Di akhir pembahasan ada pernyataan mengenai masalah kebijakan. Masalah-masalah kebijakan yang ada dalam kasus ini dapat dikelompokkan menjadi:
- Pelaksanaan Kebijakan mempunyai kemungkinan menghasilkan keadaan yang tidak sesuai dengan tujuan kebijakan ditetapkan.
- Penelitian monitoring kebijakan merupakan hal yang tidak mudah dilakukan.
Silahkan anda memberi komentar, atau tambahan untuk masalah kebijakan yang ada di balik Kasus tersebut.
Comments
1. Kondisi daerah : Distribusi fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan yang tidak merata sehingga utilisasi pelayanan pada awal 2014 terbilang rendah pada FKTP
2. Penyerapan dana : Rendahnya utilisasi pelayanan pada daerah yg tidak mempunyai fasilitas kesehatan yg lengkap dan ketidaktersediaan petugas kesehatan membuat dana PBI yang tersedia untuk daerah tersebut menjadi tidak terserap yg kemudian akan digunakan oleh daerah yg mempunyai fasilitas kesehatan yang lebih baik dan mempunyai petugas kesehatan.
3. Kondisi peserta PBI : Masalahnya ada di eks peserta dari kategori penerima rekomendasi sosial yang terdiri dari gelandangan, orang terlantar dan gangguan jiwa yang tidak tercover kedalam PBI Jaminan kesehatan. misalnya yang membuat pasien miskin yang berada di RS.jiwa kehilangan kepesertaan.
terima kasih
a. Kepesertaan
Untuk masyarakat miskin tidak tercover karena alasan ; indikator BPS dan tidak sama kemudian masih ada bebrapa Bupati tidak mau sebut bila masyarakatnya miskin.
b. Fasilitas pelayanan
didaerah masih banyak sedikit puskesmas ,tenaga dokter tidak ada bagaimana mau memberikan layanan primer yang baik belum lagi laboratorium ,obat dll.
c Organisasi / kelembagaan
Pemahaman kooedinasi anatara pemerintah daerah dan pusat atau BPJS denagan fasilitas pelayanan seharusnya mengacu pada Sistem Kesehatan Nasional.
d.Pembiayaan:
Masih banyak yang nunggak tidak membayar berpengaruh terhapap managerial BPJS.
eSistem pelayanan belum terintergrasi di pusat sudah lengkap didaerah tidak memenuhi kebutuhan masyarakat manakala masyarakat sakit dalam 24 jam seyogyanya jaminan kesehatanya pun 24 jam artinya integrasi dan interkonesi ,selektifitas daerah di utamakan demi tercapainya pilar kesehatan masyarakat
SDM kesehatan yang tidak memadai diberbagai daerah, misalnya itu di DIY kita bisa dengan mudah mendapatkan Dokter Spesialis, lalu bagaimana dengan daerah-daerah yang terpencil, yang terbelakang seperti NTT, Sulawesi Tenggara jangankan untuk mendapatkan dokter spesialis, dokter umum saja sulit didapatkan, belum lagi jika ada pasien yang harus dilakukan tindakan operasi, misal Caesar, mau dirujuk kemana jika fasilitas dan dokternya tidak ada.
Dari kondisi yang bervariasi di Indonesia Ini apakah sudah tepat jika sistem JKN ini untuk diterapkan di semua daerah dalam pembiayaan dengan menggunakan peraturan yang sama, karena daerah yang maju akan semakin maju dan daerah yang terpencil akan semakin jauh tinggal kebelakang karena ketidakadilan dari penyaluran anggaran ini.
Jika dilihat dari peserta PBI, untuk mereka yang sulit mendapatkan Fasilitas Kesehatan akan ada sisa anggaran, lalu jika semua anggaran itu disamaratakan kemana perginya sisa anggaran yang ada, apakah itu akan digunakan untuk daerah yang maju? ini sungguh tidak adil.
1. Ketidakmerataan tenaga kesehatan yang menyebabkan masyarakat di daerah tidak mendapatkan pelayanan kesehatan, contohnya pelayanan spesialis tertentu. Hal ini terjadi karena Pemerintah Daerah belum mempunyai daya tawar kepada Pemerintah Pusat dan kebijakan yang spesifik dalam hal pengadaan tenaga kesehatan.
2. Program JKN yang sentralistis membuat penyelesaian masalah tiap-tiap daerah beragam. Sulit membuat program yang baku secara nasional karena kurang efektif.
3. Ketidakadilan dalam pengumpulan dana. Artinya pada suatu daerah tertinggal dengan jumlah PBI yang banyak sementara akses pelayanan kesehatan kurang. Sedangkan masyarakat yang tinggal di kota besar dengan akses pelayanan kesehatan yang mudah. Secara tidak langsung masyarakat miskin justru membiayai masyarakat yang kaya karena iuran di potong setiap bulan akan tetapi jarang memanfaatkannya. Terjadi ketimpangan antara kewajiban dan hak yang diterima.
Terima kasih.
1. Kondisi daerah yang berbeda-beda baik dari segi tenaga kesehatan, infrastruktur fasyankes, sarana prasarana pendukung juga kemampuan daerah dalam hal pembiayaan kesehatan menyebabkan ketimpangan dalam hal pelayanan kesehatan. Dengan kata lain pelayanan kesehatan tidak merata. Misalnya di daerah-daerah pesimis untuk pencapaian UHC, masih banyak daerah yang Puskesmasnya tidak memiliki dokter, masih ada daerah yang masyarakatnya tidak memiliki akses ke fasilitas pelayanan kesehatan.
2. Sistem sentralistik dimana pusat belum tentu tahu persis akan kondisi di daerah, kaitannya dengan kuota pembiayaan, menyebabkan penyerapan dana pada daerah pesimis menjadi tidak maksimal.
