Beberapa hal ini merupakan masalah kebijakan di balik kasus 3 - Minat KMPK

  1. Kasus ini merupakan sebuah contoh Kebijakan Pendidikan Kedokteran yang mempunyai pertentangan antar stakeholder sejak mulai dari Penyusunan Agenda sampai ke pasca pengesahan UU.
  2. RUU Pendidikan Kedokteran merupakan inisiatif DPR. Dalam prosesnya terlihat sikap dan koordinasi berbagai lembaga pemerintah yang belum baik dalam menyusun UU.
  3. Kasus ini menunjukkan adanya taktik dan strategi kelompok interest yang tidak tepat, yang terkait erat dengan aspek kekuasaan dalam menentukan kebijakan

 

Comments  

# DewiGraceHennyRatnaS 2016-10-24 10:27
Dari pengamatan kami terhadap UU Pendiakan kedokteran yang telah disahkan pada tahun 2013, maka dapat kami paparkan beberapa hal sebagai berikut:
Adapun aktor-aktor yang diprediksi akan menolak RPP antara lain:
1. IDI (Ikatan Dokter Indonesia)
2. KKI (Konsil Kedokteran Indonesia)
3. Pihak Universitas yang akan mendirikan fakultas kedokteran
4. Seluruh Dokter di Indonesia
5. Pengurus Dokter Umum Indonesia (PDUI)
Sebagaimana yang disampaikan oleh PDUI bahwa sebenarnya mereka telah mempersoalkan sekitar 15 pasal dalam UU terkait uji kompetensi, sertifikat dan dokter layanan primer (DLP). Pasal-pasal yang termaktub di dalam UU tersebut dinilai melanggar/menghambat akses pelayanan dokter atas pelayanan kesehatan masyarakat. Sebab hanya DLP yang berhak berpraktek di masyarakat yang diwajibkan mengikuti pendidikan uji kompetensi lagi dengan biaya yang mahal dan memakan waktu yang cukup lama. Meskipun dalam UU tersebut bertujuan antara lain menghasilkan lulusan dokter yang bermutu dan untuk pemenuhan kebutuhan dokter di seluruh wilayah tanah air. Namun akan cukup banyak hambatan dalam perumusan penyusunan RPP nantinya. Menurut analisa kami perlu dipertimbangkan kebijakan-kebijakan untuk mengantisipasi kemungkinan penolakan yang akan terjadi melalui pendekatan-pendekatan sebagai berikut, antara lain yaitu:
1. Perlunya sosialisasi tentang rumusan UU yang akan disahkan
2. Mengeluarkan peraturan tentang adanya insentif bagi para dokter yang nantinya akan mengikuti pendidikan DLP, baik dari pusat ataupun pemda tempat dokter tersebut mengabdi
3. Usulan agar pendidikan DLP disubsidi oleh Pusat maupun daerah tempat dimana mereka bekerja
4. Melibatkan semua pihak dalam perumusan akhir RPP
5. Penegasan batasan kompetensi dan kewenangan antara dokter yang telah mengikuti DLP dengan yang tidak
Issue yang disinyalir menjadi tren antara lain :
1. DLP adalah produk politik
2. Apakah akan ada strata baru dalam profesi dokter?
Reply
# Erwin Purwaningsih 2016-10-26 13:39
IDI menolak adanya program studi Dokter Layanan Primer (DLP). Alasannya tak hanya dianggap pemborosan anggaran, tapi juga memperpanjang masa studi pendidikan dokter. Alasannya antara lain IDI merasa dokter umum sudah siap menjadi dokter di fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) primer, UU dibuat harus berdasarkan bukti, bukan berdasarkan asumsi. DLP ini akan menimbulkan konflik horizontal dengan dokter yang sudah DLP dan yang belum DLP. Dengan adanya konflik horizontal, maka masyarakat akan merasa dirugikan. Pada saat dokter umum  melanjutkan studi, ia akan meninggalkan tempat kerja selama 3 tahun, tentu puskesmas akan kosong jika semua disekolahkan. Selain itu dengan tambahan pendidikan 3 tahun akan menambah lamanya pendidikan dokter menjadi 11 tahun hanya untuk dapat bertugas di Puskesmas. “Siapa yang mau sekolah dapat S1 11 tahun sementara sarjana lain sudah S3. Dampaknya IDI dan KKI walkover dari perumusan dan penyusunan RUU pendidikan kedokteran. Hal yang menarik disini adalah mengapa IDI harus keluar atau walkover dari penyusunan RUU tersebut? Bukankah mereka dapat ikut memberi berbagai masukan dan alternatif ketika proses tersebut berjalan. Hal tersebut menunjukkan bahwa IDI terkesan tidak bisa bermain politik dan justru ingin kabur dari arus penguatan kepentingan oleh pihak-pihak lain.
RUU tentang Pendidikan Kedokteran itu merupakan usul inisiatif DPR RI dan masuk dalam Program Legislasi Nasional RUU Prioritas Tahun 2012. RUU tentang Pendidikan Kedokteran disusun dengan latar belakang situasi tenaga dokter dan tenaga dokter spesialis yang membutuhkan penanganan khusus. Dokter dan dokter spesialis merupakan tenaga strategis yang mempengaruhi kesejahteraan bangsa. RUU pendidikan kedokteran ini juga merupakan antisipasi penerapan AFTA dan WTO. Menurut data Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) per 9 Mei 2016, jumlah dokter 110.720 orang, artinya satu dokter melayani 2.270 penduduk. Pada saat ini masih terdapat ketimpangan penyebaran dokter, karena sebagian besar berada di kota besar, khususnya di Pulau Jawa. Hampir 30 persen Puskesmas mengalami kekosongan dokter, terutama di daerah sulit. Hal ini disebabkan tidak ada peraturan perundang-undangan tentang wajib kerja bagi dokter dan dokter spesialis. Tetapi yang menjadi masalah adalah Kementerian Kesehatan justru kurang atau malah tidak ikut andil dalam perumusan RUU pendidikan kedokteran ini karena penyusunan RUU dianggap bukan merupakan ranah Kemenkes, Padahal secara langsung hal tersebut juga merupakan bagian dari urusan Kemenkes bukan???
RUU dikdok sendiri diinisiasi oleh komisi X DPR yang menyatakan keprihatinannya akan pendidikan kedokteran di Indonesia. Beberapa hal yang mendasari diantaranya masih kentalnya nuansa kapitalisme pendidikan kedokteran yang berujung pada diskriminasi status ekonomi, belum tersebarnya dokter di seluruh wilayah Indonesia, mutu lulusan yang masih harus diperbaiki, dan masa depan pendidikan kedokteran yang berkaitan erat dengan tingkat kesejahteraan kesehatan bangsa. Jika dikaitkan dengan teori kingdon tentang pemunculan kebijakan, disana terdapat tiga alur atau proses yang terpisah yaitu alur masalah, alur politik dan alur kebijakan. Alur masalah disini yaitu adanya pro kontra antara IDI dan KKI (pihak kontra) dengan DPR dan pihak kepentingan lain (pihak pro) dalam penyusunana kebijakan DLP dan RUU pendidikan kedokteran, alur politik yaitu masih kentalnya nuansa kapitalisme pendidikan kedokteran sehingga DLP dapat dikatakan hanya sebagai produk politik dari pihak-pihak tertentu dan alur kebijakan sendiri yang mulanya digodok oleh DPR dengan IDI, KKI dan pihak-pihak lain yang bersangkutan kemudian tanpa keikutsertaan IDI dan pihak kontra lain yang kemudian akhirnya melahirkan suatu kebijakan pendidikan kedokteran.
Reply
# Florianus Albertus 2016-10-26 16:52
Mengomentari UU Nomor 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran yang sementara dalam proses penyusunan RPP sebagai aturan pelaksana undang-undang tersebut:
1. Penentuan Agenda Kebijakan dan Proses Menjadi Agenda
Undang-undang nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Dokter sebenarnya dilandasi atas beberapa permasalahan yang berkaitan dengan profesi dokter itu sendiri mulai dari sistem pendidikan (kualitas institusi dan pembiayaannya) sampai dengan output yang dihasilkan. Dokter Layanan Primer (DLP) yang kemudian menjadi polemik sampai dengan saat ini adalah contoh bagaimana kebijakan ini mencoba mengatasi masalah pelayanan kesehatan di Faskes Tingkat Pertama yang menyebabkan banyaknya rujukan ke Faskes Tingkat Kedua. Masalah – masalah yang mendasari lahirnya undang-undang ini tentu telah melalui analisis mendalam karena sudah digagas bertahun-tahun sebelumnya. Undang-undang ini juga dirasa sejalan dengan nafas jaminan kesehatan nasional yang merupakan isu kesehatan terkini sebagaimana dalam penjelasan pasal 8 ayat (2). Dalam konteks Tiga Alur Penentuan Agenda menurut Kingdon, maka penentuan agenda kebijakan ini telah menggambarkan proses “alur masalah”; “alur kebijakan”; dan “alur politik”.

2. Peran Badan Legislatif dan Eksekutif
Peran Badan Legislatif (DPR) dalam pembentukan Undang-undang nomor 20 Tahun 2013 sangat besar karena sebagai inisiator. Hal ini dimungkinkan karena DPR mengggunakan hak inisiatifnya dalam pembentukan undang-undang. Demikian juga dengan peran beberapa partai politik yang cukup gencar melalui anggotanya di badan legislatif. Pemerintah sebelumnya bersifat ragu-ragu akhirnya justru kemudian lebih aktif. DPR sendiri saat ini malah terlihat tidak konsisten. Ada beberapa anggota DPR Komisi IX yang meminta perlu peninjauan kembali Undang-undang No.20 tahun 2013. Meskipun demikian DPR masih cukup berperan dengan menggelar Rapat Dengar Pendapat yang melibatkan stakeholder berkaitan dengan penyusunan RPP seperti yang terjadi pada tanggal 28 September 2016 lalu.

3. Berbagai Interest Group serta Strategi dan Aktifitasnya
Dalam kasus ini interest group yang paling nampak adalah Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Konsili Kedokteran Indonesia (KKI). Kelompok ini disebut juga sebagai sectional group yang tujuan utamanya melindungi kepentingan anggota mereka terutama para dokter umum yang tergabung dalam Persatuan Dokter Umum Indonesia (PDUI). Sebagai interest group yang menolak Undang- undang nomor 20 Tahun 2013 khususnya dalam kaitan dengan DLP, seharusnya mempunyai stategi yang tepat agar kepentingan yang diperjuangkan oleh kelompok ini dapat diakomodir. Nyatanya, sikap walk out dari pembahasan RUU justru merugikan diri sendiri meskipun telah menempuh jalur judicial review kepada MK. Intervensi terakhir adalah melalui RPP. Jika kemudian tetap bersikuku dengan sikap seperti ini, maka dipastikan IDI dan kelompok pendukungnya akan kembali tidak diakomodir kepentingannya. Hal ini mengingat telah terbentuk pula interest group lainnya yang mendukung Undang- undang nomor 20 Tahun 2013 seperti Perhimpunan Dokter Spesialis Layanan Primer Indonesia (PDLPI) pada 27 Agustus 2015 dan beberapa Fakultas Kedokteran yang siap menyelenggarakan pendidikan profesi DLP.
Reply
# Nadia Syukria 2016-10-27 02:41
Selamat pagi,

Diskusi kali ini tidak kalah menarik, jika sebelumnya diskusi mencakup kebijakan yang erat kaitannya dengan masyarakat luas, untuk kali ini lebih berfokus pada dunia kesehatan khususnya pendidikan kedokteran. Jika dianalisis lebih lanjut seperti biasa, ada pihak yang pro akan suatu kebijakan dan ada yang kontra. Untuk RUU Kedokteran kali ini pihak-pihak atau stakeholder yang terkait adalah ‘kaum elit kesehatan’ yaitu dokter.


Lebih berfokus pada isu Dokter Layanan Primer (DLP), Strategi dan Aktifitas Interest Group yang lebih dibahas adalah stakeholder FKM. Dalam proses kebijakannya isu ini sudah lama berhembus, salah satu stakeholder yang menolak adalah FKM-FKM yang ada di seluruh Indonesia. Pada akhir tahun 2013, Ketua Jurusan Kesehatan Masyarakat yang ada di Universitas Pendidikan (eks IKIP) melakukan pertemuan membahas DLP yang istilahnya kedepannya akan mengambil lahan pekerjaan SKM. Salah satu hasil pertemuannya yaitu, tidak mempermasalahkan adanya DLP, karena kebijakan tersebut merupakan salah satu reformasi untuk kebaikan masyarakat luas, dimana kelak DLP akan lebih dekat melayani masyarakat. Maka ketika DLP yang konsen tak hanya kuratif tapi lebih ke promotif, preventif maka tugas SKM terbantu, dan masyarakat akan lebih terawat kesehatannya. Yang lebih inti dari hasil pertemuan ini adalah SKM akan merambah lebih luas ke masyarakat dengan membentuk peminatan baru yaitu Pendidikan Guru Kesehatan Masyarakat yang bertujuan untuk melakukan promotif, preventif ke seluruh jenjang pendidikan, mulai dari PAUD hingga SMA. Sehingga salah satu stakeholder (Jurusan Kesehatan Masyarakat yang ada di eks IKIP) yang awalnya menoak DLP, akhirnya bersikap menyetujui. Semoga selama proses RUU Pendidikan ini digarap, Pendidikan Guru Kesehatan Masyarakat juga perlu digarap.
Reply
# Florianus Albertus 2016-10-29 03:03
Terima kasih untuk Mba Nadia yang telah menambahkan sebuah group interest baru dalam kasus ini yaitu Fakultas Kesehatan Masyarakat. Bagaimanapun isu DLP telah melibatkan para Sarjana Kesehatan Masyarakat karena DLP sendiri mengisyaratkan dokter tidak hanya berkompoten dibidang kuratif dan rehabilitatif tetapi juga diranah promotif dan preventif tingkat komunal yang selama ini dianggap tanggungjawab SKM.

