumlah dan distribusi dokter spesialis dan subspesialis serta menjadi bagian integral sistem pelayanan kesehatan. Selain itu perlu ada amandemen UU SJSN dan UU BPJS serta berbagai regulasi terkait. Adapun prinsip amandemen terkait dana PBI yang terbatas jangan sampai disalahgunakan oleh masyarakat mampu, negara harus melindungi fakir miskin dan membuka sumber dana kesehatan dari orang kaya sehingga lebih banyak dana untuk pelayanan kesehatan.
Reply
# Irmayanti 2016-11-03 16:58
Izin menambhkan komentar, pelaksanaan dari JKN ini memang banyak mengalami ketimpangan terutama di daerah timur Indonesia. Dengan menjadikan hasil2 penelitian tersebut sebagai pertimbangan untuk analysis for policy menurut saya mungkin sebaiknya sambil membenahi peraturan JKN ini pembangunan infrasturktur dan pemerataan tenaga kesehatan dilakukan beriringan untuk meminamilir kesenjangan dari pelaksanaan JKN ini. Selama proses ini berjalan daerah yang dianggap "belum siap" dengan JKN ini diambil alih oleh pemerintah pusat untuk perbaikan masalah kesehatan sampai dirasa siap untuk JKN. Dengan begini diharapkan dana untuk daerah tersebut tidak salah sasaran. Sekian komentar saya. Terima kasih.
Reply
# Karina Puspa Adwaita 2016-11-03 18:34
Menurut saya, agar kebijakan JKN dapat mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, maka sarana/prasarana, pengadaan obat , serta ketersediaan SDM kesehatan harus dibenahi terlebih dahulu, terutama di daerah-daerah perifer, pedalaman, dan wilayah yang belum maju. Apabila upaya tersebut tidak dilakukan, maka kesenjangan pelayanan kesehatan dan pemanfaatan JKN akan terus terjadi.

Terima kasih.
Reply
# Vita Nurhikmah 2016-11-04 01:24
Setuju dengan pendapat Mbak Karina Puspa.
Perlu dikaji lagi makna keadilan sosial yang dimaksud, apakah adil di sini berarti sama rata atau sesuai kebutuhan. Berdasarkan KBBI makna adil sosial adalah kerja sama untuk menghasilkan masyarakat yg bersatu secara organis sehingga setiap anggota masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan nyata untuk tumbuh dan belajar hidup pada kemampuan aslinya. Perlu digarisbawahi frasa memiliki kesempatan yang sama, hal ini berarti bahwa setiap manusia Indonesia memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pelayanan kesehatan baik yang tinggal di daerah maju maupun daerah perifer. Olek karena itu yang perlu diperhatikan adalah kesempatan yang sama tersebut. Untuk menciptakan kesempatan yang sama berarti harus menyediakan fasilitas yang sama di semua daerah.
Pelayanan JKN tidak akan menjadi adil apabila fasiltas, sarana dan prasarana kesehatan di daerah perifer tidak sama dengan di daerah maju. Pengadaan fasilitas ini bisa menggunakan sisa dana serapan JKN yang rendah di daerah perifer. Jadi, dana tersebut tidak digunakan oleh daerah maju yang malah akan membuat daerah perifer semakin tertinggal.
Demkian.
Reply
# Hafidhotun Nabawiyah 2016-11-04 05:25
Sependapat dengan teman-teman yang lain khususnya menambahkan saja. Pendapat saya selain pemenuhan sarana, mengevaluasi makna ketidakadilan sosial bagi masyarakat Indonesia diperlukan juga turun tangan dari pihak profesional. Saat ini adanya KOMNAS IAKMI mungkin disana dapat diangkat maalah tentang kesenjangan dalam JKN ini. Memberikan solusi, tidak manambah kesenjangan yang sudah ada. Pemerataan dana dari pemerintah pun dilakukan secara prooporsional dimana daerah yang membutuhkan dana lebih mendapat proporsi yang sesuai sehingga harapan percepata pemerataan pembangunan di Indonesia dapat tercapai khususnya di bidang kesehatan. Trimakasih dan mohon maaf apabila ada pihak yang kurang berkenan dengan opini ini.
