Di akhir pembahasan ada pernyataan mengenai masalah kebijakan. Masalah-masalah kebijakan yang ada dalam kasus ini dapat dikelompokkan menjadi:
- Pelaksanaan Kebijakan mempunyai kemungkinan menghasilkan keadaan yang tidak sesuai dengan tujuan kebijakan ditetapkan.
- Penelitian monitoring kebijakan merupakan hal yang tidak mudah dilakukan.
Silahkan anda memberi komentar, atau tambahan untuk masalah kebijakan yang ada di balik Kasus tersebut.
Comments
Monitoring terhadap kebijakan dilakukan oleh pihak-pihak yang berkompoten, dalam kasus ini dilakukan melibatkan peneliti2 yang melibatkan kampus (UGM dan 10 PT lain ditahun 2014-2019).
Di satu sisi kebijakan JKN ini diharapkkan pelayanan kesehatan ditingkat primer menjadi garda terdepan di masyarakat. Namun , pelaksanaan kebijakan JKN itu sendiri belum didukung oleh ketersediaan fasyankes dan SDM yang memadai (bagi daerah yang belum siap/daerah yang belum maju). Berbanding terbalik dengan daerah yang siap/daerah maju.
Dari hasil monitoring implementasi JKN, didapat rekomendasi perbaikan terhdap kebijakan yang sudah ada, dimana dalam kasus ini peneliti menggunakan analisis kebijakan (analysis of policy/evaluatif sumatif) dengan memperhatikan aspek preventif dan promotif secara kuat diperkuat dan (analysis for policy/evaluasi formatif) mengatisipasi kesenjangan2 yang lebih buruk terjadi, dengan usulan perbaikan terhadap kebijakan JKN itu.
Dapat disimpulkan :
Dengan berbagai hasil-hasil temuan yang dilakukan peneliti dalam implementasi pelaksanaan JKN dapat simpulkan belum efektif karena masih ditemukan kessenjangan-kesenjagan antara daerah maju dan daerah belum maju. Penelitian ini dapat memberikan perubahan-perubahan kebijakan ke arah yang lebih baik terhadap penyelesaian masalah pembiayaan kesehatan., sehingga tidak ada lagi kesenjangan antara daerah maju dan daerah yang belum maju, yang diharapkan tidak menimbulkan kerugian negara. Yang selayaknya para pengambil kebijakan, seharusnya mempertimbangan hasil-hasil penelitian tersebut guna penyempuraan/perubahan kebijakan yang sudah ada.
Terima kasih
Wassalam
Meski pemerintah menganggap sudah mengimbangi JKN yang dominan pada sisi kuratif, dengan BOK yang dominan pada sisi promotif dan preventif, namun menurut saya belumlah seimbang.
Secara tidak langsung, keberadaan JKN telah mengubah pola pikir masyarakat bahwa tanpa bersusah payah melakukan tindakan preventif, mereka sudah punya jaminan kuratif. Demikian pula pada pola pikir tenaga kesehatan. Sedikit banyak telah bergeser untuk sedikit melupakan upaya preventif promotif yang harusnya dilakukan. Tak perlu membahas mana yang lebih penting, karena semua upaya tersebut penting dan harus seimbang. Apalagi Puskesmas sebagai garda terdepan pelayanan kesehatan primer yang harus tetap menjalankan fungsinya dalam Upaya Kesehatan Masyarakat dan Upaya Kesehatan Perorangan.
Ada bagian dari JKN yang harusnya juga melibatkan unsur promotif dan preventif secara komunitas dan bukan hanya preventif secara individu
Mencoba berkomentar mengenai masalah-masalah yang terjadi pada pelaksanaan JKN.
Peraturan pemerintah Indonesia sebenarnya merujuk pada pemerataan layanan diseluruh wilayah Indonesia. Termasuk pada sistem pelaksanaan JKN, pemerintah Indonesia ingin memberikan fasilitas dan pelayanan yang setara antara daerah yang maju (seperti jawa dan kota-kota besar) dengan daerah yang belum maju (seperti Maluku,, NTT, Papua), tetapi apa yang terjadi?? Dalam proses penyusunan JKN pertama kali saja sudah terkesan hanya menjadi produk politik para pemangku top policy. Hal ini terlihat dari tidak siapnya daerah seperti Maluku, NTT dan Papua untuk bersama-sama dengan daerah seperti Jawa melaksanakan sistem Jaminan Kesehatan Nasional Ini. Untuk mendapat pelayanan dokter saja sangat susah apalagi meminta klaim BPJS pada daerah yang bersangkutan. Jadilah para pasien dari 3 daerah tersebut melakukan pengobatan di RS daerah Jawa karena dokter dan dokter spesialisnya yang lengkap, sehingga hal yang terjadi adalah klaim dana BPJS di daerah Jawa akan semakin tinggi dan klaim dana pada Maluku, NTT dan Papua akan semakin kecil.
Hal yang hampir serupa terjadi di daerah saya Kalimantan Timur. Di Samarinda masalah kesehatan masih menimbulkan banyak persoalan. Seperti, pasien yang tidak memiliki asuransi yang terdaftar di rumah sakit, bakal tidak dilayani.Program Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) Kaltim yang diterapkan sejak lama, tak bisa lagi digunakan sejak awal Juni. Mengacu pada Perpres 12/2013 tentang Jaminan Kesehatan, pemerintah pusat menghentikan pengelolaan Jamkesda dengan mengganti BPJS Kesehatan yang merupakan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Masyarakat mengeluh karena kartu Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) sudah tidak diterima di rumah sakit lagi. Mereka pun berharap bantuan keringanan dari pemerintah. Jadi mereka pada bingung tidak lagi memliki asuransi kesehatan yang bisa digunakan untuk berobat. Kasihan orang yang perekonomiannya tergolong rendah. Dipaksa untuk membayar setiap sen biaya rumah sakit saat berobat, tentu mereka tidak mampu.
Pelaksanaan monitoring dalam pembahasan kasus di web KKI diketahui dilakukan oleh UGM dan 10 perguruan tinggi lain di Indonesia. Dalam hal ini perguruan tinggi menjadi institusi independen untuk melakukan monitoring. Nah, yang menjadi pertanyaan adalah mengapa para penyusun kebijakan penetapan dan pelaksanaan JKN tidak ikut andil dalam pelaksanaan monitoring pelaksanaan JKN?? Bukankah mereka yang menetapkan kebijakan JKN tersebut?? Mengapa justru pihak lain yang melakukan monitoring??
Tidak meratanya ketersediaan fasilitas kesehatan serta tenaga kesehatan dan kondisi geografis yang sangat bervariasi, menimbulkan potensi melebarnya ketidakadilan kesehatan di dalam masyarakat. Sebagai gambaran adalah ketimpangan infrastruktur, fasilitas dan sumber daya manusia (SDM) antara Indonesia bagian barat dan timur. Di daerah kawasan timur jumlah fasilitas dan SDM kesehatan terbatas, akibatnya masyarakat di wilayah tersebut tidak memiliki banyak pilihan untuk berobat. Sementara di wilayah Indonesia bagian barat dengan jumlah PPK yang memadai, masyarakat dapat memanfaatkan layanan yang lebih banyak dan tidak terbatas. Tanpa adanya peningkatan ketersediaan (supply) fasilitas dan SDM di Indonesia bagian timur, dana BPJS kesehatan akan banyak dimanfaatkan di daerah-daerah perkotaan dan wilayah Indonesia barat.
Akses pelayanan kesehatan juga tergantung pada infrastruktur lain dalam masyarakat. Tanpa ada perbaikan infrastruktur di pedesaan atau daerah terpencil maka pemerataan pelayanan kesehatan menjadi hal yang sulit dicapai dan tujuan jaminan kesehatan sosial ini menjadi hal yang tidak real.
Hasil skenario yang ditulis pada awal berjalannya BPJS di atas menunjukan bahwa kebijakan sistem pembiayaan (adanya UU SJSN dan UU BPJS, JKN) ini mempunyai kemungkinan tidak berhasil mencapai tujuan dalam kriteria keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ada daerah yang akan mencapai akses dan manfaat pelayanan secara baik, namun ada yang tidak/belum. Berdasarkan skenario, ada kemungkinan pula jurang pemisah antara daerah sulit dan maju akan membesar. Sebagai gambaran, antara NTT, Sulawesi Tenggara dengan DIY dan DKI terdapat jurang yang sangat besar dalam jumlah tenaga dan fasilitas kesehatan.
Mengapa kesenjangan dapat membesar? Masyarakat di daerah sulit dan di daerah maju tidak mempunyai manfaat yang sama, walaupun menjadi anggota BPJS. Probabilitas dapat memperburuk pemerataan, karena masyarakat daerah sulit yang dapat manfaat di daerah lain cenderung adalah orang mampu.
Monitoring dan evaluasi adalah dua hal yang berjalan dengan berdampingan. Monitoring menyediakan data dasar untuk menjawab permasalahan sementara evaluasi memposisikan data-data tersebut agar dapat digunakan. Dalam pelaksanaanya ada dua pendekatan yang bisa dilakukan, yakni pendekatan formatif yang dilakukan saat implementasi kebijasumatif kan sedang berlangsung untuk mengetahui seberapa jauh sebuah program diimplementasikan dan kondisi apa yang bisa diupayakan untuk meningkatkan keberhasilannya serta pendekatan sumatif yang dilakukan saat kebijakan telah diimplementasikan dan memberikan dampak, tujuannya untuk mengukur efektifitas dampak nyata pada problem yang ditangani. Melihat dari dua hal tersebut, tujuan dari kebijakan JKN sendiri belum menemukan titik terang yang diharapkan, sebaliknya justru saat ini kita sedang dihadapkan dalam tantangan kerugian finansial yang cukup besar dan pemerataan pelayanan kesehatan yang tidak merata, seperti banyak fakta yang diketahui akses merupakan faktor utama kemanfaatan layanan kesehatan, dimana hal tersebut dapat dinikmati oleh masyarakat di pulau jawa dengan fasilitas lengkap sementara hal tersebut alfa dirasakan oleh daerah lain seperti timur Indonesia.