Strategi yang dibangun FKM bukan kemudian dengan menunjukan sikap tidak setuju atau kontra terhadap kebijakan itu, tetapi malah dianggap sebagai autokritik terhadap SKM dengan kemudian meningkatkan profesionalisme antara lain dengan menambahkan sebuah peminatan baru dalam akademik FKM yaitu PENDIDIKAN GURU KESEHATAN MASYARAKAT. Hemat saya strategi ini jauh lebih baik, tidak egoistis dan membawa dampak kebermanfaatan yang lebih luas.
Reply
# Ingka Bella Naya 2016-10-27 07:13
Pendidikan Kedokteran merupakan bentuk pendidikan tinggi yang bersifat khusus dimana pendidikan akademik dilaksanakan bersamaan dengan pendidikan keprofesian. Oleh karena itu, pemerintah merasa perlu untuk mengaturnya dalam UU tersendiri sebagai penjelas dari UU tentang Pendidikan Tinggi. RUU pendidikan kedokteran (RUU dikdok) ini digadang-gadang akan mengatur seluk beluk pendidikan kedokteran secara spesifik dan komprehensif. Pembahasan tentang RUU dikdok ini dimulai pada pertengahan 2011 dan seharusnya disahkan pada 27 Maret 2012, setelah itu uji publik akan dilaksanakan pada 21 Maret 2012. Namun, pada sidang paripurna 3 April 2012 lalu, DPR menyatakan penundaan pengambilan keputusan mengenai RUU ini. Penundaan terkait pembahasan RUU pendidikan tinggi yang belum rampung serta menuai banyak kontroversi. RUU dikdok sendiri diinisiasi oleh komisi X DPR yang menyatakan keprihatinannya akan pendidikan kedokteran di Indonesia. Beberapa hal yang mendasari diantaranya masih kentalnya nuansa kapitalisme pendidikan kedokteran yang berujung pada diskriminasi status ekonomi, belum tersebarnya dokter di seluruh wilayah Indonesia, mutu lulusan yang masih harus diperbaiki, dan masa depan pendidikan kedokteran yang berkaitan erat dengan tingkat kesejahteraan kesehatan bangsa. IDI yang ikut dalam panitia kerja komisi X dalam penggodokan RUU dikdok ini menyatakan keluar, karena RUU tersebut tidak secara tegas menyatakan biaya pendidikan kedokteran ditanggung negara atau minimal dibebankan kepada peserta didik dengan nominal yang wajar dan terjangkau. Jika masih melambung tinggi, IDI menyatakan, lulusan dokter tidak bisa dipaksakan bekerja di wilayah terpencil.
Reply
# Wildan Akbar 2016-10-27 08:34
Kondisi pendidikan kesehatan/kedokteran saat ini masih jauh dari harapan dan tantangan pasar global untuk itu diperlukan keseriusan pemerintah sebagai pemangku kepentingan pendidikan untuk menciptakan sistem pendidikan yang baik. Jumlah peminat pendidikan kesehatan/kedokteran yang sangat tinggi terus meningkat, sedangkan kapasitas sarana dan prasarana masih terbatas. Akibatnya kualitas lulusan tidak sesuai dengan harapan. Untuk itu dituntut komitmen dari stakeholder terkait pengaturan penyelenggaraan pendidikan kesehatan/kedokteran dalam bentuk undang-undang untuk sama-sama mewujudkan pendidikan kesehatan/kedokteran yang berorientasi masa depan dengan menitikberatkan pada mutu pendidikan yang mengacu pada standar global. Stakeholder dalam hal ini di antaranya pemerintah, organisasi profesi, ikatan lembaga pendidikan kesehatan/kedokteran, dan masyarakat luas.

Sekarang ini isu Dokter Layanan Primer (DLP) lagi hangat di perbincangkan di dunia kesehatan dan yang menjadi pertanyaannya apakah DLP ini ada unsur politik ? DLP lahir dari keputusan politik antara pemerintah dengan DPR. Hal ini akan menambah kekacauan bagi dunia kesehatan di Indonesia sekaligus dalam sistem pelayanan kesehatan secara nasional. Betapa tidak, akan ada strata baru dalam profesi dokter di negeri ini yaitu Dokter Layanan Primer (DLP) yang terdapat dalam salah satu pasal dalam UU No. 20/2013 tentang Pendidikan Dokter. Hal ini terjadi karena profesi dokter dan pendidikan kedokteran digiring masuk dalam ranah politik.

Pro-kontra DLP masih terjadi. Dari 5 substansi RPP implementasi UU No. 20 / 2013 antara lain : FK/FKG, DLP, program internsip, dosen, dan etika profesi, pembahasan RPP DLP masih alot untuk mencapai kesepakatan. Menurut informasi, IDI telah walkout dari tim penyusun RPP DLP tersebut. IDI menarik diri dalam pembahasan RPP DLP selanjutnya.

Program DLP ini cukup baik jika program ini dapat berjalan dengan baik maka taraf kesehatan di Indonesia juga pasti akan meningkat. Namun, Indonesia belum siap untuk menerapkan program ini karena dari segi infrastuktuktur dan geografis Indonesia tidak memadai kemudian persebaran dokter juga belum merata, masih terpusat di wilayah kota besar. Dengan keberadaan DLP ini dikhawatirkan banyak dokter yang lebih memilih untuk bekerja di kota – kota besar, dikarenakan keengganan mereka untuk bekerja di daerah terpencil dengan fasilitas yang minim setelah sekian lama bersusah payah menempuh pendidikan.
Reply
# Judika Tampubolon 2016-10-27 10:35
UU Pendidikan Kedokteran Tahun 2013, apakah kepentingan politik atau kebutuhan masyarakat?
Hal ini menjadi perhatian yang perlu dikaji karena adanya kontroversi sejak mulai penyusunan agenda sampai pada pengesahan UU Pendidikan Kedokteran Tahun 2013 dimana dalam pasalnya memuat DLP (Dokter Layanan Primer). Pro dan kontra terjadi antara pemerintah, lembaga legislatif, kementerian pendidikan, kementerian kesehatan dengan para kelompok institusi serta kelompok para dokter termasuk organisasi penting profesi kedokteran (IDI, KKI, PDUI, AIPKI) yang mana pertentangan berujung di Mahkamah Konstitusi.
Menyadari bahwa penguatan usaha promotif dan preventif, serta keberlanjutan sistem jaminan kesehatan nasional membutuhkan sistem pelayanan kesehatan nasional yang berorientasi pada pelayanan kesehatan primer, maka dalam sistem ini dibutuhkan dokter yang mempunyai kompetensi sebagai pemimpin kesehatan di suatu wilayah untuk menyelesaikan sebagian besar masalah kesehatan masyarakat di wilayah kerjanya yang disebut sebagai Dokter Layanan Primer (DLP). Muncul anggapan bahwa dokter umum yang berada di fasilitas kesehatan primer belum memiliki kompetensi yang cukup untuk menangani berbagai penyakit pasien yang akhirnya dirujuk ke dokter spesiais (fasilitas kesehatan rujukan). DLP diharapkan mempunyai kompetensi menangani 155 penyakit yang mana dokter umum sebelumnya dengan kompetensi menangani 144 penyakit.

Bila kita tinjau awal terbentuknya UU Pendidikan Kedokteran, hal ini merupakan inisiatif DPR yang mempunyai agenda antara lain untuk memperkuat peran negara dalam pendidikan kedokteran dan memperketat syarat pendirian pendidikan kedokteran yang secara ideologis RUU ini mengarah pada keyakinan keadilan sosial dengan mencoba mengurangi pengaruh mekanisme pasar dalam pendidikan kedokteran. Namun, sangat disayangkan, dalam proses perumusan RUU menjadi UU, IDI memilih menolak terlbat dalam penyusunan UU Pendidikan Kedokteran sampai pada tahap disahkannya RUU tersebut. Muatan RUU tentang kebijakan Dokter Layanan Primer menjadi kontroversi karena ada anggapan program pendidikan ini bertolak berlakang dengan Undang-undang Praktik Kedokteran karena adanya Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI). Kebijakan tentang DLP menjadi kontroversi di berbagai kalangan karena ada anggapan program pendidikan ini bertolak berlakang dengan Undang-undang Praktik Kedokteran karena adanya Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI). Seolah-olah profesi dokter dan pendidikannya digiring masuk dalam ranah politik.
Sampai saat ini tetap terjadi perdebatan karena antara pemerintah dan masyarkat kedokteran belum sepaham tentang konsep DLP (Berita Kompasiana, 13 Juli 2016) sebagai sepesialis atau bukan (DLP diakui sebagai spesialis jika terdapat sekurangnya 70% perbedaan dari cabang ilmu kedokteran lainnya), tentang apakah dokter umum wajib menjadi DLP, siapa lembaga/ institusi penyelenggara pendidikan DLP, bagaimana pembiayaannya, apa standar pendidikan dan kompetensi DLP, siapa mengeluarkan sertifikatnya termasuk STR-nya, dan yang apabila disimpulkan adalah kenapa harus DLP dan apa perbedaan DLP dengan dokter umum dan apa perbedaan DLP dengan praktisi kesehatan masyarakat yang juga bergerak dalam usaha promotif dan preventif kesehatan.
Konsep DLP di negara-negara maju sangat berbeda dengan di Indonesia. Di Amerika misalnya, dokter layanan primer (primary care physician) terdiri dari beberapa spesialis seperti spesialis anak (Pediatricians), penyakit dalam (Internists), dokter keluarga (family practitioners) dan dokter kandungan (Obstetricians/gynecologists). Pasien akan ditangani oleh dokter sesuai dengan core competency-nya. Jadi yang berkerja di layanan primer adalah dokter dari bermacam-macam spesialis. Sementara di Indonesia, pelayanan primer seakan-akan hanya boleh dilakukan oleh dokter DLP. Pada kenyataannya saat ini sebagian besar dokter spesialis di Indonesia bekerja pada layanan primer baik di RS maupun praktik pribadi.
Apakah akan terus diperdebatkan tentang DLP? Perlu duduk bersama antar semua elemen pembuat kebijakan, baik di tingkat organisasi maupun di tingkat pembuat kebijkaan dan perumus RUU. Masyarakat awam hanya ingin dilayani oleh tenaga medis dengan mutu yang terbaik yaitu layanan yang pembiayaannya terjangkau dan mudah aksesnya ke pelayanan kesehatan.
Thomas R. Dye seorang profesor emeritus ilmu politik di Florida State University menjelaskan bahwa kebijakan publik adalah tercapainya kesejahteraan masyarakat melalui peraturan yang dibuat oleh pemerintah bukan semata-mata pernyataan keinginan pemerintah saja atau pejabatnya.

Salam KMPK
Terima Kasih
Reply
# Grace Sicilia 2016-10-27 12:12
Maraknya unjuk rasa sang leader pemberi pelayanan kesehatan medis yang terjadi hampir di seluruh wilayah tanah air kita hendaknya membuka kacamata pandang lain bagi sang penentu kebijakan tertinggi untuk menelaah kembali Undang-Undang yang terlanjur disahkan. Bila dilihat dari awal, undang-undang pendidikan kedokteran ini berasal dari inisiatif DPR melalui kesepakatan dengan presiden.
Pada saat penyusunan RUU sudah dimulai dengan keraguan dari anggota tim yang ditugaskan, kementerian kesehatan tidak banyak berpendapat karena domain RUU bukan di sektor kesehatan. Akan tetapi, insiatif DPR di komisi yang membidangi pendidikan ini menjadikan proses perumusan terus berjalan hingga disahkannya UU tersebut pada tahun 2013.
Hal tersebut, jelas menggambarkan bahwa perumusan UU pendidikan kedokteran sarat akan unsur politis, kekuatan partai-partai politik yang berkepentingan di DPR dalam mengatur agenda setting sangat mendominasi dan tidak sesuai dengan aturan main pembentukan peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang RI No. 12 tahun 2011, baik dari asas pembentukan maupun materi muatannya.

