Di akhir pembahasan ada pernyataan mengenai masalah kebijakan. Masalah-masalah kebijakan yang ada dalam kasus ini dapat dikelompokkan menjadi:

  1. Pelaksanaan Kebijakan mempunyai kemungkinan menghasilkan keadaan yang tidak sesuai dengan tujuan kebijakan ditetapkan.
  2. Penelitian monitoring kebijakan merupakan hal yang tidak mudah dilakukan.

Silahkan anda memberi komentar, atau tambahan untuk masalah kebijakan yang ada di balik Kasus tersebut.

 

Comments  

# Rusdy I. Miolo 2016-11-02 23:05
Perjalanan Implementasi Kebijakan JKN sejak Tanggal 1 Januari 2014 telah banyak menuai Isu terjadinya kemungkinan kegagalan terutama dalam hal pencapaian tujuan kebijakan ditetapkan. Hal ini terkait upaya meningkatkan keadilan sosial bagi masyarakat Indonesia seperti tertuang dalam UU SJSN 2014 yang sesuai dengan komitmen WHO Tahun 2014 tentang Universal Health Coverage (UHC) dimana Sistem Kesehatan memastikan setiap warga dalam Populasi memiliki akses yang adil terhadap pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau.
Salah satu persoalan dalam hal gagalnya pencapaian asas keadilan ini adalah ciri sentralistik dengan peraturan yang relatif seragam tanpa memperdulikan kondisi indonesia yang sangat bervariasi. Padahal pemerintah perlu melakukan Identifikasi terlebih dahulu berbagai kebutuhan masyarakat dalam hal pelayanan kesehatan sebelum melaksanakan kebijakan ini (pemrosesan Bottom Up). Identifikasi kebutuhan masyarakat seperti ketersediaan fasilitas, SDM Dokter dan Dokter Spesialis serta pemerataan PIB. Kebijakan ini cenderung melakukan pendekatan TOP Down dimana objek kebutuhan pelayanan masyarakat diseluruh daerah berdasarkan Hypotesis maupun Asumsi yang nantinya akan di evaluasi hasil Implementasinya apakah kebijakan ini berhasil atau tidak. Kolaborasi pendekatan Top Down dan Bottom Up adalah hal yang sangat perlu dilakukan guna menghindari Parsing Paradox yang akhirnya menyebabkan ketidak sesuaian implementasi Kebijakan JKN dengan Tujuan Keadilan bagi masyarakat. disamping itu pemerintah perlu melakukan pendelegasian tanggung jawab sampai pada pemberi pelayanan sehingga implementasi kebijakan ini dapat dilaksanakan dengan leluasa ditingkat bawah sesuai dengan kebutuhan di daerah masing masing serta dapat memanfaatkan seluruh alokasi anggaran tanpa ada dana sisa. Artinya bahwa kebijakan ini memperhatikan Priciple Agency Relationship yang berimplikasi pada peran agen ditingkat daerah maksimal dan tidak terkesan hanya menghabiskan anggara tanpa melihat esensi tujuan kebijakan JKN.
Langkah tepat yang dilakukan oleh FK UGM bersama 10 PT pada tahun 2014 untuk menjawab 3 pertanyaan yang notabene terkait dengan tujuan Kebijakan JKN adalah kontribusi besar dalam mengevaluasi perjalanan Implementasi JKN. Hasil penelitian 11 PT ini telah memaparkan berbagai Potensi kemungkinan kegagalan yang di muat dalam 2 rekomendasi kebijakan dan perlu dijadikan acuan dalam untuk mengantisipasi kemungkinan kegagalan dalam melanjutkan implementasi kebijakan JKN. Penelitian ini merupakan proses sitematis yang berujung pada perbaikan kebijakan JKN yang seiring dengan tahapan siklus kebijakan terkait Evaluasi. Walaupun Evaluasi berbeda dengan penilitian namun keduanya berbasis Ilmiah untuk menilai kebijakan JKN.