Melihat hasil penelitian yang dilakukan oleh rekan-rekan UGM menjadi catatan tersendiri bahwa perlu sekali upaya perbaikan strategi kebijakan untuk pencapaian tujuan, atau setidaknya menghindari dari kondisi terburuk yang dapat dicapai. Dari beberapa rekomendasi kebijakan yang disampaikan saya sangat setuju pada poin adanya perbaikan kebijakan di JKN, terutama dalam hal adanya kebijakan yang mengaplikasikan prinsip asuransi kesehatan sosial, dimana penggunaan asuransi komersial tanpa ada hubungan dana dengan BPJS. Hal ini berkaitan dengan upaya pencegahan adverse selection, karena nampak yang ada saat ini keuangan BPJS saat ini pengeluaran terbesar terlihat dalam pembiayaan kelompok mandiri dengan pemanfaatan uang dari PBI yang dijadikan satu pool. Tentu saja hal ini akan bertentangan dengan equity dan prinsip universal coverage dengan ditambah permasalahan layanan tenaga dan fasilitas kesehatan yang tidak merata. Alihalih tujuan utama pembiayaan ini diperuntukkan kepada masyarakat beresiko, yakni mereka yang di daerah dengan sosial ekonomi rendah dan keterjangkauan layanan kesehatan kurang, namun pemanfaatannya kembali ke masyarakat yang secara prinsip economic man (prinsip untung-rugi) dengan ketersediaan akses mendapatkan banyak manfaat BPJS ini.
Hal penting lainnya adalah keperluan untuk adanya sistem verifikator dan investigator yang lebih baik dalam pelayanan primer dan rujukan dalam rangka pencegahan fraud. Kecurigaan fraud terjadi di lapangan terlihat potensial dengan berabgai motiv untuk dilakukan. Akibat fraud ini menyentuh pada pembengkakan pembiayaan. Menjawab tantangan ini melalui adanya pihak yang bertugas sebagai verifikator atau investigator etau melalui DLP dengan menjamin kekuatan pelayanan di FKTP harus dapat menjadi solusi atas permasalahan fraud yang terjadi di lapangan.
Sejauh mana alternatif rekomendasi ini dapat diaplikasikan kita masih terus menunggu. Menyambung dengan kuliah ekonomi kesehatan yang dibawakan oleh Ibu Yulita kemaren, usaha rekomendasi ini telah gamblang disampaikan, namun Kemenkes masih mau mencoba mendapat pertimbangan dari pihak lain (negara asing) dalam upaya evaluasi pencapaian JKN. Apakah kredibilitas akademisi masih dipertanyakan atau adanya kewenangan untuk pelibatan pihak asing turut serta adalah sebuah pertanyaan. Di sisi lain, pencapaian dari tujuan JKN ini juga menjadi tanggung jawab pemerintah daerah melalui SPM (Standar Pelayanan Minimum). Implementasi SPM akan memperkuat sisi promotif – preventif sehingga diharapkan akan ber-impact pada penurunan jumlah kasus kuratif yang harus ditanggung oleh JKN. dan apakah SPM ini sudah sepenuhnya dimaksimalakan oleh pemerintah daerah adalah masih menjadi tantangan yang dihadapi mengingat capaian targetnya adalah 100% di setiap tahunnya.
Membahas tentang evaluasi, beberapa waktu lalu saya sempat mengikuti penelitian salah satu mahasiswa doctoral Universitas di Jerman dengan tema evaluasi JKN di Fasyankes tingkat pertama untuk wilayah Kota Semarang. Kota Semarang memang bukan daerah bermasalah kesehatan, evaluasi disini lebih ke bagaimana pendapat dokter fasyankes tingkat pertama di era sebelum JKN dan saat JKN berlangsung. Hasil wawancara menunjukan hal-hal menarik beberapa diantaranya yaitu kepesertaan dan masalah obat. Formularium obat yang terbatas menjadi sorotan utama, maka dalam peresepannya dokter mengalami berbagai kendala, hingga akhirnya jika dokter dirasa pasien sangat butuh obat ini maka dokter memberi penawaran pada sang pasien untuk membeli obat secara pribadi. Untuk kepesertaan, dokter merasa anggotanya sudah cukup banyak, bahkan hingga 5000 peserta, namun ada juga kasus peserta hilang tiba-tiba dari anggota dokter tersebut. Jika dianalisis secara retrospektif dan prospektif evaluasi JKN di Semarang khususnya di fasyankes tingkat pertama sudah benar-benar baik, sebaiknya dana sisa yang sesungguhnya tidak diperlukan memang perlu dialokasikan untuk DBK di kawasan TTT guna meningkatkan ketersediaan fasilitas kesehatan dan SDM kesehatan yang tidak memadai.
Strategi perubahan kebijakan diperlukan untuk perbaikan kebijakan. Oleh sebab itu Pemerintah dan BPJS Kesehatan masih terus berupaya memperbaiki pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Monitoring yang dilakukan oleh Perguruan Tinggi berperan dalam pengambilan keputusan untuk suatu kebijakan melalui hasil penelitiannya.
Kondisi pemanfaatan JKN skenario optimis dan pesimis ini memang perlu segera diatasi sebelum mengalami kegagalan dalam mencapai tujuan keadilan kesehatan. Secara umum, data dari 9 ribu Puskesmas, seribu Puskemas saja yang memenuhi standar sebagai provider dan mitra BPJS (data Kemenkes 2016). Terlebih Fasyankes di daerah rural yang terbatas seperti daerah-daerah Indonesia bagian timur, pemerataan tenaga kesehatan dan obat belum optimal. Akses ke pelayanan Kesehatan juga sulit untuk daerah kepulauan. Sehingga Kebijakan top-down dengan peraturan yang seragam diberlakukan di seluruh wilayah Indonesia ini tidak mampu mengatasi kondisi yang bervariasi tersebut.
Pelayanan kesehatan utamanya fokus pada Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP)/Faskes Primer seperti Puskesmas, klinik atau dokter praktik perseorangan dimana menjadi pintu utama dalam JKN. Sebagai upaya penguatan Faskes Primer, tenaga kesehatan harus memiliki kemampuan yang handal terutama terkait promotif dan preventif perlu ditingkatkan. BPJS Kesehatan hampir setiap bulannya mengeluarkan dana kapitasi untuk FKTP sekitar Rp 600-700 miliar kepada + 18 ribu FKTP yang bekerjasama untuk mengatasi 155 diagnosa penyakit. Sehingga monitoring dan evaluasi sangat diperlukan
untuk tetap menjaga kualitas pelayanan.
BPJS Kesehatan sebagai principal bagi provider-provider yang dikontraknya juga berperan sebagai agen dibawah pemerintah sehingga tidak memiliki wewenang dalam membuat suatu aturan yang tidak selaras dengan kebijakan pemerintah diatasnya. Sehingga Peran Dinas Kesehatan dan Organisasi Profesi dalam principal agent relationship perlu diperjelas supaya dapat mengoptimalkan implementasi JKN ini bersama-sama. Dalam mengatasi penyerapan dana yang timpang antara jenis peserta BPJS berbeda, perlu adanya pemisahan dana PBI dan Non PBI sehingga arus uang transparan dan akuntabel. Selain itu Penguatan verifikator dan investigator di pelayanan kesehatan perlu dilakukan untuk mencegah fraud serta pemborosan.
Dalam kaitan dengan peran pemerintah daerah tersebut, saya juga tertarik dengan sikap Pemerintah Kabupaten Malaka, salah satu kabupaten di NTT yang mendukung program JKN dengan menyediakan anggaran melalui APBD untuk peningkatan fasilitas pendukung (pembangunan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan) serta peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia. Pemda Malaka menyadari bahwa seberapapun besar dana yang dikumpulkan dari masyarakat baik itu PBI yang bersumber dari APBN dan APBD maupun non PBI tidak akan terserap maksimal dan digunakan secara optimal jika fasilitas pelayanan dan sumber daya manusia tenaga kesehatan di suatu daerah tidak mendukung. Mungkin ini merupakan strategi yang bisa menjawab ketimpangan implemantasi program JKN antara daerah satu dengan daerah lainnya
Jika seseorang ingin mengkaji mengapa kebijakan ‘X’ tidak mencapai hasil yang diinginkan, maka kajian apakah yang harus ia lakukan ? Kajian implementasi atau kajian evaluasi ? Bukankah daur hidup sebuah kebijakan tidak bisa ditentukan, kapan ia dianggap telah selesai diimplementasikan lalu bisa dievaluasi ? Atau, apakah kita sedang melakukan studi evaluasi saat kita mengkaji hasil suatu kebijakan yang sedang diimplementasikan ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka menurut pendapat saya adalah sebagai berikut:
Evaluasi kebijakan dalam perspektif alur proses/ siklus kebijakan publik, menempati posisi terakhir setelah implementasi kebijakan, sehingga sudah sewajarnya jika kebijakan publik yang telah dibuat dan dilaksanakan lalu dievaluasi. Dari evaluasi akan diketahui keberhasilan atau kegagalan sebuah kebijakan, sehingga secara normatif akan diperoleh rekomendasi apakah kebijakan dapat dilanjutkan atau perlu perbaikan sebelum dilanjutkan, atau bahkan harus dihentikan. Evaluasi juga menilai keterkaitan antara teori (kebijakan) dengan prakteknya (implementasi) dalam bentuk dampak kebijakan, apakah dampak tersebut sesuai dengan yang diperkirakan atau tidak. Dari hasil evaluasi pula kita dapat menilai apakah sebuah kebijakan/ program memberikan manfaat atau tidak bagi masyarakat yang dituju. Secara normatif fungsi evaluasi sangat dibutuhkan sebagai bentuk pertanggung-jawaban publik, terlebih di masa masyarakat yang makin kritis menilai kinerja pemerintah.
Kita mungkin sebenarnya tidak tahu pasti kapan evaluasi kebijakan itu dilakukan. Kita tahu bilamana Presiden harus menyampaikan laporan pertanggung-jawaban di depan DPR dan publik, bilamana Kepala Daerah melakukan hal yang sama di hadapan DPRD; bilamana para wakil rakyat memanggil eksekutif dalam dengar pendapat dan meminta tanggapan. Namun segala formalitas tersebut hanyalah pertanggung-jawaban politis, bukan pertanggung-jawaban keseluruhan atas sebuah kebijakan. Kita mungkin dapat mengamati adanya pengawasan yang dilakukan oleh BPKP, BPK, Irjen, dlsb; lalu apakah hal itu merupakan sebuah bentuk evaluasi atau monitoring atas implementasi kebijakan?
Lalu apa, kapan, bagaimana oleh siapa evaluasi kebijakan itu dilakukan? Apakah evaluasi kebijakan itu menilai isi/ proses kebijakannya (yang dibuat bersama para wakil rakyat; lalu siapa yang mengevaluasi wakil rakyat?), atau menilai hasil implementasinya saja (lantas apa bedanya dengan analisis implementasi yang juga mengkaji berhasil-tidaknya implementasi mencapai tujuan kebijakan?)