Agenda setting tidak berjalan dengan sebagaimana seharusnya karena diatur sedemikian rupa dengan lobi-lobi politik dari partai-partai yang berkepentingan. Sebagaimana alur penentuan agenda menurut Kingdon bahwa pemunculan kebijakan melalui tiga alur proses yang terpisah yaitu: alur masalah, alur politik dan alur kebijakan. Kebijakan hanya dianggap serius oleh pemerintah ketika ketiga alur tersebut berjalan bersamaan. Dalam kasus ini terlihat bahwa tidak jelas indikasi problem yang melatarbelakangi, hanya ada alur politik dan alur kebijakan dibuat dengan tanpa sosialisasi yang cukup juga kurang keterlibatan pihak exekutif di awal.
Seterusnya jika melihat maju mundurnya sikap IDI dalam menghadapi kasus ini mungkin dapat disinyalir adanya tekanan ataupun pendekatan yang dilakukan oleh pihak yang berkepentingan namun saya belum yakin benar siapa aktornya. Dan menurut saya jika memang tidak memungkinkan dalam penggagalan RPP nanti sebaiknya interest group benar-benar bermusyawarah dalam menentukan usulan rumusan RPP yang bagaimana sekiranya tepat sesuai kepentingan profesi dengan landasan UUD RI 1945.
Reply
# Novy Nur K 2016-10-27 13:37
Menurut Kingdon, terdapat 3 alur penentuan agenda kebijakan yaitu alur masalah, alur kebijakan dan alur politik. Dengan teori ini kita dapat menganalisis UU Pendidikan Kedokteran yang sudah disahkan di tahun 2013 yang merupakan sebuah UU kontroversial. Adanya Undang-undang nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Dokter sebenarnya dilandasi atas beberapa permasalahan yang berkaitan dengan keprofesian kedokteran mulai dari sistem pendidikannya sampai dengan adanya sebuah kebijakan dari UU tersebut. Masalah – masalah tersebut tentunya telah melalui analisis dari berbagai pihak karena sudah dimusyawarahkan bertahun-tahun sebelumnya. Kebijakan Dokter Layanan Primer yang dicanangkan oleh pemerintah masih memiliki ketidakjelasan dalam aturannya. Nantinya, hanya dokter layanan primer dan dokter praktik umum yang telah mengikuti program yang dapat menjadi dokter-dokter penyedia pelayanan kesehatan primer. Semua dokter-dokter fresh graduated harus mengikuti pendidikan dokter layanan primer bila ingin menjadi bagian dari system sebagai penyedia pelayanan kesehatan primer. Hal ini menjadi pukulan keras untuk para dokter umum yang harus melanjutkan studinya. Akan tetapi, mereka masih ditetapkan bekerja pada layanan primer. Sebaiknya system dokter layanan primer ini diperbaiki lagi sehingga tidak berdampak buruk bagi banyak orang. Tidak adanya ijazah, kurangnya penempatan, dan belum jelasnya program dokter layanan primer ini masih menjadi kendala. Sehingga perlu adanya strata baru mengenai dokter layanan primer ini. Terlebih lagi belum adanya sosialisasi dari pemerintah mengenai program dokter layanan primer ini. Dan juga dalam penyusan RUU Pendidikan Kedokteran ini masih terlihat adanya faktor politik dalam pembuatannya, karena belum semua steakholder terlibat dalam penyusunannya diperlukan lobbying dan koordinasi yang baik ke berbagai lembaga pemerintah dalam menyusun UU ini.
Reply
# Heti Susilo 2016-10-27 13:47
DLP boleh dibilang merupakan politisasi profesi dokter, karena merupakan keputusan politik antara pemerintah (Presiden) dan DPR. Kementerian kesehatan, pada awalnya tidak banyak bicara. Yang lebih aktif memimpin adalah DPR, terutama dari partai Demokrat dan PDIP. Namun, justru pada akhirnya Kementrian Kesehatan sebagai legislatif aktif memimpin penyusunan RUU ini. Awal munculnya DLP ini karena banyaknya kasus rujukan pada tingkat puskesmas, padahal seharusnya kasus tersebut dapat ditangani oleh dokter umum di puskesmas. Dengan adanya banyak rujukan ini kemudian memunculkan pendapat bahwa dokter di puskesmas tidak berkompeten dan akibat lain yang ditimbulkan oleh banyaknya rujukan ini tentu saja anggaran negara akan menjadi jauh lebih besar. Mungkin karena alasan untuk menghemat pengeluaran negara dari sesi pembiayaan kesehatan kuratif inilah, kementrian kesehatan pada akhirnya justru menjadi eksekutif dari pihak pemerintah dalam penyusunan RUU ini.
Pihak yang masih menentang DLP ini yaitu KKI, IDI dan beberapa universitas yang memiliki fakultas kedokteran. KKI dan IDI tidak setuju karena DLP ini tidak jelas kewenangannya, apakah setara dengan dokter spesialis atau hanya setara dengan dokter umum dengan sedikit tambahan kewenangan. Selain itu, adanya DLP ini juga seolah menilai bahwa dokter-dokter umum yang ada saat ini kurang berkompeten, padahal mereka sudah sekolah bersusah payah dan sudah melalui uji kompetensi. Begitu juga dengan pihak universitas, adanya DLP ini secara tidak langsung memberikan anggapan bahwa lulusan yang mereka keluarkan tidak bermutu atau diragukan kompetensinya.
Untuk mengatasi pro kontra DLP ini, pemerintah perlu banyak melibatkan pihak terkait seperti KKI, IDI dan akademisi. Standar pendidikan dan kewenangan DLP juga harus disebutkan secara jelas.
-Terima kasih-
Reply
# Yuditha Nindya KR 2016-10-27 14:14
Melihat permasalahan yang muncul sejak UU no 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran, sebenarnya perlu kita telusuri kembali mengapa UU tersebut disahkan dan memasukkan issue dokter layanan primer ke dalam pasal-pasalnya, siapa saja yang berperan dalam penyusunan kebijakan tersebut dan apa kepentingan pihak-pihak yang bersangkutan jika kebijakan diterapkan, adakah opsi pemecahan masalah lain yang mampu menengahi pertentangan adanya dokter layanan primer?
1. Alasan UU no 20 tahun 2013 disahkan adalah untuk meningkatkan kualitas dokter dalam memberikan layanan secara holistik tidak hanya kuratif dan rehabilitatif saja, tapi juga layanan promotif dan preventif di masyarakat. Seperti diketahui, selama ini pelayanan yang diberikan dokter (umum) di fasilitas kesehatan tingkat pertama hanya sebatas pengobatan individu dan belum memaksimalkan perannya sebagai tenaga kesehatan yang juga diharapkan mampu meningkatkan pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatannya. Perlu digarisbawahi di sini bahwa peran tenaga kesehatan dalam memberikan pendidikan kesehatan kepada masyarakat tidak hanya milik SKM saja, melainkan kolaborasi antar profesi tenaga kesehatan yang secara bersama-sama memberikan layanan yang menyeluruh untuk masyarakat.
Dokter layanan primer dimasukkan ke dalam pasal UU Pendidikan Kedokteran karena diharapkan DLP mampu bertindak sebagai gate keeper yang dapat menangani kasus di masyarakat hingga tuntas. Selain itu, Dokter Layanan Primer diharapkan mampu mendukung pelaksanaan JKN. Pernyataan inilah yang membuat pengesahan UU Pendidikan Kedokteran mendapat pertentangan oleh organisasi profesi kedokteran (IDI, PDUI, KKI) karena DLP dianggap mampu menggeser peran dokter umum yang sebelumnya memiliki peran yang nyaris sama dengan DLP. Pertentangan yg dilakukan organisasi profesi dokter ini sangat beralasan mengingat pada saat awal pembentukan UU no 20 tahun 2013 digagas oleh DPR, sebagai badan legislatif, yang memiliki berbagai macam latar belakang kepentingan, khususnya kepentingan politik. Sehingga perlu dipertanyakan kembali, apakah kebijakan pendidikan kedokteran cukup memenuhi kriteria agenda setting mengingat kurangnya dukungan dari stakeholder yang bersangkutan. Jika menggunakan model kingdon, pengesahan kebijakan ini masih baru melewati alur masalah dan alur politik sehingga perlu memasukkan alur kebijakan untuk menemukan solusinya.
2. Menariknya dalam kasus ini, interest group seperti IDI,PDUI dan KKI justru cenderung kurang berperan pada saat penyusunan UU Pendidikan Kedokteran. Sebaliknya, ketika UU sudah disahkan interest group ini baru menunjukkan reaksinya. Oleh karena itu, untuk menyelesaikan perdebatan DLP ini perlu adanya kesepakatan bersama melibatkan seluruh stakeholder, baik badan legislatif, organisasi profesi, serta pihak terkait, untuk menyamakan persepsi dan tujuan guna mengkaji kembali UU Pendidikan Kedokteran dan kejelasan fungsi dan peran Dokter Layanan Primer, termasuk penguatan sistem pelaksanaannya.
Reply
# Happy R Pangaribuan 2016-10-27 15:21
Melihat kebijakan ini, ada mucul pertanyaan di benak saya sebenarnya siapa yang menjadi sasaran utama penyusunan RUU Kedokteran , apakah benar sasaran utamanya adalah masyarakat? Terkait dengan DLP, saya lebih memilih di pihak kontra. Sekilas dijelaskan bahwa DLP ini bertujuan untuk meningkatkan pemerataan pelayanan kesehatan di tingkat dasar seperti Puskesmas. Faktanya, ketidakmerataan pelayanan kesehatan bukan sekedar karena kompetensi dokter tersebut, yang jadi permasalahan bukan hanya kompetensi dokternya karena kompetensi mereka akan meningkat dengan sarana dan prasarana yang memadai. DLP akan sulit berjalan karena kurangnya sarana dan prasarana, termasuk langkanya dosen Kedokteran di beberapa daerah terpencil. Belum lagi dengan kurangnya alat di Faskes Primer. Kondisi tersebut menjadi point kuat bagi kelompok kontra seperti IDI dalam RUU Kedokteran .