Reply
# Rizka Fikrinnisa 2016-11-03 21:43
Pelaksanaan kebijakan mempunyai kemungkinan menghasilkan keadaan yang tidak sesuai dengan tujuan kebijakan ditetapkan. Sistem kebijakan JKN berada dalam kendali pemerintah pusat. Sehingga pemerintah daerah tidak dapat berkontribusi untuk menyesuaikan kebijakan dengan kebutuhan dan keadaan daerahnya yang mencakup ketersediaan SDM (tenaga kesehatan), sarana dan prasarana, ketersediaan dan kelengkapan fasilitas kesehatan maupun pemerataan distribusi obat karena implementasi kebijakan JKN menggunakan pendekatan "Top-Down" dimana tingkat-tingkat di bawahnya melaksanakan praktek berdasarkan pada setting tujuan sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh tingkat yang lebih tinggi sehingga implementasi JKN belum maksimal dan belum bisa menjamin semua masyarakat Indonesia mendapatakan manfaat yang sama secara merata dalam pelaksanaan kebijakan ini.
Reply
# Farah Nuriannisa 2016-11-03 22:15
Selamat pagi, izin menambahkan komentar
Saya sependapat dengan Sdri. Rizka, dimana pelaksanaan JKN ini menggunakan sistem "Top-Down" sehingga pemerintah pusat yang membuat kebijakan ini tidak paham betul mengenai kondisi di daerah-daerah, terutama di daerah 3T. Seperti yang telah dijelaskan pada saat kuliah, seharusnya dilakukan uji coba JKN atau pemberlakuan JKN pada daerah yang siap sehingga tidak terjadi ketimpangan pada daerah-daerah yang memang akses kesehatannya masih susah. Sistem pembiayaan JKN yang terpusat membuat pemerintah daerah susah untuk mengembangkan pelayanan kesehatan di daerahnya, sehingga makin timbul gap antar daerah-daerah. Perbaikan akses pelayanan kesehatan dan penambahan SDM terutama pada daerah-daerah 3T mungkin dapat dilakukan terlebih dahulu sebelum JKN diberlakukan secara luas, sehingga tidak timbul kesenjangan yang semakin besar.
Terima kasih
Reply
# Kartika Yuliani 2016-11-04 03:13
Izin menambahkan pendapat, untuk mengurangi kesenjangan pelayanan kesehatan dan pemanfaatan JKN, pemerintah pusat dapat membantu pemerintah daerah 3T dalam segi pembiayaan (diluar JKN) untuk perbaikan fasilitas dan penambahan nakes di daerah 3T. Selain itu sektor swasta juga dapat dilibatkan dlm hal pembiayaan ini. Dan untuk daerah maju fokus perbaikan jkn bisa dilakukan dr segi kualitas pelayanan agar seluruh masyarakat Indonesia dapat merasakan manfaat JKN secara menyeluruh.
Reply
# Rizti Medisa 2016-11-04 04:01
Izin menanggapi pendapat Sdri. Farah
Mengenai pelaksanaan JKN yang menggunakan metode Top-Down sebaiknya diperbaiki menggunakan metode Bottom-Up agar pemerintah pusat lebih memahami permasalahan yang berada di daerah-daerah, khususnya daerah dengan infrastruktur kesehatan dan tenaga kesehatan yang belum merata.
Penelitian tentang kebijakan dan pelaksanaan kebijakan memang perlu banyak dilakukan sebagai bentuk evaluasi. Penelitian kebijakan dan pelaksanaan JKN dapat digolongkan sebagai analisis prospektif dan retrospektif. Terlebih kebijakan JKN ini, dibutuhkan analisis yang mendalam sebagai bahan perbaikan pelaksanaan ke depannya. Saya juga setuju dengan rekomendasi bahwa bidang preventif dan promotif diberi perhatian khusus. Karena penurunan beban kesehatan di masyarakat diawali dari kegiatan promotif dan preventif, maka sebaiknya JKN memberikan porsi khusus untuk program tersebut. Peningkatan kegiatan promotif dan preventif yang menjadi konsentrasi khusu di berbagai kementerian juga berguna untuk mengurangi beban JKN dalam memberikan jaminan untuk penyakit tidak menular.