Secara teoritik siklus terakhir dalam proses kebijakan adalah evaluasi, yang bertujuan memberikan informasi mengenai kinerja program/ kebijakan setelah diimplementasikan. Evaluasi sangatlah penting sebagai bentuk akuntabilitas publik pemerintah atas kinerjanya. Namun melakukan evaluasi atas sebuah kebijakan yang dapat memberikan masukan bagi pemerintah/ pembuat keputusan dengan hasil yang dapat dipertanggung-jawabkan tidaklah mudah. Sebagian karena kesulitan yang bersifat instrinktif (karena sifat dampak yang berdimensi luas dan dapat menyebar), juga karena beragam kebijakan juga menuntut beragam metode pengukuran yang sesuai; serta karena kurangnya usaha yang serius untuk itu. Untuk menghasilkan studi evaluasi yang benar-benar berguna, maka memahami kriteria evaluasi yang harus dipenuhi, memahami metoda penelitian evaluasi, serta memilih metoda pengukuran yang tepat adalah syaratnya.
Evaluasi yang telah dilakukan pada kebijakan ini lebih cenderung ke jenis evaluasi sumatif, artinya evaluasi masih dilakukan sesudah program tersebut berjalan. Seyogianya, melihat cakupan JKN ini sangat luas evaluasi yang dilakukan harus bersifat formatif, sebelum kebijakan dimulai, pada tahap pengembangan dan implementasi kebijakan sehingga kebijakan JKN ini bisa lebih tepat sasaran.
Seperti yang kita ketahui juga ada tiga fungsi pembiayaan kesehatan yaitu revenue, pooling dan purchasing. Apakah dalam fungsi-fungsi tersebut sudah menerapkan Principle Agency Relationship? Dalam JKN yang berperan sebagai agency adalah BPJS yang melaksanakan fungsi fungsi pembiayaan tersebut. Contohnya dalam fungsi pooling, dalam pembiayaan kesehatan selain di BPJS pooling juga ada di Dinkes. Kenyataannya BPJS dan Dinkes masih minim dalam pemberian layanan kesehatan bidang promotif dan preventif, kondisi-kodisi seperti inilah yang mengakibatkan pembiayaan kesehatan yang tidak merata.
Oleh karena itu,hasil monitoring evaluasi program JKN perlu dijadikan bahan pertimbangan pengambilan keputusan,apakah kebijakan program JKN perlu direvisi atau diubah seluruhnya sesuai dengan hasil monev. Rekomendasi kebijakan juga perlu diperhatikan agar jika nantinya diterapkan perlu ada penguatan sistem dan dukungan dari berbagai pihak untuk melaksanakan apa yang telah diputuskan.
Bahwa dibalik banyak kepentingan politis dan kepentingan-kepentingan yang lain, ada satu hal yang belum begitu disentuh,,,atau sengaja diabaikan?
Yaitu, kesadaran masyarakat, terutama pada sasaran non PBI (mandiri)
Apakah mereka sadar bahwa hal ini penting dan harusnya jadi kebutuhan mereka
Selama mereka belum sadar dan tidak mau akan terus terjadi kebobolan pada "pool" segmen ini
Jadi hal penting yang perlu dipikirkan dan dicari solusinya adalah bagaimana menumbuhkan kesadaran dan konsistensi bahwa JKN itu penting kebutuhan mereka. Namun, di sisi lain perlu juga dipikirkan bagaimana agar JKN menjadi produk yang memang diinginkan dan dibutuhkan oleh masyarakat, terutama segmen non PBI (mandiri)
Sebagaimana kita ketahui bahwa program jaminan sosial yang diprioritaskan untuk mencakup seluruh penduduk terlebih dahulu adalah program jaminan kesehatan. Program jaminan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam UU SJSN adalah Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dilaksanakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011. Jaminan kesehatan yang dirumuskan oleh UU SJSN adalah jaminan kesehatan yang diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas. Tujuannya adalah untuk mencapai visi utama pembangunan kesehatan, yaitu terwujudnya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya agar tercipta masyarakat yang sehat dan produktif. Dalam pelaksanaannya, penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional tidak bisa dipungkiri memberikan konsekuensi pada penyiapan dan penataan beberapa aspek (subsistem) terkait, antara lain fasilitas kesehatan dan infrastruktur, pembiayaan, kelembagaan, regulasi, sumber daya, serta keterlibatan pemerintah.
Belum semua instansi dan komponen yang terkait dengan pelaksanaan JKN memiliki kesadaran penuh dan peduli terhadap pelaksanaan JKN yang lebih baik. Pemahaman kebijakan/regulasi yang belum merata, peserta JKN terdiri atas penduduk dengan latar belakang pendidikan, pekerjaan, tingkat ekonomi, akses terhadap media dan teknologi, serta geografis yang berbeda-beda. Diversifikasi tersebut membuat pemahaman tentang regulasi yang berbeda-beda sehingga akan menimbulkan ekspektasi yang berbeda pula. Peningkatan cakupan peserta JKN tidak diimbangi dengan peningkatan jumlah faskes. Dampaknya, beban kerja faskes bertambah sehingga antrian pelayanan bertambah panjang. Selain itu distribusi nakes belum merata di seluruh Indonesia, terutama daerah rural.
Memiliki sifat kepersertaan yang WAJIB untuk seluruh penduduk Indonesia. Hal ini akan membuat JKN menjadi sebuah asuransi kesehatan yang menjamin seluruh penduduk Indonesia untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Pasal 14 ayat 2 UU SJSN menyebutkan bahwa “ Penerima bantuan iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah fakir miskin dan orang tidak mampu” namun sampai saat ini belum ada ketentuan yang mengatur kategori fakir miskin, miskin, dan hampir miskin. Aturan mengani hal tersebut diperlukan karena setiap orang mempunai persepsi berbeda terhadap kategori miskin tersebut, ditambah lagi sebagian besar orang Indonesia lebih suka bertingkah “memiskinkan” diri.
Untuk mencapai target terwujudnya seluruh masyarakat Indonesia yang terjamin oleh JKN sejak tahun 2014 -2019 periode I perlu adanya monitoring dan evaluasi lanjut bagi pemerintah pusat dan daerah melihat regulasi JKN cenderung mencerminkan upaya kesehatan kuratif, karena sudah tercover asuransi, usaha penduduk Indonesia untuk melakukan upaya preventif menjadi minim. Adapun masalah-masalah pelaksanaan kebijakan JKN selama Periode I:
1. Ketersediaan sarana (rumah sakit) & SDM (dokter & dokter spesialis) kesehatan sangat berbeda antar provinsi.
2. Tidak ada sistem kendali memadai yang mengatur pengeluaran dana yang masuk ke BPJS dari berbagai sumber, terutama untuk pelayanan rujukan rumahsakit.
3. Sistem klaim pelayanan rujukan rumahsakit mendorong ketidakadilan antar provinsi dalam hal penyerapan dana.
4. Pemerintah daerah belum diajak aktif dalam investasi dana untuk kesehatan dan penyediaan dana dari pemerintah pusat tidak stabil.
5. Dana untuk pelayanan kesehatan preventif dan promotif terdesak pembayaran klaim.
Terima kasih
Terkait JKN disini, evaluasi sudah dilakukan oleh akademisi dari beberapa universitas. Para akademisi ini melakukan analisis kebijakan secara retrospektif dengan melihat fakta-fakta yang muncul sebagai akibat adanya kebijakan JKN ini. Ternyata keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang merupakan tujuan awal JKN belum tercapai. Yang ada yaitu adanya kesenjangan, dimana pada beberapa daerah masyarakat mengalami kesulitan akses terhadap pelayanan kesehatan tetapi daerah lain justru sebaliknya. Tidak ada pemerataan SDM dan fasilitas pelayanan kesehatan. Dalam hal ini, perlu dilakukan perbaikan-perbaikan, misalnya sistem pooling-nya. Antara PBI, PNS dan peserta mandiri dibuat pool masing-masing, sehingga tidak terjadi tumpang tindih, dimana yang ada saat ini adalah PBI mensubsidi peserta mandiri yang justru bukan berasal dari masyarakat tidak mampu. Dengan adanya evaluasi dan analisis ini diharapakan dapat membuat perubahan ke arah yang lebih baik, yang bisa menjadi bahan pertimbangan bagi para pembuat kebijakan untuk membuat langkah selanjutnya, agar keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia benar-benar terwujud.
mencoba berkomentar,
Dalam membahas permasalahan dalam kebijakan pelaksanaan JKN, kita harus melihat dulu prinsip dari pelaksanaan JKN tengtang tujuanya untuk mensejahterakan raktyat yang tertuang dalam UU SJSN (2014) Pasal 2 menyatakan bahwa kebijakan ini mempunyai tujuan mulia yaitu untuk meningkatkan keadilan sosial bagi rakyat Indonesia yang dituangkan dalam Universal Coverage tahun 2019. Adapun Prinsip-prinsip pelaksanaan JKN yaitu:
1. Gotong-royong: peserta yang mampu membantu yang tidak mampu, yang sehat membantu yang sakit, dan yang beresiko rendah membantu yang beresiko tinggi
2. Nirlaba: dana hasil iuran (dana amanat) digunakan sepenuhnya untuk kepentingan peserta, tidak menuntut untuk memaksimalkan surplus, hasil pengembangan dan surplus akan dikembalikan untuk kepentingan peserta.
3. Portabilitas nasional : peserta tetap mendapatkan jaminan kesehatan yang berkelanjutan meskipun peserta berpindah tempat tinggal atau tempat bekerja dalam wilayah NKRI.
4. Prinsip dasar manajemen seperti keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, efisiensi dan efektifitas.
Namun apakah dari 4 prinsip tersebut sudah terlaksana dengan apik? Atau paling gak di laksanakan dengan maksimal walaupun belum bisa mencapai target 100 % untuk menjamin kesehatan di seluruh daerah NKRI baik daerah yang maju ataupun daerah yang tertinggal?. Adanya kurangnya SDM dan fasilitas kesehatan tidak lengkap serta akses jalan yang masih terbatas pada daerah tertinggal, akankah kebijakan ini bisa efektif? Mengingat dana untuk daerah yang tertinggal itu harusnya lebih besar karena adanya SPM dari pusat. Pada daerah maju yang sudah lengkap SDM dan fasilitasnya akan menyerap dana BPJS yang lebih banyak di bandingkan daerah tertinggal. Maka apabila APBN tidak begitu kuat tidak mungkin dapat mengantisipasi semua beban.