Kegiatan yang dilakukan oleh pihak perguruan tinggi dalam hal penelitian ini merupakan cerminan evaluasi Sumatif yang berfokus pada upaya mengukur dampak dan hasil iplementasi kebijakan JKN. Keterlibatan langsung penelitian ini sejak tahun dilaksanakan JKN juga merupakan kontribusi langsung dengan berbagi masukan yang disampaikan kepada pemerintah berupa pemikiran kritis perbaikan kebijakan merupakan upaya evalusi Formatif kebijakan yang perlu menjadi keharusan bagi pemerintah dalam melibatkan Komponen Perguruan tinggi dalam proses kebijakan JKN.
Penelitian implementasi Kebijakan yang telah dilakukan, diharapkan menjadi masukan bagi pemerintah dan di implementasikan dalam perbaikan kebijakan JKN sekarang ini. Mengingat banyak hasil penelitian tidak memperoleh tanggapan pemerintah dan justeru melakukan perubahan kebijakan berdasarkan penelitian yang lain karena ada unsur kepentingan lain termasuk kepentingan politik seperti sindiran Lomas (2000a).
Rekomendasi penelitian dalam kasus ini berdasarkan kondisi yang ada dilapangan sejak dilaksanakan JKN, sehingga menjadi bagian dari proses analisis retrospektif kebijakan JKN oleh pemerintah yang bisa menjadikan segala kemungkinan gagalnya JKN terhindarkan. Untuk itu walaupun dalam realitanya bahwa Hubungan Peneliti kebijakan dengan pengambil kebijakan terdiri dari dua masyarakat yang berbeda yang memiliki kepentingan yang bebeda namun perlu dilakukan upaya penyatuan konsep guna tercapainya keadilan bagi masyarakat dalam implementasi JKN. Dengan demikian, ini akan berdampak pada upaya strategi perubahan kebijakan yang berpihak pada masyarakat.
Reply
# arfiny ghosyasi 2016-11-03 15:47
Selamat Malam teman-teman,
apa yang sudah disampaikan oleh pak Rusdi sudah sangat jelas sekali mengenai proses perjalanan kebijakan JKN. saya sebenanrnya menganggap JKN ini adalah sebuah kebijakan yang sangat bagus dalam pemerataan kesehatan secara nasional. ditinjau dari tujuannya bahwa harus adanya keadilan sosial bagi seluruh masyarakat indonesia. ini merupakan kebijakan yang mulia. namun memang perjalanannya tidak mudah, banyak kendala sana-sini, ketimpangan dimana-mana, dan masalah-masalah internal lainnya. langkah yang dilakukan UGM bersama 10 PT untuk ikutserta mengevaluasi JKN ini adalah bukti nyata bahwa kita sebagai aktivis juga tidak bisa lepas tangan dalam masalah ini, dilihat dari jumlah penduduk dan luas wilayah indonesia yang sangat besar tidak mungkin pemerintah berjalan sendiri untuk mensukseskan JKN. menurut saya, saat ini kita jangan lagi berada dibelakang layar, mulailah ikut mencari solusi dan ikut memperbaiki status kesehatan di Indonesia.

