Di akhir pembahasan ada pernyataan mengenai masalah kebijakan. Masalah-masalah kebijakan yang ada dalam kasus ini dapat dikelompokkan menjadi:
- Pelaksanaan Kebijakan mempunyai kemungkinan menghasilkan keadaan yang tidak sesuai dengan tujuan kebijakan ditetapkan.
- Penelitian monitoring kebijakan merupakan hal yang tidak mudah dilakukan.
Silahkan anda memberi komentar, atau tambahan untuk masalah kebijakan yang ada di balik Kasus tersebut.
Comments
Pendapat saya, sebenarnya negara kita belum siap menyelenggarakan sistem pembiayaan kesehatan menyeluruh seperti JKN ini, kenapa demikian? Konsep memandirikan masyarakat untuk hidup sehat belum sepenuhnya tercapai melalui upaya pemberdayaan berbasis UKBM yang salah satu indikatornya adalah adanya penyelenggaraan JPKM atau dana sehat, upaya ini menjadi indikator kesiapan masyarakat dalam menyelenggarakan pembiayaan kesehatan melalui sistem iuran rutin, digunakan untuk membantu jika ada anggota yang sakit atau warga miskin yang membutuhkan biaya lebih. program ini belum sepenuhnya berhasil namun kenapa tiba-tiba muncul JKN yang jelas punya prinsip yang sama dengan Dana Sehat?pasti akan tidak berhasil juga kan dan kenyataannya demikian, dimana kementerian kesehatan hadir? dan pendapat saya, saya cukup pesimis JKN saat ini akan berhasil sesuai dengan tujuannya diluar permasalahan penyediaan fasilitas dan SDM karena "masyarakat belum berdaya"
2. Monoring kebijakan dalam hal ini JKN memang tidak mudah dilakukan, karena Indonesia merupakan Negara dengan luas wilayah yang sangat besar, dengan jumlah penduduk yang besar dan persebarannya tidak merata sampai kepulau-pulau terluar, sehingga sangat sulit bagi negara untuk menyiapkan sarana prasarana kesehatan yang memadai untuk mendukung JKN. Selanjutnya dalam hal kebijakan ini sendiri merupakan sebuah kebijakan yang baru di Indonesia, sehingga dalam implementasinya sangat memungkin terjadinya kesalahan, kekeliruan dan kekurangan. Tetapi hal itu hendaknya tidak menjadi pertimbangan untuk menganulir kebijakan JKN ini.
Monitoring kebijakan tentu perlu dilakukan. Monitoring kebijakan ini diperlukan agar kesalahan awal dapat segera diketahui dan diperbaiki sehingga mengurangi resiko yang lebih besar lagi. Monitoring juga diperlukan agar kebijakan yang sedang diimplementasikan sesuai dengan tujuan dan sasaran. Hanya saja, dengan keterbatasan sarana dan prasarana monitoring kebijakan menjadi sulit dilakukan. Kegiatan ini tentunya membutuhkan sumber daya yang cukup banyak agar dapat terealisasi. Namun tidak dapat dipungkiri bawah monitoring kebijakan sangat dibutuhkan untuk memantau kebijakan yang sedang dilaksanakan.
Penelitian monitoring kebijakan memang sulit dilakukan, karena membutuhkan biaya yang cukup banyak dan waktu yang relatif tidak singkat. Akan tetapi hal ini tetap harus dilakukan demi perbaikan implementasi program kebijakan yang sudah ada. Sehingga pelaksanaan kebijakan BPJS yang saat ini masih banyak masalah dan kekurangan dapat diatasi sedikit demi sedikit, jika dilakukan monitoring pelaksanaannya.
1. Pelaksanaan Kebijakan mempunyai kemungkinan menghasilkan keadaan yang tidak sesuai dengan tujuan kebijakan ditetapkan.
Sepakat dengan pernyataan tersebut, karena sebuah kebijakan yang dapat berjalan baik dalam masyarakat seharusnya diciptakan/ disusun dengan apik pula sedari awal. Artinya, sebuah masalah yang dapat masuk menjadi agenda kebijakan seharusnya sudah melalui kajian yang komprehensif dengan pelibatan berbagai aktor (elit politik/ pengambil keputusan, rekomendasi berbasis evidence based dari peneliti, akademisi, organisasi profesi, delegasi masyarakat dan sebagainya). Namun demikian, berbagai kebijakan yang ada dalam kasus minggu ke-4 ini, seperti JKN, LDP dan sejenisnya sepertinya tidak melakukan bagian dari proses penyusunan kebijakan tersebut. Sebuah kewajaran apabila kebijakan yang dilakukan dalam perjalanannya masih memerlukan perbaikan/ revisi pada bagian tertentu. Akan tetapi, apa yang terjadi pada implementasi JKN misalnya menjadi sebuah hal yang bukan sekedar memperbaiki/ merevisi karena jika dikaji ulang kebijakan tersebut memang belum siap diimplementasikan di Indonesia. Sementara LDP cenderung menjadi kebijakan yang tidak diperlukan dalam sistem kesehatan/ kedokteran di Indonesia.