Melihat kebijakan JKN ini cenderung mengarah ke kebijkan dengan pendekatan top-down, hal ini dilihat dari masih belum siapanya daerah untuk mengimplementasikannya dan begitu juga dengan peraturan teknis yang mendukung. Hal ini juga dapat dilihat dari kebijakan JKN yang direncanakan oleh lembaga pemerintah sebagai pemberi gagasan awal, pemerintah berperan lebih dominan dalam mengatur jalannya program, pemerintah mewajibkan semua warga Negara Indonesia untuk ikut serta di dalamnya, dan pemerintah juga menanggung biaya jaminan kesehatan (menanggung biaya peserta dari golongan PBI). Tapi pada hakekatnya implementasi suatu kebijakan itu mempunyai sifat yang dinamis. Seharusnya dalam pengananan masalah tersebut perlu adanya kalaborasi antara pendektan top-down dan bottom-up agar dapat mengurangi adanya gap antara aspirasi dan realitas menjadi relevan, serta dapat lebih menggali lagi partisipasi dari para stakeholder agar peran-peranya dalam kebijakan ini bisa seimbang. Dan untuk monitoring tidak hanya menggunakan kedua pendekatan ini tetapi bisa juga di gabungkan dengan pandangn prespektif dengan pendekatan Principle Agent Teory yang mana implementasi kebijakan kurang optimal adalah sebuah hasil pasti terjadi dari struktur institusi pemerintah modern dimana para pembuat keputussan (principals) harus mendelegasikan tanggung jawab kebijakan mereka kepada pegawai mereka dan agen- agen lain.
mengingat usia BPJS yang masih sangat belia maka usaha yang terus dilakukan oleh BPJS dalam menjamin kesehatan di indonesia harus lebih ekstra kerja keras lagi agar target 100% bisa tercapai.
selama ini, kita di pemerintahan selalu mendapat "pembinaan" dari Inspektorat, BPKP, BPK, KPK bermacam-macam lembaga pengawasan, yang menurut saya prosesnya seperti menghakimi bukan membina. Namun, saya sering berpikir, apakah mereka (lembaga pengawas) juga mengalami proses "pembinaan" yang sama seperti yang mereka lakukan pada instansi pemerintah?
Senjata ampuh BPJS Kesehatan, ketika mereka mendapat protes dan kritikan adalah "kami bertanggung jawab langsung kepada Presiden" atau "kami tidak tahu, ini adalah given dari pusat"
Wow.....superbody sekali mereka..
- Bahwa masyarakat didaerah dengan ketersediaan fasilitas kesehatan dan SDM kesehatan yang tidak memadai akan mendapatkan manfaat JKN yang jauh lebih sedikit dibanding dengan daerah yang maju/kota-kota besar.
- Dalam kondisi Indonesia yang sangat bervariasi, JKN yang mempunyai ciri yang sentralistis dalam pembiayaan dengan peraturan yang relative seragam, akan sulit mencapai tujuan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
- Ada kemungkinan dana pemerintah yang dianggarkan untuk Penerima Bantuan IUran (PBI) dapat salah sasaran. Daerah-daerah yang sulit tidak dapat menyerap anggaran untuk PBI karena kekurangan fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan, sehingga terjadi “sisa” anggaran. Dikhawatirkan itu anggaran “sisa” didaerah sulit ada kemungkinan dipergunakan untuk mendanai masyarakat didaerah maju.
Maka diperlukan perubahan kebijakan terpadu untuk menghindari kemungkinan terjadi kesenjangan yang lebih besar antar daerah barat dan timur, pemakaian dana BPJS yang cenderung didapat oleh masyarakat menengah keatas di Jawa dan kota-kota besar di Indonesia.
2. Dimulai dengan kerangka konsep pembiayaan kesehatan sebagai dasar penyusunan skenario kemungkinan dimasa mendatang dalam pelaksanaan JKN di berbagai propinsi. Kemudian baru dilanjutkan dengan penelitian monitoring kebijakan yang akan memakan waktu lama sekitar 5 tahun.
Pelaksanaan kebijakan ini antara daerah yang memiliki fasilitas pelayanan kesehatan dengan tenaga kesehatan, pelayanan dan alat yang lengkap akan berbeda penyerapan dana BPJSnya dibandingkan dengan daerah yang memiliki fasilitas pelayanan kesehatan dimana tenaga kesehatan, pelayanan kesehatan dan alat yang kurang memadai. Kesenjangan tersebut menyebabkan inequity, permasalahan inequity ini sebenarnya bisa diatasi dengan kebijakan bagi rata dana APBN untuk setiap daerah, untuk daerah dengan serapan dana BPJSnya rendah maka lebih dana tersebut di kelola oleh pemda setempat sebagai dana untuk melengkapi fasilitas pelayanan kesehatan daerahnya agar nantinya serapan pendanaan BPJS daerahnya dapat lebih meningkat. Namun dalam hal ini monitoring kebijakan tentu perlu dilakukan.
Monitoring kebijakan ini diperlukan agar kesalahan awal dapat segera diketahui dan diperbaiki sehingga mengurangi resiko yang lebih besar lagi. Monitoring juga diperlukan agar kebijakan yang sedang diimplementasikan sesuai dengan tujuan dan sasaran. Hanya saja, dengan keterbatasan sarana dan prasarana monitoring kebijakan menjadi sulit dilakukan. Kegiatan ini tentunya membutuhkan sumber daya yang cukup banyak agar dapat terealisasi. Namun tidak dapat dipungkiri bawah monitoring kebijakan sangat dibutuhkan untuk memantau kebijakan yang sedang dilaksanakan. Monitoring pelaksanaan kebijakan JKN perlu dilakukan melalui evaluasi formatif (setiap saat) dan sumatif (setiap 1 tahun). Evaluasi formatif akan bermanfaat untuk mengevaluasi proses yang sedang berjalan sehingga dapat dilakukan analisis kebijakan yang bersifat prospektif untuk perbaikan sistem yang sudah berjalan. Tentunya disisi lainnya revolusi mental menjadi solusi jangka panjang yang diperlukan dalam implementasi sistem pemerintahan Indonesia dengan tujuan menciptakan pemerintahan yang akuntabel, transparan dan kredibel. Artinya para pengambil keputusan diharapkan tidak dominan melakukan keberpihakan terhadap pihak tertentu dalam kebijakan tertentu, tetapi penyusunan kebijakan berdasarkan pada prioritas masalah dan kemaslahatan masyarakat. Sistem pendidikan dapat berkontribusi dalam menciptakan mental-mental manusia yang baik; melalui sistem pendidikan dengan muatan budi pekerti sejak dini dapat memupuk individu untuk berkomitmen terhadap “jalan lurus” dalam berkontribusi di dunia politik.
Namun, tentunya rekomendasi yang diberikan oleh peneliti tidak serta merta akan diwujudkan menjadi sebuah kebijakan baru yang akan dikeluarkan oleh pemangku kebijakan. Peneliti termasuk dlm interest group yang berusaha untuk dpt mempengaruhi kebijakan, namun perubahan kebijakan tentunya juga akan masuk dalam proses siklus kebijakan, yaitu dimulai dari penyusunan agenda, formulasi kebijakan (dimana dlm proses ini peneliti berharap agar hasil penelitiannya menjadi suatu kebijakan baru yang berbasis bukti ilmiah (evidence base), implementasi & evaluasi. Contohnya, rekomendasi kebijakan “Bagi masyarakat yang menggunakan kelas I dan VIP sebaiknya menggunakan asuransi komersial tanpa ada hubungan dengan dana BPJS”. Rekomendasi ini tentu akan membawa reaksi yang pro dan kontra dalam pemerintah, apakah rekomendasi tersebut akan disetujui atau ditolak
Pemerintah sebagai black box penentu kebijakan, akan mempertimbangkan usulan dari peneliti (input) apakah hasil penelitian bisa dijadikan solusi implementasi kebijakan. Kedekatan hubungan antara peneliti dan pengambil kebijakan akan sangat berpengaruh terhadap proses saling memahami pola pikir dan ideologisme antara kedua belah pihak. Peneliti kebijakan yang mampu menjaga hubungan baik dengan para pengambil kebijakan potensial (koalisi) , maka akan semakin mudah rekomendasi kebijakannya masuk dalam agenda dan dibahas dalam format kebijakan.
Peneliti kebijakan tentunya harus memahami model implementasi yang digunakan pemerintah. Apakah menggunakan model top down, bottom up, atau participant-agent theory. Karena pada tiap2 metode ada perbedaan dalam intervensi atau pola implementasi di lapangan. Dengan memahami metode implementasi tersebut, peneliti kebijakan bisa merumuskan rekomendasi yang tepat ,apakah dengan memodifikasi model yang sudah digunakan, atau perlu reformasi kebijakan dgn mengubah model implementasi, misal dari top-down menjadi principle-agent relationship dan mampu memberi argumentasi yang rasional agar rekomendasi dari peneliti kebijakan dapat diterima oleh pengambil kebijakan.Dalam metode top-down, kebijakan dijalankan secara terpusat, kurang efektif&efisien krn membutuhkan sumber daya yang besar dr pusat ke daerah krn membutuhkan hirarki yg panjang dlm membuat jalur koordinasi&komunikasi. Sedangkan dalam metode principle-agent relationship ditekankan adanya kontrak antara principle-agent utk memastikan tujuan principle diikuti oleh agent, memberi keleluasaan agent utk mengejar tujuan principle, tak terkekang oleh interfensi yang tidak penting dari principal.Contohnya dalam kasus ini dalam tahap awal kebijakan ada pendekatan model top-down, yaitu fokus awal kebijakan merupakan keputusan pemerintah pusat,berawal dari identifikasi masalah di tingkat atas (memenuhi amanat UUD dan pancasila, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia) hingga implementasi ke tingkat bawah. Namun jg terdapat penerapan model principle agent relationship antara Pemerintah-BPJS-Masyarakat. Dimana Pemerintah sebagai principle &BPJS sbg agent untuk memberi pendanaan pelayanan kesehatan
Penelitian kebijakan dapat membantu mendefinisikan suatu fenomena sebagai masalah yang patut mendapatkan perhatian/membawa pencerahan bagi publik melalui ide2 yang bisa mempengaruhi para pengambil kebijakan.Namun hasil penelitan untuk mjd suatu kebijakan jg tidak mudah, ada masalah politik, ideologis, ketepatan waktu penelitian dan situasi pengambilan kebijakan,dsb. Penelitian bisa memasuki wilayah kebijakan melalui argumen politik (dipengaruhi hubungan / kedekatan antara peneliti dan pemangku kebiijakan) dan penyebaran pengetahuan sehingga bisa menjembatani gap antara dua belah pihak sehingga kemungkinan rekomendasi kebijakan&tujuan dari kebijakan dpt sama-sama tercapai dengan sukses
Penelitian memberikan kontribusi tersendiri bagi proses pengambilan kebijakan, namun pada kenyataannya kemungkinan peneliti dan pengambil kebijakan berasal dari lingkungan dan latar belakang serta budaya yang berbeda memungkinkan terjadinya kesulitan-kesulitan dlam komunikasi antara keduanya, karena masih adanya perbedaan mendasar antara kebijakan masyarakat dan koalisi advokasi sehingga keduanya bersaing dalam memperebutkan kekuasaan.
