Salah satu pilar utama dalam transformasi sistem kesehatan Indonesia adalah penguatan layanan primer. Transformasi ini merupakan langkah krusial dalam meningkatkan akses dan kualitas layanan kesehatan bagi seluruh lapisan masyarakat. Untuk mencapai tujuan program-program kesehatan yang lebih komprehensif dan efektif, kemitraan antara pemerintah dan sektor swasta perlu didukung. Kemitraan ini bertujuan untuk menciptakan integrasi layanan kesehatan yang lebih baik, di mana sektor swasta berperan aktif dalam mendukung dan melengkapi layanan yang disediakan oleh sektor publik. Melalui sinergi antara kedua sektor ini, diharapkan tercipta sistem kesehatan yang lebih efisien, terjangkau, dan mampu menjawab kebutuhan kesehatan masyarakat secara menyeluruh.
Asia-Pacific Network for Health Systems Strengthening (ANHSS) berkolaborasi dengan Centre of Excellence for Health Economics, Faculty of Economics, Chulalongkorn University, akan menyelenggarakan Kursus Kebijakan terkait Transformasi Sistem Kesehatan: Mendorong Keterlibatan Sektor Swasta untuk Integrasi Sistem Pelayanan Kesehatan Berbasis Layanan Primer. Kegiatan akan berlangsung pada 25-28 November di Bangkok, Thailand. Acara ini akan menghadirkan narasumber dari berbagai negara, yang akan berbagi pengetahuan dan pengalaman mereka dalam bidang kesehatan. Informasi jadwal dan pendaftaran silahkan akses pada link berikut.
Health Systems Global (HSG) adalah sebuah organisasi internasional yang berfokus pada penelitian dan pengembangan sistem kesehatan di seluruh dunia. Organisasi ini berperan sebagai wadah untuk memfasilitasi kolaborasi antara peneliti, pembuat kebijakan, praktisi, dan pemangku kepentingan lainnya yang terlibat dalam sistem kesehatan dan kebijakan kesehatan global. Tujuan utama HSG adalah untuk meningkatkan pemahaman dan praktik dalam penguatan sistem kesehatan agar dapat memberikan layanan kesehatan yang lebih baik, merata, dan berkelanjutan bagi semua orang. HSG menyelenggarakan simposium dua tahunan untuk memfasilitasi pertukaran pengetahuan dan pengalaman di bidang penelitian sistem kesehatan dan kebijakan.
Pada tahun 2024, tema simposium yang diusung oleh HSG adalah “Building just and sustainable health systems: centering people and protecting the planet”. Perubahan iklim mempengaruhi kesehatan dan sistem kesehatan. Sistem kesehatan yang kuat sangat penting untuk mencapai kesehatan bagi semua orang, yang merupakan tujuan dari HSG dan tujuan kesehatan internasional, sebagaimana tecermin dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs). Dengan landasan pemikiran ini, simposium tahun 2024 mengambil fokus pentingnya sistem kesehatan yang berfokus pada manusia, yang merespons perubahan global, dan berupaya melindungi lingkungan di masa depan.
Simak reportase kegiatan HSR Global Symposium on Health System Research 2024 pada link berikut
Forum Nasional JKKI XIV telah sukses diselenggarakan pada 14-17 Oktober 2024, terdapat 10 agenda kegiatan seminar termasuk 4 topik didalamnya terkait tentang transformasi kebijakan untuk mengurangi beban penyakit (jantung, katarak, diabetes dan masalah Stunting-wasting). Materi dan video rekaman selama kegiatan dapat dipelajari kembali pada link berikut
PKMK dengan dukungan INKLUSI telah menyelenggarakan riset terkait manfaat pelayanan kesehatan pada penyandang disabilitas. Salah satu hasilnya, berdasarkan pengalaman dari penyandang disabilitas, terdapat tantangan yang mereka hadapi ketika mengakses pelayanan di fasilitas kesehatan seperti puskesmas dan RS. Tantangan yang paling banyak dihadapi adalah sarana prasarana dan tenaga kesehatan yang tidak inklusif untuk penyandang disabilitas.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu pertimbangan bagi pengambil keputusan untuk menyusun kebijakan kesehatan yang inklusif. Kemudian, Mitra INKLUSI dan organisasi penyandang disabilitas lainnya dapat memanfaatkan untuk proses advokasi kebijakan tingkat nasional dan daerah. Ikuti diseminasi penelitian yang akan di selenggarakan pada Rabu, 30 Oktober 2024 yang dapat diikuti secara daring pada link berikut
Sebuah studi dilakukan untuk menganalisis faktor sosiodemografi yang terkait dengan konsumsi makanan, dan menentukan hubungan antara konsumsi makanan/asupan makanan dengan tingkat prevalensi obesitas, diabetes tipe 2 (T2D), dan hipertensi (HTN) di Jakarta, Indonesia. Sebanyak 600 peserta berusia 20–85 tahun diikutsertakan dalam penelitian crosssectional ini.
