Diskusi ke-5 UU Kesehatan

Webinar Series Pembahasan Undang-Undang Kesehatan Topik Industri Obat dan Alat Kesehatan

Jumat, 11 Agustus 2023  |   Pukul: 08:30 - 10:00 WIB

REPORTASE

Webinar ini merupakan bagian dari rangkaian webinar UU No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang berfokus pada pembahasan topik Industri Obat dan Alat Kesehatan. Diskusi ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi untuk peraturan turunan UU Kesehatan terkait Industri Obat dan Alat Kesehatanserta memberikan gambaran mengenai penggunaan website UU Kesehatan.

11ags 1

Pengantar dari Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc., PhD mengenai UU Kesehatan dan keterkaitannya dengan reformasi Kesehatan di Indonesia

Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD membuka webinar dengan memberikan pengantar untuk memahami UU Kesehatan sebagai dasar hukum reformasi kesehatan. Reformasi kesehatan yang sejati dilakukan dengan mengelola tombol-tombol kebijakan dalam sistem kesehatan secara bersama-sama. Secara historis, belum pernah ada reformasi kesehatan secara menyeluruh sebelum pandemi COVID-19. Setelah pandemi COVID-19, Kementerian Kesehatan melakukan transformasi sebagai percepatan reformasi kesehatan dengan mengaktifkan banyak tombol kebijakan yang diatur dalam UU Kesehatan. Hal inilah yang mendasari mengapa UU Kesehatan Omnibus Law ini disebut sebagai UU Kesehatan yang reformis. Didasarkan pada UU ini, Kementerian Kesehatan berkomitmen untuk melakukan transformasi sistem kesehatan dimana salah satu pilarnya adalah terkait industri obat dan alat kesehatan. Lalu bagaimana muatan UU Kesehatan ini dengan industri obat dan alkes? Apakah ada pasal-pasalnya? Apa kesimpulan yang dapat ditarik? Bagaimana agar bisa efektif? Pertanyaan ini perlu didiskusikan sehingga muncul rekomendasi terhadap regulasi turunan UU Kesehatan.

video   materi

Pembicara pertama: Prof. Apt. Dr. Zullies Ikawati, Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada

11ags 2Sesi pembahasan pertama oleh Prof. Apt. Dr. Zullies Ikawati diawali dengan mapping unsur kefarmasian yang membutuhkan regulasi turunan UU Kesehatan dengan total 121 regulasi. Diantaranya terdapat 8 RPP yang dibutuhkan di bidang farmasi tentang: (1) pengamanan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan PKRT; (2) praktik kefarmasian; (3) ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan perbekalan kesehatan; (4) penggolongan obat, obat dengan resep, dan obat tanpa resep; (5) penggolongan obat bahan alam; (6) pelaksanaan penelitian, pengembangan, pemanfaatan, dan pemeliharaan obat bahan alam; (7) percepatan pengembangan dan ketahanan industry sediaan farmasi dan alat kesehatan; dan (8) standar, sistem dan tata kelola sediaan farmasi, alat kesehatan, dan perbekalan kesehatan lainnya pada kondisi darurat, bencana, KLB, atau wabah. Pada webinar ini Prof. Zullies berfokus pada praktik kefarmasian dan penggolongan obat, obat dengan resep, dan obat tanpa resep.

Terkait praktik kefarmasian, disebutkan bahwa praktek kefarmasian harus dilakukan oleh tenaga kefarmasian yang meliputi apoteker spesialis, apoteker dan tenaga vokasi farmasi dengan pembagian kewenangan disesuaikan dengan lingkup dan tingkat kompetensi dan kualifikasi tertinggi. Melihat hal ini, perlu ditetapkan regulasi untuk menjawab pertanyaan berikut: bagaimana kualifikasi pendidikannya? Bagaimana level KKNI-nya? Bagaimana karakteristik, kewenangan dan kompetensi profesionalnya? Terkait dengan penggolongan obat, obat dengan resep, dan obat tanpa resep, Pasal 320 menyebutkan bahwa selain obat bebas dan obat bebas terbatas, obat keras tertentu dapat diberikan oleh apoteker. Ketentuan ini memberikan ruang pada apoteker untuk bergerak pada daerah yang selama ini “abu-abu”, namun pemerintah perlu menetapkan indikasi dan ketentuan yang lebih jelas dan mendetail. Penjelasan tentang perbedaan konsep pelayanan menggunakan obat (pengobatan berdasarkan resep, pengobatan tanpa resep, dan swamedikasi) juga dibutuhkan dalam regulasi turunan UU Kesehatan ini.