Harrison (2001) mengidentifikasi sekurang-kurangnya ada tujuh kondisi yang harus dipenuhidalam melakukan penelitian dan praktek klinik termasuk kondisi-kondisi lain yang melingkupi kebijakan-kebijakan dalam sektor kesehatan:
1. Eksistensi pernyataan-pernyataan komprehensif berdasarkan tujuan sistematis mengenai bukti-bukti penelitian
2. Kemampuan untuk memahami pernyataan-peryataan tersebut diperlukan dalam menyediakan petunjuk langasung pengambil keputusan sesuai denga kondisi spesifik
3. Pengetahuan tentang pernyataan –pernyataan kebijakan yang dinilai relevan
4. Sumber-sumber yang memadai (misalnya waktu) diperlukan untuk bertindak berdasarkan pernyataan dari setiap bukti penelitian yang bisa diakui otoritasnya.
5. Insentif yang cukup untuk menerapkan bukti-bukti penelitian
6. Betapa pentingnya insentif dalam menerapkan bukti-bukti penelitian
7. Implementasi jangka pendek diperlukan untuk meyakinkan publik bahwa selalu ada implikasi dari bukti-bukti penelitian yang adapat dipertanggungjawabkan.
Kesulitan lain adalah asumsi tentang penelitian yang mendahului solusi kebijakan dan masalah yang dihadapi sebelumnya.
Banayk rintangan yang menghalangi penelitian termasuk faktor politis dan ideologis, ketidakpastian kebijakan, ketidakpastian temuan-temuan ilmiah, kegunaan penelitian dan betapa mudahnya untuk mengkomunikasikannya.
Jaminan kesehatan merupakan bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. JKN menjangkau semua penduduk, artinya seluruh penduduk, termasuk warga asing harus membayar iuran dengan prosentase atau nominal tertentu, kecuali bagi masyarakat miskin dan tidak mampu, iurannya dibayar oleh pemerintah. Peserta yang terakhir ini disebut sebagai penerima bantuan iuran (PBI). Tujuan penyelenggaraan JKN adalah menjamin peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan. (UU No. 40 Tahun 2004 Pasal 19 Ayat 2)
Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bertujuan agar semua penduduk terlindungi dalam sistem asuransi, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak, dalam rangka:
a. Memberikan kemudahan dan akses pelayanan kesehatan kepada peserta di seluruh jaringan fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
b. Mendorong peningkatan pelayanan kesehatan kepada peserta secara menyeluruh, terstandar, dengan sistem pengelolaan yang terkendali mutu dan biaya.
c. Terselenggaranya pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabel.
Apabila menilik hal diatas, maka kemudahan akses belum dapat dikatakan tercapai/ mudah karena masih belum merata di seluruh wilayah Indonesia, hanya dibeberapa pulau saja yang sudah siap, seperti pulau Jawa. Pemerataan fasilitas/ sarana prasarana pelayanan kesehatan belum tercukupi. Menurut saya, pelaksanaan JKN bisa dikatakan hanya siap di Pulau Jawa saja yang siap akan Sumber Daya Manusia dan Sarana Prasarana Fasilitas Kesehatan yang ada. Meskipun demikian, tidak perlu menyalahkan apa dan siapa yang membuat JKN ini terkesan “diPaksakan” tetapi langkah selanjutnya yang harus dilakukan mengingat JKN merupakan amanah Undang-Undang yang sekarang ini masih perlu direvisi kembali mengingat banyaknya masalah yang timbul.
Dalam pembentukan peraturan hendaknya menggunakan cara pandang konstitusional, berdasarkan Pasal 28 H ayat (3) dan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 serta merujuk pada Pasal 4 UU SJSN 2004 dan Pasal 40 tahun 2011 dan Pasal 24 tahun 2011. Harus dilakukan kajian lebih lanjut untuk merevisi regulasi turunan BPJS seperti dalam penetapan cost BPJS dan pengaturan penyaluran dana ke fasilitas kesehatan penyelenggara, jumlah tenaga kesehatan yang tersedia (dokter, perawat, administrasi rumah sakit dan lain-lain) sehingga memudahkan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan, serta fasilitas kesehatan yang dimiliki dapat menunjang pelaksanaan secara efisien dan efektif yang Goal nya adalah tercapai sesuai tujuan kebijakan yang ditetapkan.
Monitoring tidak mudah karena menurut saya dalam pelaksanaan JKN tersebut terkait berbagai elemen seperti Puskesmas BLUD, Puskesmas Non BLUD, Dokter Praktek Perorangan, Klinik Pratama dan sebagainya yang masing-masing dipastikan mempunyai permasalahan-permasalahan sendiri terkait JKN. Masalah-masalah tersebut juga dimungkinkan bervariasi, baik dari segi penerimaan, pengelolaan, dan pengelolaan dana kapitasi. Sehingga menurut saya, perlu untuk meninjau kembali dan membuat Regulasi terkait sinkronisasi pengelolaan Dana Kapitasi antara Pusat dengan Daerah sehingga mempermudah Daerah untuk pelaksanaannya dan akuntabilitasnya juga terjamin.
Mohon petunjuk. Terima Kasih
Ketika dikaji dari awal apakah kebijakan ini sudah disurvai langsung kepada penerima manfaat atau tidak?Mungkin dilakukan survai kedaerah-daerah tetapi tidak secara mendalam atau hanya diwakilkan kepada beberapa orang sehingga analisa yang dilakukan kurang mendalam, sehingga tidak ada kesepakatan yang memampukan pemerintah dalam hal ini BPJS menentukan pelayanan apa dan bagaimana yang harus disediakan kepada masyarakat. Untuk evaluasi juga dilakukan oleh OJK yaitu kaum independen yang kurang menguasai bidang atau lapangan yang akan dievaluasinya. Sehingga kedepannya perlu dilakukan monitoring (pemantauan secara terus menerus) pelaksanaan kebijakan ini yaitu apakah dengan rasionalisasi premi atau ada kebijakan subsidi silang bagi peserta mampu (misalnya hanya 20% yang ditanggung BPJS untuk pengobatan penyakit tertentu) atau dana iuran dari masyarakat di poolingkan di daerah dan diatur mekanisme penggunaannya di Pusat.
1. Apakah masyarakat di daerah dengan ketersediaan fasilitas kesehatan dan SDM dokter dan dokter spesialis yang belum memadai akan mendapatkan manfaat JKN seperti daerah lain yang lebih baik?
Ada aderah yang mendapat akses dan pelayanan secara baik namun ada juga daerah yang belum atau tidak mendapat akses dan pelayanan secara baik. Berdasarkan skenario ada kemungkinan jurang pemisah yang besar antara daerah sulit dan maju. Sebagai gambaran, antara NNT, Sulawesi Tenggara dengan DIY dan DKI terdapat jurang yang sangat besar dalam jumlah tenaga dan fasilitas kesehatan. Kesenjangan dapat membesar karena masyarakat di derah sulit dan daerah maju tidak mempunyai manfaat yang sama, walupun sama-sama menjadi anggota BPJS. Portabilitas dapat memperburuk pemerataan karena masyarakat daerah sulit yang mendapat manfaat di daerah lain cenderung adalah orang mampu.
Bila dilihat dari cakupan pelayanan kesehatan, data penyebaran dokter spesialis dan fasilitas pelayanan kesehatan menunjukkan adanya perbedaan yang sangat besar antara NTT dengan DIY yang sudah maju. Daerah yang sulit seperti NTT akan sulit menambah SDM dan fasilitas kesehatan karena anggaran Kementerian Kesehatan sedikit untuk menambah fasilitas dan tenaga kesehatan di daerah sulit. Disisi lain anggaran yang berada di BPJS tidak ditujukan untuk investasi fasilitas dan tenaga kesehatan. Sementara APBD Provinsi NTT tidak mampu untuk menambah fasilitas baru. Data jumlah rumah sakit dan jumlah tempat tidur berdasarkan data dari Ditjen BUK terlihat garis besar peyebaran jumlah rumah sakit lebih banyak terdapat dipulau Jawa dan Bali. Maka perlu adanya kebijakan di pengumpulan dana kesehatan (Revenue Collection) dengan cara meningkatkan dana untuk program kesehatan dari APBN dan ABPD serta masyarakat agar peningkatan dana ini berwujud anggaran investasi dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang mampu untuk memperluas akses terhadap pelayanan kesehatan dan pemenuhan cakupan tenaga kesehatan khususnya diderah sulit.
2. JKN yang mempunyai ciri sentralistis dengan peraturan yang relatif seragam tidak dapat mencapai tujuan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia karena akan terjadi gap yang besar antara daerah yang sulit dengan daerah yang maju. Pembayaran BPJS ke daerah sulit seperti NTT mempunyai keterbatasan pembayaran karena :
a. Benefit Package terbatas karena keterbatasan jumlah dan jenis SDM kesehatan.
b. Penetapan tarif di RS kelas C akan cenderung rendah.
c. Demografi dan geografis yang menyulitkn akses penduduk ke RS.
d. Ketidakmampuan melakukan klaim secara administratif.
Berbeda dengan daerah maju yang mempunya jumlah penduduk banyak dan padat, SDM Kesehatan lengkap, fasilitas pelayanan kesehatan yang baik, dan kemampuan melakukan klaim dengan baik, maka akan memperoleh dana BPJS yang besar. Keadaan ini diperburuk dengan situasi dimana di daerah tersebut terjadi tindakan fraud di pelayanan kesehatan yang dapat meningkatkan klaim BPJS.
Kebijakan JKN dalam pelaksanaanya tidak sesuai dengan UUD 1945, maka perlu diajukan untuk perbaikan kebijakan.