Hasi studi ini mengungkapkan bahwa makanan yang mengandung banyak lemak, gula, dan natrium sangat terkait dengan risiko obesitas, diabetes tipe 2, dan hipertensi. Selain itu, kebiasaan makan yang buruk juga dikaitkan dengan perkembangan penyakit. Dalam rangka mencegah penyakit kronis seperti obesitas, diabetes tipe 2, dan hipertensi, diperlukan strategi yang dapat menanamkan kebiasaan makan sehat pada masyarakat Indonesia dari berbagai latar belakang sosiodemografi. Strategi-strategi ini harus bertujuan untuk meningkatkan asupan dan pengetahuan tentang makanan, mempromosikan kebiasaan makan yang sehat, dan membangun gaya hidup sehat melalui peningkatan aktivitas fisik dan olahraga yang saling melengkapi. Pemerintah Indonesia juga harus mempertimbangkan untuk mengadvokasi dan mempromosikan gaya hidup yang lebih sehat. Kampanye semacam itu harus secara persuasif menyampaikan pesan-pesan mengenai penerapan kebiasaan makan yang sehat, misalnya, mengurangi konsumsi gula, garam, dan UPF.
Kanker serviks merupakan masalah kesehatan utama di negara-negara berkembang. Akses terhadap tindakan pencegahan terbatas di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, dan kanker serviks sering kali teridentifikasi pada stadium lanjut penyakit tersebut. Sebuah studi dilakukan untuk menyelidiki perjalanan pasien kanker serviks sejak diagnosis hingga menerima perawatan di rumah sakit. Data dikumpulkan menggunakan kuesioner dari kunjungan rawat jalan dari 215 pasien kanker serviks yang dirawat di klinik rawat jalan onkologi ginekologi Rumah Sakit Akademik Dr. Soetomo pada Agustus dan Oktober 2022.
Hasilnya, sebagian besar pasien berusia 51–60 tahun (36,3%), ibu rumah tangga (87%), dan berpendidikan sekolah dasar (50%). Sebagian besar (88,4%) mengaku tidak mengetahui tentang pencegahan kanker serviks, dan 85,6% tidak pernah menjalani skrining. Sebagian besar biopsi serviks dilakukan di rumah sakit primer (42,3%). Ketakutan terhadap pengobatan kanker merupakan alasan paling sering pasien terlambat datang ke rumah sakit tingkat ketiga (50%). Keterlambatan pengobatan terjadi karena pasien harus mendatangi dua fasilitas kesehatan sebelum mendatangi rumah sakit tingkat ketiga (47,4%). Sebagian besar pasien didiagnosis dengan kanker stadium III (38,1%), dan kemoterapi diberikan sebagai terapi lini pertama (96,3%). Sebagian besar pasien (51,2%) menerima terapi pertama >12 bulan setelah timbulnya gejala awal. Dari studi ini diketahui bahwa sebagian besar pasien kanker serviks didiagnosis pada stadium lanjut karena kurangnya informasi mengenai gejala awal dan pemeriksaan yang tidak teratur. Pengobatan tertunda karena hambatan sosial. Oleh karena itu, pemerintah harus memiliki kebijakan yang lebih ketat untuk melaksanakan deteksi dan pencegahan kanker serviks.
Imunisasi merupakan intervensi yang paling efektif untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin. Meskipun pemerintah Indonesia telah memasukkan beberapa vaksinasi anak dalam program imunisasi nasional (BI), jumlah anak yang tidak divaksinasi atau yang divaksinasi sebagian masih tinggi. Sebuah studi observasional dilakukan untuk mengetahui kelengkapan imunisasi anak dan faktor-faktor yang memengaruhinya di Indonesia. Data diambil dari Survei Kehidupan Keluarga Indonesia (SKKNI) gelombang kelima. Sampel (n = 16.236) terdiri dari anak-anak yang tinggal di 13 provinsi, yang mewakili lebih dari 80% populasi Indonesia. Hasilnya, Persentase vaksinasi lengkap tertinggi adalah polio, tuberkulosis, dan DPT. Anak-anak yang tinggal di Sumatera dan Kalimantan lebih mungkin untuk mendapatkan imunisasi lengkap. Anak-anak yang tinggal di daerah perkotaan, memiliki ibu yang menerima vaksin tetanus selama kehamilan, memiliki ibu dengan tingkat pendidikan dan asuransi kesehatan yang lebih tinggi, memiliki ayah berusia 41–50 tahun, dan tinggal dengan sejumlah besar anggota keluarga lebih mungkin untuk mendapatkan imunisasi lengkap. Studi ini menyimpulkan bahwa determinan sosial ekonomi berkorelasi kuat dengan kelengkapan vaksinasi anak di Indonesia.