Demikian pendapat dari saya, mohon maaf apabila ada kesalahan. Terima kasih
Reply
# Karina Muthia Shanti 2016-11-03 22:23
Pelaksanaan JKN ini nampak bersifat top-down, yaitu 'perintah' berasal dari pemerintah pusat untuk dilaksanakan yang ada di bawahnya sehingga cenderung bersifat sentralisasi. Banyak polemik dalam implementasi JKN ini, sehingga keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia belum dapat diterapkan. Kelompok daerah yang belum maju, pada akhirnya kurang dapat memanfaatkan keberadaan BPJS. Berdasarkan principle-agent theory, peran principal diperankan oleh BPJS dan provider di bawahnya berperan sebagai agen. Principle dapat mendelegasikan tugas kepada agen, namun principle juga berhak melakukan monitoring dan evaluasi terhadap mandat yang diberikan. Dalam pelaksanaannya, BPJS sebagai principle tidak dapat secara fleksibel melakukan monitoring evaluasi dan perbaikan, karena BPJS juga berperan sebagai agen kepada pemerintah pusat (principle). Pergerakan BPJS harus sesuai dengan apa yang diatur oleh kebijakan pemerintah pusat. Hal ini yang menjadi kelemahan dan kesulitan dalam sistem top-down.
Melakukan perbaikan melalui pengubahan kebijakan JKN akan sulit, menghabiskan banyak waktu dan dana, sehingga ada baiknya jika memperbaiki apa yang sudah ada. Salah satu upaya yang perlu diterapkan yaitu pemberian dana kompensasi bagi daerah yang tidak memiliki faskes dan SDM kesehatan yang memadai karena sebenarnya pemberian dana kompensasi sudah diatur dalam pasal 23 dan 24 UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN.
Reply
# Josefa Rosselo 2016-11-03 22:56
Ijin berkomentar.
Pada prinsipnya UU JKN dibentuk adalah untuk memberikan jaminan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia dalam hal akses pelayanan kesehatan. Namun dalam pelaksanaannya masih ada berbagai kendala ( telah dibahas di minggu 1) berkaitan dengan sarana, prasarana dan SDM antara daerah periver dengan dengan daerah maju. Hal ini berdampak pada klaim BPJS dan berpeluang menimbulkan kesenjangan. Dari hasil monitoring yang telah dilakukan akhirnya diperoleh beberapa rekomendasi kebijakan diantarannya adalah program” sister hospital” di NTT. Melalui program ini daerah mendapat “residen senior” sehingga dapat melakukan dan mendapatkan lebih banyak klaim dari tindakan medis. Sambil program ini berjalan diharapkan ada perbaikan sarana, parasarana dan peningkatana jumlah SDM (Dokter umum dan Dokter spesialis) sehingga pemerataan jaminan kesehatan Nasional dapat terwujud.Thanks.
Reply
# Hurfiati 2016-11-03 23:05
UU Kebijakan JKN memiliki tujuan mulai untuk keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia, namun pada kenyataannya masih menimbulkan kesenjangan antara daerah maju dan daerah yang tidak maju. Seperti ketersedian dokter spesialis belum merata di seluruh Indonesia khususnya daerah Indonesia bagian timur yang ada di kabupaten. Walaupun kebijakan JKN ini manfaatnya tidak merata di daerah yang belum maju, tetapi masyarakat Indonesia sudah sangat merespon kebijakan JKN tersebut. Jadi alangka baiknya memperbaiki system kebijakan yang sudah ada dari pada menguji coba kebijakan baru. selain itu juga para akademisi melakukan penelitian dan diharapkan dari hasil penelitiannya ini dapat digunakan sebagai bahan evaluasi di tingkat politik dalam rangka memecahkan masalah kebijakan JKN. Dan saya sagat setuju dengan rekomendasi kebijakan bahwa kementrian kesehatan dan kementrian lain yang terlibat dalam urusan kebijakan JKN dapat meningkatkan dukungan kegiatan preventif dan promotif.