3. Pembayaran dengan kapitasi, rasanya tidak adil bagi daerah-daerah tertentu, karena pembayaran tidak berdasarkan kunjungan melainkan berdasarkan kepesertaan. Hal tersebut dapat menimbulkan rasa kurang berminatnya petugas kesehatan untuk memberikan pelayanan yang maksimal. Menurut saya akan lebih baik jika pembayaran didasarkan pada pelayanan yang diberikan (pay for service).
1. Terkait dengan masalah pelaksanaan kebijakan, ada kemungkinan saat diimplementasikan tidak sesuai dengan tujuan kebijakan yang sudah ditetapkan. Hal tersebut disebabkan oleh 2 kemungkinan yang perlu diperhatikan. Pertama apakah suatu kebijakan tersebut sudah dipersiapkan dengan matang dan disesuaikan dengan kondisi suatu negara ? dan yang kedua, apakah saat implementasi kebijakan seluruh pihak terkait sudah menjalankan kebijakan sesuai dengan peraturan yang telah disusun ?
Oleh sebab itu perlu dilakukan monitoring secara berkesinambungan untuk memastikan pelaksanaan sesuai prosedur sehingga kebijakan mampu mencapai tujuan yang diharapkan.
2. Terkait dengan sistem kebijakan yang tersentral (sentralistik), menyebabkan peraturan yang disusun sepenuhnya berada dalam kendali pemerintah pusat. Hal tersebut menyebabkan pemerintah daerah tidak dapat banyak berkontribusi terhadap penyesuaian kebijakan dengan kebutuhan daerahnya.
3. Apabila dilihat dari keanggotaan PBI, muncul pertanyaan apakah pengkatagorian atau penggolongan peserta PBI sudah ditetapkan secara tepat ? Karena sangat penting untuk menetapkan indikator-indikator untuk menentukan seseorang bisa dikatagorikan sebagai PBI dan berhak untuk menerima bantuan iuran dari pemerintah untuk menghindari penerimaan bantuan yang salah sasaran.
1. Kemungkinan terjadi perbedaan pemanfaatan JKN karena adanya perbedaan kondisi di daerah maju dengan daerah tidak maju, misalnya dikarenakan ketidakmerataan distribusi fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan. Bagaimana daerah yang tidak maju ini memenuhi ketimpangan yang ada?
2. Apakah sisa anggaran/dana yang tidak terserap bisa menjadi bahan/input bagi BPJS untuk melakukan monitoring dan evaluasi serta sebagai bahan evaluasi kebijakan JKN ini?
Pada kesempatan ini saya akan berpendapat tentang masalah yang muncul saat ini di bidang kesehatan yaitu penerapan JKN. Sejak diberlakukannya era JKN ini muncul beberapa masalah, seperti
a. akses pelayanan yang terkendala akibat infrastruktur pelayanan kesehatan belum memadai, maka saya berpendapat bahwa solusi yang dapat dilakukan yaitu pemerintah dan BPJS bekerjasama dalam menentukan estimasi pendanaan yang digunakan masing-masing daerah berdasarkan proporsi kepesertaan antara PBI dan non PBI, penyebaran penyakit, dan infrastruktur fasilitas kesehatan serta hal-hal yang mempengaruhi keterbatasan akses pelayanan di daerah tersebut, sehingga tepat sasaran.
b. sentralistis, artinya bahwa segala regulasi, aturan, dan instruksi berasal dari pusat, sehingga pada kasus ini dibutuhkan kordinasi yang kuat antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemerintah daerah harus siap menyesuaikan diri dengan regulasi, begitupun dengan pemerintah pusat dalam pengambilan keputusannya harus mempertimbangkan evidence based di masing-masing daerah.
c. Adanya salah alamat, dimana anggaran PBI dialokasikan ke Non PBI dikarenakan akses pelayanan pada Non PBI lebih tinggi dibanding dengan PBI, serta klaim oleh Non PBI kebanyakan dengan penyakit tidak menular dan menyerap anggaran yang cukup besar, sehingga terjadi ketimpangan dalam hal mendapatkan pelayanan sehingga asas keadilan tidak terealisasi. Pada kasus ini saya juga berpikir bagaimana jika kelas perawatan di fasilitas kesehatan dihilangkan, namun premi tetap dijalankan berdasarkan pendapatan kepala keluarga
Terima kasih
menanggapi masalah Implementasi kebijakan tersebut, hal yg kemudian menjadi sorotan penting adalah
1. akses masyarakat ke fasilitas kesehatan
2. kurang meratanya SDM karena pusat pendidikan medis
3. petugas pelayanan yg kurang fleksibel
4. kurang tepat waktunya pembayaran premi asuransi dri masyarakat Non-PBI
5. Anggaran Kesehatan yg terlalu sentralistik
2. diperkirakan jumlah masyarakat yg memanfaatkan lebih bayak di kota dibanding di daerah terpencil, maka ini menjadi tidak adil bagi daerah-daerah sulit. Meskipun jumlah peserta PBI di daerah-daerah sulit lebih banyak tetapi karena akses mereka terhadap faskes rendah maka dana JKN yang seharusnya menjadi jatah mereka dialihkan untuk warga mampu yang berada dikota.
3. Pembagian dana kapitasi belum disesuaikan dengan kbutuhan masing-masing daerah, selama ini dana kapitasi diberikan sama rata sesuai dengan peraturan dari pusat. Padahal kebutuhan diberbagai daerah dapat berbeda-beda mengingat kondisi perkotaan di jawa dan daerah terpencil sangatlah kontras. Sistem kapitasi yang sama rata membuat utilisasi dana kapitasi masih rendah.