Video   materi

Pembicara kedua: Dr. Apt. Hilda Ismail, Msi, Kepala Pusat Studi Industri Farmasi dan Teknologi Kesehatan

11ags 3Sesi pembahasan berikutnya disampaikan oleh Dr. Hilda Ismail, Msi, Apt yang lebih berfokus pada Bab IX UU Kesehatan mengenai ketahanan kefarmasian dan alat kesehatan yang berisi 11 pasal yaitu pasal 322-333. Indonesia masih mengalami masalah ketergantungan pada impor bahan baku obat (BBO) dan alat kesehatan, dimana impor BBO mencapai lebih dari 90% pada 2020. Selain itu, Indonesia menghadapi tantangan utama pengembangan produksi obat tradisional yaitu memproduksi obat tradisional yang memenuhi standar, baik dari sisi keamanan, mutu dan efikasi, dengan kualitas dan kuantitas yang memenuhi kebutuhan. Indonesia juga masih melakukan impor alat kesehatan mencapai 91.5% pada 2020.

Menilik masalah dan tantangan tersebut, usulan untuk regulasi turunan UU Kesehatan terkait produksi BBO dan alkes adalah perlunya penjelasan dan penegasan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan: (1) standar efikasi, keamanan, dan kualitas produk sediaan farmasi maupun alkes yang dikembangkan, diproduksi hingga digunakan dalam pengobatan; (2) penguatan kerjasama antar komponen pendukung dalam sistem ABG untuk kemandirian sediaan farmasi dan alkes; (3) penguatan dan fasilitasi pemanfaatan teknologi baru dalam proses produksi sediaan farmasi dan alkes; dan (4) penekanan pemanfaatan teknologi informasi dalam upaya peningkatan ketahanan sediaan farmasi maupun alkes.

video   materi

 

Sesi Diskusi:
Dalam sesi diskusi, diungkapkan bahwa UU Kesehatan ini memberi tempat bagi ketahanan farmasi pada level Undang-Undang, yang mana sebelumnya hanya pada level Inpres. Selain itu, terkait keorganisasian, terdapat ruang untuk menata kembali bagaimana organisasi profesi, kolegium atau cabang ilmu di bidang farmasi yang sesuai dengan kebutuhan di masa mendatang. Diskusi juga membahas mengenai tanggung jawab riset di pemerintah pusat maupun daerah, yang mana baik dari pemerintah pusat maupun daerah dapat ambil bagian pada upaya penelitian dan pengembangan BBO bersumber alam. Dengan demikian, suatu kerja serius perlu dilakukan untuk membuat regulasi turunan UU Kesehatan ini. Berbagai pihak yang terdampak oleh UU ini perlu berpartisipasi karena regulasi turunan akan bersifat lebih praktis.

video

Sesi Penutup:

Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD menutup diskusi dengan menyampaikan bahwa saat ini adalah fase awal dan diharapkan para pakar dapat mencermati UU Kesehatan ini. Sebab, undang-undang ini adalah UU OBL, yang mana akan bisa berjalan dengan baik jika kita memahami tidak hanya UU yang terkait bidang tertentu saja melainkan juga terkait dengan pendanaan, SDM, dan aspek lainnya. PKMK berupaya mengembangkan website www.kebijakankesehatanindonesia.net di laman UU Kesehatan sebagai wadah untuk diskusi serta menyelenggarakan rangkaian webinar untuk memantik diskusi berkelanjutan dan menghasilkan suatu rekomendasi terhadap peraturan turunan UU Kesehatan.

Reporter: dr. Valentina Lakhsmi Prabandari, MHPM & Nila Munana, S.HG., MHPM.