sekian. terima kasih
selamat istirahat teman-teman :)
Reply
# Arda Dinata 2016-11-06 12:33
Apakah ada situasi Principle-Agency Relationship dalam hubungan antara BPJS dengan pemerintah dan masyarakat?


Terkait hal ini, harus ada perbaikan berbagai kebijakan di JKN. Berdasarkan konsep pembiayaan kesehatan, diharapkan ada kebijakan yang memperhatikan berbagai titik kritis di dalam sistem, diantaranya:

(1) Perlu peningkatan dana untuk program kesehatan dari APBN dan APBD serta masyarakat. Peningkatan dana ini berwujud anggaran investasi dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang mampu untuk memperluas akses terhadap pelayanan kesehatan dan pemenuhan kecukupan tenaga kesehatan khususnya di daerah sulit.

(2) Perlu kebijakan yang lebih mengaplikasikan prinsip asuransi kesehatan sosial dalam BPJS; Bagi masyarakat yang menggunakan kelas I dan VIP sebaiknya menggunakan asuransi komersial tanpa ada hubungan dengan dana BPJS; perlu kebijakan untuk mencegah adverse selection, khususnya bagi masyarakat yang mampu; kemudian perlu kebijakan untuk memisahkan dana yang berasal dari PBI dan non PBI sehingga dapat dilakukan transparansi dan akuntabilitas yang lebih baik. Dengan demikian, di dalam BPJS akan ada kompartemen-kompartemen berdasarkan sumber dana dan pengeluarannya. Lalu, diharapkan ada pemisahan yang tegas sehingga mencegah terjadinya dana yang masuk dari PBI di BPJS dipergunakan untuk pengeluaran kesehatan bagi masyarakat yang non-PBI mandiri; serta perlu mengaktifkan kebijakan dana kompensasi untuk daerah-daerah yang belum mempunyai sumber daya kesehatan yang cukup.

(3) Perlu ada kebijakan pembatasan Benefit Package (Paket Manfaat) dan/atau menggunakan iur biaya untuk berbagai pelayanan yang besar biayanya; perlu ada kebijakan untuk memperbaiki aspek pemberi pelayanan (supply) kesehatan terlebih dahulu sebelum menggunakan klaim; perlu adanya sistem verifikator dan investigator yang lebih baik di pelayanan primer dan rujukan untuk mencegah fraud dan pemborosan dana yang tidak perlu. Untuk mengurangi biaya sumber daya manusia dan pemerataan pelayanan, residen perlu dijadikan pekerja medis dalam pelayanan kesehatan yang didanai oleh BPJS.

Dalam jangka pendek, diharapkan ada kebijakan pengiriman tenaga medis keberbagai rumah sakit dan puskesmas yang kekurangan SDM. Di samping itu perlu ada kebijakan sistem pencegahan dan penindakan fraud dalam jaminan kesehatan.
(www.ardadinata.com).
Reply
# Nurfitria Hariyani 2016-11-03 00:58
selamat pagi.
1. pelaksanaan kebijakan memungkinkan mengahasilkan suatu keadaan yang tidak sesuai dengan tujuan. Hal ini mungkin dikarenakan fasilitas yang ada pada pelayanan kesehatan disetiap daerah tidak merata, sehingga dalam aplikasinya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. selain itu ketidaktercapainnya tujuan seringkali disebabkan oleh aktor sebagai implementasi kebijakan. Aktor (RS, dokter) seringkali menganggap diri mereka bukan sebagai pengimplementasi kegiatan tetapi sebagai profesi semata, sehingga seringkali mereka yang menghambat atau tidak menyebabkan tidak berjalannya kebijakan. misalnya RS yang seringkali menolak pasien BPJS.
2. Penelitian monitoring menjadi hal yang tidak mudah karena aktor-aktor pelaksana kebijakan terkadang tidak transparansi terhadap implementasi kebijakan. selain itu ketika pembuat kebijakan mendelegasikan kebijakan tersebut tidak di monitoring secara langsung dan berkesinambungan. sehingga monitoring menjadi sulit untuk dilakukan ketika dilakukan diakhir kebijakan.
Reply
# Muhammad Ichsan H 2016-11-03 03:08
1. Dalam mengambil kebijakan tentu kita perlu memperhatikan tempat dilalsanakannya program tersebut.daerah seperti papu tentu memiliki keterbatasan dalam sumberdaya tentu saja ini mrmunculkan kemungkinan untuk tujuan dari kebijakan tersebut tidak tepat sasaran

2. Penelitian monitoring kebijakan tidak mudah karena bisa jadi terjadi penolakan dari institusi yang menjalankan program, karena ada faktor ketakutan jika tempatnya diteliti, dan kesulitan untuk mencapai daerah terpencil sehingga evaluasi sulit dilaksananakan
Reply
# Ayu Wulandari 2016-11-03 13:58
Salam sehat...
Pada dasarnya kenapa kebijakan menghasilkan keadasn yg tidak sesuai menurut saya pada saat kebijakan dibuat hendaknya dilihat dulu apakah ketersediaan faskes disetiap propinsi di Indonesia sudah merata? Setidaknya sudah sesuai dengan jumlah populasi karena apabila poulasi tidak dipertimbangkan maka akan timbul masalah dimana lebih banyak orang sakit dibandingkan dengan ketersediaan jumalah faskes dan ini akan membuat buruknya yankes. Seharusnya oerbandingan antara orang yg sakit sesuai dengan faskes yang ada.