Berdasarkan hal tersebut, maka kualitas proses penyusunan kebijakan (hulu) akan menimbulkan dampak ikutan pada implementasi kebijakan tersebut (hilir). Artinya, proses penyusunan kebijakan yang dilakukan secara komprehensif dan “benar” akan memunculkan kebijakan yang baik dan benar pula dengan beberapa revisi untuk tujuan kontinuitas. Berbeda dengan kebijakan JKN atau LDP yang tampak dipaksakan, sehingga membutuhkan effort besar dalam rangka memenuhi kelayakan implementasi dari berbagai pihak/ lini.
2. Penelitian monitoring kebijakan merupakan hal yang tidak mudah dilakukan.
Sepakat pula dengan pernyataan kedua ini, karena kebijakan yang ada/ muncul seringkali bersifat politis, termasuk JKN atau LDP. Kebijakan yang ada diusung oleh kekuatan elit atau modal yang notabene sarat kekuasaan, tidak mudah untuk digoyahkan. Adapun jika implementasi kebijakan yang dimonitoring oleh internal lembaga akan menimbulkan kecenderungan subyektifitas yang jelas menguntungkan lembaga dan kebijakannya, sementara jika dilakukan oleh eksternal lembaga yang independen tidak akan mudah untuk mengakses data, sehingga objektifitas yang diperoleh kemungkinan akan menjadi terbatas atau menjadi monitoring “pesanan” juga dimungkinkan terjadi. Tidak mudah untuk melakukan monitoring kebijakan. Revolusi mental menjadi solusi jangka panjang yang diperlukan dalam sistem pemerintahan Indonesia dengan tujuan menciptakan pemerintahan yang akuntabel, transparan dan kredibel. Artinya para pengambil keputusan diharapkan tidak dominan melakukan keberpihakan terhadap pihak tertentu dalam kebijakan tertentu, tetapi penyusunan kebijakan berdasarkan pada prioritas masalah dan kemaslahatan masyarakat. Sistem pendidikan dapat berkontribusi dalam menciptakan mental-mental manusia yang baik; melalui sistem pendidikan dengan content budi pekerti sejak dini dapat memupuk individu untuk komit terhadap “jalan lurus” dalam berkontribusi di dunia politik.
Terima Kasih.
Jika dilihat dari segi promotif dan preventif, saat ini memang dana yang diturunkan ke daerah sebagian besar untuk kuratif, hanya dana dari BOK yang dapat dipergunakan untuk promotif dan preventif. Dana BOK tersebut juga ada alokasi untuk kader yang hampir 1/3 dari dana BOK yang diberikan. Anggapan bahwa dalam promotif dan preventif hanya menjadi tanggungjawab petugas promkes, belum ada kerjasama lintas program dan lintas sektor yang baik dan masih dianggap belum begitu penting oleh pihak pengambil kebijakan karena tidak banyak mendatang kan keuntungan secara materi. Contohnya dalam pelaksanaan desa siaga, desa menganggap bahwa hal itu merupakan kepentingan sektor kesehatan sehingga sektor lain dan masyarakat enggan untuk ikut berpartisipasi dalam program ini. Apalagi jika tidak didukung oleh pengambil kebijakan di puskesmas.
Evaluasi kebijakan memang dirasa sangat penting dilakukan karena mengingat tujuan dari jaminan sosial yang sangat baik tetapi pelaksanaan di daerah yang belum sesuai dengan harapan pembuat kebijakan. Masih ada kepentingan pribadi pada pelaksanaannya.