3. Dana pemerintah yang dianggarkan untuk Penerima Bantuan Iuran (PBI) tidak dapat mencapai sasarannya, hal tersebut dapat dilihat dari :
Dalam dua tahun perjalanan JKN, kelompok-kelompok anggota BPJS Kesehatan ternyata berbeda karakteristiknya. Klaim rasio kelompok PBI ada di bawah 100 persen untuk sekitar 90 juta orang. Penggunaan pelayanan kesehatan kelompok PBI yang miskin masih rendah. Sementara kelompok PBPU yang relatif tidak miskin dengan tiga pilihan premi (kelas I, II, III) mempunyai penggunaan yang tinggi. Dibandingkan PBI, jumlah kelompok ini rendah, sekitar 13 juta, tetapi rasio klaimnya jauh lebih tinggi. Pada November 2014 pernah sampai 1.300 persen dan saat ini diperkirakan 400-500 persen.
Karena sifat single pool BPJS, dalam dua tahun terakhir ini diduga keras ada fenomena subsidi salah sasaran. Dana PBI yang seharusnya untuk masyarakat miskin terpakai untuk kelompok non-PBI. Penelitian FK-UGM di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 2014 dan 2015 menemukan dana PBI yang tidak habis terpakai karena keterbatasan akses ke pelayanan rumah sakit. Dana PBI yang tidak terpakai di NTT ini tetap berada di kantor pusat BPJS Kesehatan. Ada kemungkinan dana itu digunakan di daerah lain oleh kelompok yang kekurangan.
Dalam hal ini harus ada kebijakan yang dapat mengevaluasi secara independen.
Pelaksanaan BPJS merupakan kebijakan top-down : implementasi kebijakan yang dilakukan tersentralisir dan dimulai dari aktor tingkat pusat dan keputusannnya pun diambil dari tingkat pusat. Pendekatan ini bertitik tolak dari perspektif keputusan politik (kebijakan) yang ditetapkan oleh pembuat kebijakan harus dilaksanakan oleh administrator atau birokrat level bawahnya. BPJS merupakan lembaga negara yang sifatnya terpusat baik secara organisasi maupun regulasi sehingga semua keputusan atau peraturan yang ada di BPJS pusat berlaku untuk seluruh kantor BPJS yang ada di seluruh Indonesia.
Pemerintah sebagai regulator (principle) memberikan wewenang kepada BPJS Kesehatan sebagai badan penyelenggara (agency). BPJS sebagai agen yang akan memfasilitasi masyarakat dalam pemanfaatan JKN. Monitoring dan evaluasi harus dilaksanakan untuk mengetahui sejauh mana implementasi kebijakan tersebut.
Penelitian kebijakan JKN diatas merupakan proses analisis kebijakan, yakni kajian yang menggunakan teknik analisis, riset, dan advokasi dalam pendefinisian problem sampai implementasinya. Atau dengan kata lain, kategori pertama menganalisis untuk tujuan deskripsi dan eksplanasi proses kebijakan, sedang yang kedua analisis untuk tujuan penilaian secara analitis terhadap proses kebijakan (dan jika memugkinkan bersifat presriptif bagi kasus yang di riset).
Kasus diatas merupakan Evaluasi sumatif dilaksanakan untuk menentukan sejauh mana sesuatu program BPJS mempunyai nilai kemanfaatan dalam memberikan pelayanan kesehatan, terutama jika dibandingkan dengan pelaksanaan program-program yang lain.
Analisis kebijakan yang digunakan :
Analisis kebijakan prospektif adalah analisis kebijakan yang mengarahkan kajiannya pada konsekuensi-konsekuensi kebijakan sebelum suatu kebijakan diterapkan. Model ini dapat disebut sebagai model prediktif. Dalam penelitian dapat dilihat pada hal-hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah untuk menjamin penyebaran SDM dokter spesialis dan ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan yang merata diseluruh Indonesia.
Analisis kebijakan retrospektif adalah analisis kebijakan yang dilakukan terhadap akibat-akibat kebijakan setelah suatu kebijakan diimplementasikan. Model ini biasanya disebut sebagai model evaluatif. Dalam penelitian adanya evaluasi yang melihat jumlah serapan dan penggunaan dana PBI.
Evaluasi dari pelaksanaan program JKN sangat bermanfaat sebagai bahan untuk merevisi kebijakan yang sudah berjalan atau sebagai dasar untuk pembuatan kebijakan baru. Dengan tujuan untuk diimplementasikan secara berkelanjutan.
Kebijakan JKN merupakan kebijakan yang bersifat top-down. Artinya kebijakan disusun oleh Pemerintah dan dilaksanakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Tentunya pada setiap kebijakan baik bersifat top-down maupun yang bersifat buttom-up ada kelebihan dan kelemahan. Namun untuk kebijakan yang sifatnya sangat strategis seperti JKN pemerintah menimbang bahwa kebijakan ini harus segera diterapkan. Apabila pemerintah harus menunggu masukan dari bawah (buttom-up), pemerintah memerlukan waktu yang relatif lama untuk membuat kebijakan JKN ini. Karena implementasi suatu kebijakan itu bersifat dinamis, maka perlu juga ada kolaborasi dengan metode bottom-up terutama agar lebih menggali aspek partisipatif dari masyarakat. JKN memiliki ciri sentralistis dalam aspek pembiayaan dengan peraturan, padahal Indonesia memiliki banyak keberagaman. Hal ini memperlihatkan bahwa JKN kurang memberikan keleluasaan untuk pelaksana terutama pelaksana ditingkat bawah untuk merubah kebijakan, sehingga pendekatan bottom-up tidak terlihat dalam kebijakan JKN ini.
Pandangan yang dari proses kebijakan ini juga merupakan proses yang rasional, berawal dari identifikasi masalah di tingkat atas hingga implementasi di tingkat bawah. Kemudian dalam pelaksanaannya lebih lanjut, pendekatan Principle-agent theory digunakan utamanya melalui penunjukkan BPJS sebagai agent dan pemerintah bertindak sebagai principles. Principal dan agent ini memiliki interest dan kepentingannya masing-masing. Yang kita ketahui hanya pemerintah yang mampu menyusun regulasi terkait layanan, sehingga principal wajib melakukan monitoring dan evaluasi pada agent yang telah diberi amanat.
Monitoring menyediakan data dasar untuk menjawab permasalahan sementara evaluasi memposisikan data-data tersebut agar dapat digunakan. Dalam pelaksanaanya ada dua pendekatan yang bisa dilakukan, yakni pendekatan formatif dan pendekatan sumatif. Evaluasi yang telah dilakukan pada kebijakan ini lebih cenderung ke jenis evaluasi sumatif, artinya evaluasi masih dilakukan sesudah program tersebut berjalan. Cakupan JKN ini sangat luas evaluasi yang dilakukan harus bersifat formatif, sebelum kebijakan dimulai, pada tahap pengembangan dan implementasi kebijakan sehingga kebijakan JKN ini bisa lebih tepat sasaran.
monitoring kebijakan merupakan hal yang tidak mudah dilakukan. Masih adanya unsur politik dalam proses pelaksanaannya, sulitnya akses lokasi, membutuhkan biaya yang besar, adanya keterbatasan akses data oleh publik terhadap pelaksanaan JKN ini sehingga sulit untuk di monitoring pelaksanaannya. Hasil monitoring evaluasi bisa dijadikan bahan pertimbangan untuk pengambilan keputusan apakah kebijakan tersebut direvisi atau diubah seluruhnya. Rekomendasi kebijakan yang dihasilkan juga harus diperhatikan apakah nantinya bisa dijadikan kebijakan yang akan diterapkan selanjutnya.
Kasus pekan ke empat ini merupakan evaluasi kebijakan yang sumatif karena dari gambaran penelitian dalam kasus minggu 4 dirancang untuk mereduksi keputusan pelaksanaan JKN sehingga relevan dalam implementasinya terutama dalam keseimbangan biaya dan keuntungan baik di kelompok propinsi yang sudah maju maupun bagi kelompok propinsi yang belum maju.
Analisis kebijakan yang digunakan adalah analysis for policy yang cenderung prospektif dan juga analysis of policy yang cenderung retrosprektif, terlihat dari evaluasi yang dilakukan bukan hanya melihat penyerapan dan penggunaan biaya PBI (retrospektif) namun juga hal-hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah untuk menjamin ketersedian fasilitias kesehatan dan penyebaran dokter spesialis yang merata serta berpikir bagaimana agar dana yang diserap lebih optimal yang diharapkan bisa direalisasikan (prospektif). Sehingga hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan untuk membuat kebijakan baru yang mencakup informasi untuk formulasi kebijakan yang akan datang dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia mampu diwujudkan dari Sabang sampai Merauke.
Dengan kejadian kerugian yang diderita BPJS saat ini maka perlu dilihat lagi fakta di lapangan yang tidak sesuai dengan format kebijakan yang dibuat seharusnya, seperti penyerapan dana BPJS yang fokusnya bukan pada subsidi silang antara yang risiko sakitnya rendah ke tinggi, tetapi masih pada yang bayar ke yang punya sakit padahal biaya besar justru pada penyakit tidak menular yang banyak diderita oleh orang ekonomi atas, dan terjadi adverse selection pada siapa yang membayar dan mendaftar BPJS. Sehingga perlu dilakukan perubahan strategi kebijakan yang lebih berani dan tegas dari pemerintah selaku principal/provider program dan juga monitoring dan evaluasi perlu menunjuk orang-orang khusus dan kompeten yang memang akan fokus pada tugas itu. Mengingat ini dampaknya begitu besar bagi bangsa, sudah bukan lagi masalah sehat tidak sehat tapi tentang keuangan negara yang tentunya berpengaruh ke segala aspek kehidupan masyarakat, maka memang perlu serius dalam hal monev dan implementasi nantinya.
Sejak lahirnya undang-undang yang menetapkan BPJS sebagai penyelenggara jaminan kesehatan secara nasional, maka setiap jaminan kesehatan yang diselenggarakan daerah harus terintegrasi secara nasional. Karena jika tidak, setiap pemerintah daerah harus membuat badan sendiri.