2. Kenapa penelitian monitoring kebijakan menjadi hal yg tidak mudah menurut saya bisa karena intitusi yg melaksanakan kebijakan tsb merasa hanya bertanggung jawab pada presiden misalnya BPJS..sehingga merasa bahwa penelitian bukanlah kapasitas tuk memonitoring.

Trimakasih
Reply
# Ajeng Prastiwi 2016-11-03 14:07
Bedasarkan kasus di atas menunjukan bahwa JKN merupakan universal heatlh coverage sebagai revolusi dari WHO, namun pelaksanaan JKN belum terlaksana dengan baik, karena dalam pelaksanaanya tidak tepat sasaran dan tidak sesuai dengan tujuannya. Oleh karena itu, perlunya monitoring secara holistik dan komprehensif, adanya koordinasi yang baik dari yang di atas hingga ke bawahnya.
Diharapkan dengan adanya rekomendasi tersebut dapat ditindaklanjuti atau dengan membuat kebjkaan baru yang lebih rasional/ sesuai dengan keadaan di masyarakat atau revisi kebijakan yang ada sekarang dengan cara menguatkan sistem
Reply
# Ani Muliyani 2016-11-03 15:39
Berdasarkan kasus di atas, masalah utama yang terjadi adalah adanya gap antara perencanaan dan implementasinya. Masalah "implementation process" yang terjadi terutama di kawasan Timur Indonesia, seperti Maluku, Papua, Nusa tenggara dan daerah yang terpinggirkan seperti daerah perbatasan. Hal ini tidak sesuai dengan prinsip utamanya, yaitu 'coverage' atau pemerataannya. Khususnya pemerataan tenaga medis. Maka, menurut pendapat saya, perlu diadakan analisis masalah tiap-tiap daerah dengan menggunakan protocol dasar dari pusat. Kemudian monitoring dapat dilakukan dengan pemanfaatan SDM yang tersedia di masing-masing daerah secara maksimal, sehingga universal health coverage dapat terlaksana.
Reply
# Bekti Nur aini 2016-11-03 16:36
JKN sebenarnya merupakan salah satu program yang bagus dengan tujuan yang mulia. Akan tetapi tujuan JKN yang menjunjung tinggi asas keadilan tidak selaras dengan keadaan yang sebenarnya. Karakteristik setiap daerah yang berbeda membuat mereka memiliki tingkat persiapan yang berbeda pula. Hal ini menimbulkan anggapan bahwa tujuan JKN seperti mengarah ke “persamaan” tiap daerah, bukan “keadilan”.
Geografis Indonesia yang berupa negara kepulauan membuat monitoring pelaksanaan JKN sangat susah. Banyaknya daerah yang ditinjau tidak sebanding dengan SDM yang berrtugas untuk melakukan monitoring. Sistem monitoring top-down tidak dapat berjalan maksimal. Apalagi persebaran tenaga kesehatan yang tidak merata turut menghambat pelaksanaan JKN.
Reply
# Itsna Masyruha 2016-11-03 20:02
Sesuai dengan amanah UU 24 tahun 2011, tugas monitoring dan evaluasi penyelenggaraan jaminan social dilakukan oleh DJSN dan BPJS berhak memperoleh hasil dari monev tersebut setiap 6 bulan. Dalam buku pegangan sosialisasi JKN dosebutkan bahwa penyelenggaraan monev merupakan tanggung jawab meneteri kesehatan dan pelaksanaannya berkoordinasi dengan DJSN. Sehingga hal ini menyebabkan monitoring dan evaluasi dari eksternal sulit untuk dilakukan. Padahal dalam skema monitoring dan evaluasi JKN menyatakan adanya pengawasasn yang dilakukan oleh eksternal. Permasalahan lainnya bahwa system pengelolaan data terpusat dan prosedur untuk mendapatkan data tersebut masih belum jelas menyebabkan kegiatan monev sulit untuk dilakukan.