Menurut saya, pelaksanaan kebijakan mempunyai kemungkinan menghasilkan keadaan yang tidak sesuai dengan tujuan kebijakan ditetapkan. Hal ini dikarenakan adanya berbagai keadaan yang bersifat "memaksa" dari proses dari perancangan hingga keluarnya peraturan kebijakan. Pada saat perencanaan, kemungkinan adanya pengaruh elit kekuasaaan yang mencampuradukkan unsur politik yang bersifat menguntungkan secara subjektif terhadap peraturan yang dirancang.Selain itu, kemungkinan peraturan yang disusun tersebut tidak melibatkan semua aktor yang seharusnya berpartisipasi dalam penyusunan kebijakan. Sehingga, produk dari penyusunan kebijakan tersebut (peraturan undang-undang) tidak sejalan dengan keadaan aktual di lapangan. Jika masalah kesehatan yang dimasukkan dalam agenda setting yang bertujuan membuat kebijakan untuk mengatasi permasalahan yang ada, tetapi dalam penyusunan kebijakan sebagai upaya menanggulangi masalah kesehatan, para aktor yang terlibat notabene bukan orang-orang yang terjun langsung ke lapangan, mereka malah tidak dilibatkan. Tentu saja akan ada kemungkinan bahwa tujuan dari produk kebijakan tersebut tidak sesuai dengan keperluan konsumen (masyarakat) sebagai sasaran yang akan ditingkatkan derajat kesehatannya. Para pembuat kebijakan yang tak mengetahui kenyataan masalah kesehatan yang ada, tak secara matang memikirkan keadaan kesehatan di Indonesia, dimana pemerataan SDM kesehatan dan akses fasyankes belum dapat terpenuhi secara optimal oleh semua lapisan masyarakat, yang secara sosial ekonomi, keterjangkauan dan ketersediaan yankes memilki karakteristik/level yang berbeda-beda. Pada akhirnya, seperti JKN, peraturan ini bersifat top-down dan sentralistik. Arahan diberikan oleh orang yang berada pada hirarki atas, kemudian dikerjakan oleh orang yang berada pada posisi hirarki bawah. Namun, belum tentu bawahan mampu melaksanakan perintah dari atasan dengan maksimal, hal ini mungkin karena adanya faktor sarana dan prasarana yangkurang memadai, sehingga tidak dapat mumpuni dalam melaksanakan tugas, yang berdampak pada pencapaian target sebagai tujuan dari program tidak tercapai sesuai indikator yang ditetapkan.
Kemudian, penelitian monitoring kebijakan merupakan hal yang tidak mudah dilakukan. Mengapa? karena mungkin saja kebijakan ini dibumbui oleh kepentingan elit politik yang tidak ingin disentil produk peraturannya oleh pihak yang sebenarnya bukan menyudutkan ke arah negatif, tetapi hasil monitoring memberikan penilaian agar peraturan yang telah dibuat diamandemen atau dilakukan perbaikan pada implementasi dari peraturannya.
terima kasih.
Mencoba berkomentar...
Dalam proses implementasi peranan pemerintah sangat besar dalam hal ini melalui BPJS dan merupakan aktor kunci dalam penentu keberhasilan implementasi karena hal ini berkaitan dengan kepentingan nasional dan hajat hidup orang banyak yaitu kesehatan. Salah satu tujuan dari pembangunan kesehatan yaitu untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Oleh karena itu, pada proses pelaksanaan BPJS sekarang, output yang yang diharapkan tidaklah sesuai dengan kepentingan masyarakat. Hal ini di sebabkan karena luasnya jangkauan penerima yang tak diimbangi pemasukan premi, ketidakpatuhan pembayaran premi oleh peserta mandiri sehingga pada tahun 2015 kerugian, hal ini juga disebabkan oleh tunggakan yang dilakukan oleh peserta mandiri mengakibatkan pengeluaran. Dalam hal ini yang terpenting bagaimana cara memperbaiki kembali kebijakan-kebijakan di JKN yang berdasarkan konsep pembiayaan kesehatan secara efektif. Salah satu metode teoritis yang bisa dilakukan yaitu dengan pendekatan top-down untuk memahami implementasi kebijakan yang berkaitan erat dengan model rasional dari seluruh kebijakan yang ada. Agar formulasi dan pembagian dari kebijakan itu jelas. Selain itu juga untuk melihat keberhasilan dari program impelementasi kebijakan itu sendiri, peru dilakukanya monitoring. Pada monitoring digunakan untuk memperbaiki sebuah implementasi program tersebut. Pada kegiatan monitoring tersebut akan sangat sulit dilakukan, karena tidak meratanya program program yang telah di rencanakan seperti kurangnya pemerataan fasilitas kesehatan, dan tenaga kesehatan, dimana pada kondisi ini akan muncul ketimpangan-ketimpangan baik di kota dan di daerah, terutama di daerah terpencil atau dengan kata lain aksesnya masih sulit untuk di capai oleh masyarakat setempat. Oleh karena itu tetap perlu di lakukan monitoring untuk meningkatkan keberhasilannya serta pendekatan sumatif yang dilakukan saat kebijakan telah diimplementasikan dan memberikan dampak, dengan tujuan untuk mengukur efektifitas dampak yang terjadi secara nyata pada masalah masalah yang akan terjadi atau yang ditangani.