Peran badan legislative dan eksekutif dalam penentuan kebijakan menjadi kunci utama mengambil strategi untuk menarik kelompok kontra menjadi kelompok netral atau mendukung. Apa yang menjadi alasan kuat kelompok interest menjadi kontra dan apa sebenarnya yang mereka butuhkan? Diatas kepentingan rakyat, badan legislative dan eksekutif harus mampu menyeimbangkan kepentingan antar kelompok terkait, jangan sampai ada pihak yang dirugikan. Misalnya, untuk menghindari statement bahwa munculnya DLP ini karena dokter selama ini kurang kompeten, maka dalam RUU tersebut harus dijelaskan secara detailed apa yang menjadi kewenangan dokter umum dan DLP sehingga tidak ada peran tumpang tindih diantara keduanya. Contoh lain ada subsidi/anggaran untuk pendidikan dokter berupa beasiswa.
Reply
# Erwin Purwaningsih 2016-10-27 15:26
Jika saya berpendapat maka sasaran utama penyusunan RUU kedokteran adalah pihak-pihak tertentu yang meiliki muatan politis. Beberapa hal yang mendasari diantaranya masih kentalnya nuansa kapitalisme pendidikan kedokteran yang berujung pada diskriminasi status ekonomi, belum tersebarnya dokter di seluruh wilayah Indonesia, mutu lulusan yang masih harus diperbaiki, dan masa depan pendidikan kedokteran yang berkaitan erat dengan tingkat kesejahteraan kesehatan bangsa.
Reply
# Firdaini Armita 2016-10-27 16:30
Dokter Layanan Primer (DLP) merupakan amanah UU No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran. DLP mejadi perdebatan bahkan memicu konflik kepentingan secara vertikal dan horizontal. Pro dan kontra terjadi antara pemerintah dengan masyarakat kedokteran.
Dokter Layanan Primer (DLP) adalah produk politik. DLP lahir dari keputusan politik antara pemerintah dengan DPR. Kemungkinan besar program Dokter Layanan Primer adalah suatu isu politik, yang berarti bahwa setiap periode, pemerintah memiliki kebijakan yang berbeda dalam menunjukkan inovasinya pada masing-masing sektor, salah satunya sektor kesehatan. Dengan menurunnya jumlah masyarakat yang datang ke layanan primer (puskesmas), pemerintah beranggapan pelayanan primer saat ini gagal. Tapi, bisa saja penyebab dari penurunan tersebut berasal dari pelaksanaan dari sistem JKN itu sendiri. Masyarakat kurang paham tentang alur pengobatan dari tingkat layanan primer sampai tersier dan adanya pengobatan gratis sebagai peserta BPJS membuat masyarakat lebih ingin datang berobat ke poliklinik di rumah sakit.
Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa dokter umum hanya berfokus pada tindakan kuratif terhadap pasien, sedangkan dokter layanan primer tidak hanya akan menangani masalah kesehatan secara kuratif namun juga promotif dan preventif terhadap pasien, keluarga, dan lingkungan pasien. Akan tetapi, dalam segi kompetensi, dokter layanan primer dan dokter umum sama-sama memiliki tuntutan kompetensi yang sama, yakni sesuai dengan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) yang berlaku dan pengalaman internship. Namun, ada beberapa tambahan yang akan dimiliki dokter layanan primer daripada dokter umum yakni kompetensi yang dititikberatkan pada kemampuan promotif dan preventif serta kemampuan manajerial yang diperlukan olek Penyedia Pelayanan Kesehatan (PPK) dalam pelayanan primer di ranah kerja masing-masing.
Terkait dengan kompetensi DLP, akan banyak tumpang tindih dengan dokter umum dan juga dengan dokter spesialis. Bahkan kalau dicermati kompetensi dokter DLP sulit dibedakan dengan dokter umum saat ini. Hanya pada DLP ada penambahan muatan ilmu kedokteran keluarga, ilmu kedokteran komunitas, dan ilmu kesehatan masyarakat. Hal ini juga akan tumpang tindih dengan kompetensi dokter keluarga (family medicine/practicioner),dan dengan ahli kesehatan masyarakat (public health) dari Fakultas Kesehatan Masyarakat.
Pemerintah seharusnya membuat kebijakan tentang pemerataan dokter di semua daerah di Indonesia dan fokus pada pemerataan dokter dan memperbaiki sistem layanan primer atau layanan dasar kesehatan masyarakat.
Reply
# Andri Nugroho 2016-10-27 17:07
Ternyata sejak awal sudah ada pertentangan, ini merupakan inisiatif DPR bukan pemerintah, tujuannya untuk memperketat syarat pendirian FK, subsidi untuk pendidikan kedokteran, beasiswa, perbaikan sistem pendidikan residen shg dianggap tenaga kerja, ideologinya UU ini menyangkut peran negara dalam konteks sektor pendidikan kedokteran, yg memprakarsai adalah Mahyudin dari Partai Demokrat, namun penggerak utamanya adalah wakilnya, Heri Akhmadi dari PDI Perjuangan dan RUU ini sudah dimulai jauh 2010
Mengapa perlu UU , KKI dan IDI menentang, AIPKI mendukung, FK besar awal menentang tetapi kemudian juga mendukung.
IDI meneolak ditambah isu DLP, diajukan ke MK melalui PDUI , MK menolak, harus mengacu UU kedokteran, Sekarang IDI tdk menolak dan masuk kembali dengan catatan, bisa memasuk kembali dalam proses Kebijakan di level PP atau perpres atau Permen termasuk DLP, masuk sebagai stekholder yang kembali sebagai bagian yang menyusun kebijakan pendidikan kedokteran termasuk DLP.
Proses kebijakan formal biasanya sudah ada agenda (Prolegnas/prolegda) tidak masuk agenda undang-undang, Menurut Hall, sebuah pokok persoalan dan kemungkinan responnya masuk ke sebuah adenga pemerintah hanya ketika pokok persoalan beserta responnya tersebut memiliki keabsahan(pemerintah dianggap berhak untuk turut campur), kelayakan dan dukungan yang tinggi.
Dalam proses penyusunan ini IDI melakukan langkah Walk Out (WO) atau menolak ikut terlibat dalam penyusunan UU Pendidikan Kedokteran ini merupakan sebuah taktik agar UU tersebut tidak di sahkan, namun karena DPR yang punya power maka ini tetap berjalan sampai disahkannya UU pendidikan kedokteran ini tanpa IDI, dengan keluarnya IDI sebenarnya malah membuat IDI tidak dapat berkontribusi terhadap kebijakan ini, dan mungkin dapat berdampak kurang baik terhadap IDI karena tidak dapat memberi masukan
Reply
# Ratna Simbolon 2016-10-27 17:44
Sedikit flashback pembahasan di perkuliahan kalau BPJS Perlu diketahui, sejak BPJS digulirkan sebagai program nasional, selalu terjadi defisit, dari angka Rp 3,3 triliun (2014) menjadi Rp 6 triliun (2015) dan sekarang menyentuh Rp 8–9 triliun. Namun, adanya defisit tersebut menunjukkan bahwa terdapat sesuatu yang belum sempurna dalam pelaksanaan program itu. Salah satu penyebab defisit BPJS tersebut secara sederhana adalah ketidakseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran. Salah satunya adalah sistem rujukan yang belum berjalan sempurna. Hal tersebut dilihat dari banyaknya jumlah kunjungan ke fasilitas kesehatan (faskes) tingkat II (rumah sakit tipe B, C, dan D) dan faskes III (rumah sakit tipe A) yang seharusnya bisa tertangani di faskes layanan primer. Akibatnya, biaya klaim rumah sakit ke BPJS akan ikut meningkat. Dalam hal ini, pemerintah kemudian mengeluarkan jurus andalan berupa kebijakan dokter layanan primer (DLP) yang mendapat payung hukum UU Nomor 20 Tahun 2013. Harapannya, para DLP bisa menangani kualitas layanan terdepan dengan menjaga kesehatan yang bersifat promotif dan kuratif sehingga angka kejadian penyakit ditekan sehingga jumlah kunjungan berkurang. Selain itu, klaim biaya kesehatan bisa menurun sehingga sistem JKN bisa berjalan sempurna.
Akan tetapi pemerintah yakni pembuat kebijakan sedikit otoriter dalam menggunakan kekuasaan dalam membuat kebijakan seperti pernyataan Menurut pernyataan Menteri yangs saya kutip, “sebagai institusi pemerintah yang menangani bidang kesehatan, kementeriannya harus mematuhi aturan perundang-undangan yang ada, apalagi program dokter layanan primer itu bertujuan agar pelayanan kesehatan lebih baik. "Saya sebagai orang pemerintah tidak boleh melawan undang-undang, dan ini kan niatnya baik, tinggal mengaturnya saja, kami tidak maksa kok dalam hal ini. Tetapi kami mengacu agar pelayanan kesehatan ini jauh lebih baik," katanya. Menteri juga mengatakan program dokter layanan primer tersebut isinya adalah dokter keluarga yang bertindak agar bagaimana menjaga masyarakat tetap sehat. Tanpa memikirkan dampak lain dari DLP itu sendiri seperti :
• membuang-buang anggaran negara serta membutuhkan waktu yang lama, pada kenyataannya kita masih sangat membutuhkan tenaga medis. Jika mereka harus melanjutkan studi lagi akan ada kekosongan tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan yang pastinya akan berdampak kepada pelayanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat
• apabila dokter layanan primer setaraf spesialisasi, akan ada kastanisasi. Hal inilah yang memicu munculnya konflik.
• Pemerintah sebaiknya lebih memikirkan peningkatan kualitas atau kompetensi dokter yang sudah ada, bukannya menambah progam pendidikannya karena sia-sia karena hal ini juga memberikan efek negatif akademisi tentang kualifikasi lulusan fakultas kedokteran. Kalau memang banyak pasien yang dirujuk yang menyebabkan pembengkakan pembayaran BPJS kenapa hanya melihat satu aspek saja tanpa melihat aspek lain seperti minimnya alat kesehatan, kekosongan obat, sarana prasarana yang minimal atau bahkan “keinginan” dari pasien sendiri.
Reply
# Dewi Nur Fatimah 2016-10-28 01:16
Penentuan Kebijakan tentang Program Pendidikan Dokter Layanan Primer (DLP) yang merupakan salah satu bagian dari RUU Pendidikan Kedokteran adalah DPR sebagai inisiator. Kebijakan ini mengundang pro dan kontra dari berbagai pihak. Dalam masalah ini pihak yang kontra sangat jelas dari kelompok IDI, dimana mereka merasa dirugikan dalam penerapan Program DLP. Adanya pemberitaan mengenai kurangnya kemampuan dokter umum yang ada di puskesmas dalam melayani pasien sehingga angka rujukan ke faskes lanjutan menjadi tinggi, merupakan salah satu pendukung diterapkannya program pendidikan DLP. Tingginya angka rujukan ke faskes lanjutan bukan semata-mata disebabkan dari kompetensi seorang dokter, namun banyak permasalahan yang ada dilapangan yang tidak sesuai dengan kondisi ideal yang seharusnya dimiliki oleh faskes tingkat pertama. Seperti contoh sarana dan prasarana terutama obat-obatan dan alat pemeriksaan dan diagnostik penyakit tidak ada atau seringkali habis dan masih adanya faskes yang belum memiliki dokter umum terutama di daerah terpencil.
Menurut saya, seharusnya pemerintah fokus terlebih dahulu dalam pemenuhan dan penyebaran tenaga dokter umum serta pemenuhan sarana dan prasarana penunjang pemeriksaan. Dengan adanya Program DLP ini hanya akan membuat pelayanan kesehatan di faskes semakin terganggu, dengan lamanya studi selama 2 (dua) tahun dengan penambahan hanya 11 kompetensi, dari 144 penyakit menjadi 155 diagnosa penyakit yang harus dimiliki oleh DLP, setara spesialis namun bukan spesialis. Kebijakan yang dibuat pemerintah tanpa didahului riset maupun kajian akademik merupakan suatu kesalahan yang nantinya akan banyak mendatangkan masalah-masalah baru pada saat pelaksanaanya. Diharapkan dalam penerapan kebijakan DLP ini, Pemerintah, Organisasi dan pihak-pihak terkait mendapatkan solusi yang terbaik dan mampu mengatasi akar dari permasalahan, yang pada akhirnya peningkatan kualitas dan kuantitas pelayanan kesehatan difaskes terwujud.
Reply
# Runni Kurnia Harmuko 2016-10-28 01:38
Dokter layanan primer ditekankan agar tidak hanya bergerak di bidang kuratif, tapi juga bergerak di bidang preventif, sehingga mendukung terciptanya paradigma sehat di Indonesia. Oleh karena itu pemerintah yang mendukung kebijakan ini yakin dengan adanya DLP nantinya akan dapat berkontribusi besar dalam menangani sebagian besar kasus di masyarakat hingga tuntas. DLP juga diharapkan dapat memberikan pelayanan yang bersifat holistik, preventif dan promotif dibandingkan kuratif. Di lain pihak, DLP juga harus berorientasi pada kedokteran keluarga, okupasi, komunitas, manajerial, dan kepemimpinan. Sehingga DLP memiliki kelebihan yaitu menyediakan langkah preventif di mana dokter dituntut untuk dapat menjaga kesehatan masyarakat sehingga nantinya angka morbiditas dimasyarakat dapat menurun dan quality of life meningkat serta anggaran negara untuk kuratif akan surplus. Sementara itu terdapat Kekurangan yaitu pada sosialisasi dan publikasi oleh pemerintah. Jika ditinjau dari urgensinya mungkin DLP cukup penting, namun dari segi mindset masyarakat juga belum siap karena masyarakat masih banyak yang langsung berobat ke dokter spesialis.
Dokter Layanan Primer (DLP) adalah produk politik. DLP lahir dari keputusan politik antara pemerintah dengan DPR. Sebagai produk politik, DLP lahir dari kesepakatan politik antara Presiden dengan DPR. Dalam penyusunan RUU pendidikan kedokteran DPR tidak melibatkan organisasi profesi. Menurut saya, DPR memiliki tujuan yang baik namun dalam agenda setting hingga penyusunan UU, DPR memanfaatkan fungsi legislasinya secara sewenang-wenang. Fungsi legislasi DPR adalah membuat undang-undang, namun dalam penyusunan undang-undang tsb tidak hanya diperlukan pemikiran dari anggota DPR saja, tetapi juga diperlukan dari kelompok lain yang memiliki peran dalam UU tsb. Aktor lain yang seharusnya terlibat di dalamnya seperti Kementrian Kesehatan, IDI, KKI, Pihak Universitas, dan PDUI. Jika dilihat tujuan RUU yang dibuat DPR sangat baik dan sama halnya juga dengan UU Pendidikan Nasional yang termasuk di dalamnya pedidikan kedokteran.
IDI sebagai interest group melakukan aksi walk out/menolak terlibat dalam penyusunan UU Pendidikan Kedokteran, selanjutnya IDI melakukan aksi menentang kebijakan dengan melakukan berbagai aksi demo. Sikap yang ditunjukkan oleh IDI sebagai bentuk protes terhadap UU No 20 tahun 2013 terutama yang berkaitan dengan Dokter Layanan Primer. Program pendidikan DLP akan menyebabkan masa pendidikan dokter yang akan praktek di layanan primer menjadi panjang serta menghabiskan biaya yang sangat besar dan merupakan tanggungan negara sehingga hal ini dianggap sebagai pemborosan anggaran pendidikan. Dalam prakteknya nanti juga dapat menimbulkan masalah di kemudian hari, dimana bisa terjadi tumpang tindih di pelayanan kesehatan, karena DLP yang setara dengan spesialis bekerja di pelayanan primer.
Lantas apakah DLP sebagai cabang ilmu baru dipaksakan lahir atas dasar keputusan politik? Dari aspek keilmuan, spesialis DLP belum diterima sebagai percabangan baru ilmu kedokteran. Para pakar pendidikan kedokteran mengatakan.DLP dapat diakui sebagai spesialis, jika terdapat sekurangnya 70 persen perbedaan dari cabang ilmu kedokteran lainnya. Perlu dilakukan kajian lebih dalam. Pengesahan DLP sebagai spesialis tentu ada tatacara, prosedur atau mekanisme tersendiri. DLP sebagai spesialis tidak disahkan oleh DPR dan Presiden. Tetapi proses dan mekanismenya ada di organisasi profesi (IDI) dan kolegium sebagai pengampu ilmu.
Reply
# Runni Kurnia Harmuko 2016-10-28 01:39
Mengingat DLP masih terjadi pro-kontra, bilamana dipaksakan IDI tidak bertanggungjawab jika ada masalah di kemudian hari. Konsep DLP diyakini saat ini sudah menyimpang jauh dari konsep awal yang disepakati. IDI menerima DLP, tetapi harus sesuai dengan amar keputusan Mahkamah Konstitusi. Tersiar berita bahwa beberapa konsep DLP telah disepakati antara lain; DLP “bukan spesialis”tetapi hanya “setara spesialis”. DLP bukan wajib tetapi hanya sebagai salah satu pilihan. Setara spesialis disini tidak begitu jelas, walaupun tertera dalam undang-undang. Dokter (dulunya disebut dokter umum) diberikan kebebasan untuk memilih. Apakah dokter akan menjadi dokter spesialis, menjadi dokter DLP atau tetap sebagai dokter umum. Lantas di tengah masyarakat akan ada 2 kelompok dokter yang bekerja di tingkat pelayanan primer. Tentu saja akan berpotensi terjadinya konflik. Konsep DLP di negara-negara maju sangat berbeda dengan di Indonesia. Di Amerika misalnya; dokter layanan primer (primary care physician) terdiri dari beberapa spesialis seperi; spesialis anak (Pediatricians), penyakit dalam (Internists), dokter keluarga (Family practitioners)dan dokter kandungan (Obstetricians/gynecologists).Pasien akan ditangani oleh dokter sesuai dengan core competency-nya. Jadi yang berkerja di layanan primer adalah dokter dari bermacam-macam spesialis. Sementara di Indonesia, pelayanan primer seakan-akan hanya boleh dilakukan oleh dokter DLP. Pada kenyataannya saat ini sebagian besar dokter spesialis di Indonesia bekerja pada layanan primer baik di RS maupun praktik pribadi, kecuali pada RS pendidikan. Terus mau dibawa kemana dokter umum kita sekarang ini yang jumlahnya 111.841 orang dokter (data per tgl 13/7/2016 pukul 09:10 WIB). Dokter umum dapat menjadi dokter DLP dengan mengikuti pendidikan setara spesialis. Syarat dan ketentuan diatur oleh pemerintah. Menjadi dokter umum atau menjadi dokter DLP adalah pilihan karena tidak ada pemaksaan. Pemerintah jangan abaikan dokter umum. Melihat di pelayanan kesehatan primer akan ada dokter umum dan DLP. Mereka mempunyai hak dan kewajiban yang sama menjadi pengabdi dan pejuang kesehatan. Dokter DLP hanyalah dokter umum yang diberikan kewenangan tambahan karena kualifikasinya.
Berdasarkan model penentuan agenda jendela politik Kingdon, maka sangat mungkin ada peran pembuat kebijakan (internal maupun eksternal luar pemerintah) yang memanfaatkan kesempatan penentuan agenda dengan memasukkan kepentingan tertentu dalam RUU pendidikan dokter ini. Pembentukan RUU tersebut bisa jadi dilakukan untuk pemecahan masalah tertentu yang ada dalam sistem kesehatan Indonesia, kemungkinan arahnya dalam rangka memenuhi ketersediaan pelayanan primer yang harus dipenuhi untuk running program JKN. Fakta di atas menunjukkan bahwa penyusunan kebijakan tidak melibatkan berbagai pihak secara proporsional: antara elit dengan ahli/ expertise (orang di luar pemerintahan), internal maupun eksternal luar pemerintah dan sebagainya.
IDI sebagai organisasi profesi yang diakui pemerintah (sesuai UU No. 29/2004) menjadi menjadi salah satu pilar kebijakan pemerintah. IDI harus terus mengawal dan memberikan masukan, sehingga DLP dapat diterima oleh semua masyarakat kedokteran dan seluruh rakyat Indonesia. Beberapa solusi yang perlu dipertimbangkan dalam mengatasi permasalahan DLP antara lain : Pertama: segera menyusun standar pendidikan dan standar kompetensi DLP. Kedua standar tersebut harus disahkan dan ditetapkan oleh lembaga yang berwenang sesuai ketentuan perundang-undangan. Segera susun kurikulum dan modul pembelajaran. Kedua: pemerintah seharusnya tidak tergesa-gesa dan memaksakan diri. Hardware dan software harus disiapkan dengan sangat baik dan matang. Jika tidak, masyarakat yang akan dirugikan. Ketiga:pemerintah harus mengajak seluruh pilar kebijakan termasuk masyarakat kedokteran (IDI/Kolegium) untuk duduk bersama secara arif menyusun kebijakan DLP. Keempat: menyerahkan mekanisme pencabangan ilmu kedokteran kepada kolegium kedokteran dan IDI. Kelima: stop politisasi terhadap profesi dokter, pendidikan dan percabangan ilmu kedokteran. DLP akan menjadi keluarga baru. Mau tidak mau atau suka tidak suka DLP harus jalan terus karena amanah dari Undang-Undang. Keputusan MK sudah final dan mengikat. Sebuah keputusan politik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. DLP diharapkan mampu manjawab harapan masyarakat akan pelayanan kedokteran yang lebih baik, namun harus sesuai prosedur dan ketentuan yang berlaku.
Reply
# Kurnia Widyastuti 2016-10-28 01:41
Berbicara soal penentuan agenda kebijakan menjadi sebuah agenda perlu diketahui bahwa isi yang dibawa dalam agenda setting adalah masalah kebijakan. Masalah kebijakan sendiri menurut Lester dan Stewart (2000), adalah kondisi yang menimbulkan ketidakpuasan masyarakat sehingga perlu dicari penyelesaiannya. Sedangkan ketika nantinya telah ditetapkan sebagai agenda setting ketika sudah terjadi tahap pemutusan masalah yang menjadi perhatian pemerintah untuk dibuat sebuah kebijakan. Terlahirnya UU Pendidikan kedokteran mencoba untuk mengarahkan pada mengurangi mekanisme pasar dalam pendidikan kedokteran dan berusaha menciptakan perguruan tinggi kedokteran yang lebih berkualitas dengan ketentuan baru yang diatur seperti pengadaan RS akademik. Polemik semakin mencuat ketika pembahasan terkait DLP (Dokter Layanan Primer). Pertentangan tersebut banyak bergulir dari rekan-rekan IDI (Ikatan Dokter Indonesia). Keberadaan DLP sebagai inovasi peningkatan kualitas dokter dalam memberikan pelayanan holistik (kuratif, rehabilitatif, promotif preventif) melalui faskes tingkat pertama, sebagai ujung tombak pelayanann implementasi BPJS, menuai kontroversi. Dokter umum merasa cukup berkebaratan untuk kembali melanjutkan studi demi mendapatkan kompetensi holistik tersebut, sehingga kemudian profesi dokter umum dirasa masih kurang. Banyaknya pasien yang tidak tertangani di fasilitas kesehatan tingkat pertama dan upaya promotif preventif yang tidak maksimal menjadi masalah yang akhirnya peningkatan kualitas diperlukan melalui DLP. Ketika berdiskusi dengan rekan dokter, ada pendapat memang perlu ditengarai kembali apakah betul dokternya yang tidak kompeten atau ada alasan lain sehingga faskes tingkat pertama tidak maksimal, misalnya tidak tersedianya tenakes secara maksimal, fasilitas seadanya atau alasan lainnya. Sehingga kemudian adalah menjadi sebuah kesalahan FK yang ada di Indonesia untuk menghasilkan dokter yang tidak kompeten menangani kasus kesehatan di masyarakat, utamanya faskes tingkat pertama.


