Reportase Paradigma Baru Dalam Pelayanan Kesehatan Jiwa dan Implikasinya Pada Kebijakan Publik dalam Era JKN
PKMK - Pada Selasa (20/6/2017), Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM mengadakan diskusi dengan judul Paradigma Baru Dalam Pelayanan Kesehatan Jiwa dan Implikasinya Pada Kebijakan Publik dalam Era JKN. Diskusi ini bertujuan untuk membahas perubahan pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia. Materi pada diskusi ini dibawakan oleh dr Gunawan Setiadi, MPH (Alumnus FK UGM dan mantan staf WHO SEARO di New Delhi). Moderator pada diskusi ini adalah Prof. Dr. Laksono Trisnantoro, MSc., PhD.
Pada sesi materi dr Gunawan menyampaikan beberapa paradigma seputar masalah kesehatan jiwa. Paradigma yang pertama ialah mulai munculnya gerakan masyarakat sekitar tahun 1970-1980 yang mencakup penderita gangguan jiwa untuk menuntut hak-haknya agar didengar pendapatnya, agar masalah kesehatan jiwa menjadi sebuah masalah yang dipehatikan oleh pemerintah dan dunia kesehatan. Paradigma yang kedua ialah adanya pemahaman di masyarakat bahwa penderita gangguan jiwa berat (severe mental illness) dapat pulih. Namun beberapa pihak justru berpendapat bahwa penderita gangguan jiwa sulit untuk dapat pulih kembali. Diantaranya pendaPat Dr Emil Kraeplin (1902) bahwa kondisi sebagian besar (hampir semua) penderita schizophrenia akan semakin memburuk dengan berjalannya waktu. American Psychiatrist Association (APA) (1980, 1987) pun berpendapat yang serupa.
Pendapat ini sampai sekarang masih dianut oleh sebagian besar psikiater di Indonesia. Sementara terdapat beberapa penelitian ilmiah (1972-1987) yang melalui studi jangka panjang menyimpulkan bahwa beberapa pasien penderita penyakit jiwa dapat pulih meskipun tidak sepenuhnya. Adanya harapan untuk penderita gangguan jiwa dapat pulih ini mendorong perubahan dalam pelayanan kesehatan jiwa, yang salah satunya pada 2003 dalam President’s New Freedom Commission on Mental Health terdapat sebuah poin baru yang mengatakan bahwa pelayanan kesehatan jiwa harus berorientasi pada pemulihan.
Paradigma yang ketiga, adalah pengobatan berbasis bukti (evidence based medicine) dimana dr Gunadi menyampaikan beberapa contoh pengobatan psikososial yang digunakan dan telah berkembang berdasarkan pengobatan berbasis bukti. Selain pengobatan, juga ada pelayanan supporting service seperti edukasi kesehatan yang juga berbasis bukti. Sementara paradigma keempat adalah pelayanan kesehatan jiwa dan kaitanya dengan jaminan kesehatan nasional (JKN) di Indonesia, yang mana JKN mempercepat terjadinya de-institusionalisasi pelayanan kesehatan jiwa. Sistem JKN yang menerapkan penetapan tarif layanan pada seluruh rumah sakit jiwa, sementara sistem rujukan pelayanan mendorong Rumah Sakit Jiwa harus merujuk balik pasien gangguan jiwa ke FKTP. Kekurangan yang ada sekarang ialah belum ada upaya khusus dalam skala nasional mempersiapkan FKTP agar mampu menangani penderita gangguan jiwa berat, dan belum ada protokol untuk menawarkan terapi keluarga kepada setiap penderita gangguan jiwa berat.
Di akhir paparan, dr Gunadi menyampaikan beberapa poin yang harus segera didorong dalam memperbaiki pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia seperti mengubah iklim di Rumah Sakit Jiwa dan Klinik Kesehatan Jiwa agar memberikan pelayanan kesehatan jiwa yang berorientasi pada pemulihan serta mengkaji ulang efektivitas FKTP dalam penanganan penderita gangguan jiwa berat.
Setelah sesi materi selesai langsung dilanjutkan dengan sesi diskusi. Dimana peserta cukup antusias dalam berpendapat dan memberikan pertanyaan. Salah satu masalah yang di diskusikan ialah adanya kasus pemasungan sebanyak 50 penderita gangguan jiwa di Kebumen, Jawa Tengah. Kejadian ini dikarenakan masyarakat sekitar yang belum memilih untuk mengobati penderita penyakit jiwa ke Rumah Sakit. Padahal diwilayah Kebumen setidaknya terdapat 4 (empat) rumah sakit yang memiliki layanan kesehatan jiwa. Selain itu, peserta juga mengungkapkan masalah-masalah lainya yang masih menjadi PR besar dalam layanan kesehatan jiwa.
Saat penutupan, disimpulkan bahwa sangat diperlukan upaya advokasi kepada pemerintah untuk lebih memperhatikan perbaikan layanan kesehatan jiwa di Indonesia, selain itu advokasi juga perlu dipublikasikan melalui media massa sehingga masalah-masalah kesehatan jiwa di Indonesia bisa ‘terangkat’ dan diketahui masyarakat luas (FH).