Perlu diketahui bahwa dalam penyusunan JKN kurang melibatkan peneliti, akademisi dan kurangnya naskah akademik untuk menunjang kebijakan. Karena sudah disahkan dan berlaku, kebijakan ini harus dilakukan oleh karena itu perlu evaluasi baik tahuanan atau sewaktu waktu untuk memperbaiki teknis dari pelaksanaan kebijakan ini. Telah banyak penelitian yang dilakukan untuk mengevaluasi efektifitas kebijakan ini salah satunya yang dilakukan oleh UGM. Seperti yang kita ketahui banyak sekali permasalahan yang ada dalam pelaksanaan JKN mulai dari akses, kualitas, sampai pembiayaan. Ketiga hal tersebut yang menjadi inti dari sebuah pelayanan kesehatan masih belum bisa berjalan maksimal saat ini. Kelemahan itu dapat diketahui dari penelitian kebijakan.
Perlu adanya hubungan baik antara peneliti kebijakan dengan pembuat kebijakan untuk merumuskan strategi yang terbaik untuk memastikan keberhasilan implementasi kebijakan. Hasil penelitian dapat menjadi dasar pengambilan keputusan untuk kebijakan berikutnya serta teknis implementasi kebijakan. Tapi penelitian ini sia sia apabila tidak digunakan sebagai dasar perumusan strategi kebijakan berikutnya. Karena pada dasarnya peneliti bersifat netral maka seharusnya memang pembuat kebijakan mempercayakan perbaikan pada peneliti kebijakan. Semoga upaya perbaikan JKN akan terus berjalan demi indonesia sehat.
Monitoring menyediakan data dasar untuk menjawab permasalahan sementara evaluasi memposisikan data-data tersebut agar dapat digunakan. Dalam pelaksanaanya ada dua pendekatan yang bisa dilakukan, yakni pendekatan formatif dan pendekatan sumatif. Kebijakan JKN mempunyai tujuan yang terkait keadilan kesehatan. UU SJSN (2004) Pasal 2 menyatakan bahwa kebijakan ini mempunyai tujuan untuk meningkatkan keadilan sosial bagi rakyat Indonesia. Dengan demikian prinsip keadilan harus dipergunakan dalam kebijakan JKN dan harapannya dengan adanya JKN ini akanmeningkatkan jumlah fasilitas dan SDM Kesehatan secara merata di Indonesia.Namun pada kenyataannya masih banyak masalah-masalah yang terjadi dalam pelaksanaan JKN, sehingga dikhawatirkan sampai tahun 2019 Indonesia tidak dapat mencapai Universal Coverage, karena masih banyaknya permasalahan ketidakmerataan sumber daya manusia kesehatan khususnya tenaga dokter di faskes tingkat pertama dan dokter spesialis di faskes lanjutan. Masih minimnya dana investasi yang diberikan pemerintah untuk penyeimbangan faskes dan SDM. Oleh karena itu diperlukannya kebijakan yang mengatur masalah pendanaan mengenai besarnya premi, penyaluran dana dan pemisahan pengelolaan dana antara PBI dan Non PBI serta pencegahan dan penindakan fraud dalam jaminan kesehatan yang telah merugikan Negara.
Sejak 1 Januari 2014, Indonesia mengalami tranformasi sistem pembiayaan kesehatan dengan diberlakukannya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kesehatan (BPJS) Kesehatan. Pada tahun 2019, BPJS kesehatan menargetkan seluruh penduduk Indonesia yang berjumlah 250 juta jiwa telah tercover oleh program jaminan kesehatan ini. Dalam UU BPJS nomor 24 tahun 2014 pada pasal 2 dikatakan bahwa BPJS menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional berdasarkan asas kemanusiaan, manfaat dan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia. Namun, sampai saat ini masih belum bisa terpenuhi, dimana masih terdapat kesenjangan antara wilayah barat dan wilayah timur Indonesia. Ketersediaan tenaga, alat dan fasilitas kesehatan lebih cenderung berpusat di ibukota dan sekitarnya, sementara untuk bagian timur boleh dikatakan hanya mendapat “sisa”nya. Iuran PBI dan non PBI tetap dibayar, namun tidak ditunjang dengan faskes, alat dan tenaga kesehatan yang memadai. Dalam penelitian yang dilakukan UGM dan 10 PT bahkan dikatakan bahwa terlihat ada kemungkinan dana PBI di daerah yang buruk seperti NTT tidak terserap seluruhnya karena kekurangan tenaga medik dan keterbatasan akses terhadap pelayanan kesehatan. Sementara itu di daerah maju akan terserap untuk keperluan peserta PBI, non PBI dan non PBI Mandiri yang mengalami adverse selection. Ada kemungkinan terjadi gotong royong terbalik dimana dana "tidak terserap" di NTT akan dipergunakan untuk menutup biaya di daerah lain.
2. Penelitian monitoring kebijakan merupakan hal yang tidak mudah dilakukan
Menurut saya monitoring merupakan hal yang mudah dilakukan. Monitoring kebijakan dilakukan agar mengetahui sejauh mana kebijakan yang telah dibuat berdampak bagi orang banyak. Jika hasil yang ditemukan tidak sesuai dengan yang diharapkan, sesegera mungkin kebijakan tersebut dianalisis dan diperbaiki demi kepentingan semua pihak. Bukan hanya penentu dan pembuat kebijakan, tapi juga untuk seluruh masyarakat.
Seiring dengan dimulainya JKN per 1 Januari 2014, semua program jaminan kesehatan yang telah dilaksanakan pemerintah tersebut (Askes PNS, JPK Jamsostek, TNI, Polri, dan Jamkesmas), diintegrasikan ke dalam satu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan). Sama halnya dengan program Jamkesmas, pemerintah bertanggungjawab untuk membayarkan iuran JKN bagi fakir miskin dan orang yang tidak mampu yang terdaftar sebagai peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI).
Dalam penetapan kebijakan JKN ini diperlukan suatu pemahaman dan kesepakatan atas tujuan bersama semua stakeholder yang terkait, jika diamati proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan JKN ini masih sangat kurang dan terkesan terburu-buru. Pada proses pelaksanaannya, kebijakan JKN yang ada di Indonesia bersifat Top-down. Artinya kebijakan dibuat pada tingkat yang lebih tinggi. sistemnya secara general dan pelaksanaan dikelola oleh pusat. pada kenyataannya proses pelayanan kesehatan masih belum sesuai dengan apa yang diharapkan. Proses monitoring nya pun juga masih menemui kesulitan, mulai dari sarana prasarana yaitu kurangnya pemerataan fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan serta masih banyaknya masyarakat yg belum menjadi anggota JKN.
Evaluasi formatif perlu dilakukan pada tahap pelaksanaan program dengan tujuan memperbaiki program yang sedang berjalan serta evaluasi sumatif juga perlu dilakukan agar program yang telah dilakukan berjalan sesuai yang diharapkan. Jika menganalisa kebijakan JKN secara retrospektif, kebijakan JKN belum memperlihatkan adanya pemerataan, terutama dalam hal pemerataan pembangunan sarana kesehatan (RS, PKM, PUSTU), penyebaran tenaga kesehatan yang masih berpusat di perkotaan serta sarana dan prasarana pendukungnya. Sedangkan dari aspek prospektif, JKN belum memperlihatkan hasil yang memuaskan, dilihat dari masih adanya masyarakat yang belum tercover oleh JKN serta informasi tentang JKN yang masih kurang. Melihat kondisi ini, hubungannya dengan peneliti kebijakan (peneliti, perguruan tinggi, LSM, tokoh masyarakat) perlu dilakukan untuk melihat aspek-aspek yang bisa memperbaiki system kebijakan kesehatan yang ada. Melihat kondisi jaminan kesehatan yang sekarang, Strategi Perubahan Kebijakan yang perlu dilakukan, dengan penambahan jumlah RS dan fasilitas kesehatan lainnya yang ada di daerah-daerah, pemerataan penempatan tenaga kesehatan terutama dokter serta adanya insentif untuk tenaga kesehatan yang ada didaerah.
Sistem jaminan ini telah didukung dengan banyak kebijakan/regulasi yang memastikan jalannya Jaminan Kesehatan Nasional dapat berjalan dengan baik. Sejumlah kebijakan tersebut diantaranya, Undang-undang sebanyak 3 kebijakan, 1 kebijakn Peraturan Pemerintah, 8 kebijakan Peraturan Presiden, 4 kebijakan Peraturan Menteri Kesehatan, 4 kebijakan berupa Keputusan Menteri Kesehatan, 3 kebijakan berupa Surat Edaran Menteri, dan 3 kebijakan berupa peraturan BPJS, diantaranya :
(sumber: http://www.manajemenpembiayaankesehatan.net/index.php/usingjoomla/extensions/components/content component/articlecategories/1156regulasi jkn)
Undang-Undang
• UU No. 40 Th 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
• UU No. 36 Th 2009 Tentang Kesehatan
• UU No. 24 Th 2011 Tentang Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial
Peraturan Pemerintah
• PP No. 101 Th 2012 Tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan
Peraturan Presiden
• PERPRES No. 32 Th 2014 Tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama milik Pemerintah Daerah
• PERPRES No. 105 Th 2013 Tentang Pemeliharaan Kesehatan Menteri dan Pejabat Tertentu
• PERPRES No. 106 Th 2013 Tentang Pemeliharaan Kesehatan Anggota DPR, DPD, MK, Hakim MA
• PERPRES No. 107 Th 2013 Tentang YANKES Tertentu Berkaitan Dengan KEMHAN, TNI, Kepolisian
• PERPRES No. 108 Th 2013 Tentang Bentuk dan Isi Laporan Pengelolaan Program JAMSOS
• PERPRES No. 109 Th 2013 Tentang Penahapan Kepesertaan Program JAMSOS
• PERPRES No. 110 Th 2013 Tentang Gaji Upah Manfaat DEWAS dan Direksi BPJS
• PERPRES No. 111 Th 2013 Tentang Perubahan Atas PERPRES No. 12 Th 2013 Tentang JAMKES
Peraturan Menteri Kesehatan
• PMK No. 19 th 2014 Penggunaan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional untuk Jasa Pelayanan Kesehatan dan Dukungan Biaya operasional Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama milik Pemerintah Daerah
• PMK No. 001 Tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan
• PMK No. 69 th 2013 Tentang Tarif Pelayanan Kesehatan Program Jaminan Kesehatan
• PMK No. 71 th 2013 Tentang Pelayanan Kesehatan Pada JKN
Keputusan Menteri Kesehatan
• KMK No. 046 Th 2014 Tentang TIM Monitoring dan Evaluasi Penyelelnggaraan JKN
• KMK No. 326 Th 2013 Tentang Penyiapan Penyelenggaraan JKN
• KMK No. 328 Th 2013 Tentang Formularium Nasional
• KMK No. 455 Th 2013 Tentang Asosiasi Fasilitas Kesehatan
Surat Edaran
• SE No. 900/2280/SJ MENDAGRI DANA KAPITASI JKN
• SE No. HK_MENKES_32_1_2014 Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan Bagi Peserta BPJS Kesehatan
• SE No. HK_MENKES_31_1_2014 Pelaksanaan Standar Tarif Pelayanan Kesehatan di JKN
Peraturan BPJS
• Peraturan BPJS Kesehatan No. 2 Th 2014 Tentang Unit Pengendali
• Peraturan BPJS Kesehatan No. 1 Th 2014 Tentang Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan
• Panduan Praktis Admininstrasi Klaim Faskes BPJS Kesehatan
Kebijakan-kebijakan tersebut dapat saja disusun melalui pendekatan-pendekatan top-down, bottom-up, dan juga priciple agent theory, peran utama dari elit politik, koalisi advokasi dan penguasalah yang dapat mengarahkan penyusunan suatu kebijakan itu apakah disusun dengan ideal. Jadi sebenarnya rakyat sangat berharap kolaborasi dari tokoh-tokoh tersebut dapat menciptakan sebuah kebijakan yang baik untuk kehidupannya.