Reply
# salahuddin al ayubi 2016-11-04 00:45
Pelaksanaan atau implementasi dari suatu kebijakan tidak hanya dilihat dari tercapai atau tidaknya tujuan yang di inginkan, tetapi juga perlu melihat sisi lain lain dari pelaksanaan kebijakan itu sendiri. Dengan adanya monitoring dan evaluasi, suatu kebijakan dapat menilai proses pelaksanaan apakah sudah sesuai dengan aturan atau petunjuknya dan juga dapat melihat sejauh mana manfaat/hasil yang sudah dicapai dilapangan.
Reply
# Juniar A Wigiyandiaz 2016-11-04 01:41
Menurut saya, kesenjangan antar provinsi di Indonesia, terutama dari provinsi-provinsi di pulau jawa dengan provinsi-provinsi di bagian timur Indonesia sudah terjadi sejak lama dan menjadi masalah klasik di setiap kebijakan atau program-program baru. Sebaiknya, harus dicari dahulu akar masalah yang menyebabkan kesenjangan tersebut, kemudian dicari bagaimana cara mengatasi masalah tersebut. Sehingga ketika mengimplementasikan kebijakan maupun program baru, kesenjangan tersebut dapat dikurangi. Namun, tanpa adanya cara menangani kesenjangan tersebut, tetap saja masalah tersebut akan muncul kembali, seperti pada kasus JKN ini. Dalam program JKN, sudah dilakukan penelitian mengenai monitoring pelaksanaan JKN. Dari hasil penelitian ini, dapat dikembangkan untuk penelitian selanjutnya, dan dapat pula digunakan untuk upaya perbaikan bagian-bagian mana saja yang masih memiliki banyak kekuarangan. Namun, diperlukan komitmen dari seluruh pihak untuk benar-benar berusaha menanggulangi masalah pada JKN dan menjadikan pelayanannya semakin lebih baik, sehingga pelayanannya dapat dinikmati selurh lapisan masyarakat di berbagai provinsi di Indonesia.
Reply
# siti maria ulva 2016-11-04 02:14
Izin berkomentar.. masih sama dg kasus di Minggu1 sya prbadi sbg bagian dari pekerja dibidang kesehatan dan masyarakat yg berada pada daerah dg hasil penelitian diatas dg hasil"PESIMIS" mmg merasakan bahwa kebijakn JKN ini masih jauh harapan dari semboyan "Keadilan sosial bagi seluruh Masyarakat Indonesia". trlalu byk masalah,komplain, kolap, hambatan baik dari kesiapan masing2 daerah termasuk didaerah kami di Kalimantan Utara. dmna ksenjangan tenaga kes..fasilits kes yg blm smua memenuhi standar, bahkan daerah perkotaan utk wilayah kaltara msh byk ditemukan Fktp yg melayani bukan dari tenaga dokter. yang akhirx suka tdk suka mmberikan dampak pada sistem pembayaran/pengkleman tagihan pasien. belum lg dri segi sistem rujukan yg byk trjadi dimna syarat2 utk pengkleman pasien bpjs jg terkesan berbelit2. kasus prsalian normal yg meningkat drastis dan membuat kdang trjadi kslahfaham antar pihak rs dan dinkes bhwa penguatan playanan linakes di Fktp tdk maximal. masih perlu trus adanya evaluasi, monitoring, untuk perbaikan sistem kedepannya. data evaluasi yg diambil jg tidak hanya mengambil data dari atas tpi bsa smpai di daerah paling pelosok Negri agar bs mencerminkan dg SESUNGGUHNYA.. apa sistem kebijakan JKN ini sudah benar, akan dan bisa memberikan Keadilan sosial yg dimaksud dari tujuan awal Jkn ini.. Tks
Reply
# Anis Kurnia Maitri 2016-11-04 03:24
Kebijakan JKN merupakan kebijakan yang bersifat top down, diputuskan oleh pusat lalu dilaksanakan kebawah. Penerapan kebijakan yang bersifat top down memiliki 6 kondisi yang harus dipenuhi agar pelaksanaannya tidak mengalami kendala. 1) Tujuan dan standar kebijakan 2. Ketersdiaan Sumber daya; 3) kualitas organisasi 4) karakteristik agen implementasi; 5) lingkungan sosial ekonomi dan politik; dan 6) perbedaan respon implementer.