IDI yang sempat walkout, menentang keras dan sebagainya menjadi catatan tersendiri dalam kasus DLP sehingga menjadi isu yang menarik untuk dikaji. Jika dilihat model alur penentuan agenda menurut kingdon, ada 3 hal yang menjadi faktor sebuah isu publik bisa menjadi agenda kebijakan, yakni problems stream, policies stream dan politics stream. Problem Stream utamanya membahas soal ukuran yang digunakan untuk menilai kadar masalah; kejadian yang menyebabkan decision maker fokus pada masalah; feedback yang memberi informasi kinerja dan cara decision maker melihat kondisi sebagai masalah. Policies stream berkaitan dengan alternatif solusi, evaluasi solusi, dan upaya persuasif. Politics stream berkaitan dengan situasi daerah, baik opini atau iklim publik; perubahan proses kebijakan dan wilayah kewenangan dna upaya pembentukan konsesus. Dalam kasus ini, problem stream dan utamanya politics scream terlihat menonjol. Policies scream muncul di akhir ketika pada akhirnya IDI sudah mulai menerima hasil dari MK dengan berbagai catatan dan berusaha aktif dalam penyusunan RPP dan regulasi terkait UU Pendidikan Kedokteran. Kelunakan tersebut muncul dari banyak pertentangan yang cukup keras sebelumnya terutama soal DLP dengan berbagai usaha yang dilakukan IDI melalui aksi walkout, yudisial review, dan legislatif review. Namun hal ini masih terus dibangun untuk mendapatkan alternatif solusi dan evaluasi solusi karena di beberapa daerah masih terdengar bentuk protes dari anggota IDI di daerah terutama soal DLP. Upaya persuasif masih terus diusahakan dengan maksimal.


Aktor-aktor yang terlibat dalam sebuah kebijakan terdiri atas kelompok formal pemerintah yang meliputi eksekutif, legislatif maupun yudikatif, serta kelompok non formal seperti kelompok kepentingan (interest group), kelompok partai politik dan warga negara individual. Peran DPR sebagai lembagai legislatif sebagai pemilik inisiatif pada agenda UU pendidikan kedokteran. Proses yang penuh diskusi juga difasilitasi oleh DPR melalui Rapat dengar Pendapat yang diadakan guna membahas hal-hal yang masih didebatkan didalamnya.


(continued...)
Reply
# Kurnia Widyastuti 2016-10-28 01:42
Kelompok interest dikenal sebagai kelompok kelompok yang terdiri dari individu yang memiliki kepentingan dan tujuan yang sama untuk bekerjasama mempengaruhi kebijakan demi tercapai tujuannya. Kelompok kepentingan tidak berusaha menguasai pemerintah, tetapi hanya ingin mempengaruhi kebijakan pemerintah. Adapun IDI sebagai aktor dari kelompok interest cukup kuat melakukan proses lobbying dan penuntutan kejelasan. IDI merupakan organisasi profesi yang terdiri dari tenaga dokter didalamnya merasa tidak diuntungkan dengan adanya DLP mengingat akan ada perpanjangan masa studi dokter untuk bisa bekerja di Faskes tingkat pertama nantinya. Beban kuliah dan praktik kedokteran yang tidak mudah menjadi semakin tidak mudah bagi rekan-rekan dokter. Di salah satu bentuk protes peninjauan ulang dalam halaman change.org (dimulai 4 hari yang lalu) yang saat ini telah ditanda-tangani 3.136 pendukung, terdapat tuntutan dari Aliansi Anak Muda IDI mengenai perbaikan dan harmonisasi kebijakan terkait JKN khususnya dalam pembiayaan dan pengawasan; dukungan sarana dan prasarana yang memadai terutama di Faskes tingkat pertama, hal tersebut akan sangat berpengaruh terhadap penegakan diagnosis dan penatalaksanaan penyakit di masyarakat, jangan sampai bukan kualitas dokternya yang bermasalah namun kebaikan sistem yang menjadi penyebab; dukungan pembiayaan kesehtaan yang masih dibawah standar pembiayaan profesi; penghapusan pajak alat kesehatan; revisi UU Dikdok soal DLP; dan dorongan untuk kebijakan yang berpihak.


Jika kebijakan ini dilaksanakan perlu kejelasan dan pemahaman yang tersampaikan ke seluruh pihak, juga terutama pihak interest group yang memiliki banyak kegelisahan. Alih-alih ingin mendapatkan kualitas terbaik dari tenaga dokter dengan pendidikan DLP di faskes tingkat pertama, perlu juga didukung dengan perbaikan sistem pelayanan dan pemeretaan tenaga kesehatan itu sendiri, sebab sangat jelas kentara bahwa pemerataan petugas kesehatan dan pemerataan fasilitas kesehatan sampai di penjuru daerah adalah problem utama yang perlu di benahi terlebih dahulu. Semoga terdapat win-win solution dari permasalahan ini, dan persoalan DLP betul bisa menjadi jawaban ideal bagi peningkatan pelayanan kesehatan di tingkat pertama faskes. Karena kalau juga mengalami kegagalan dengan peningkatan performa yang tidak signifikan, maka kerugian yang teramat besar dan kegagalan kebijakan yang berfokus bagi kesejahteraan masyarakat terjadi kembali.
Reply
# Kurnia Widyastuti 2016-10-28 01:56
Upaya IDI yang kembali merapat untuk menjadi bagian dari penentuan proses penentuan kebijakan pendidikan kedokteran menjadi peluang agar kegelisahannya dapat didengar dan membangun isi kebijakan yang dirasa lebih ideal mewakili kelompok interest. Sebagai organisasi perhimpunan profesi tentu IDI memiliki porsi untuk menentukan hasil akhir kebijakan dan semoga prosesnya mampu memberikan keputusan yang dapat diterima. keterbukaan dan penjelasan pemahaman menjadi kunci penting bagi IDI untuk bisa memberikan penjelasan kepada rekan-rekan dokter lainnya.
Reply
# Achmad Djunawan 2016-10-28 02:45
Mengapa perlu ada DLP? Apakah dokter umum saja belum cukup? Pertanyaan itu sering terdengar dalam pengesahaan UU nomor 20 tahun 2013. Latar belakang disusunnya DLP adalah untuk meningkatkan melayanan medis yang disertai preventif promotif. DLP ini nantinya satu level dengan dokter spesialis dan mempunyai gelar spesialis dokter keluarga. Banyak pro dan kontra dalam pembuatan UU ini terutama ikatan profesi dokter Indonesia. DLP dirasa akan membuat lahan dokter umum semakin sempit. Kontra lain disebabkan karena kompetensi dan kewenangan yang ada tidak jauh berbeda dengan dokter umum. Sebuah undang undang ini dapat usulkan oleh legislatif maupun eksekutif. Pada pelaksanaannya ikatan profesi tidak setuju, sayangnya undang undang ini tetap disahkan meskipun tanpa organisasi profesi ikut terlibat didalamnya. Pengajuan di MK oleh ikatan profesi juga telah ditolak. Karena peraturan ini telah ada dan pengajuan oleh ikatan profesi telah ditolak maka undang undang tersebut harus dilaksanakan. Perlu adanya kerjasama antara pembuat kebijakan dan pelaku kunci dalam implementasi kebijakan. Upaya yang dapat dilakukan untuk menggiring oposisi ke pihak netral yaitu sebagai berikut:
1. Mempertegas perbedaan kompetensi antara dokter umum dan DLP
2. Memberikan kewenangan lebih kepada DLP
3. Memberikan gambaran jelas lapangan kerja dokter umum yang bertujuan untuk menghindari persepsi “DLP memakan lahan kami”. Contoh seperti di rumah sakit, dokter umum memiliki fungsi di Unit Gawat Darurat.
Reply
# Mariane Erika Pay 2016-10-28 05:28
Model 3 alur penentuan agenda menurut Kingdon yaitu alur masalah, kebijakan dan politik. Alur masalah, DPR berpendapat bahwa UU Pendidikan Kedokteran yang mempunyai agenda antara lain untuk memperkuat peran negara dalam pendidikan kedokteran dan memperketat syarat pendirian pendidikan kedokteran, meningkatkan subsidi pemerintah untuk pendidikan kedokteran, mengatur beasiswa yang dikaitkkan dengan penempatan, serta perbaikan sistem pendidikan residen sebagai tenaga kerja. Kompetensi dokter hasil dari pendidikan yang memiliki semangat melayani diharapkan oleh masyarakat. Munculnya FK-FK baru yang dianggap tidak layak didirikan, dan disinyalir mempunyai agenda mencari untung belaka. Alur kebijakan, dalam proses penyusunan kebijakan, seharunya ada 2 kementrian besar yang terlibat. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan belum bisa menentukan sikap, terjadi ketidak-jelasan pendapat di awal proses penyusunan RUU, sedangkan Kementerian Kesehatan yang memiliki penguasaan permasalahan tidak mempunyai andil besar dalam penentuan kebijakan, mungkin karena domain RUU bukan di sektor kesehatan, tapi lebih ditekankan pada pendidikan. Dilihat dari alur politik, IDI yang awalnya menolak UU tersebut, berbalik mendukung meskipun IDI menyetujui dengan berbagai syarat. Perubahan politik tersebut tidak terlepas dari agenda setting masing-masing untuk tetap bisa memasukkan kepentingan dalam UU tersebut.Disini terlihat ada agenda setting tertentu yang dimiliki oleh IDI.
Reply
# Rima Yunitasari 2016-10-28 07:08
Mencoba berkomentar, menurut sepemahaman saya. Disetiap kebijakan baru pasti ada pro dan kontra begitu juga permsalahan tentang DLP. Dalam penyusuan UU tentang DLP yang berperan adalah badan Legislative Dan Eksekutif. Badan legislative yang berperan adalah DPR yang berfungsi untuk membuat undang-undang sekaligus sebagai wakil rakyat,dalam RUU pendidikan kedokteran berusaha untuk meminimalisir adanya FK yang tidak layak didirikan agar mutu pendidikan kedokteran lebih baik, dan nantinya diharapkan akan mencetak lulusan dokter yang lebih kompeten. Jadi badan legislative inilah yang bersifat menjadi inisiator dalam pembentukan UU no 20 tahun 2013. Dan MK sebagai badan eksekutif dalam penetapan UU no 20 tahun 2013 ini yang menetapakan keputusan. dalam permasalahan MK menolak seluruh permohonan uji materi Undang-undang no.20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran yang diajukan Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI). Ini berarti, Fakultas Kedokteran wajib menyelenggarakan program Dokter Layanan Primer (DLP). Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai Interest Group dalam kasus kebeijakan ini. Lantas mengambil sikap untuk tetap tidak menerima pendidikan tersebut. Bahkan mereka akan mengambil langkah hukum lain dalam bentuk legislatif untuk tetap menjamin keberlangsungan kinerja dokter umum di layanan primer. Alasan IDI sebagai menolak program pemerintah tersebuta adalah sebagai berikut:
1. Kesepakatan Muktamar
Menurut Ketua Umum IDI, Prof Dr Ilham Oetama Marsis, SpOG pada wartawan, ditulis Jumat (11/12/2015) saat Muktamar ke 29 beberapa waktu lalu di Medan, perwakilan dokter di seluruh Indonesia secara mufakat telah menolak DLP. DLP akan memberatkan calon dokter dan dianggap merendahkan serta meragukan kompetensi dokter umum yang melayani di layanan primer," katanya. Kesepakatan di forum ini menganggap Perhimpunan Dokter Layanan Primer Indonesia tidak diakui sebagai Perhimpunan Dokter dibawah IDI. Hal ini akhirnya menjadi konsekuensi profesi yang diatur dalam Undang-undang nomor 20 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dalam hal pengakuan dan rekomendasi izin Praktik serta merugikan masyarakat.
2. Sudah ada SDKI
Kata DLP telah ada dalam Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) 2012 sebelum lahirnya undang-undang Pendidikan Kedokteran. Dalam hal ini, SKDI telah disusun oleh PB IDI bersama Perhimpunan Dokter Pelayanan Primer (PDPP) yang terdiri atas Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia (PDKI) dan Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI) serta disahkan Konsil Kedokteran Indonesia. Hal inilah yang menjadi landasan hukum atas pengakuan kompetensi lulusan dokter baru melalui Uji Kompetensi dan penjagaan kompetensinya lebih lanjut setelah 5 tahun melakukan praktik kedokteran melalui Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan. Marsis mengatakan, dokter dengan SKDI dirasa cukup mengatasi masalah di layanan primer. Dengan adanya DLP itulah yang akan mengancam kompetensi mereka karena ada dokter umum dan dokter spesialis layanan primer. DLP apakah masuk spesialis atau umum, dalam. UU masih rancu. Sementara ada 80 ribu lebih dokter yang menjadi anggota IDI dan mereka menjadi gate keeper di Fasilitas Kesehatan Primer,
3. Kurangnya Sarana dan Prasarana
IDI menganggap, DLP akan sulit berjalan karena kurangnya sarana dan prasarana, termasuk langkanya dosen Kedokteran di beberapa daerah terpencil. Belum lagi dengan kurangnya alat di Faskes Primer.
Reply
# ANITA MEIRIANA kmpk 2016-10-28 07:09
Mengomentari UU Nomor 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran yang sementara dalam proses penyusunan RPP sebagai aturan pelaksana undang-undang tersebut:
1. Penentuan Agenda Kebijakan dan Proses Menjadi Agenda
DLP yang terdapat dalam UU pendidikan kedokteran , hal ini terjadi karena profesi dokter dan pendidikan kedokteran digiring masuk keranah politik. Intinya kelihatan bahwa pemerintah ingin menciptakan dokter yang “super power” yaitu dokter dengan berbagai kompetensi. Dokter DLP diciptakan untuk menjawab ekspektasi masyarakat akan pelayanan dokter yang bermutu. Undang-undang nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Dokter sebenarnya dilandasi atas beberapa permasalahan yang berkaitan dengan profesi dokter itu sendiri mulai dari sistem pendidikan (kualitas institusi dan pembiayaannya) sampai dengan output yang dihasilkan.
Dokter Layanan Primer (DLP) yang kemudian menjadi polemik sampai dengan saat ini adalah contoh bagaimana kebijakan ini mencoba mengatasi masalah pelayanan kesehatan di Faskes Tingkat Pertama yang menyebabkan banyaknya rujukan ke Faskes Tingkat Kedua. Masalah – masalah yang mendasari lahirnya undang-undang ini tentu telah melalui analisis mendalam karena sudah digagas bertahun-tahun sebelumnya. Beberapa solusi yang perlu dipertimbangkan dalam mengatasi permasalahan DLP antara lain: segera menyusun standar pendidikan dan standar kompetensi DLP , pemerintah seharusnya tidak tergesa – gesa dan memaksakan diri, pemerintah harus mengajak seluruh pilar kebijakan termasuk masyarakat kedokteran ( IDI / Kolegium) untuk duduk bersama secara arif menyusun kebijakan DLP, menyerahkan mekanisme percabangan ilmu kedokteran kepada kolegium kedokteran dan IDI, stop politisasi terhadap profesi dokter, pendidikan dan percanagan ilmu kedokteran.
Dalam konteks Tiga Alur Penentuan Agenda menurut Kingdon, maka penentuan agenda kebijakan ini telah menggambarkan proses : Alur masalah , Alur kebijakan, dan alur politik. Penentu agenda tidak bisa benar – benar merupakan proses yang jelas dari proses kebijakan. Banyak aktor yang terlibat dan proses penentu agenda ini tidak serta merta didomisili pemerintah. Pemilihan waktu merupakan hal yang paling penting, dan pokok persoalan mungkin akan berubah – ubah selama beberapa waktu zebelum ketiga “alur” bisa berjalan bersamaan , dan sebuah pokok persoalan akan didorong masuk ke agenda kebijakan.