Menurut saya penyusunan suatu kebijakan dengan menggunakan berbagai pendekatan yang ada tidak lebih penting dari pada isi kebijakan yang disusun, di mana saya yakin jika sebuah kebijakan yang diatur pemerintah dapat diterima seluruh rakyatnya maka implementasi kebijakan itu akan mudah dijalankan. Dan setelah sebuah kebijakan yang berpihak pada kepentingan rakyat tersebut ditetapkan, perlu diadakan monitoring dan evaluasi yang berkesinambungan agar hal-hal yang berkaitan dengan kebaikan dari kebijakan tersebut dapat terus dipertahankan dan temuan-temuan hal-hal negatif dari implementasi kebijakan tersebut dapat menjadi masukan untuk dilakukan perbaikan di masa mendatang. Atau bahkan akhirnya dalam sebuah monev yang berkesinambungan tersebut akhirnya menemukan ada beberapa pihak yang tidak mendukung implementasi kebijakan tersebut. Jika hal ini yang terjadi maka sudah barang tentu berkali-kali pun dilakukan revisi/perubahan isi sebuah kebijakan, maka kemungkinan besar implementasi kebijakan versi revisi tersebut juga akan menghadapi kendala.
Beberapa kebijakan di pemerintahan kita yang mengatur tentang pembangunan telah mengarahkan pada penggunaan ketiga pendekatan implementasi kebijakan ini. Salah satu contohnya, dalam Permendagri 54 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tatacara Penyusunan, Pengendalian, dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah “Pasal 6 Perencanaan pembangunan daerah menggunakan pendekatan: a. teknokratis; b. partisipatif; c. politis; dan d. top-down dan bottom-up”.
Menurut saya penyusunan suatu kebijakan dengan menggunakan berbagai pendekatan yang ada tidak lebih penting dari pada isi kebijakan yang disusun, di mana saya yakin jika sebuah kebijakan yang diatur pemerintah dapat diterima seluruh rakyatnya maka implementasi kebijakan itu akan mudah dijalankan. Dan setelah sebuah kebijakan yang berpihak pada kepentingan rakyat tersebut ditetapkan, perlu diadakan monitoring dan evaluasi yang berkesinambungan agar hal-hal yang berkaitan dengan kebaikan dari kebijakan tersebut dapat terus dipertahankan dan temuan-temuan hal-hal negatif dari implementasi kebijakan tersebut dapat menjadi masukan untuk dilakukan perbaikan di masa mendatang. Atau bahkan akhirnya dalam sebuah monev yang berkesinambungan tersebut akhirnya menemukan ada beberapa pihak yang tidak mendukung implementasi kebijakan tersebut. Jika hal ini yang terjadi maka sudah barang tentu berkali-kali pun dilakukan revisi/perubahan isi sebuah kebijakan, maka kemungkinan besar implementasi kebijakan versi revisi tersebut juga akan menghadapi kendala.
Harapan bangsa ini adalah implementasi JKN akan sukses di masa mendatang, dan segala kendala yang muncul dari awal pelaksanaannya dapat dicarikan solusi yang tepat melalui penelitian dari ahli-ahli penjaminan biaya kesehatan yang ada. Kondisi ideal yang dapat saya gambarkan pada masa itu nantinya, akan tergambar orang-orang sehat dan yang mau terus berusaha sehat yang jumlahnya lebih besar dari jumlah orang sakit/beresiko sakit, secara bersama-sama/menyeluruh bergotong royong melakukan usaha menabungkan uang mereka di BPJS untuk membiayai pengobatan sebagian kecil anggota yang sakit. Karena jumlah orang sehat yang banyak itulah semoga berdasarkan hitungan matematis yang baik, jumlah dana yang tersedia akan terus bertambah dan berkurang dalam proporsi yang seimbang (dana amanat). Jika hal ini berhasil, maka akan menjadi sebuah penanda/tantangan dan hambatan bagi bisnis asuransi kesehatan yang asas kegiatan sosialnya dilandasi oleh kepentingan profit oriented.
JKN di Indonesia dimulai sejak 1 Januari tahun 2014. JKN mempunyai tujuan yang mulia sesuai dengan bunyi sila kelima Pancasila yang merupakan ideologi daripada NKRI, yaitu menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan tujuan mulia ini, JKN diharapkan mampu memberikan pelayanan kesehatan yang adil dan merata sehingga masyarakat Indonesia dapat hidup makmur dan sejahtera. Namun, dalam pengimplementasiannya selama dua tahun ini menunjukkan kearah kegagalan implementasi, di mana implementasinya tidak sesuai dengan harapan dan tujuan terbentuknya kebijkan JKN. Ibaratnya seorang bayi yang dilahirkan prematur, JKN lahir dengan keadaan yang dipaksakan dan belum memiliki kesiapan dalam pengimplementasiannya. Sejak formulasi kebijakan sampai pada eksekusi kebijakan tidak menunjukkan adanya ketegasan dan kesiapan teknis, administrasi serta manajerial yang baik. Dari segi formulasi kebijakan telah kita bahas dalam minggu pertama, di mana JKN terkesan dipaksakan dan tidak terlalu melibatkan stakeholder teknis seperti IDI, PERSI, dan pihak akademisi dan pada aspek teknisnya terlihat kurang dipersiapkan dengan evidence yang tidak jelas. Dan saat ini setelah kebijakan dilaksanakan terlihat bahwa apa yang telah diformulasikan itu tidak sesuai harapan atau dengan kata lain telah gagal. Untuk memperbaiki itu semua, maka dibuatlah beberapa rekomendasi kebijakan seperti memperhatikan aspek preventif dan promotif secara lebih kuat, dan memperbaiki berbagai kebijakan di JKN dari tahap revenue collection, pooling the risk, pembatasan benefit package serta sistem pencegahan dan penindakan fraud dalam jaminan kesehatan. Dengan adanya rekomendasi kebijakan ini diharapkan pemerintah dapat mempertimbangkannya demi memperbaiki kebijakan JKN dan apa yang menjadi tujuan mulia dibentuknya JKN ini dapat tercapai dengan baik.
Namun, yang menjadi tantangan adalah monitoring, evaluasi dan analisis kebijakan tidak mudah untuk dilakukan. Analisis kebijakan memerlukan data-data yang akurat, seperti dokumen-dokumen kebijakan dan informasi dari masyarakat yang tentu tidak mudah untuk didapatkan. Membutuhkan perhatian, kreativitas, keuletan dan akses para analis kebijakan agar dapat melakukan analisis dengan baik.
Terima Kasih
Last but not least....
JKN adalah salah satu contoh produk kebijakan yang sifatnya top down. Meski JKN dirancang dengan tujuan mulia untuk memperbaiki akses masyarakat ke layanan kesehatan guna meningkatkan status kesehatan masyarakat. Namun pemberlakuannya pada tanggal 1 Januari 2014 seakan-akan tanpa sebuah analisis prospektif. Apakah JKN merupakan kebutuhan masyarakat atau bukan. Bahkan tanpa mempertimbangkan kesiapan masyarakat untuk menerima JKN. Hal lain yang tidak pula dipertimbangkan adalah kesiapan sumber daya kesehatan mulai dari level terendah hingga yang tertinggi. Terlebih lagi Indonesia menerapkan sistem desentralisasi pemerintahan Akibatnya hingga masuk tahun ketiga, banyak permasalahan yang muncul dalam implementasi JKN. Berbagai macam upaya telah banyak dilakukan, tapi seakan-akan bukanlah sebuah solusi yang diharapkan. Apakah solusi yang yang ada sudah merupakan jawaban penyelesaian dari penyebab masalah, atau justru akan memperbesar masalah. Ini adalah sebuah tantangan.
Kalau Negara lain bisa, kenapa Indonesia tidak??
Dan….apakah kita hanya cukup diam dan berpangku tangan?
Sehingga perlu mengidentifikasi adanya gap antara implementasi JKN yang ideal dengan implementasi di lapangan, mengevaluasi hasilnya, untuk dapat memunculkan alternatif pemecahan masalah sebagai sebuah solusi untuk keberlangsungan kebijakan JKN.
Salah satunya dengan melakukan penelitian kebijakan JKN, seperti yang telah dipaparkan dalam kasus minggu 4. Tujuan proses penelitian JKN adalah untuk mendukung kebijakan dengan melakukan analisis terhadap masalah terkait implementasi JKN yang bersifat fundamental untuk membantu pengambil kebijakan memecahkannya dengan menyediakan rekomendasi yang berorientasi pada tindakan atau tingkah laku pragmatik. Dimana dalam penelitian JKN tersebut, mencakup pula sebuah proses evaluasi formatif yang dilakukan proses implementasi kebijakan JKN sedang berlangsung Hal yang ingin digali dalam evaluasi ini adalaah seberapa jauh sebuah JKN telah diimplementasikan dan kondisi apa yang dapat diupayakan untuk meningkatkan keberhasilannya. Bisa dikatakan evaluasi formatif tersebut merupakan monitoring terhadap pengaplikasian kebijakan JKN.
Jadi…
Penelitian kebijakan JKN menjadi sebuah hal penting sebagai bentuk monitoring independen atas implementasi JKN. Karena outputnya memaparkan realitas dan tantangan yang dihadapi JKN serta rekomendasi akademis yang tentunya dapat menjadikan bahan pertimbangan dan pemikiran bagi pengambil kebijakan untuk menentukan langkah selanjutnya untuk keberlangsungan JKN.