Pada permasalahan JKN ini, permasalah utamanya adalah pada implementasi di lapangan. Hingga saat ini tujuan dan standar kebijakan telah disusun akan tetapi mungkin masih belum menyentuh hal-hal terkait implementasi di lapangan. Yang terpenting adalah para implementor memahami dan menyetujui tujuan dan standar yang telah ditetapkan, bukan turut menentukan tujuan dan standar tersebut.Sehingga masih banyak menimbulkan permasalahan. Kedepannya, diharapkan pemerintah merespon terhadap permasalahan yang terjadi di lapangan akibat kurang sempurnanya kebijakan ini sehingga segera dilakukan langkah-langkah perbaikan, dan pada akhirnya kebijakan JKN yang telah berjalan dapat lebih baik dan benar-benar menyelesaikan permasalahan di masyarakat.
Reply
# Rosita Antariksawati 2016-11-04 03:51
izin berkomentar...
Secara umum, JKN ada untuk mencegah pemiskinan akibat dari bencana sakit dan sekaligus untuk mencegah kehidupan yang tidak produktif.

Namun realisasinya program JKN ini belum dirasakan sampe ke polosok tanah air, khususnya di kabupaten2 terpencil salah satu contoh di Kabupaten jayapura misalnya.. dimana akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan masih sulit mungkin sama kasusnya pada NTT, sebelas duabelaslah ya..Untuk itu program BPJS itu harus didukung dengan kesiapan sarana dan prasarana kesehatan untuk menunjangnya,mungkin perlu adanya KPK dan BPK untuk mengawasi pelaksanaan BPJS dan Program JKN karena menggunakan anggaran negara yang besar.
Karena anggaran yang besar itu harus digunakan maksimal bagi masyarakat namun diawasi dalam penggunaannya. terima kasih
Reply
# Destriyani 2016-11-04 06:56
Menurut saya Kebijakan JKN merupakan kebijakan yang bersifat top-down, dalam artian kebijakan ini dibuat oleh pihak yang berada di tingkat tinggi pemilik kekuasaan Hal ini dapat dilihat dari kebijakan JKN yang direncanakan oleh lembaga pemerintah sebagai pemberi gagasan awal, pemerintah berperan lebih dominan dalam mengatur jalannya program, pemerintah mewajibkan semua warga Negara Indonesia untuk ikut serta di dalamnya. Dalam hal ini, JKN diciptakan dengan tujuan yang sangat baik. JKN bertujuan memberikan kesejahteraan sosial bagi rakyat indonesia, namun penyusunan kebijakan ini memang kurang sempurna, dari segi aktor, proses dan lainnya. Masyarakat adalah pihak yang harus menerima dan melaksanakan semua aturan yang ada, namun pada kenyataannya di lapangan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. proses monitoring nya pun juga akan menemui kesulitan, dari minimnya sarana prasarana, kurangnya pemerataan fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan serta banyaknya masyarakat yg belum merasakan manfaat JKN ini akan menjadi faktor penghambat.
Reply
# agus santosa 2016-11-05 13:16
Pelaksanaan JKN saat ini mmg terkesan sangat dipaksakan ,banyak sekali ketimpangan dan ketidakadilan..Sebagai kebilakan top down pemerintah berkepentingan agar JKN harus tetap jalan krn memang utk mengurangi beban pemerintah dalam pelayanan kesehatan..Kondisi yang mengkhawatirkan bagaimana peserta JKN sebagian besar adalah pasien dengan penyakit kronis yang setiap bulan hrs menjalani pengobatan rutin yang biayanya tidak sedikit seperti pasien DM, gagal ginjal dengan hemodialisa,kanker dengan kemoterapi dll..sedangkan masyarakat yg masih merasa sehat enggan untuk menjadi peserta JKN..sehingga tidak mengherankan anggaran JKN defisit sebagai akibatnya BPJS tidak mampu membayar klaim kepada pelayan kesehatan.. satu contoh bagaimana RS Dr. Sardjito setiap bulan harus nombok 10 miliar,kondisi yang sama mungkin juga dirasakan rumah sakit atau layanan kesehatan lainnya..Melihat kondisi defisit anggaran tersebut maka saat ini JKN belum mampu utk berfikir bagaimana memenuhi kebutuhan di daerah maju dan kurang maju...
Reply

Add comment

Security code
Refresh