2. Peran Badan Legislatif dan Eksekutif
Walau sebagian besar negara memiliki badan legislatif yang seolah – oalh membuat kebijakan, fungsi utama badan legislatf ini biasanya adalah untuk membahas dan memeriksa usulan- usulan dari badan eksekutif. Peran Badan Legislatif (DPR) dalam pembentukan Undang-undang nomor 20 Tahun 2013 sangat besar karena sebagai inisiator. Hal ini dimungkinkan karena DPR mengggunakan hak inisiatifnya dalam pembentukan undang-undang. Demikian juga dengan peran beberapa partai politik yang cukup gencar melalui anggotanya di badan legislatif. Pemerintah sebelumnya bersifat ragu-ragu akhirnya justru kemudian lebih aktif..
3. Berbagai interest group dan proses kebijakan
Dalam kasus ini interest group yang paling nampak adalah Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Konsili Kedokteran Indonesia (KKI). Kelompok ini disebut juga sebagai sectional group yang tujuan utamanya melindungi kepentingan anggota mereka terutama para dokter umum yang tergabung dalam Persatuan Dokter Umum Indonesia (PDUI). Sebagai interest group yang menolak Undang- undang nomor 20 Tahun 2013 khususnya dalam kaitan dengan DLP, seharusnya mempunyai stategi yang tepat agar kepentingan yang diperjuangkan oleh kelompok ini dapat diakomodir. Nyatanya, sikap walk out dari pembahasan RUU justru merugikan diri sendiri meskipun telah menempuh jalur judicial review kepada MK. Intervensi terakhir adalah melalui RPP. Interest group seperti IDI,PDUI dan KKI justru cenderung kurang berperan pada saat penyusunan UU Pendidikan Kedokteran. Sebaliknya, ketika UU sudah disahkan interest group ini baru menunjukkan reaksinya.
Reply
# Ari Kurniawati 2016-10-28 07:19
Kebijakan tentang Pendidikan DLP menjadi suatu kebijakan yang menarik untuk diamati karena sejak awal penentuan agenda setting bahkan sampai dengan pasca disahkannya UU No.20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran ini masih terjadi pro kontra antar berbagai stakeholder yang berkepentingan. Adanya DLP diharapkan dapat memperkuat fungsi layanan primer, mengadopsi sistem Family Medicine di negara maju. Namun pihak yang kontra mempermasalahkan ketergesaan pemerintah menerapkan kebijakan ini, dibanding masalah mendasar dalam sistem kesehatan yang perlu lebih diprioritaskan. Status DLP juga masih dipertentangkan adanya tumpang tindih dengan dokter umum, bahkan dianggap setara spesialis. Kurikulum Pendidikan DLP pun belum terstandar antar berbagai FK, dan belum semua FK menyetujui kebijakan ini, juga lamanya pendidikan. Selain itu masih disangsikan apakah DLP dapat benar-benar meningkatkan kualitas layanan primer. Sistem evaluasi DLP pun masih belum jelas. Dari sisi alur kebijakan, pihak DPR lah yang menginisiasi kebijakan ini. IDI yang sejak awal memang kurang dilibatkan, sempat melakukan walk out agar mengagagalkan UU ini, namun di akhir-akhir pasca pengesahan kebijakan ini mulai melunak, meskipun di beberapa daerah terjadi aksi turun ke jalan para dokter. KKI merasa terlangkahi. MK pun menolak permohonan judicial review PDUI. Kemenkes sebagai bagian penting sistem kesehatan tidak lebih berperan dari Kemenristekdikti. Kebijakan ini juga dianggap sebagai bagian dari politisasi dokter. Semua ini berarti, agar UU ini dapat diimplementasikan, harus segera ada duduk bersama melibatkan aktor-aktor yang berkepentingan agar ada kesepakatan bersama di masa transisi penerapan Pendidikan DLP ini.
Reply
# Riski Malimpa 2016-10-28 07:28
Penentuan agenda kebijkan diawali dengan identifikasi masalah. Dalam kasus ini, Primary health care tidak berhasil meningkatkan pelayanan kesehatan primer pada Negara berkembang sehingga dibutuhkan reformasi diantaranya Universal coverage, penyediaan layanan, kebijakan publik dan kepemimpinan (WHO,2008). Beban dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) terletak pada pelayanan kuratif sedangkan pelayanan promotif-prefentif belum optimal. Oleh karena itu, pada penyusunan RUU pendidikan kedokteran di beberapa bulan terakhir ditambah isu Dokter Layanan Primer (DLP). Pendidikan DLP setara profesi pascasarjana/spesialis dengan waktu minimum2,5 tahun dan diselenggarakan oleh Fakultas Kedokteran yang terakreditasi A. Hal itu untuk memperbaiki sistem pelayanan primer yang berbasis keluarga. Inisiatif pertama yang mengusulkan RUU ini adalah DPR, pokok-pokok persoalan dapat masuk dalam agenda pemerintah ketika memiliki keabsahan, kelayakan, dan dukungan yang tinggi yakni oleh Kementrian Kesehatan, DPR, YLKI, BPJS Kesehatan, FKTP, Kemendikbud, Kemenristekdikti. Walaupun penolakan dari IDI sangat kuat pada awalnya, akhirnya IDI berubah sikap untuk mendukung dengan berbagai catatan. Pihak yang dimungkinkan akan menolak antara lain FKM, Fakultas Kedokteran PT Swasta, RS Swasta, Dokter Umum, dan Pengobatan tradisional. Alur masalah, alur politik, dan alur kebijakan mampu membuka jendela kebijakan karena kegagalan kualitas pelayanan kesehatan, namun pada proses politik apakah bergerak dari pengidentifikasian masalah ke pencarian pemecahannya sehingga DLP akan efektif diterapkan di Indonesia. Di beberapa Negara DLP berhasil namun disini kita kembalikan pada kondisi Indonesia dengan berbagai macam kompleksitasnya.
Reply
# Riesa Daeyani 2016-10-28 08:06
UU No 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran disahkan tanggal 6 Agustus 2013 oleh Presiden RI, Dr.H. Susilo Bambang Yudhoyono. UU Dikdok ini disetujui oleh DPR RI dan Pemerintah pada sidang paripurna DPR RI 11 Juli 2013, setelah pembahasan panjang selama lebih dari 2 tahun, sejak diusulkan oleh DPR pada 7 April 2011. Komisi X DPR ditunjuk untuk membahas RUU Dikdok oleh DPR bersama Kemendikbud, Kemenkes, Kemenkeu, Kemenpan dan Reformasi Birokrasi, serta Kemenkum dan HAM. Pengesahannya diikuti sejumlah catatan dan syarat dari berbagai fraksi yang bersedia menyetujui apabila syarat-tersebut dipenuhi oleh pemerintah.
Adanya UU Dikdok ini diharapkan stigma pendidikan kedokteran yang mahal tidak ada lagi karena pendanaannya menjadi tanggung jawab bersama, melalui alokasi dana APBN dan APBD. Selain itu, adanya beasiswa memberikan kesempatan bagi calon mahasiwa kurang mampu. Juga, permasalahan tidak meratanya persebaran tenaga dokter di Indonesia dapat diatasi. Kualitas dokter diharapkan meningkat pula.
UU Dikdok ini berimplikasi pada beberapa hal. Implikasi yang saat ini sedang marak adalah terhadap pelaksanaan JKN. Pengembangan DLP sejalan dengan penerapan JKN dengan pola rujukan berjenjang dimulai dari sistem layanan primer hingga tersier, menjadikan DLP garda terdepan dalam melakukan pelayanan kesehatan. Hal yang menimbulkan pertentangan dalam UU ini, yaitu:
Pasal 8 ayat 3: “Program dokter layanan primer merupakan kelanjutan dari program profesi Dokter dan program internsip yang setara dengan program dokter spesialis”. Lalu bagaimana dengan dokter umum?” Walaupun tetap bisa bekerja di RS swasta yang tidak bekerjasama dengan BPJS selama mempunyai SIP, namun tidak semua FK dapat mengadakan program pendidikan dokter layanan primer. Sesuai Pasal 8 ayat 1 UU ini: “Program pendidikan dokter layanan primer, dokter spesialis, subspesialis, hanya dapat diselenggarakan oleh Fakultas Kedokteran yang memiliki akreditasi kategori tertinggi untuk program studi kedokteran”. Belum semua FK di Indonesia berakreditasi A. Bahkan masih ada yang belum terakreditasi. Disebutkan lagi, FK yang berakreditasi rendah dapat bekerjasama dengan FK yang terakreditasi A. Namun bentuk kerjasama ini masih belum jelas. Hal ini bertentangan dengan yang digemborkan oleh pemerintah tentang JKN. Harusnya dokter layanan primer berada di dasar piramida sistem kesehatan.
IDI menuntut agar UU ini diubah, disampaikan saat Rapat Dengar Pendapat Umum antara Pengurus Besar IDI (perwakilan seluruh Indonesia) dengan DPR RI, dengan 5 alasan:
1. tumpang tindih dengan UU Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, UU Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi, dan UU Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan;
2. memasukkan “DLP” ke dalam jenis profesi baru kedokteran. Dunia kedokteran internasional tidak mengenal gelar setara spesialis Layanan primer adalah wilayah pelayanan. Resiko timbulnya konflik horisontal antar dokter di pelayanan primer dan berpotensi mengkriminalisasi dokter umum yang menangani pasien JKN. Menurut IDI, program ini tidak realistis, tidak signifikan, tidak efisien dan memboroskan APBN;
3. tumpang tindih peran dan kewenangan kelembagaan antara Kementerian Ristek Dikti, Kementerian Kesehatan, Organisasi Profesi (IDI termasuk Kolegium di dalamnya), beserta Konsil Kedokteran Indonesia;
4. mengabaikan program pendidikan kedokteran berkelanjutan (P2KB). Padahal, sangat penting untuk meningkatkan kapasitas kompetensi dokter dan pembinaan berkelanjutan, yang merupakan amanat UU Praktik Kedokteran;
5. belum memuat kuota mahasiswa daerah dari daerah terpencil, terjauh, perbatasan dan pulau-pulau kecil, dengan pembiayaan negara dan kewajiban pengabdian di daerah asal.
IDI berharap agar RUU Perubahan segera masuk prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2016 dan segera dibahas tahun ini. IDI juga menuntut pemerintah untuk menghentikan pembahasan substansi DLP dalam penyusunan RPP turunan dari UU Dikdok ini, menghentikan kegiatan terkait dengan sosialisasi program studi DLP, menghentikan rekrutmen dan persiapan program studi DLP, dan menghentikan pembukaan Program Studi DLP.
Reply
# Riesa Daeyani 2016-10-28 08:07
Jadi…….
Produk DLP ini merupakan Kebutuhan Masyarakat atau Kepentingan Politik?
DLP lahir dari ksepakatan politik antara pemerintah dengan DPR. Perlukah campur tangan DPR ataupun Presiden untuk mengesahkan DLP/ setara spesialis? Campur tangan politik terhadap profesi kini semakin dalam. Hal ini akan menambah kekacauan bagi dunia kedokteran di Indonesia sekaligus dalam sistem pelayanan kesehatan secara nasional. Profesi dokter dan pendidikan kedokteran digiring masuk dalam ranah politik. Sangat jelas karena UU itu sendiri adalah produk politik. Lantas apakah DLP sebagai cabang ilmu baru dipaksakan lahir atas dasar keputusan politik?
DLP diciptakan untuk menjawab ekspektasi masyarakat akan pelayanan kedokteran yang bermutu jelas merupakan suatu justifikasi belaka. Karena tidak begitu jelas mengapa dikatakan bahwa dokter (dulunya disebut dokter umum) yang ada sekarang ini tidak cukup mampu memberikan pelayanan kesehatan di tingkat pelayanan kesehatan primer.
DLP masih menjadi perdebatan antara pemerintah, masyarakat kedokteran dan mahasiswa. Pertama konsep DLP sebagai spesialis atau bukan. Kedua, wajib/tidaknya dokter umum menjadi DLP. Ketiga, lama pendidikannya. Keempat, pembiayaannya. Kelima, institusi penyelenggara pendidikannya. Keenam, standar pendidikan dan kompetensinya. Dan yang terakhir apakah STR DLP sama dengan dokter umum?
DLP mejadi perdebatan bahkan memicu konflik kepentingan secara vertikal dan horizontal.
Dari aspek keilmuan, DLP belum diterima sebagai cabang baru ilmu kedokteran. Para pakar mengatakan, DLP dapat diakui sebagai spesialis, jika terdapat sekurangnya 70% perbedaan dari cabang ilmu kedokteran lainnya, sehingga perlu dilakukan kajian lebih dalam.
Pengesahan DLP sebagai spesialis tentu punya mekanisme tersendiri. DLP harusnya tidak disahkan oleh DPR dan Presiden. Tetapi mekanismenya ada di organisasi profesi (IDI) dan kolegium sebagai pengampu ilmu.
Reply
# Henny Marchelina 2016-10-28 11:01
UU No.20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran (UU Pendidikan Kedokteran) yang telah disetujui oleh DPR RI dan Pemerintah untuk ditetapkan sebagai Undang-undang pada sidang paripurna DPR RI 11 Juli 2013.
Adapun tujuan dari UU Pendidikan Kedokteran, secara umum dapat dijabarkan menjadi tiga hal. Yang pertama, adalah upaya mengintegrasikan peran pendidikan atau akademik dan layanan kesehatan atau profesi, dimana secara operasional dikelola oleh kementerian dibawah sektor pendidikan dan kesehatan. Kedua, mengatasi berbagai problem dalam rangka menjaga mutu, yang terkait dengan proses seleksi, proses pembelajaran, ketersediaan sarana dan prasarana serta alat-alat laboratorium, dosen, tenaga medik dan masalah pendanaan pendidikan kedokteran. Terakhir, UU Pendidikan Kedokteran bertujuan memberikan kepastian hukum, disamping undang-undang yang sudah ada yaitu Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional dan Undang-undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Mengapa dalam prosesnya terlihat sikap dan koordinasi berbagai lembaga pemerintah yang belum baik karena dalam penyusunan Dokter Layanan Primer (DLP) lahir dari keputusan politik antara pemerintah dengan DPR. Campur tangan politik terhadap profesi ini tampak jelas. Betapa tidak, akan ada STRATABARU dalam profesi dokter di negeri ini yaitu Dokter Layanan Primer (DLP) yang terdapat dalam salah satu pasal dalam UU Pendidikan Dokter. Hal ini terjadi karena profesi dokter, dan pendidikan kedokteran digiring masuk dalam ranah politik Dokter. DLP diciptakan untuk menjawab ekspektasi masyarakat akan pelayanan kedokteran yang bermutu tapi pada kenyataannya jelas merupakan suatu justifikasi belaka. Karena tidak begitu jelas mengapa dikatakan bahwa dokter (dulunya disebut dokter umum) yang ada sekarang ini tidak cukup mampu memberikan pelayanan kesehatan di tingkat pelayanan kesehatan primer. DLP dianggap nantinya memiliki kompetensi menangani berbagai penyakit yang selama ini tidak mampu ditangani oleh dokter umum di pelayanan kesehatan primer.
Pro-kontra DLP masih terjadi. Dari 5 substansi RPP implementasi UU No. 20 / 2013 antara lain : FK/FKG, DLP, program internsip, dosen, dan etika profesi, pembahasan RPP DLP masih alot untuk mencapai kesepakatan. Menurut informasi, IDI telah walkout dari tim penyusun RPP DLP tersebut. IDI menarik diri dalam pembahasan RPP DLP selanjutnya.

