Di akhir pembahasan ada pernyataan mengenai masalah kebijakan. Masalah-masalah kebijakan yang ada dalam kasus ini dapat dikelompokkan menjadi:
- Pelaksanaan Kebijakan mempunyai kemungkinan menghasilkan keadaan yang tidak sesuai dengan tujuan kebijakan ditetapkan.
- Penelitian monitoring kebijakan merupakan hal yang tidak mudah dilakukan.
Silahkan anda memberi komentar, atau tambahan untuk masalah kebijakan yang ada di balik Kasus tersebut.
Comments
BPJS yang dilaksanakan di kota besar memang sudah cocok di terapkan seperti kota saya di Surabaya yang sudah lengkap fasilitas dan tenaganya, namun realita yang terjadi antrian sangat memanjang dan untuk mendapatkan jasa operasi harus menunggu antrian yang lama bahkan bisa sampai berbulan bulan, hal ini akan dapat menyebabkan pasien bisa bertambah parah dan bahkan meninggal khususnya penerima bantuan iuran (PBI) yang sangat ribet dalam kepengurusan untuk mendapatkan layanan kesehatan dan tentu jika memggunakan layanan BPJS perlu kesabaran ekstra terlebih lagi rumah sakit mengalami peledakan jumlah pasien semenjak era BPJS.
kesimpulannya dalam membuat kebijakan perlu adanya monitoring dan evaluasi secara berkala agar masyarakat menjadi nyaman dan tentu tujuannya bukan hanya untuk segelintir kalangan khusus,namun adil jujur dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Memang tidak mudah melakukan monitoring kebijakan,namun lebih baik dilakukan tindakan daripada tidak sama sekali.
Tidak mudah untuk mengevaluasi sebuah kebijakan melalui sebuah monitoring kebijakan banyak hal yang perlu di pertimbangkan diantaranya keberlangsungan sebuah kebijakan itu sendiri, proses pembuatan kebijakan sangat rumit dan banyak melibatkan banay pihak dan menelan biaya yang tidak sedikit sehingga pembuat kebijakan langsung maupun tidak langsung berusaha “melindung” kebijakan yang dihasilkannya. Sebuah kebijakan biasanya juga sebagai sebuah alat kekuasaan, banyak kebijakan yang di buat sebagai “pencitraan” penguasa dan jika dalam sebuah penelitian kebijakan “membongkar” kebobrokan tersebut citra penguasa kan rusak dan itu bisa di gunakan sebagai alat bagi lawan politiknya untuk menyerang sang penguasa.
banyak pihak yang menyatakan hadirnya dirasa belum maksimal , seyogyanya BPJS merupakan angin segar bagi semua kalangan masyarakat terutama adalah masyarakat yang berada di kelas menengah kebawah dikarnakan melihat dari asas dibentuknya BPJS adalah gotong royong yang artinya semua lapisan masyarakat saling bahu membahu untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
namun realita yang terjadi di indonesia sangatlah miris, banyak kasus-kasus terait BPJS seperti halnya :
- BPJS PALSU
- Pelayanan pengurusan untuk mendapatkan kartu yang disara rumit
- pelayanan kesehatan tidak optimal
- dirasa tidak adil
- belum menjangkau semua lapisan orang dan tempat
- dan lain lain
dalam kasus seperti ini, dilihat daerah-daerah yang dikategorikan sebagai daerah tertinggal tentulah akan semakin miris. pada tahun 2015 presiden telah menetapkan ada 122 kabupaten yang dikategorikan sebagai daerah tertinggal. hal ini tentunya harus mendapat konsentrasi dari pemerintah secara serius. jika dilihat lebih jauh permsalahan BPJS tidak optimal di daerah-daerah tertinggal yang mana daerah tersebut didominasi dari wilayah timur. jika harus egois saya akan lebih memilih memberikan pelayanan yang standar (hampir optimal) namun merata dari pada memberikan pelayanan yang optimal tapi hanya pada daerah-daerah yang notabene nya maju sehinngga terkesan tutup mata dan acuh dengan daerah lain, namun mengapa hal ini terus di lanjutkan.....
sedikit komen dari kami wong cilik, yang mengharapkan aspirasi kami dapat didengar oleh pemangku kebijakan, dan oleh Prof. Laksono juga agar dapat menyampaikan aspirasi dan Harapan kami ke forum yang lebih luas tidak hanya stagnan dan sebatas angin lalu di kolom koment ini....
TERIMA KASIH........
Disamping itu untuk melakukan kegiatan monitoring akan sangat sulit dilakukan, karena tidak meratanya fasilitas kesehatan, dan tenaga kesehatan. implementasi sebuah kebijakan pilihan yang paling efektif adalah jika mampu membuat kombinasi implementasi kebijakan publik yang partisipatif, artinya bersifat top-down dan bottom-up. Dalam penelitian yang dilakukan juga jelas tergambar dimana kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah dapat direspon dengan baik oleh masyarakat, walaupun tidak merata.
