Reportase:

Diskusi Kebijakan Kesehatan Keempat:
Reformasi Tenaga Kesehatan

Sesi1.

sesi29SESI I: Reformasi dalam Pendidikan Tenaga Kesehatan

Diskusi keempat ini bertemakan Reformasi Tenaga Kesehatan dan dihadiri oleh Tim dari PKMK UGM yang terdiri dari Prof. Dr. dr. Laksono Trisnantoro M.Sc, Ph.D, dr. Andreas Meliala, M.Kes, dr. Mushtofa Kamal dan mengundang kosultan WHO, perwakilan dari World Bank, Badan PPSDM, Ketua AIPKI, dan dosen dari FK di Indonesia. Pemateri pertama ialah dr. Andreasta Meliala yang menyampaikan bahwa banyak teori yang menyebabkan maldistribusi ini, seperti pembiayaan SDM, fasilitas kesehatan dan sosial yang kurang mendukung, ada halangan untuk penempatan ke daerah tersebut misal karena tidak ada permintaan dokter di tempat tersebut. Masalah-masalah tersebut berdampak terhadap tidak tercapainya universal coverage, dan juga semakin menciptakan iklim kompetisi Indonesia di Asia.

Ada beberapa skenario dalam pencapaian universal coverage, yang pertama adalah dengan asumsi adanya ketersediaan SDM yang memadai di daerah yang buruk diikuti dengan ada fasilitas yang mendukung. Skenario yang lain adalah daerah yang buruk bisa mengejar namun tidak bisa menyamai peningkatan kemajuan daerah yang baik yang berarti asas penyamarataan tidak tercapai. Kenyataannya adalah kemenkes tidak mampu membiayai pembangunan kesehatan di daerah terpencil. Dampak dalam kompetisi pasar internasional, Indonesia semakin kurang berpartisipasi dalam pelayanan medis internasional dan malah menjadi konsumen negara lain. Adanya kekurangan SDM ini kemungkinan malah menarik dokter dari luar negeri untuk membantu pelayanan kesehatan di Indonesia.

Pembahas pertama dalam sesi ini adalah dr. Untung Suseno, M.Kes selaku Kepala Badan PPSDMK. Beliau menyampaikan kenyataan sekarang ini Indonesia kekurangan dokter. Dengan program JKN, sangat daharapkan dokter pelayanan primer bisa mengelola dana kapitasi secara efektif dan efisien. Kurang ratanya persebarana dokter spesialis di daerah salah satunya karena pengaturan tersebut sangat tergantung dengan universitas (university based) dan kolegium dokter spesialis sehingga kolegium sebaiknya bersifat independen dan tidak dipengaruhi politik. Mengenai alokasi dana dari BPJS harus disesuaikan dengan kapadatan PBI setiap daerah. Hal yang harus diperjelas dari sistem JKN ini adalah define universal coverage yang ingin dicapai.

Materi dilanjutkan oleh dr. Puti Marzoeki dari World Bank yang menyampaikan bahwa inti dari setiap permasalahan kesehatan harus dikembalikan ke dasar dalam pembuatan kebijakan tersebut. Semakin tinggi demand diharapkan supply akan mengikuti. Namun ada variabel lain, yaitu bahwa semakin tinggi gaji yang diberikan maka akan menarik semakin banyak supply (SDM), sayangnya hanya sedikit yang bisa memberikan gaji besar tersebut.

Pembicara berikutnya adalah perwakilan dari WHO yang disampaikan oleh Haroen Hartiah. Beliau menyampaikan isu-isu yang di-highlight terkait SDM kesehatan selain aspek kualitas dan kuantitas serta distribusi dokter dan tenaga kesehatan (nakes) lainnya adalah kompetensi klinis dan critical thinking dari SDM tersebut. Ada aturan dari WHO yaitu Global Code of International yang mengatur negara pengirim dan negara penerima tenaga kesehatan terkait semakin tingginya iklim kompetisi internasional terhadap tenaga medis. Sementara mengenai universal coverage, harus ada peningkatan kurikulum nakes terkait dengan pelayanan di masyarakat dan juga ada interprofesional education untuk mendukung pencapaian universal coverage tersebut.

DISKUSI

Dr. Mulyo dari RSSA Anwar mengusulkan untuk sister hospital sebaiknya dibuat grup misal untuk Indonesia timur disuplai dari Unair dan unibraw yang menugaskan residen ke daerah tersebut. Sementara Dr. Purwadi Sp.BA berpendapat bahwa tidak ada keseimbangan antara supply dan demand terkait nakes dikarenakan tidak ada koordinasi/komunikasi antara institusi pendidikan (produsen) dengan Kemenkes (user). Harapannya WHO dapat memfasilitasi antara produsen dengan konsumen sesuai dengan EBM internasional.

Prof. Laksono menanggapi bahwa residen seharusnya diperhitungkan sebagai suplai SDM nakes spesialis yang sesuai dengan kompetensinya sehingga dapat mengurangi maldistribusi tenaga spesialis. Mengenai perubahan UU, harus ada evidence terlebih dahulu sebelum bisa mengusulkan untuk perubahan.

Dr. Untung menambahkan bahwa usulan untuk meningkatkan pendapatan dokter PTT membutuhkan perjuangan karena seringnya ditolak oleh pemerintah pusat. Mengenai kekurangan nakes, harus ada peraturan jelas dari kemenkes mengenai jumlah peserta pendidikan nakes yang dibutuhkan sehingga kekurangan dapat diatasi.