Beberapa solusi yang perlu dipertimbangkan dalam mengatasi permasalahan DLP antara lain : Pertama: segera menyusun standar pendidikan dan standar kompetensi DLP. Kedua standar tersebut harus disahkan dan ditetapkan oleh lembaga yang berwenang sesuai ketentuan perundang-undangan. Segera susun kurikulum dan modul pembelajaran.
Kedua: pemerintah seharusnya tidak tergesa-gesa dan memaksakan diri. Hardware dan software harus disiapkan dengan sangat baik dan matang. Jika tidak, masyarakat yang akan dirugikan. Ketiga:pemerintah harus mengajak seluruh pilar kebijakan termasuk masyarakat kedokteran (IDI/Kolegium) untuk duduk bersama secara arif menyusun kebijakan DLP.
Keempat: menyerahkan mekanisme pencabangan ilmu kedokteran kepada kolegium kedokteran dan IDI.
Kelima: stop politisasi terhadap profesi dokter,pendidikan dan percabangan ilmu kedokteran.

Pada akhirnya DLP akan menjadi keluarga baru. Mau tidak mau atau suka tidak suka DLP harus jalan terus karena amanah dari Undang-Undang. Keputusan MK sudah final dan mengikat. Sebuah keputusan politik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. DLP diharapkan mampu manjawab harapan masyarakat akan pelayanan kedokteran yang lebih baik, namun harus sesuai prosedur dan ketentuan yang berlaku.
Reply
# Mellisa D. Pitaloka 2016-10-28 11:23
Munculnya UU Pendidikan Kedokteran merupakan upaya pemerintah dalam meningkatkan mutu tenaga kesehatan dokter, diharapkan dengan pendidikan yang berkualitas dihasilkan lulusan dokter yang juga berkualitas. Terkait dengan evaluasi Sistem Jaminan Sosial yang masih banyak kekurangan, diantaranya masih banyak rujukan yang seharusnya bisa ditangani di layanan kesehatan primer menjadi penanganan di fasilitas kesehatan tingkat lanjutan.
Dari segi kompetensi sebenarnya para dokter umum sudah nyaris punya semua kompetensi layanan primer, terbukti dari proses standardisasi dari AIPKI yang berupa UKMPPD dan harus memenuhi kriteria yang ditetapkan di SKDI. Tapi pada praktiknya para dokter umum sering “dianggap” tidak melakukan praktik di layanan primer dengan baik (based on research, of course), jadi dengan adanya pendidikan DLP ini diharapkan muncul para kader yang bisa “benar2” berpraktik sebagai “dokter keluarga” yang komprehensif dan bisa menempatkan diri sebagai dokter keluarga yang “seharusnya”.
Umumnya setiap pendidikan dokter selama koas akan terpapar berbagai macam cabang ilmu “spesialistik” sesuai rotasinya: misal Ilmu anak, penyakit dalam, kebidanan dan kandungan, IKM, dsb. Nah, tidak semua dokter umum yang telah melewati semua stase / rotasi koas itu disebut Sp.A, Sp.PD maupun Sp.OG kan? Demikian juga tidak semua dokter umum dapat disebut sebagai Sp.LP karena sudah lewat stase IKM. Sebenarnya alasan dibentuknya Sp.LM itu untuk membangun image / re-branding di masyarakat bahwa “Faskes primer/ puskesmas sekarang itu ditangani oleh “dokter spesialis” yang lebih kompeten beda dengan yang dulu . Nantinya diharapkan mindset masyarakat terhadap layanan primer menjadi berubah lebih baik dan saat ini Sp.LP ini sudah diterapkan di negara-negara lain yang sudah menggunakan universal coverage a.k.a JKN/BPJS (US, Phillipines, dsb) dan dinilai efektif dalam menekan pengeluaran negara di bidang kesehatan (karena gatekeeper dari dokter spesialis LP yang berkompeten).
Seperti program spesialis lainnya, program spesialis DLP juga tidak memaksa, artinya program ini bisa diambil oleh dokter yang tertarik dan berminat kerja di layanan fasilitas primer. Tentunya dengan SJSN yang digunakan di Indonesia saat ini akan ada keuntungan tersendiri, misal mendapat kapitasi yang lebih besar daripada sekedar dokter umum yang juga melayani pasien di pelayanan primer. DLP juga sudah menjadi bagian dr UU pendidikan yng sudah disahkan dan wajib dilaksanakan. Sehingga dengan pertimbangan bahwa dokter yang bekerja di layanan primer saat ini memiliki hak yang sama dengan DLP yang harus menempuh pendidikan profesi lanjutan, maka metode pembelajaran untuk profesi DLP harus efektif. Metode pembelajaran yang efektif namun tetap menjaga kualitas pendidikan adalah: 1. Pembelajaran jarak jauh (long distance learning, e-­learning education) 2. Pembelajaran berbasis tempat kerja (work place based learning) 3. Pembelajaran pilihan dengan pengumpulan angka kredit (credit earning) 4. Pembelajaran yang mengenali dan mengakreditasi pelatihan yang telah diperoleh sebelumnya (recognized prior learning) . Sehingga dokter2 yang sekarang ini bekerja di layanan primer tetap bisa berpraktek dan mendapatkan gaji, namun tetap bisa meningkatkan keilmuannya menjadi Sp.LP.
Namun, pemerintah juga harusnya tetap berusaha melakukan pemerataan kualitas fasilitas pelayanan kesehatan primer, adanya rujukan ke FKTL juga bisa disebabkan karena keterbatasan sarana dan prasarana untuk menangani 155 penyakit yang seharusnya bisa ditangani di FKTP tidak tersedia.
Reply
# Hermanto 2016-10-28 17:48
1. Kebijakan Pendidikan Kedokteran (UU Pendidikan Kedokteran) yang merupakan inisiatif DPR mempunyai agenda awal yatu untuk memperkuat peran negara dalam pendidikan kedokteran dan memperketat syarat pendirian pendidikan kedokteran, meningkatkan subsidi pemerintah untuk pendidikan kedokteran, mengatur beasiswa yang dikaitkkan dengan penempatan, serta perbaikan sistem pendidikan residen sebagai tenaga kerja. RUU Pendidikan Kedokteran secara tegas ingin menghentikan proses pendirian FK-FK baru yang dianggap tidak layak didirikan, dan disinyalir mempunyai agenda mencari untung belaka. Disinilah masalah ‘muncul dengan sendirinya’ dan langsung mendapatkan tanggapan (mendapatkan prioritas dalam agenda publik).
Namun dipihak yang kontra yaitu Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Umum Indonesia (PDUI) menentang RUU Pendidikan Kedokteran. Argumen yang diajukan, antara lain adalah sudah ada UU Praktek Kedokteran.
2. Di kalangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan adanya keraguan apakah ini kebijakan yang diperlukan oleh bangsa ? Dalam konteks ini dinyatakan bahwa sudah ada UU Pendidikan Nasional dan berbagai PP yang mengatur mengenai pendidikan termasuk pendidikan kedokteran. Sedangkan Kementerian Kesehatan tidak banyak berpendapat karena domain RUU bukan di sektor kesehatan.
Disinyalir juga Naskah Akademik yang digunakan untuk menganalisis RUU Dikdok yang didalamnya termuat tentang DLP tidak ada atau belakangan baru dimasukkan. Sehingga perlu diktelusuri siapa aktor yang berada dibelakang penyusunan agenda RUU Dikdok ini, apakah dia mempunyai kompetensi, apakah dia paham apa itu JKN dan bagaimana konsep Primary Care.
3. Dalam proses penyusunan ini IDI (Kelompok Interest) melakukan langkah Walk Out (WO) atau menolak ikut terlibat dalam penyusunan UU Pendidikan Kedokteran. Penambahan isu dalam fase akhir penyusunan RUU Pendidikan Kedokteran menambah perbedaan pendapat antara IDI dengan pemerintah. Dalam pelaksanaan UU Pendidikan Kedokteran, Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI) di bawah naungan IDI, melakukan Yudisial Review. Hasilnya adalah hakim-hakim MK menolak secara keseluruhan gugatan YR PDUI. Pada bulan April 2016 disebutkan bahwa PB IDI menerima hasil dari MK dengan berbagai catatan dan berusaha aktif kembali dalam penyusunan RPP dan berbagai regulasi terkait UU Pendidikan Kedokteran. Dengan melakukan perubahan sikap ini, IDI sebagai perhimpunan profesi masuk kembali dalam proses penentuan kebijakan pendidikan kedokteran. Langkah ini sangat tepat agar IDI bisa melakukan tindakan untuk memperbaiki proses-proses kebijakan (proses-proses pengambilan kebijakan yang adil dengan melibatkan semua stakeholder dan mereka diberikan kesempatan untuk mengemukakan pandangan yang mempengaruhi kebijakan). Peran IDI disini mengemukakan Konsep DLP sendiri yaitu merupakan kontrol dalam sistem asuransi/jaminan kesehatan, dimana dana yang dimiliki terbatas, sehingga penggunaannya harus seefisien mungkin. Karena jika langsung dating ke dokter spesialis maka klaim akan tinggi sehingga dana bisa terkuras. Lain halnya jika anda menggunakan dana pribadi, anda bisa langsung datang ke dokter spesialis karena dana yang dipakai dana pribadi. Konsep DLP diberbagai dunia, salah satu contohnya di Amerika, dengan dana yang besar , DLP terdiri dari Dokter praktek umum, Dokter keluarga dan Dokter spesialis tertentu (Dokter spesialis Anak, Kandungan dan Penyakit Dalam), sehingga tidak perlu ada rujukan antar dokter. Lain lagi di Inggris dimana dana yang dikelola terbatas, Dokter praktek umum diberi sejumlah dana, kemudian dana tersebut dikelola oleh mereka, sehingga mereka yang mengatur kapan harus dirjuk ke Dokter spesialis. Dari kedua Negara tersebut, Amerika dan Inggris, DLP tidak perlu ada tambahan pendidikan lagi, hanya butuh kelulusan kompetensi tertentu. Yang menarik dalam DLP ini, pada akhirnya Isu Kriminalisasi terhadap dokter praktek umum akan mudah terjadi jika UU Dikdok pasal 8 ayat 2 dijalankan dengan PP, tentu yang menjadi korban bukan hanya dokter praktek umum namun peserta JKN juga.
Reply
# Ratna Kusumasari P. 2016-10-29 01:15
Terkait kasus kebijakan munculnya UU Pendidikan Kedokteran ini, menurut saya ada hal yang bisa kita cermati terkait bagaimana proses penentuan agenda kebijakan sampai menjadi agenda itu dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Dalam hal ini, kita perlu memahami terlebih dahulu bahwa penentuan agenda itu, tidak lain adalah proses dimana pokok-pokok persoalan tertentu, dari sekian banyak pokok persoalan yang potensial untuk menjadi perhatian para pembuat kebijakan, masuk dalam agenda kebijakan.

Tiga Alur penentuan agenda kebijakan menurut John Kingdom terdiri dari Alur masalah, alur kebijakan dan alur politik. Dalam konteks UU pendidikan kedokteran penentuan agenda kebijakan belum berjalan dengan baik, hal ini dapat terlihat dari masalah-masalah yang terdapat dalam tiga alur ini, yaitu :
1. Alur masalah : Masalah yang dimasukkan ke dalam agenda kebijakan bukan berasal dari kebutuhan masyarakat melainkan dari inisiatif DPR, terlihat dari keraguan tim penyusunan kebijakan dari kementrian pendidikan dan kebudayaan saat awal menyusun RUU pendidikan kedokteran ini. Selain itu pro dan kontra di antara para stakeholder diabaikan dan menimbulkan isu-isu kebijakan yang membuat kebijakan ini terus mendapat pertentangan dari beberapa stakeholder.
2. Alur kebijakan
Analisis terhadap isu-isu kebijakan yang muncul saat agenda setting seharusnya bisa menjadi acuan bagi tim penyusun kebijakan untuk dapat mengembangkan kebijakan pendidikan kedokteran ini atau mempersempit ruang lingkup kebijakan. Namun hal ini sama sekali tidak dipertimbangkan oleh DPR sebagai pihak legislatif dalam membuat UU pendidikan kedokteran ini.
3. Alur politik
Kepentingan partai politik yang ada dalam badan legislatif sangat mempengaruhi keputusan badan legislatif. Hal ini sangat jelas terlihat meskipun protes telah dilakukan oleh IDI namun pihak yang memegang kekuasaan masih memegang peranan sangat besar.
Menurut Kingdom, kebijakan hanya akan dianggap serius oleh pemerintah ketika ketiga alur ini dapat berjalan bersamaan. Sehingga kalau dilihat dari tiga alur yang terdapat dalam penentuan agenda kebijakan, UU pendidikan kedokteran ini, masalah pendidikan kedokteran masih belum terlalu layak untuk dimasukkan dalam agenda kebijakan.