Satu hal yang paling penting sebagai pembuktian implementasi kebijakan tersebut adalah bahwa kebijakan haruslah menampilkan keefektifan dari kebijakan itu sendiri. Namun paling tidak, akan lebih baik memperbaiki suatu kebijakan yang telah dijalankan sebagaimana JKN yang telah beroperasional tertanggal Januari 2014. Masih bayak yang pro kontra atas terselengaranya BPJS Kesehatan ini namun ini lah sebuah kebijakan. Kebijakan harus diambil meskipun pro dan kontra tinggal bagaimana lagi memperbaiki kedepannya.
Untuk melihat keberhasilan dan memperbaiki sebuah implementasi program tentu saja dibutuhkan upaya monitoring. Dan dari hasil monitoring ini dapat kita ketahui bahwa upaya BPJS untuk mengedepankan pelayanan primer masih terkendala karena ketersediaan fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan (SDM yang memadai) masih sangat kurang (adanya ketimpangan di kota dan di daerah). Selain itu ketersediaan fasilitas dan tenaga kesehatan yang belum memadai di suatu daerah ini membuat keterserapan dana PBI menjadi tidak maksimal sehingga dana PBI yang tidak terpakai ini bisa saja dialokasikan untuk menutupi kekurangan pembiayaan kesehatan masyarakat yang berada di daerah lain.
Memang terlihat sekali ketidaksiapan fasilitas dan tenaga kesehatan akan berdampak besar pada asas manfaat dan keadilan yang dirasakan oleh masyarakat dalam hal mendapatkan jaminan kesehatan. Sehingga dalam hal ini, upaya mengedepankan promotif dan preventif adalah usaha terbaik yang harus dilakukan, disamping perbaikan pada kebijakan mulai dari tata kelola penggunaan dana hingga perbaikan sistem sentralisasi karena pada dasarnya sistem ini dirasa kurang efektif karena belum tentu pihak pusat mengetahui apa yang dibutuhkan di daerah. Sehingga perpaduan antara sistem top down dan bottom up dirasa perlu demi efektifitas dan efisiensi penyelenggaran jaminan kesehatan.
- 1.
1. Pada dasarnya kebijakan adanya BPJS merupakan tujuan yang sangat mulia, mengimplementasikan sila pancasila menciptakan kesejahteraan kepada seluruh rakyatynya. Namun dalam pelaksanaannya masih banyak kekurangan yang terjadi. Salah satunya adalah masalah sentralisasi kebijakan yang bersifat up to down membuat kebijakan tidak dapat berjalan sesuai dengan tujuan awalnya. Hal ini terjadi karena actor pembuat kebijakan tidak memperhatikan kondisi-kondisi yang ada di lapangan, misalnya saja pelaksanaan BPJS di daerah 3T yang sangat minim atau bahkan tidak ada fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan. Hal ini tidak sesuai dengan asas kesejahteraan sosial yang dicanangkan oleh BPJS, mengapa? Karena hanya masyarakat yang berada diperkotaan yang dekat dengan fasilitas kesehatan saja yang dapat memanfaatkan BPJS, sedangkan masayrakat yang ada di daerah 3T? Fasilitas kesehatan yang sulit dijangakau serta minimnya tenaga kesehatan. Maka perlu untuk memperbaiki sistem kebijakan dari up to down, menjadi di kombinasikan dengan sistem bottom up agar kebijakan dapat berjalan sesuai dengan tujuan yang semestinya dengan memepertimbangkan keadaan yang ada di lapangan- 2.
Penelitian monitoring kebijakan memang sulit dilakukan, karena membutuhkan biaya yang cukup banyak dan waktu yang relatif tidak singkat. Akan tetapi hal ini tetap harus dilakukan demi perbaikan implementasi program kebijakan yang sudah ada. Sehingga pelaksanaan kebijakan BPJS yang saat ini masih banyak masalah dan kekurangan dapat diatasi sedikit demi sedikit, jika dilakukan monitoring pelaksanaannya.Menanggapi persoalan monitoring kebijakan adalah hal yang sulit dilakukan, saya setuju dengan hal ini. Terbukti dalam kasus ini, monitoring diprakarsai oleh akademisi dari universitas (bukan pemerintah). Dalam artian lain, pemerintah belum menyiapkan badan khusus (atau bagian dari BPJS sendiri) untuk proses monitoring dan evaluasi.
Sistem kebijakan JKN ini menganut sistem kebijakan Top Down, dimana pengambilan keputusan dilakukan oleh pemerintah dan daerah hanya mengikuti kebijakan tersebut. Hasilnya adalah kesenjangan yang terjadi didaerah-daerah. Masyarakat di daerah sulit dan di daerah maju tidak mempunyai manfaat yang sama, walaupun menjadi anggota BPJS. Selanjutnya, monitoring kebijakan merupakan hal yang tidak mudah dilakukan. Masih adanya unsur politik dalam proses pelaksanaannya, sulitnya akses lokasi, membutuhkan biaya yang besar, adanya keterbatasan akses data oleh publik terhadap pelaksanaan JKN ini sehingga sulit untuk di monitoring pelaksanaannya. Hasil monitoring evaluasi bisa dijadikan bahan pertimbangan untuk pengambilan keputusan apakah kebijakan tersebut direvisi atau diubah seluruhnya. Rekomendasi kebijakan yang dihasilkan juga harus diperhatikan apakah nantinya bisa dijadikan kebijakan yang akan diterapkan selanjutnya.