Karena data dari BPJS sulit didapat, maka pihak eksternal mengadakan penelitian dengan melihat ketersediaan rumah sakit dan dokter spesialis yang ternyata masih mengalami ketimpangan, yaitu supply tidak dapat memenuhi permintaan. analisis retrospektif pada kebijakan menunjukkan bahwa perkembangan pembangunan faskes dan dokter spesialis yang kurang menjadi hambatan pelaksanaan JKN. Kemudian dilakukan analisis prospektif yaitu dengan menggunakan scenario baik dari scenario yang ideal hingga scenario terburuk. Dan ternyata setelah melakukan analisis tren, pelaksanaan JKN akan mengalami scenario terburuk dimana perkembangan jumlah RS dan spesialis gagal memenuhi kebutuhan masyarakat.
Reply
# Yaniar N.Wokas 2016-11-04 02:50
Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Indonesia bila melihat pada kasus yang ada sangat wajar bila kemungkinan menghasilkan keadaan yang tidak sesuai dgn tujuannya karena kebijakan ini mengandung ciri sentralisttrik dengan peraturan yang relatif seragam sementara kondisi indonesia dari berbagai aspek sangat bervariasi. Ini jelas ada kaitannya dengan asas keadilan bagi masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan artinya bahwa adil itu bukan berarti perlakuan sama dalam peraturan maupun kebijakan tetapi menurut saya adil itu memperoleh peraturan yang sifatnya proporsional, kebijakan ini mengarah pada ciri pendekatan top down dimana kebijakan yang di ambil berdasarkan asumsi atau keinginan dari top down tanpa mempertimbangkan faktor kebutuhan masyarakat yang berbeda beda substansi kebutuhannya seperti tersedianya dokter, dokter spesialis, sarana pelayanan yang tidak memadai ini semua jelas sangat berpengaruh untuk mencapai tujuan yang sesungguhnya.
Menyangkut penelitian monitoring kebijakan sangat membutuhkan fokus perhatian dari pemerintah dalam hal penujukkan siapa yang meneliti, subjek yang diteliti, independen, menyeluruh ke masyarakat dan mampu menghindari faktor-faktor kepentingan (politik) karena yang terpenting adalah output penelitian yang ideal sesuai dengan kenyataan yang ada dilapangan
Reply
# Noor Rosyidah Amini 2016-11-04 12:20
1. Bila ditelaah lebih lanjut, kebijakan JKN termasuk kebijakan yang dijalankan secara top-down, sehingga semua rancangan, pertimbangan, hingga keputusan ditentukan oleh kelompok yang apaling atas, yakni dalam hal ini pemerintah, sedangkan kelompok atau tingkat yang berada di bawahnya hanya sebagai pelaksana dan penerima perintah. Pemerintah tidak mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan implementasi JKN melalui pendekatan skenario, sehingga hal ini akan menimbulkan masalah-masalah atau kendala-kendala di tengah pelaksanaan JKN. Selain itu, karena adanya teori top down yang dianut pemerintah, dalam hal monitoring akan sulit untuk dilakukan, tanggungjawab yang dilimpahkan hanya mampu di monitoring di awal saja, kemudian akan sulit untuk dikontrol, sehingga akan muncul pihak-pihak lain yang mungkin memiliki kepentingan pribadi lalu dapat bertindak secara leluasa dalam pelaksanaan JKN di daerah.
2. Analisis kebijakan secara retrospektif dalam kasus ini adalah kebijakan JKN yang berpengaruh pada hasil yang diterima oleh seluruh rakyat Indonesia. Adanya segmentasi kelompok yakni maju dan belum maju, sehingga manfaat JKN yang dirasakan berbeda pada kedua kelompok tersebut. Kelompok maju mampu mencapai skenario optimis UHC, sedangkan kelompok belum maju mencapai skenario pesimis. Sedangkan untuk analisis prospektif dalam kasus ini adalah apabila kebijakan ini dijalankan dan dilanjutkan tanpa adanya perbaikan atau revisi kebijakan, maka akan terjadi ketimpangan dan ketidakadilan yang semakin besar.
Reply
# Arda Dinata 2016-11-06 12:28
Untuk menentukan apakah pelaksanaan kebijakan JKN merupakan pelaksanaan yang top-down atau bottom-up? Menurut saya, hal ini bisa dianalisis bersadarkan studi implementasi kebijakan.