Sistem presidensial yang berlaku di Indonesia membuat badan eksekutif (presiden) dapat mengusulkan sebuah kebijakan, namun dibutuhkan persetujuan dari badan legislatif. Dalam RUU Pendidikan Kedokteran ini inisiator pertama justru dari DPR (legislatif), dari pihak pemerintah (eksekutif) yang disini diwakilkan Kementrian Pendidikan dan kebudayaan justru ragu, mengapa harus ada RUU Pendidikan Dokter, karena sebelumnya sudah ada UU Praktek Kedokteran. Karena Komisi di DPR yang membidangi ini terus berjalan, akhirnya pihak eksekutif (cq Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) secara aktif memimpin proses penyusunan dari sisi pemerintah. Hubungan antara Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dengan Kemenkes, keduanya sama sama berperan sebagai eksekutif (yang mengusulkan kebijakan), namun disini justru kebijakan RUU Pendidikan Kedokteran dari DPR, yang mungkin mayoritas anggotanya tidak berasal dari partai politik yang sama. Hal ini diakui atau tidak menyebabkan perang kepentingan semakin dominan di legislatif.

to be continue...
Reply
# Ratna Kusumasari P. 2016-10-29 01:17
continue...

Dalam RUU Pendidikan Kedokteran ini, DPR bertindak sebagai aktor utama (pengambil inisiatif) suatu kebijakan ini, dan prosesnya sudah di mulai sebelum tahun 2013 dengan dasar "keadilan sosial" untuk mengurangi mekanisme pasar dalam pendidikan kedokteran yang hanya untuk kepentingan bisnis dan juga alasan meningkatkan kapasitas dokter yang dirasa masih belum mumpuni pasca lulus. Dan IDI sebagai ikatan profesi dokter menolak RUU tersebut sampai disahkannya undang undang tersebut, karena merasa dirugikan dengan kebijakan tersebut. IDI dan juga beberapa perguruan tinggi awalnya mungkin tersinggung karena dianggap bahwa keluaran dokter mereka kurang mumpuni, maka mereka memilih konfrontasi saat penyusunan RUU. IDI yang merupakan interest group akhirnya malah walk out dalam penyusunan sehingga menjadi outsider group. Sangat disayangkan adalah keputusan IDI yang kemudian terkesan plin plan karena berbalik akhirnya ikut lagi dalam penyusunan dan menyetujui. Seharusnya jika tidak sepakat dengan adanya DLP, yang menjadi salah satu poin dalam RUU yaitu menambah lama studi dokter dengan keahlian promotif dan peventif, mereka melakukan strategi lebih matang. Apabila sudah keluar dan menjadi outsider group, dapat memberikan pengaruh kuat agar RUU pendidikan kedokteran bisa sesuai dengan IDI. Tapi keputusannya untuk bergabung lagi ini, apakah karena ada lobi-lobi, atau karena IDI merasa akhirnya sendiri dan akan diabaikan setelah ini? Dan atau justru akhirnya menyadari bahwa outsider tidak bisa berbuat banyak sehingga memutuskan masuk lagi??? Atau lebih baik tetap berada di dalam sebagai insider group sejak awal konsisten dan justru bisa berjuang sekaligus berpengaruh lebih banyak dalam kesepakatan RUU yang nyatanya juga tetap jalan dan disahkan, berperan dalam isi dari RUU tersebut. Sebagai Interest group seharusnya IDI bisa memberikan tekanan kepada pihak legislatif dengan membuat strategi yang menonjolkan kelebihan dari interest groupnya dan juga bisa menjalin kerjasama dengan pihak-pihak lain dalam bidang kesehatan, seperti kementrian kesehatan dan ikatan profesi lainnya apabila saat itu tetap tidak sepakat dengan RUU tersebut.

Kemudian menanggapi mengenai DLP, sebenarnya ini bisa jadi terobosan yang bagus bagi dokter agar bisa melakukan tugasnya lebih komprehensif. Namun ketika DLP ini ditekankan pada upaya preventif dan promotif, kemudian bagaimana nasib kesehatan masyarakat? Mengingat itu adalah core utama dari public health. Diharapkan Kemenkes harus lebih peduli dan memperhatikan lagi kebijakan-kebijakannya yang akan mempengaruhi SDM Kesehatannya. Diharapkan akan ada tupoksi dan grand design tenaga kesehatan yang rinci dan jelas dalam ranah-ranah aktivitasnya di Indonesia tercinta ini.
Reply
# NURLIA YUSUF 2016-10-29 02:46
1. Kasus ini merupakan sebuah contoh Kebijakan Pendidikan Kedokteran yang mempunyai pertentangan antar stakeholder sejak mulai dari Penyusunan Agenda sampai ke pasca pengesahan UU
Answer:
Penentuan agenda adalah proses di mana pokok-pokok persoalan tertentu, dari sekian banyak pokok persoalan yang potensial untuk menjadi perhatian para pembuat kebijakan, masuk dalam agenda kebijakan. Penentuan agenda kebijakan dtinjau menggunakan 3 alur penentuan agenda dari John Kingdon, yaitu alur masalah, alur politik dan alur kebijakan. Kebijakan hanya akan dianggap serius jika ketiga alur ini dapat berjalan bersamaan.
RUU Pendidikan Kedokteran dapat masuk ke agenda Prolegnas dikarenakan banyaknya syarat pendirian pendidikan kedokteran sangat mudah sehingga memunculkan berbagai FK-FK baru yang dianggap tidak layak untuk didirikan dan disinyalir mempunyai agenda mencari keuntungan belaka, sehingga kebijakan ini perlu menjadi perhatian karena menyangkut kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia (alur masalah), dalam proses penyusunan kebijakan tidak melibatkan para KKI dan IDI yang kita ketahui bersama bahwa kedua organisasi ini merupakan organisasi penting di dunia kedokteran, sehingga tidak ada yang menghambat terbentuknya kebijakan ini (alur kebijakan), dan Kebijakan Pendidikan Kedokteran bukan merupakan domain dari Kementerian Kesehatan, sehingga yang berkuasa dan secara aktif memimpin proses penyusunan kebijakan adalah dari pihak eksekutif (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan). Di sini dapat terlihat bahwa terjadi pertentangan antar stakeholder (alur politik)).
2. RUU Pendidikan Kedokteran merupakan inisiatif DPR. Dalam prosesnya terlihat sikap dan koordinasi berbagai lembaga pemerintah yang belum baik dalam menyusun UU.
Answer:
Proses penyusunan kebijakan publik dalam bentuk UU adalah mulai dari pengidentifikasian masalah dan penyusunan agenda, penyusunan skala prioritas, perumusan (formulasi) rancangan kebijakan dan penetapan, pengesahan kebijakan (kekuasaan legislatif), pelaksanaan kebijakan (kekuasaan eksekutif) dan evaluasi kebijakan publik (kekuasaan yudikatif). Seharusnya dalam proses penyusunan UU lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif saling bersinergi sehingga hubungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan Kemenkes serta berbagai komisi di DPR berjalan dengan baik yaitu DPR disini sebagai inisiator dalam pembentukan UU Pendidikan Kedokteran didukung oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kemenkes.
3. Kasus ini menunjukkan adanya taktik dan strategi kelompok interest yang tidak tepat, yang terkait erat dengan aspek kekuasaan dalam menentukan kebijakan.
Answer:
Group Penekan atau interest group adalah IDI dan KKI. Posisi group ini adalah pihak yang merasa dirugikan dengan adanya kebijakan UU Pendidikan dan Kedokteran serta RPP DLP, sehingga berusaha untuk mempengaruhi proses kebijakan agar dibatalkan. Namun taktik yang digunakan oleh IDI dan KKI belum tepat, mereka berusaha mengubah RUU yang sudah terlanjur menjadi agenda sehingga sulit untuk diubah. Seharusnya strategi yang tepat untuk memberikan pengaruh dalam proses kebijakan adalah dengan ikut serta dalam proses penyusunan kebijakan yaitu saat pengidentifikasian masalah dan penyusunan agenda sebelum RUU terlanjur menjadi agenda kebijakan. Dengan demikian, IDI dan KKI dapat melakukan lobi atau advokasi serta pembelaan yang agresif serta terus menerus kepada pemerintah agar dapat mempengaruhi kebijakan tersebut.
Terima Kasih
Reply
# Ridwan Bawor KMPK 2016-10-29 07:02
Kebijakan terkait Dokter Layanan Primer (DLP) yang merupakan keputusan dari DPR dan Pemerintah (produk politik) yang masih dengan cara lama yaitu proses yang terkesan tergesa-gesa sehingga masih kurang dipikirkan akan kelemahan atau efek yang timbul akibat kebijakan ini. Intinya kelihatan bahwa pemerintah ingin menciptakan dokter yang super power. Dokter dengan berbagai kompetensi, dokter yang mengetahui ilmu kedokteran sedikit melebihi “dokter umum”. Dokter DLP diciptakan untuk menjawab ekspektasi masyarakat akan pelayanan kedokteran yang bermutu jelas merupakan suatu justifikasi belaka. Karena tidak begitu jelas mengapa dikatakan bahwa dokter (dulunya disebut dokter umum) yang ada sekarang ini tidak cukup mampu memberikan pelayanan kesehatan di tingkat pelayanan kesehatan primer.
Interest group disini yaitu IDI dan KKI. Posisinya merasa dirugikan dengan adanya kebijakan UU Pendidikan dan Kedokteran serta RPP DLP, sehingga berusaha untuk mempengaruhi proses kebijakan. Hasil keputusan Judicial review MK telah menetapkan bahwa DLP tidak ada yang bertentangan dengan UUD 1945. Keputusan MK bersifat final dan mengikat yang berarti bahwa DLP HARUS dilaksanakan sebagai amanah undang-undang. Meskipun mengambil pendidikan spesialis, DLP akan ditempatkan di seluruh Fasilitas Kesehatan primer seperti Puskesmas dan Klinik dengan tujuan memperkuat program promotif dan preventif atau pencegahan penyakit. Bedanya dengan dokter umum, dia akan memiliki kemampuan lebih lengkap ketimbang dokter umum. Tidak ada paksaan bagi dokter untuk mengikuti Program DLP. Dan tidak ada kewajiban untuk mengikutinya. Tapi ini dapat menjadi pilihan dokter untuk menaikkan grade-nya karena kemampuannya bertambah.
Solusi yang perlu dipertimbangkan dalam mengatasi permasalahan DLP antara lain :
1. Menyusun standar pendidikan dan standar kompetensi DLP dan standar tersebut harus disahkan dan ditetapkan oleh lembaga yang berwenang sesuai ketentuan perundang-undangan. Segera susun kurikulum dan modul pembelajaran.
2. Pemerintah seharusnya tidak tergesa-gesa dan memaksakan diri. Hardware dan software harus disiapkan dengan sangat baik dan matang. Jika tidak, masyarakat yang akan dirugikan.
3. Pemerintah harus mengajak seluruh pilar kebijakan termasuk masyarakat kedokteran (IDI/Kolegium) untuk duduk bersama secara arif menyusun kebijakan DLP.
4. Menyerahkan mekanisme pencabangan ilmu kedokteran pada kolegium kedokteran dan IDI.
5. Stop politisasi terhadap profesi dokter, pendidikan dan percabangan ilmu kedokteran.
Demikian, Terima Kasih
Reply
# TASMAN 2016-10-31 03:56
Sistem Jaminan Sosial Nasional oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) bidang kesehatan telah dimulai pada tahun 2014 merupakan tuntutan di era JKN. Pelaksanaan bidang kesehatan berjalan lambat dan belum mencakup seluruh Indonesia. Untuk memberikan pelayanan yang baik, diperlukan kemampuan klinis seperti ilmu epidemiologi dan rehabilitasi dan nonklinis seperti komunikasi efektif, interaksi sosial, empati, kepemimpinan, attitude yang baik Hal tersebut mendorong berkembangnya cabang ilmu kedokteran keluarga. Titik beratnya adalah pelayanan kuratif, sedangkan pelayanan promotif dan preventif belum optimal. Hal tersebut mendorong berkembangnya cabang ilmu kedokteran keluarga.

Dalam kasus ini didapat gambaran bahwa :
UU pendidikan kedokteran tahun 2013 merupakan UU yang kontroversi, yang dalam aktor yang terlibat didalamnya (Pemeritah atau Kemendikbud & Kemenkes, DPR, dan organisasi profesi atau IDI ada pertentangan dan keragu-raguan. Dengan agenda memperkuat peran negara dalam pendidikan kedokteran, perbaikan sistem pendidikan residen sebagai tenaga kerja.. Dalam proses nya pun penuh kepentingan kepentingan politik antar aktor yang terlibat dalam penyusunan ini. Permasalahan muncul karena perbedaan pendapat dari kalangan organisasi profesi (IDI&KKI) terkait RUU pendidikan kedokteran. IDI dan KKI memainkan peranannya sebagai interest group karena undang-undang ini menyangkut profesi dokter yang menjadi domain organisasi profesi itu sendiri. Seharusnya Pemerintah (kemenkes & kemendikbid), DPR, dan perwakilan profesi dokter duduk bersama membahas permasalahan ini sebelum diangkat menjadi agenda.

Hambatan atau masalah itulah yang menjadi dasar bagi interest group untuk mengangkatnya menjadi suatu isu kebijakan dan menjadi agenda setting untuk kemudian dihasilkan kebijakan yang lebih optimal sesuai kebutuhan masyarakat. Kebijakan yang diharapkan menjadi solusi dari permasalahan kesehatan yang ada di indonesia, peningkatan kualitas tenaga kesehatan (dokter) dan pemerataan persebaran dokter harus menjadi dasar dari penerapan suatau kebijakan yang akan dibuat..

Terima Kasih
Wassalam
Reply

Add comment

Security code
Refresh