1. Pelaksaaan kebijakan kemungkinan menghasilkan keadaan yang tidak sesuai dengan kebijakan
Kebijakan JKN ini merupakan kebijakan yang bersifat tp down. Kebijakan ini seolah-olah merupakan kepentingan dari pemerintah yang harus dilaksanakan oleh pihak dibawahnya. Kebijakan ini memiliki tujuan yang mulia yaitu meningkatkan keadilan bagi rakyat, namun dalam pelaksanaannya masih banyak pelayanan dan fasilitas yang tidak merata dan sulit dijangkau oleh masyarakat terutama yang berada di daerah terpencil.Perbaikan-perbaikan dalam pelaksanaan kebijakan ini perlu dilakukan dengan melibatkan pihak pihak yang akan berhubungan langsung dengan pelaksanaan kebijakan ini, terutama daerah. Perlu koordinasi berbagai pihak termasuk stakeholder, akademisi, organisasi profesi, dan masyarakat untuk pelaksanaannya.
2. Peneitian monitoring kebijakan ini merupakan hal yang tidak mudah dilakukan mengingat luas wilayah Indonesia yang sangat luas dan penduduk yang tinggi. Monitoring pelaksanaan kebijakan JKN perlu dilakukan melalui evaluasi formatif dan sumatif. Evaluasi formatif akan bermanfaat untuk mengevaluasi proses yang sedang berjalan sehingga dapat dilakukan analisis kebijakan yang bersifat prospektif untuk perbaikan sistem yang sudah berjalan. Koordinasi antara peneliti dengan pengambil kebijakan juga merupakan elemen yang penting untuk perbaikan kebijakan. Peneliti bisa menyampaikan hasil evaluasi/monitong, melakukan advokasi dan memberikan rekomendasi kepada pembuat kebijakan untuk penyusan strategi perubahan kebijakan
Hal tersebut (kebijakan menghasilkan keadaan yang tidak sesuai dengan tujuan) sangat lah mungkin terjadi. Sebagaimana yang dialami oleh kebijakan JKN ini, tujuan kebijakan ini sebenarnya sangat bagus, diantaranya bagaimana agar dengan adanya JKN kewajiban negara untuk menjamin dan melindungi rakyatnya bisa lebih optimal, yaitu hak rakyat untuk hidup sehat dan mendapatkan pelayanan yang layak. Dengan adanya JKN diharapkan pemenuhan kebutuhan masyarakat akan pembiayaan kesehatan tidak menjadi masalah, artinya jangan sampai ada masyarakat yang sakit, tapi tidak berobat karena tidak memiliki uang. Dengan adanya JKN juga diharapkan bisa mendorong pemerataan sumberdaya kesehatan, baik sarana, maupun SDM kesehatan. Akan tetapi ketika kita melihat realita sekarang dilapangan, tujuan mulia tersebut belum bisa terealisasi, cakupan masyarakat yang memiliki jaminan belum 100 %, dan sumberdaya kesehatan pun belum ada pemerataan, masih terpusat di Jawa. Disamping itu kualitas layanan kesehatan kepada masyarakat juga belum memuaskan, banyak keluhan di sana-sini.
2. Penelitian monitoring kebijakan merupakan hal yang tidak mudah dilakukan
Saya sependapat, memang penelitian monitoring kebijakan merupakan hal yang tidak mudah dilakukan, apalagi untuk memonitor kebijakan yang lingkupnya nasional seperti JKN ini. Permasalahan di tiap daerah akan berbeda-beda, dan pastinya akan membutuhkan waktu yang cukup lama mengingat luasnya wilayah Indonesia, dan juga tergantung jumlah peneliti yang ada. Akan tetapi penelitian guna monitoring kebijakan harus dilakukan agar bisa memberikan masukan dalam evaluasi kebijakan.
. Monitoring terhadap suatu kebijakan baru dapat dilakukan setelah adanya tindakan dari para pelaku kebijakan terhadap objek atau kelompok sasaran. Dengan kata lain rencana kebijakan tersebut telah diimplementasikan menjadi kebijakan publik. Sehingga minimal analis dapat "melihat" adanya perubahan atau hasil yang signifikan dari tindakan kebijakan tersebut baik berupa data-data kuantitatif maupun data kualitatif berdasarkan hasil pengamatan.
kegiatan monitoring di Indonesia masih memiliki banyak kekurangan, baik dalam segi teknis maupun badan pelaksananya. Fungsi DPR selaku badan legislatif tinggi RI lebih mengarah sebagai evaluator daripada pihak yang melakukan monitoring. Padahal sebagaimana disebutkan tadi, kegiatan monitoring merupakan langkah awal untuk mencapai proses evaluasi yang sesuai dan mengarah pada tujuan kebijakan. Tampaknya di beberapa badan tinggi formal di Indonesia, kegiatan monitoring belum dilakukan secara khusus, namun disamakan dengan proses pengumpulan data yang dilakukan sebagai bagian dari proses evaluasi kebijakan.