Dalam studi implementasi kebijakan, kita tahu ada dua pendekatan guna memahami implementasi kebijakan, yakni:

1. Pendekatan top-down. Yakni implementasi kebijakan yang dilakukan tersentralisir dan dimulai dari aktor tingkat pusat dan keputusannnya pun diambil dari tingkat pusat. Pendekatan ini bertitik tolak dari perspektif keputusan politik (kebijakan) yang ditetapkan oleh pembuat kebijakan harus dilaksanakan oleh administratur atau birokrat level bawahnya.

2. Pendekatan Bottom-Up. Didasarkan pada jenis kebijakan publik yang mendorong masyarakat untuk mengerjakan sendiri implementasi kebijakannya, atau masih melibatkan pemerintah, namun hanya ditataran rendah. Para ahli kebijakan juga mengajukan beberapa model implementasi kebijakan untuk keperluan penelitian maupun analisis. Model yang digunakan untuk menganalisis permasalahan kebijaksanaan yang semakin kompleks. Untuk itu diperlukan teori yang mampu menjelaskan hubungan kausalitas antar variabel yang menjadi fokus analisis.

Jadi, atas dasar penjelasan di atas, maka pelaksanaan kebijakan JKN ini dapat dikatan merupakan pelaksanaan kebijakan yang top-down. Makasih. www.ardadinata.com.
Reply
# Rusdy I. Miolo 2016-11-08 02:06
Mohon maaf pak arda

Contoh Kasus dalam JKN yang mana pak terkait teori bottom up sesuai study implementasi kebijakan tersebut??
Reply
# Arda Dinata 2016-11-08 03:15
Kalau Pak Rusdy baca dalam narasi prolog kasus di atas, di sana terlihat jelas bagaimana kasus JKN ini sesuai dengan Teori bottom up dalam implementasi kebijakan kesehatan.
Reply
# Arda Dinata 2016-11-06 12:40
Menurut anda apakah kasus di Minggu 4 merupakan: Penelitian Kebijakan atau bukan?


Bila dilihat dari kasus yang dipaparkan di atas, maka kasus itu merupakan salah satu hasil dari penilitian tentang kebijakan kesehatan terkait kebijakan pembiayaan kesehatan.

Apalagi kalau kita lihat situasi sistem kesehatan di Indonesia saat ini masih mempunyai berbagai tantangan berat. Ada masalah pemerataan pelayanan kesehatan, perencanaan kesehatan yang tidak tepat sasaran, pelaksanaan yang terdesak waktu, belum baiknya kesinambungan dan integrasi antar program kesehatan. Secara geografis masih terdapat ketimpangan antar regional dalam pelayanan kesehatan. Sebagai catatan di tahun 2014 program BPJS akan berjalan dengan asumsi sudah terjadi pemerataan pelayanan kesehatan.

Merupakan Evaluasi Kebijakan yang Sumatif atau Formatif?


Evaluasi kebijakan dalam perspektif alur proses atau siklus kebijakan itu menempati posisi terakhir setelah implementasi kebijakan, sehingga sudah sewajarnya jika kebijakan publik yang telah dibuat dan dilaksanakan lalu dievaluasi.

Dari evaluasi akan diketahui keberhasilan atau kegagalan sebuah kebijakan, sehingga secara normatif akan diperoleh rekomendasi apakah kebijakan dapat dilanjutkan; atau perlu perbaikan sebelum dilanjutkan, atau bahkan harus dihentikan.
Dari hasil evaluasi pula kita dapat menilai apakah sebuah kebijakan/program memberikan manfaat atau tidak bagi masyarakat yang dituju. Secara normatif fungsi evaluasi sangat dibutuhkan sebagai bentuk pertanggungjawaban publik, terlebih di masa masyarakat yang makin kritis menilai kinerja pemerintah.

Pada konteks kasus kebijakan JKN tersebut, maka dapat dilihat berdasarkan dua pendekatan evaluasi, yaitu formatif dan sumatif. Evaluasi formatif, adalah evaluasi yang dilakukan pada tahap pelaksanaan program dengan tujuan untuk mengubah atau memperbaki program. Evaluasi ini dilakukan untuk memperbaiki program yang sedang berjalan dan didasarkan atas kegiatan sehari-hari, minggu, bulan bahkan tahun, atau waktu yang relatif pendek. Manfaat evaluasi formatif terutama untuk memberikan umpan balik kepada manajer program tentang hasil yang dicapai beserta hambatan-hambatan yang dihadapi. Evaluasi formatif sering disebut sebagai evaluasi proses atau monitoring.

Sedangkan evaluasi sumatif, adalah evaluasi yang dilakukan untuk melihat hasil keseluruhan dari suatu program yang telah selesai dilaksanakan. Evaluasi ini dilakukan pada akhir kegiatan atau beberapa kurun waktu setelah program, guna menilai keberhasilan program.

Berdasarkan kajian evalusi tersebut, maka kasus kebijakan JKN itu harus dilakukan dengan kedua pendekatan evaluasi, yaitu baik evaluasi formatif maupun evalusi sumatif. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan Azwar (1996), bahwa evaluasi formatif itu menghasilkan informasi yang akan dipergunakan untuk mengembangkan program, agar program lebih sesuai dengan situasi dan kondisi sasaran. Sedangkan, evaluasi sumatif ialah suatu evaluasi yang memberikan pernyataan suatu program selama urun waktu tertentu dan evaluasi ini menilai suatu program itu berjalan.(www.ardadinata.com).
Reply
# Arda Dinata 2016-11-06 12:41
Apakah mengandung Analisis kebijakan yang retrospektif dan prospektif?


Sementara itu, ada kecenderungan regionalisasi dan desentralisasi sistem kesehatan semakin meningkat. Berbagai peraturan baru mengatur kebijakan regionalisasi dan desentralisasi. Konsekuensinya, kebijakan di pusat dan daerah harus sambung, tidak boleh terfragmentasi. Dan di sisi pengambilan kebijakan, masih ada kekurangan pemahaman mengenai kebutuhan penelitian yang dapat meningkatkan efektifitas pengambilan kebijakan.
Dengan minimnya tenaga peneliti kebijakan, terjadi suatu situasi dimana tidak ada dorongan untuk melakukan penelitian kebijakan. Celakanya di sisi pengambil kebijakan, masih ada pendapat yang menganggap tidak perlu adanya penelitian kebijakan yang independen. Sejarah mencatat bahwa beberapa kebijakan besar (baca: kebijakan JKN), dilakukan tanpa didahului, dimonitor pelaksanaannya, dan dievaluasi oleh penelitian yang independen. Akibatnya efektifitas kebijakan menjadi buruk dan sulit dinilai.

Apakah dapat menjadi bahan untuk pengambil keputusan?


Hasil penelitian kebijakan itu, dapat dijadikan bahan untuk pengambilan kebjiakan kesehatan terkait pembiayaan kesehatan. Yakni dalam implementasi kebijakan untuk cakupan kesehatan universal, peran pemerintah sebagai pelayan memiliki dampak yang terbatas. Pemerintah menghadapi kesulitan dalam pengembangan infrastruktur kesehatan-layanan baru dan menggunakan sumber daya manusia yang memadai untuk kesehatan dalam rangka meminimalkan kesenjangan ketimpangan akses ke layanan. Kementerian kesehatan dan dinas kesehatan pemerintah daerah memiliki masalah dalam memantau kinerja pembeli. Tidak ada desain kebijakan untuk memantau kinerja BPJS. Di pemerintah daerah, ada kebimbangan tentang peran dinas kesehatan kabupaten. (www.ardadinata.com).
Reply

Add comment

Security code
Refresh